Gendis memang berhasil mengisi perutnya. Membuat kelegaan menjalari hatinya. Namun hanya untuk sesaat. Ketika malam datang perempuan itu kebingungan harus menginap di mana. Ia tidak punya tempat berteduh. Terbersit di hatinya untuk datang ke rumah Rosa karena perempuan itu baik padanya. Tapi hal tersebut tidak mungkin Gendis lakukan. Rosa pasti akan memberitahu Catherine. Gendis tidak ingin kembali ke rumah perempuan jahat itu lagi. Lagi pula keluarga besar Rexa bisa tahu kalau anak itu adalah anak Dexter. Gendis tidak ingin merusak nama baik Dexter. Apa kata dunia jika mereka tahu Dexter menikahi pembantunya sendiri?Di tengah kegalauannya Tuhan rupanya masih berbaik hati pada Gendis. Tadi sebelum Maghrib Gendis mengamen lagi. Ada pengendara mobil baik hati yang memberinya lima ribu rupiah. Gendis menggunakannya untuk membeli mie instan dan air mineral kecil.Sambil duduk bersandar di emperan toko yang sudah tutup Gendis mengunyah mie instannya sendiri. Mie itu mentah. Meski namany
Dexter menggeleng-gelengkan kepalanya antara percaya dan kecewa setelah mendengar penjelasan Catherine.'Aku cuma pergi tiga hari tapi kamu tega ninggalin aku, Ndis,' bisik hatinya sedih.Dengan perasaan yang semakin perih Dexter mengambil putra kecilnya yang masih menangis lalu membawa ke dekapannya. Ini adalah pengalaman pertamanya menggendong bayi. Tapi entah ada keajaiban apa yang membuatnya tidak merasa canggung. Diciumnya sang putra dengan penuh kasih sayang.Catherine menyodorkan botol susu pada Dexter untuk kemudian diberikan pada anaknya. Tangisan anak itu reda seketika setelah mendapat yang dibutuhkannya.Dexter terisak di dalam hati mengingat kepergian Gendis. Seharusnya saat ini bayi kecil berhidung mancung itu berada dalam dekapan ibu kandungnya.Catherine menempatkan diri di sebelah Dexter. Berdua mereka memandangi anak yang tengah menyusu itu."Siapa namanya, Dex?" tanya Catherine."Bobby." Dexter menjawab dengan lugas."Aku setuju," ujar Catherine, padahal Dexter tidak
Dexter melempar pandangannya ke luar jendela. Dari ketinggian puluhan lantai di kantornya ia dapat melihat kepadatan lalu lintas di luar sana.Semua tampak seperti kotak-kotak kecil yang bergerak perlahan.Hari ini tepat sepuluh hari usia Bobby. Sudah satu minggu Dexter terus mencari Gendis. Tapi usahanya masih belum membuahkan hasil.Dengan diam-diam tanpa sepengetahuan Catherine Dexter bertanya pada para pembantu sepergaulan Gendis. Seperti ART di rumah Martha ataupun di rumah Rosa. Ia juga bertanya pada ART di sekitar rumahnya sendiri, tapi tidak ada informasi apa-apa. Mereka tidak tahu Gendis pergi ke mana. Bahkan orang-orang itu juga baru tahu kalau Gendis sudah tidak bekerja dengan Dexter lagi.Setiap hari di saat pulang dan pergi kerja Dexter melihat ke sekeliling jalan yang ia lalui. Berharap ada Gendis di antara orang-orang yang ia lihat. Tapi tidak. Gendis tidak pernah muncul di ruang matanya. Perempuan itu hanya ada di dalam angan dan mimpinya.'Aku harus ketemu Gendis, gi
Pagi-pagi sekali Dexter sudah berangkat dari rumah menuju bandara. Dexter membohongi Catherine. Ia sama sekali tidak memiliki business trip apa-apa apalagi ke Kuala Lumpur.Tujuan Dexter adalah mencari Gendis ke kampung halaman perempuan itu. Sudah sejak beberapa hari yang lalu Dexter memesan tiket pesawat yang tidak setiap hari ada ke sana. Dexter tidak tahu di mana alamat pasti tempat tinggal orang tua Gendis. Ia hanya pergi bermodalkan nekat dan kemauan yang keras. Tadi saat akan meninggalkan Bobby Dexter begitu sedih. Ingin rasanya ia membawa anak itu. Tapi ia juga tahu itu adalah hal yang tidak mungkin. Penerbangannya sangat jauh. Belum lagi perjalanan darat yang akan ia tempuh nantinya.Dexter hanya berbisik di telinga anaknya saat akan berpamitan tadi. Berharap ibu anak itu segera ditemukan dan Dexter bisa membawanya kembali ke rumah.Dexter tersentak ketika mendengar pengumuman dari petugas bandara bahwa pesawat akan berangkat. Jantungnya berdegup kencang. Ia akan melalui pen
