Roda kereta yang Kamandanu tumpangi bersama Handaru berderak saat melindas bebatuan. Mereka menatap jalanan dengan pandangan hampa. Berat rasanya meninggalkan pondok dengan kondisi Anung yang sakit-sakitan, juga tiga orang perempuan yang lemah.
Sebelum berangkat, mereka menebang beberapa pohon dan membuat pagar kayu untuk mengelilingi pondok demi keamanan.
Kamandanu memetik daun apa saja yang bisa dimakan dan memancing ikan. Dia membelah ikan-ikan itu, membersihkannya kemudian menjemur agar awet dan bisa dimakan Anung sekeluarga selama mereka tidak ada.
"Apa yang akan kita lakukan di kota, Panglima?" tanya Handaru.
"Mungkin kamu bisa menjadi pelayan rumah makan. Aku sendiri belum tahu. Kaki yang pincang ini, entah ada yang menerima atau tidak," jawab Kamandanu.
Mereka bertukar cerita hingga tak terasa akhirnya tiba di kota. Jarak yang cukup jauh dan memakan waktu membuat keduanya lelah. Ke
Kamandanu memasuki keraton dengan gugup. Tangannya berkeringat dingin. Selama di perjalanan tadi, dia memegang tali kekang dengan kuat sehingga telapak tangannya memerah. Untungnya, sebagian wajah laki-laki itu tertutupi oleh rambut yang semakin memanjang, sehingga tak satupun penjaga yang mengenali ketika melewati gerbang keraton."Siapa yang kalian bawa?" tanya salah seorang penjaga ketika mereka hendak lewat."Seseorang yang membantu kami menaklukan si liar," jawab si pengawal sembari menunjuk kuda hitam yang lepas tadi.Para penjaga saling berpandangan, lalu mengangguk dan mempersilakan mereka masuk.Kamandanu menarik napas lega karena penyamarannya aman. Padahal hampir semua dari para prajurit dan pengawal itu dulunya berada di bawah pimpinannya."Baiknya paman membersihkan diri sebelum bertemu dengan Kanjeng Gusti. Beliau tidak suka mencium bau-bauan yang kurang sedap," usul salah seorang prajurit.Kamandanu tersadar bahwa
Kamandanu bergegas memasuki penginapan setelah mengembalikan kuda. Laki-laki itu bukannya tidak tahu jika sejak keluar dari keraton tadi, dia diikuti oleh beberapa orang. Napasnya memburu ketika tiba di depan pintu, lalu mengetuknya pelan. "Panglima!" teriak Handaru karena terkejut dengan kedatangan Kamandanu yang tiba-tiba. Tanpa berucap, Kamandanu bergegas masuk dan langsung menutup pintu. Tubuhnya seketika luruh ke lantai karena rasa lelah yang teramat sangat. "Ada yang mengikutiku. Baiknya kamu bersembunyi," saran Kamandanu ketika Handaru mengambilkannya segelas air. "Siapa?" "Prajurit keraton. Mereka mencurigaiku," jelas Kamandanu sembari meneguk air dengan cepat. Napasnya naik turun, sementara peluh tak berhenti menetes hingga seluruh bajunya basah. "Kenapa bisa?" "Mereka curiga karena aku mahir berkuda. Sementara statusku hanya rakyat biasa." Handaru menarik napas panjang, lalu duduk di sebelah Kamandanu untuk me
Dua pengawal istana itu menatap Kamandanu dan Handaru dengan lekat. Itu membuat jantung mereka berdetak lebih kencang. Penyamaran tak boleh terbongkar, karena hanya itu satu-satunya cara.Kamandanu bahkan melatih Handaru untuk memanggilnya dengan sebutan kangmas. Dia juga mengatakan apa yang menjadi makanan kesukaan, juga kebiasaan tertentu. Mereka sudah sepakat tentang banyak hal, agar tak menimbulkan kecurigaan. Sehingga jika suatu hari ada yang bertanya, jawabannya akan sama."Apa benar ini adikmu? Mengapa wajah kalian berbeda?" tanya pengawal dengan penuh selidik.Kamandanu berbadan tegap dengan otot-otot yang tercetak jelas. Kulit tubuhnya gelap dengan ranbut panjang tak terurus. Luka sayatan di pipi membuat wajah lelaki itu terlihat menyeramkan. Ditambah dengan suara serak yang sengaja diucapkan agar tak ada yang mengenali.Sementara itu, Handaru memiliki postur yang lebih
