Dexter tertegun lama menyaksikan perempuan yang tengah menyapu itu. Rambutnya juga panjang sepunggung seperti Gendis. Dan saat ini sedang membelakanginya."Pak Dexter ...," tegur Yanto menghalau lamunan Dexter.Dexter terkesiap lalu mengerjap. "Iya, Pak?""Bagaimana? Apa kita langsung masuk sekarang?"Dexter mengangguk walaupun perasaannya tidak enak.Yanto memajukan langkahnya menuju rumah itu diikuti oleh Dexter."Gendis!" panggil Yanto yang membuat perempuan yang sedang menyapu menoleh seketika.Yanto terkejut. Apalagi Dexter. Ternyata dugaannya memang salah. Tadi ia berpikir perempuan itu bukan Gendis meskipun dari belakang penampakannya hampir tidak berbeda dengan Gendis. "Delia, kakakmu mana?" tanya Yanto begitu menyadari perempuan yang mereka sangka adalah Gendis."Kak Gendis kerja di kota, Pak. Ada apa ya?" Gadis itu menatap heran pada Yanto dan pria asing yang tidak dikenalnya."Bapak cuma nanya. Kapan kakakmu pulang?" "Tidak tahu, Pak. Kak Gendis susah dihubungi sekarang.
Selagi Dexter mencari Gendis ke kampung halamannya, Gendis ternyata masih berada di kota yang sama dengan Dexter. Sampai sejauh ini Gendis hidup dengan cara menjadi pengamen dan pemulung. Makanannya hanya mie instan dan air mineral. Kalau sedang beruntung Gendis bisa membeli nasi. Tapi kalau lagi apes seharian itu ia tidak mendapat sepeser uang pun Gendis akan mengais sisa-sisa makanan di tempat sampah.Gendis mulai membaur dengan para pemulung dan juga gembel lainnya. Kalau bukan di emperan toko mereka akan tidur di antara sampah-sampah busuk yang menggunung."Mbak, cantik-cantik hidup lo kok nelangsa sih?" tanya Tiwi, teman baru Gendis yang sudah lama menjadi pemulung. Gendis mengenalnya ketika sedang mengais sampah mencari sisa-sisa makanan."Kamu sendiri bagaimana? Kenapa bisa kerja jadi pemulung?" tanya Gendis balik."Gue udah takdirnya kayak gini, Mbak. Gue nggak cantik. Udah default setting-nya jadi gembel. Sedangkan lo--" Tiwi menjeda kata sejenak sembari memindai Gendis dari
Orang gila mana yang mau bekerja tanpa digaji?Ada.Gendis orangnya.Bagi Gendis tidak masalah selama tiga bulan ini dirinya tidak menerima uang asal ada tempat berteduh dan menumpang makan. Daripada ia hidup menjadi gembel dan tidur di antara gunung sampah yang busuk.Sore ini petugas yayasan penyalur rumah tangga mengantar Gendis ke rumah majikannya. Nama majikannya tersebut adalah Bondan dan Dona. Mereka memiliki seorang anak laki-laki berumur lima tahun bernama Doni.Bondan terkesan ramah pada Gendis dan menyambutnya dengan hangat. Sedangkan Dona hanya tersenyum sekenanya seolah ia tidak mengharapkan kehadiran Gendis di rumah itu."Ini kamar kamu," kata Bondan setelah mengajak Gendis room tour di rumahnya yang besar. Sedari tadi pria itulah yang terus meladeninya. Padahal semestinya Dona sebagai nyonya rumahlah yang mengambil peran tersebut."Terima kasih, Pak," jawab Gendis singkat.Bondan tersenyum. "Kalau ada apa-apa atau jika kamu perlu sesuatu segera hubungi saya. Jangan sung
Satu botol air mineral sudah terisi hampir penuh setelah Gendis berhasil memerah susunya. Rasanya perih tapi lega karena air susu itu tidak terbuang percuma. Lalu sekarang Gendis bingung harus meletakkan ASI perahnya di mana. ASI-nya itu pasti akan basi jika berada di suhu ruangan. Gendis harus meletakkannya di freezer. Tapi bagaimana caranya? Apa Dona tidak akan curiga?Apa yang harus Gendis jawab jika wanita itu bertanya padanya?Lama Gendis berpikir di kamarnya sampai perempuan itu menemukan solusi. Ia akan nekat menyimpan ASIP-nya di freezer.Gendis mengendap-endap keluar dari kamar. Saat itu menunjukkan pukul sebelas malam. Suasana sedang sunyi. Gendis rasa semua penghuni rumah sudah tidur kecuali dirinya.Membuka pintu lemari pendingin, Gendis melihat banyak makanan dan minuman di dalamnya. Gendis menyelipkan botol ASIP di antara botol-botol minuman yang terdapat di sana. Saat ia akan menutup pintu kulkas tiba-tiba ia mendengar suara batuk seseorang. Gendis terkejut setengah
