Dexter melempar pandangannya ke luar jendela. Dari ketinggian puluhan lantai di kantornya ia dapat melihat kepadatan lalu lintas di luar sana.Semua tampak seperti kotak-kotak kecil yang bergerak perlahan.Hari ini tepat sepuluh hari usia Bobby. Sudah satu minggu Dexter terus mencari Gendis. Tapi usahanya masih belum membuahkan hasil.Dengan diam-diam tanpa sepengetahuan Catherine Dexter bertanya pada para pembantu sepergaulan Gendis. Seperti ART di rumah Martha ataupun di rumah Rosa. Ia juga bertanya pada ART di sekitar rumahnya sendiri, tapi tidak ada informasi apa-apa. Mereka tidak tahu Gendis pergi ke mana. Bahkan orang-orang itu juga baru tahu kalau Gendis sudah tidak bekerja dengan Dexter lagi.Setiap hari di saat pulang dan pergi kerja Dexter melihat ke sekeliling jalan yang ia lalui. Berharap ada Gendis di antara orang-orang yang ia lihat. Tapi tidak. Gendis tidak pernah muncul di ruang matanya. Perempuan itu hanya ada di dalam angan dan mimpinya.'Aku harus ketemu Gendis, gi
Pagi-pagi sekali Dexter sudah berangkat dari rumah menuju bandara. Dexter membohongi Catherine. Ia sama sekali tidak memiliki business trip apa-apa apalagi ke Kuala Lumpur.Tujuan Dexter adalah mencari Gendis ke kampung halaman perempuan itu. Sudah sejak beberapa hari yang lalu Dexter memesan tiket pesawat yang tidak setiap hari ada ke sana. Dexter tidak tahu di mana alamat pasti tempat tinggal orang tua Gendis. Ia hanya pergi bermodalkan nekat dan kemauan yang keras. Tadi saat akan meninggalkan Bobby Dexter begitu sedih. Ingin rasanya ia membawa anak itu. Tapi ia juga tahu itu adalah hal yang tidak mungkin. Penerbangannya sangat jauh. Belum lagi perjalanan darat yang akan ia tempuh nantinya.Dexter hanya berbisik di telinga anaknya saat akan berpamitan tadi. Berharap ibu anak itu segera ditemukan dan Dexter bisa membawanya kembali ke rumah.Dexter tersentak ketika mendengar pengumuman dari petugas bandara bahwa pesawat akan berangkat. Jantungnya berdegup kencang. Ia akan melalui pen
Lelaki berusia tiga puluh jelang tiga puluh satu tahun itu menegakkan duduknya. Ia mencoba menetralisir perasaannya yang tidak karuan. Ia yakin seyakin-yakinnya bahwa Gendis yang dimaksud lawan bicaranya adalah Gendis yang dicarinya.Gendis yang menjadi istri keduanya.Gendis yang berhasil merebut hatinya sampai Dexter tidak mampu melupakannya."Bagaimana, Pak? Apa Gendis yang saya sebutkan yang Bapak cari?" Lelaki yang kemudian Dexter ketahui bernama Yanto mengonfirmasi pada Dexter."Benar sekali, Pak. Gendis yang itu," jawab Dexter senang. "Apa Bapak kenal dia? Apa dia ada di kampungnya?""Saya kenal orang tuanya, Pak. Saya tahu anaknya. Tapi setahu saya sudah lama dia tidak pulang. Kalau boleh tahu Bapak ada urusan apa dengan dia?" pandang Yanto penuh selidik.Dexter tidak seketika menjawab. Lelaki itu berpikir di dalam hatinya. Ia mempertimbangkan baik dan buruk serta segala konsekuensinya jika berkata dengan jujur.Dexter khawatir jika ternyata Gendis tidak ada di kampungnya akan
Dexter tertegun lama menyaksikan perempuan yang tengah menyapu itu. Rambutnya juga panjang sepunggung seperti Gendis. Dan saat ini sedang membelakanginya."Pak Dexter ...," tegur Yanto menghalau lamunan Dexter.Dexter terkesiap lalu mengerjap. "Iya, Pak?""Bagaimana? Apa kita langsung masuk sekarang?"Dexter mengangguk walaupun perasaannya tidak enak.Yanto memajukan langkahnya menuju rumah itu diikuti oleh Dexter."Gendis!" panggil Yanto yang membuat perempuan yang sedang menyapu menoleh seketika.Yanto terkejut. Apalagi Dexter. Ternyata dugaannya memang salah. Tadi ia berpikir perempuan itu bukan Gendis meskipun dari belakang penampakannya hampir tidak berbeda dengan Gendis. "Delia, kakakmu mana?" tanya Yanto begitu menyadari perempuan yang mereka sangka adalah Gendis."Kak Gendis kerja di kota, Pak. Ada apa ya?" Gadis itu menatap heran pada Yanto dan pria asing yang tidak dikenalnya."Bapak cuma nanya. Kapan kakakmu pulang?" "Tidak tahu, Pak. Kak Gendis susah dihubungi sekarang.