Sekar berjalan dengan cepat menuju istal karena merasa rindu dengan ayahnya. Semenjak menjadi selir, wanita itu jarang bertemu dengan keluarga. Selain belajar, melayani Wijaya adalah tugasnya sehari-hari. Sekar mulai bosan. Apalagi tak kunjung ada janin yang tumbuh dari rahimnya, sekalipun mereka sudah berusaha sekuat tenaga. Sehingga rasa rindu kepada ayah dan ibunya kerap muncul di malamnya saat terjaga. Sayangnya, dia tak diizinkan pulang karena Wijaya terlalu mengekang. Lelaki itu terlalu mencintai selirnya sehingga menjadi posesif. Rasa cemburu Wijayaa begitu kuat, bahkan kepada orang tua Sekar sekalipun. Namun, wanita itu tak bisa melawan dan hanya mampu menuruti keinginan suaminya. "Pelan-pelan saja, Ndoro," ucap salah satu dayang yang mengikutinya dari belakang. Sekar menoleh lalu, meraih jemari dayang itu dan kembali berjalan dengan cepat. Waktunya tak banyak sehingga mereka memang harus terburu-buru. "Raden ndak tau
Sekar membuka pintu kamar dengan perlahan, dan merasa lega saat mendapati ruangan itu kosong. Wanita itu hendak menuju bilik tempat berganti pakaian, saat tiba-tiba saja sebuah tangan merengkuhnya dari belakang."Dari mana saja, Diajeng?"Sekar menoleh dan mendapati Wijaya sedang menatapnya dengan tajam. Wanita itu membuang pandangan untuk menutupi rasa gugup. Dia mengulum senyum terpaksa dan mengusap pipi suaminya agar lelaki itu tak marah."Aku mandi di danau," jawabnya meyakinkan.Wijaya menatap istrinya dengan kecewa. Mereka sudah kenal sejak lama dan baru kali inilah dia mendapati Sekar berbohong. Lelaki itu bukannya tidak tahu jika selirnya itu menyelinap ke istal untuk bertemu seseorang."Apa kau senang mandi di danau?" pancingnya."Tentu saja. Airnya begitu segar sehingga aku betah berlama-lama di sana," jawab Sekar lagi.Wijaya tersenyum pahit dan meraih tubuh mungil itu agar semakin merapat kepadanya. Hal itu membuat dada Se
Hari ini raja membuat perjamuan makan dengan mengundang semua penghuni keraton. Kerajaan sebelah baru saja mengirimkan upeti sebagai hadiah. Tak hanya uang, hasil panen dan hewan ternak ikut serta. Juga beberapa gadis yang akan dijadikan selir baru.Kamandanu memberikan kode agar Handaru mendekat. Mereka sudah lama tidak bertemu sehingga banyak informasi yang harus disampaikan. Sejak tadi banyak pasang mata yang menatapnya dan membuat lelaki itu merasa tidak leluasa.Sebagai orang baru di keraton, tentu saja mereka menjadi perbincangan. Apalagi setelah berita tentang kehebatannya menaklukkan kuda liar menyebar di mana-mana. Kamandanu kini menjadi pusat perhatian."Kakang!"Handaru memeluk Kamandanu dengan erat. Lalu, keduanya saling menepuk bahu dan menanyakan kabar. Mereka bersandiwara seperti dua saudara yang saling merindukan. Padahal diam-diam, ada gulungungan kertas yang diselipkan di saku pakaian."Kau tampak kurus, Ad