Lelaki berusia tiga puluh jelang tiga puluh satu tahun itu menegakkan duduknya. Ia mencoba menetralisir perasaannya yang tidak karuan. Ia yakin seyakin-yakinnya bahwa Gendis yang dimaksud lawan bicaranya adalah Gendis yang dicarinya.Gendis yang menjadi istri keduanya.Gendis yang berhasil merebut hatinya sampai Dexter tidak mampu melupakannya."Bagaimana, Pak? Apa Gendis yang saya sebutkan yang Bapak cari?" Lelaki yang kemudian Dexter ketahui bernama Yanto mengonfirmasi pada Dexter."Benar sekali, Pak. Gendis yang itu," jawab Dexter senang. "Apa Bapak kenal dia? Apa dia ada di kampungnya?""Saya kenal orang tuanya, Pak. Saya tahu anaknya. Tapi setahu saya sudah lama dia tidak pulang. Kalau boleh tahu Bapak ada urusan apa dengan dia?" pandang Yanto penuh selidik.Dexter tidak seketika menjawab. Lelaki itu berpikir di dalam hatinya. Ia mempertimbangkan baik dan buruk serta segala konsekuensinya jika berkata dengan jujur.Dexter khawatir jika ternyata Gendis tidak ada di kampungnya akan
Dexter tertegun lama menyaksikan perempuan yang tengah menyapu itu. Rambutnya juga panjang sepunggung seperti Gendis. Dan saat ini sedang membelakanginya."Pak Dexter ...," tegur Yanto menghalau lamunan Dexter.Dexter terkesiap lalu mengerjap. "Iya, Pak?""Bagaimana? Apa kita langsung masuk sekarang?"Dexter mengangguk walaupun perasaannya tidak enak.Yanto memajukan langkahnya menuju rumah itu diikuti oleh Dexter."Gendis!" panggil Yanto yang membuat perempuan yang sedang menyapu menoleh seketika.Yanto terkejut. Apalagi Dexter. Ternyata dugaannya memang salah. Tadi ia berpikir perempuan itu bukan Gendis meskipun dari belakang penampakannya hampir tidak berbeda dengan Gendis. "Delia, kakakmu mana?" tanya Yanto begitu menyadari perempuan yang mereka sangka adalah Gendis."Kak Gendis kerja di kota, Pak. Ada apa ya?" Gadis itu menatap heran pada Yanto dan pria asing yang tidak dikenalnya."Bapak cuma nanya. Kapan kakakmu pulang?" "Tidak tahu, Pak. Kak Gendis susah dihubungi sekarang.
Selagi Dexter mencari Gendis ke kampung halamannya, Gendis ternyata masih berada di kota yang sama dengan Dexter. Sampai sejauh ini Gendis hidup dengan cara menjadi pengamen dan pemulung. Makanannya hanya mie instan dan air mineral. Kalau sedang beruntung Gendis bisa membeli nasi. Tapi kalau lagi apes seharian itu ia tidak mendapat sepeser uang pun Gendis akan mengais sisa-sisa makanan di tempat sampah.Gendis mulai membaur dengan para pemulung dan juga gembel lainnya. Kalau bukan di emperan toko mereka akan tidur di antara sampah-sampah busuk yang menggunung."Mbak, cantik-cantik hidup lo kok nelangsa sih?" tanya Tiwi, teman baru Gendis yang sudah lama menjadi pemulung. Gendis mengenalnya ketika sedang mengais sampah mencari sisa-sisa makanan."Kamu sendiri bagaimana? Kenapa bisa kerja jadi pemulung?" tanya Gendis balik."Gue udah takdirnya kayak gini, Mbak. Gue nggak cantik. Udah default setting-nya jadi gembel. Sedangkan lo--" Tiwi menjeda kata sejenak sembari memindai Gendis dari
Orang gila mana yang mau bekerja tanpa digaji?Ada.Gendis orangnya.Bagi Gendis tidak masalah selama tiga bulan ini dirinya tidak menerima uang asal ada tempat berteduh dan menumpang makan. Daripada ia hidup menjadi gembel dan tidur di antara gunung sampah yang busuk.Sore ini petugas yayasan penyalur rumah tangga mengantar Gendis ke rumah majikannya. Nama majikannya tersebut adalah Bondan dan Dona. Mereka memiliki seorang anak laki-laki berumur lima tahun bernama Doni.Bondan terkesan ramah pada Gendis dan menyambutnya dengan hangat. Sedangkan Dona hanya tersenyum sekenanya seolah ia tidak mengharapkan kehadiran Gendis di rumah itu."Ini kamar kamu," kata Bondan setelah mengajak Gendis room tour di rumahnya yang besar. Sedari tadi pria itulah yang terus meladeninya. Padahal semestinya Dona sebagai nyonya rumahlah yang mengambil peran tersebut."Terima kasih, Pak," jawab Gendis singkat.Bondan tersenyum. "Kalau ada apa-apa atau jika kamu perlu sesuatu segera hubungi saya. Jangan sung