Selagi Dexter mencari Gendis ke kampung halamannya, Gendis ternyata masih berada di kota yang sama dengan Dexter. Sampai sejauh ini Gendis hidup dengan cara menjadi pengamen dan pemulung. Makanannya hanya mie instan dan air mineral. Kalau sedang beruntung Gendis bisa membeli nasi. Tapi kalau lagi apes seharian itu ia tidak mendapat sepeser uang pun Gendis akan mengais sisa-sisa makanan di tempat sampah.Gendis mulai membaur dengan para pemulung dan juga gembel lainnya. Kalau bukan di emperan toko mereka akan tidur di antara sampah-sampah busuk yang menggunung."Mbak, cantik-cantik hidup lo kok nelangsa sih?" tanya Tiwi, teman baru Gendis yang sudah lama menjadi pemulung. Gendis mengenalnya ketika sedang mengais sampah mencari sisa-sisa makanan."Kamu sendiri bagaimana? Kenapa bisa kerja jadi pemulung?" tanya Gendis balik."Gue udah takdirnya kayak gini, Mbak. Gue nggak cantik. Udah default setting-nya jadi gembel. Sedangkan lo--" Tiwi menjeda kata sejenak sembari memindai Gendis dari
Orang gila mana yang mau bekerja tanpa digaji?Ada.Gendis orangnya.Bagi Gendis tidak masalah selama tiga bulan ini dirinya tidak menerima uang asal ada tempat berteduh dan menumpang makan. Daripada ia hidup menjadi gembel dan tidur di antara gunung sampah yang busuk.Sore ini petugas yayasan penyalur rumah tangga mengantar Gendis ke rumah majikannya. Nama majikannya tersebut adalah Bondan dan Dona. Mereka memiliki seorang anak laki-laki berumur lima tahun bernama Doni.Bondan terkesan ramah pada Gendis dan menyambutnya dengan hangat. Sedangkan Dona hanya tersenyum sekenanya seolah ia tidak mengharapkan kehadiran Gendis di rumah itu."Ini kamar kamu," kata Bondan setelah mengajak Gendis room tour di rumahnya yang besar. Sedari tadi pria itulah yang terus meladeninya. Padahal semestinya Dona sebagai nyonya rumahlah yang mengambil peran tersebut."Terima kasih, Pak," jawab Gendis singkat.Bondan tersenyum. "Kalau ada apa-apa atau jika kamu perlu sesuatu segera hubungi saya. Jangan sung
Satu botol air mineral sudah terisi hampir penuh setelah Gendis berhasil memerah susunya. Rasanya perih tapi lega karena air susu itu tidak terbuang percuma. Lalu sekarang Gendis bingung harus meletakkan ASI perahnya di mana. ASI-nya itu pasti akan basi jika berada di suhu ruangan. Gendis harus meletakkannya di freezer. Tapi bagaimana caranya? Apa Dona tidak akan curiga?Apa yang harus Gendis jawab jika wanita itu bertanya padanya?Lama Gendis berpikir di kamarnya sampai perempuan itu menemukan solusi. Ia akan nekat menyimpan ASIP-nya di freezer.Gendis mengendap-endap keluar dari kamar. Saat itu menunjukkan pukul sebelas malam. Suasana sedang sunyi. Gendis rasa semua penghuni rumah sudah tidur kecuali dirinya.Membuka pintu lemari pendingin, Gendis melihat banyak makanan dan minuman di dalamnya. Gendis menyelipkan botol ASIP di antara botol-botol minuman yang terdapat di sana. Saat ia akan menutup pintu kulkas tiba-tiba ia mendengar suara batuk seseorang. Gendis terkejut setengah
"Kamu bikin susunya jangan terlalu panas. Dicicip dulu pake sendok. Tapi sendoknya yang lain. Jangan sendok yang kamu pake buat ngaduk susu anak saya.""Baik, Bu," jawab perempuan berambut sebahu mengenakan seragam biru baby sitter. Dia adalah Risa, pengasuh Bobby yang bekerja untuk Catherine.Catherine merengek-rengek pada Dexter agar dicarikan pengasuh dan pembantu baru. Dengan bantuan Martha mereka berhasil mendapatkannya."Satu lagi, kalau menggendong Bobby kamu harus hati-hati. Saya nggak mau ya anak saya jadi celaka. Kalau terjadi sesuatu yang buruk padanya kamu harus ganti dengan nyawamu!" ucap Catherine kejam yang membuat Risa bergidik ngeri."Baik, Bu, saya akan menjaga anak Ibu dengan sebaik mungkin. Saya akan memperlakukannya dengan hati-hati." Di dalam hatinya Risa merasa kesal. Pasalnya ia adalah baby sitter terlatih yang telah mengikuti pendidikan untuk menjadi pengasuh. Lagi pula ini bukanlah pengalaman pertamanya. Sebelumnya ia juga pernah menjadi baby sitter. Tapi k