Sudah tiga hari Wijaya sakit dan banyak yang datang menjenguknya, kecuali Sekar. Dia masih berdiam diri di kamar dan tak mau keluar sama sekali. Sikap suaminya yang kasar memabuat wanuta itu kecewa.Sekar tahu jika Prameswari yang merawat Wijaya selama sakit. Dia sama sekali tidak keberatan, justeru malah senang karena bisa sedikit bebas. Lagipula wanita itu juga memiliki hak karena merupakan istri pertama.Mereka memang jarang bertemu. Jikapun bersua, Prameswari akan membuang pandangan seolah-olah membencinya. Sekar mengerti perasaan wanita itu. Istri manapun tak akan rela jika cintanya dibagi. Apalagi waktu itu Wijaya baru menikah dan langsung mengambilnya sebagai selir."Nyuwun pangapunten, Ndoro," ucap dayang yang melayani Sekar saat masuk ke kamarnya."Ada apa?" tanya wanita itu malas."Ndoro Ajeng diminta membesuk Raden Wijaya. Beliau merindukan Ndoro," ucap dayang.Sekar terdiam dan tak mau menjawab. Dia
"Sepertinya benda itu sangat berarti untukmu, Kisanak."Kamandanu terkejut dan segera menyembunyikan selongsong itu balik pakaiannya. Lelaki itu menoleh dan mendapati Daksa sedang menatapnya dengan tajam."Paman Daksa," ucap Kamandanu memberi hormat."Sepertinya aku mengenal benda itu," sindirnya.Beberapa hari ini Daksa mengamati Kamandanu secara interns. Kecurigaannya semakin bertambah setelah memergoki lelaki itu sering melamun. Hari ini keyakinannya semakin kuat saat melihat selongsong pedang milik panglima."Ini diberikan Raden Adiguna kepadaku," jawab Kamandanu sembari tersenyum. Sejak kembali bekerja di keraton, dia sudah terbiasa mengendalikan sikap agar tak gugup."Tapi kenapa diberikan kepadamu? Kau orang baru," selidik Daksa."Entahlah, Paman. Aku tak pernah bertanya apa alasannya," jawab Kamandanu.
Arya menatap Kamandanu dengan tajam sembari berkacak pinggang. Lelaki itu sudah siap jika sewaktu-waktu sang Panglima akan melancarkan serangan."Apa kabarmu, Panglima Muda?" sapa Kamandanu."Baik-baik saja, Panglima. Kau sendiri bagaimana?""Aku sudah tak sabar ingin berlatih ilmu kanugaran denganmu," tantang Kamandanu.Arya tergelak lalu menyanggupi. Bukankah dulu dia pernah berkata akan belajar ilmu bela diri dari Kamandanu jika mereka bertemu lagi. Dan kini keduanya saling berhadapan satu dengan yang lain."Siapa sangka kita akan bertemu lagi setelah sekian lama," ucap Arya tak percaya. Jika bukan karena perburuan hari itu, maka mungkin dia akan lupa pada ucapan sendiri."Kau benar. Aku bahkan tak menyangka jika akan bertemu dengan kalian. Sepertinya kami memang ditakdirkan untuk selalu berhubungan dengan keraton, walaupun sudah menghindar ja
Derap kaki kuda yang berlari menembus jalanan menarik perhatian warga sekitar. Apalagi Semua penunggangnya berwajah tampan dan memakai baju khas keraton. Berita ceepat tersebar bahwa para penguni keraton akan melakukan perburuan."Apa Kanjeng Gusti yakin akan berburu di daerah sini?" tanya Arya, sang Panglima."Tentu saja. Aku sudah lama tidak berburu. Mengurus pemerintahan sangatlah memusingkan," jawab Abimana."Turuti saja permintaannya, Panglima. KIta hanya perlu mendampingi, " ucap WIjaya tenang."Bukan begitu, Raden. Daerah sini belum pernah kita lewati. Hamba khawatir terjadi sesuatu," jelas Arya."Kalau begitu kerahkan sihirmu untuk melihat situasi," titah Abimana.Arya menyetujui usul itu dan turun dati kuda untuk memulai ritualnya. Lelaki itu memiliki mata batin sehingga dapat melihat makhluk halus yang dapat membahayakan. Setelah memejamkan mata beberapa saat akhirnya lelaki itu tersadar dan merasa lega."H