"Kamu bikin susunya jangan terlalu panas. Dicicip dulu pake sendok. Tapi sendoknya yang lain. Jangan sendok yang kamu pake buat ngaduk susu anak saya.""Baik, Bu," jawab perempuan berambut sebahu mengenakan seragam biru baby sitter. Dia adalah Risa, pengasuh Bobby yang bekerja untuk Catherine.Catherine merengek-rengek pada Dexter agar dicarikan pengasuh dan pembantu baru. Dengan bantuan Martha mereka berhasil mendapatkannya."Satu lagi, kalau menggendong Bobby kamu harus hati-hati. Saya nggak mau ya anak saya jadi celaka. Kalau terjadi sesuatu yang buruk padanya kamu harus ganti dengan nyawamu!" ucap Catherine kejam yang membuat Risa bergidik ngeri."Baik, Bu, saya akan menjaga anak Ibu dengan sebaik mungkin. Saya akan memperlakukannya dengan hati-hati." Di dalam hatinya Risa merasa kesal. Pasalnya ia adalah baby sitter terlatih yang telah mengikuti pendidikan untuk menjadi pengasuh. Lagi pula ini bukanlah pengalaman pertamanya. Sebelumnya ia juga pernah menjadi baby sitter. Tapi k
"Benar sekali, Bu, Pak." Dokter menjawab kebingungan Dexter dan Catherine. Tampaknya pasangan suami istri tersebut belum memiliki pengalaman dan pengetahuan yang cukup mengenai donor ASI."Bagaimana caranya, Dok dan dari mana sumbernya? Apakah aman?" Dexter yang bertanya. Ia khawatir jika putra tunggal kesayangan satu-satunya mendapat bahaya."Bapak tidak usah khawatir. ASIP di rumah sakit ini steril dan berasal dari orang terpercaya. Mereka sehat dan bebas penyakit. Jadi aman untuk dikonsumsi, Pak.""Tapi bagaimana mungkin mereka mau mendonorkan ASI-nya, Dok? Bagaimana dengan anak mereka?" tanya Dexter belum puas."Kebanyakan dari mereka berada dalam masa menyusui lalu tidak bisa memberikan ASI pada anaknya karena berbagai faktor. Entah itu karena anaknya meninggal atau terpaksa harus berpisah dengan anaknya," terang dokter menjelaskan.Seketika Dexter teringat pada Gendis yang pergi meninggalkan anaknya sehingga Bobby jadi terlantar."Bagaimana, Bu, Pak? Apa Ibu dan Bapak setuju?" t
Dexter kembali ke mobilnya. Di sana lelaki itu menelepon dokter setelah mendapat nomor teleponnya dari petugas rumah sakit."Halo," sapa suara di seberang."Halo, benar ini dengan dokter Bondan?""Benar sekali, Pak. Saya sedang bicara dengan siapa ya?""Saya Dexter, Dok, yang tadi pagi konsultasi dengan dokter. Anak saya yang alergi susu dan kemudian mendapat donor ASI dari dokter.""Oh iya, iya, saya ingat sekarang. Gimana, Pak? Apa ada keluhan lagi?" tanya dokter ingin tahu."Nggak ada keluhan apa-apa, Dok, cuma saya ingin minta tambahan ASIP. Kebetulan cocok dengan anak saya. Apa masih boleh, Dok?""Oh boleh sekali, Pak. Bapak hubungi pihak rumah sakit yang mengurus basian donor ASIP lalu jelaskan maksud Bapak. Jangan lupa katakan bahwa tadi Bapak sudah konsultasi dengan saya.""Baik, Dok, terima kasih sekali lagi." "Kembali kasih, Pak Dexter," jawab dokter yang ramah itu.Dexter keluar dari mobil kemudian kembali menyusuri area rumah sakit. Ia berhasil mendapatkan beberapa kanton
"Ada apa, Dex?" tanya Jovan cepat setelah Dexter selesai menelepon."Anak gue muntah-muntah setelah minum susu dari donor ASI.""Kenapa nggak susu emaknya aja langsung?""Nggak ada airnya.""Lo sih diabisin semua. Anak lo jadi nggak kebagian kaaan. Hahaha ..."Tawa Jovan dan Ferry pecah, membuat orang-orang sekelilingnya memandang pada ketiga lelaki itu. Alih-alih akan ingat Catherine, perkataan dua temannya malah membawa ingatan Dexter pada Gendis. Saat mereka bercinta, bercumbu mesra bersama. Satu kali pun tidak akan pernah Dexter lupakan. Berbeda dengan hubungannya dengan Catherine yang kini begitu dingin. Ranjang mereka beku. Tidak pernah ada lagi kemesraan dan cumbuan demi cumbuan. Saat berada di rumah Dexter lebih suka menghabiskan waktunya dengan Bobby. Catherine tidak lagi menarik baginya. Dexter sudah kehilangan respek pada perempuan itu meski sesekali Catherine mencoba menggodanya. Jangan pernah salahkan Dexter. Salahkan saja Catherine yang dulu memulai semuanya.***Gendis