"Raden, hati-hati! Nanti Raden terjatuh."Kamandanu tergopoh-gopoh mengejar anak laki-laki yang sejak tadi berlari mengelilingi lapangan. Hari ini dia yang mengajak bermain karena istrinya sedang mencuci di kali. Napasnya terengah-engah karena usia yang sudah tidak muda."Kejar aku, Paman! Katanya kau dulu seorang panglima perang. Mengapa kau begitu lemah," canda anak itu sembari menjulurkan lidah.Kamandanu menjadi geram. Lalu dengan kaki yang pincang, lelaki itu ikut berlari. Dia menagkap pinggang anak itu dan bergulingan di rumput. Tawa terdengar dari keduanya, lalu mereka bercanda hingga senja tiba."Ayo, kita pulang. Ibumu pasti mencari," ajak Kamandanu."Aku tidak mau pulang, Paman. Nanti ibu memarahiku karena tidak mau makan nasi," rajuk anak itu."Raden memang harus makan nasi supaya cepat tinggi," bujuk Kamandanu."Memangnya kenapa kalau aku menjadi tinggi?"Anak itu menatap Kamandanu dengan lekat. Dia mema
Sekar menatap burung-burung yang sedang berkicau di dahan pohon. Pikirannya melayang entah ke mana. Sementara pipinya basah dengan air mata yang sejak tadi menetes. Wanita itu membalik badan dan menatap kamar yang sejak satu minggu ini tak boleh dimasuki siapapun, kecuali orang-orang tertentu. Dan dia termasuk salah satunya.Ada Wijaya di sana, dengan kondisi luka bakar pada wajah dan beberapa bagian tubuh yang melepuh karena insiden malam itu. Dia sendiri terkena di bagian tangan dan dada, tetapi tidak parah sehingga tak memerlukan perawatan khusus. Sekar tak boleh merawat suaminya, hanya Prameswari yang diberikan amanat. Hal itu ditetapkan setelah banyak pertimbangan. Salah satunya adalah saat lelaki itu sakit dulu.Selain itu, Wijaya terkena musibah saat bermalam bersama dengan Sekar. Jadi wanita itu dianggap sebagai pembawa sial. Apalagi pelakunya adalah Kamandanu yang hendak membalas dendam. Maka semakin lengkaplah tudingan yang dialamatkan kepadamya.
Kamandanu menarik tangan Handaru dan membekap mulutnya. Lalu, menyeret anak itu agar menjauh dari keramaian untuk mencari persembunyian. Lelaki itu melepaskan cekalan dan terengah-engah begitu mereka berada di tempat yang aman."Kau membuatku takut, Panglima!"Handaru memegang dadanya yang terasa sesak. Lelaki itu duduk di tanah dengan kedua lutut ditekuk sembari memyadarkan kepala di salah satu bagian barak. Tangannya memijat kepala yang terasa berdenyut."Aku terpaksa melakukan ini agar kau mengerti. Sejak tadi aku memberikan kode tetapi kau tak paham," sungut Kamandanu."Mereka sedang mengajakku berbicara. Aku tak mungkin pergi," jawab Handaru.Mereka saling terdiam untuk beberapa saat, lalu menatap bintang-bintang yang bertaburan di langit. Malam ini barak mengadakan pesta setelah dua bulan para prajurit baru menjalani pelatihan intensif. Minggu depan adalah hari pengukuhan dimana Handaru akan resmi diangkat menjad
Kamandanu menatap secarik kain yang dia temukan di hutan. Simbol yang tergambar di sana membuatnya lemas. Itu adalah lambang salah satu perguruan silat yang cukup terkenal dari kota sebelah.Apa yang Adiguna duga sedikit demi sedikit mulai terbukti. Lalu, apakah Raden Wijaya pelakunya, itu belum bisa dipastikan. Butuh petunjuk yang kuat untuk menjatuhkan tuduhan.Adiguna melipat tangan di depan dada dan menatap Wijaya dengan lekat. Entah apa maksud kedatangan adiknya itu, dia masih belum bisa menerka. Sejak tadi mereka hanya berbasa-basi menanyakan kabar dan juga membahas pemerintahan. Padahal dia tahu, bukan itu tujuan utamanya."Kakang, aku baru saja mendapatkan hadiah sebuah pedang baru."Adiguna menatap adiknya dengan curiga. Sejak kecil mereka memang tumbuh dan bermain bersama. Namun ketika beranjak dewasa, ada kepentingan dan ambisi yang ditanamkan oleh para ibu sehingga hubgungan itu menjadi renggang. Wijaya yang awalnya tak terla
Kamandu memegang dadanya yang berdebar kencang. Saat Daksa mengatakan bahwa Sekar tiba-tiba datang berkunjung, hatinya diluapi oleh kebahagiaan. Lelaki itu hendak berbalik ke arah pondok ketika mendengar beberapa langkah kaki mendekat.Kamandanu mengurungkan niat dan mengintip dari balik sumur. Tampak beberapa pengawal sedang memeriksa seisi pondok dan sekitarnya. Untunglah jarak sumur cukup jauh dari pondok dan terhalang pohon besar. Sehingga tubuhnya tak kelihatan."Apa kau merasa ada yang aneh?" tanya salah satu pengawal."Ya, tapi aku tak tahu itu apa. Rasanya ada orang lain di rumah ini selain Daksa dan istrinya," jawab pengawal kepercayaan Wijaya. Lelaki itu sengaja diutus untuk menemani Sekar karena sang raden mengkhawatirkan keselamatan istrinya."Apakah itu penyusup yang mengikuti Ndoro Ajeng?""Bisa jadi. Karena itulah kita harus waspada."Beberapa pengawal itu saling berbincang sembari menyisir beberapa tempat. Ketika mereka
Selama tiga hari Kamandanu dirawat di rumah Daksa, selama itu pula Sekar tak mengetahui apa pun. Wijaya memang mengizinkan selirnya bertemu dengan keluarga, tetapi belum memenuhi janjinya. Hingga wanita itu merasa gelisah, tetapi tak berani menyusup karena takut ketahuan.Sekar hanyalah selir biasa, yang tak mengerti permasalahan keraton. Sehingga dia tak tahu jika nyawa mereka bisa terancam sewaktu-waktu. Wijaya memang membatasi wanita itu agar tak mencampuri urusannya. Hal yang sama dia lakukan kepada Prameswari. Hanya ratu yang berhak bersuara mengenai pemerintahan. Juga istri sah Adiguna karena kakaknya adalah pewaris utama.Tugas selir hanyalah memikat raja dan pangeran, lalu menyenangkan mereka. Jika mendapatkan keturunan laki-laki maka itu adalah anugerah. Sayangnya, dari ratu dan beberapa selir yang dimiliki raja yang sekarang, beliau hanya diberikan tiga pewaris lelaki. Bahkan, istri dan selir dari para putranya juga melahirkan anak perempuan.Wij
"Sepertinya benda itu sangat berarti untukmu, Kisanak."Kamandanu terkejut dan segera menyembunyikan selongsong itu balik pakaiannya. Lelaki itu menoleh dan mendapati Daksa sedang menatapnya dengan tajam."Paman Daksa," ucap Kamandanu memberi hormat."Sepertinya aku mengenal benda itu," sindirnya.Beberapa hari ini Daksa mengamati Kamandanu secara interns. Kecurigaannya semakin bertambah setelah memergoki lelaki itu sering melamun. Hari ini keyakinannya semakin kuat saat melihat selongsong pedang milik panglima."Ini diberikan Raden Adiguna kepadaku," jawab Kamandanu sembari tersenyum. Sejak kembali bekerja di keraton, dia sudah terbiasa mengendalikan sikap agar tak gugup."Tapi kenapa diberikan kepadamu? Kau orang baru," selidik Daksa."Entahlah, Paman. Aku tak pernah bertanya apa alasannya," jawab Kamandanu.