Dimas duduk di kursi pesawat, tangannya erat menggenggam tangan Kiara yang masih terlihat bingung dan sedikit ketakutan. Pandangan Kiara terpaku pada jendela, melihat daratan yang perlahan menjauh di bawah awan-awan. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba meredakan kegelisahan yang tak kunjung reda sejak Dimas memutuskan untuk membawanya pergi ke Belanda.“Dimas…,” Kiara mulai, suaranya nyaris berbisik di tengah deru mesin pesawat yang perlahan mengudara. Ia menatap Dimas dengan pandangan tak yakin. “Apakah ini benar? Bagaimana kalau Dalvin mencariku? Bukankah kita malah memperburuk keadaan?”Dimas memandang Kiara, dengan raut wajah penuh kesungguhan. “Aku tahu, Kiara. Aku tahu ini tidak mudah. Tapi aku juga tahu, jika kita terus tinggal di sana, bahaya itu akan terus menghantui kita. Irene, ancaman-ancamannya… semua itu bukan sekadar gertakan. Kau tahu itu.” Suaranya tegas, meski lembut. Dimas ingin Kiara memahami, bahwa ini bukan sekadar keputusan spontan tanpa dasar.Kiara diam, p
Dalvin duduk di kursi kantornya dengan raut wajah tegang. Tangannya meremas sebuah surat yang baru saja diterimanya. Berita tentang hilangnya Kiara dan Dimas sudah menyebar di kalangan stafnya. Para pembantu dan petugas keamanan di rumah dinas pun bungkam, tidak ada yang bisa memberi tahu dengan pasti ke mana Kiara pergi. Dalvin merasakan kegelisahan yang semakin hari semakin menyusup ke dalam pikirannya.Di dalam kekalutan itu, Dalvin tidak bisa menahan diri untuk mengkonfrontasi Irene. Namun, bayangan ayah Irene terus menghantuinya. Sang mertua sudah mengancam akan menghancurkan karier dan reputasinya jika ia terus bersikeras mempertahankan Kiara sebagai istrinya. Meski begitu, Dalvin tetap merasa tidak bisa menerima bahwa Irene terlibat dalam kepergian Kiara.Saat Irene masuk ke dalam ruangan, ia terlihat tenang, bahkan tersenyum puas. Dalvin menatapnya dengan tatapan tajam, menyimpan berbagai pertanyaan yang sulit terungkapkan.“Kau terlihat gelisah, Dalvin,” kata Irene dengan na
Di ruang kantor imigrasi Amsterdam, suasana terasa tenang namun penuh ketegangan. Dimas duduk bersama Kiara, saling berpandangan dengan perasaan campur aduk. Petugas di depan mereka dengan tenang menyiapkan dokumen-dokumen yang harus mereka isi, sesekali menatap keduanya dengan sikap profesional.“Pak Dimas dan Ibu Kiara, kami membutuhkan dokumen resmi yang menyatakan hubungan kalian sebagai pasangan,” ucap petugas itu dengan nada tegas namun sopan.Dimas menarik napas panjang, lalu mengangguk pelan. “Baik, Pak. Kami sudah menyiapkan dokumennya.”Kiara menatap Dimas dengan ekspresi penuh kebingungan dan kekhawatiran. “Dimas… apa yang sedang kau lakukan?” bisiknya pelan, hampir tak terdengar oleh petugas di depan mereka.Dimas menoleh dan menggenggam tangan Kiara, menatapnya dengan sorot mata tenang dan penuh kepastian. “Kiara, ini untuk keamananmu. Tanpa status pernikahan yang sah, kita tidak akan bisa tinggal di sini dalam jangka waktu panjang. Kita akan terlalu mudah ditemukan.”Ki
Di malam yang tenang itu, Dimas menata buah-buahan segar di piring kecil dan menyajikannya di meja ruang tamu. Di depannya, Kiara duduk di sofa, matanya terpaku pada layar televisi yang menampilkan tayangan berita dari Indonesia. Berita itu tak asing, tetapi setiap kali muncul, perasaan di hati Kiara selalu bergejolak. Dimas duduk di sebelahnya, memberikan piring buah itu dengan senyum lembut yang seolah-olah berusaha menenangkan."Ayo, makan buahnya. Kau butuh energi lebih, terutama dalam situasimu sekarang," ucap Dimas, berusaha menghangatkan suasana yang hening dan penuh ketegangan.Kiara mengambil sepotong buah dan mengangguk pelan, walau pikirannya masih tertuju pada layar televisi. Namun, di tengah obrolan ringan dan tawa kecil yang sesekali muncul, tayangan berita kembali menarik perhatian mereka. Wajah Kiara berubah pucat ketika berita terbaru itu muncul."Berita yang baru kami terima," ujar pembawa berita, "Gubernur Dalvin telah mengonfirmasi bahwa istrinya, Kiara, mengalami
Dalvin duduk sendiri di ruang kerja, pandangannya kosong menatap ke luar jendela. Hatinya berat, seolah dipenuhi oleh bebatuan yang tak tertahankan. Informasi yang ia terima pagi itu, bahwa Dimas membawa Kiara ke Belanda, membuatnya terombang-ambing antara perasaan lega dan luka yang tak terukur. Ia tahu, di sisi lain, keputusan Dimas mungkin adalah yang terbaik. Tapi tetap saja, kehilangan sosok yang telah memberinya harapan akan pewaris menjadi sesuatu yang menyakitkan.Dalvin meraih ponselnya, menekan nomor orang kepercayaannya, seorang lelaki bernama Rafi, yang telah bekerja bersamanya selama bertahun-tahun dan tahu banyak tentang setiap lika-liku kehidupan Dalvin. Setelah nada panggil yang singkat, suara Rafi terdengar di ujung sana.“Pak Gubernur?” suara Rafi penuh hormat, meski terdengar sedikit cemas.“Rafi, aku butuh bantuanmu,” suara Dalvin terdengar lirih, menahan gejolak emosi yang meluap.“Apa yang bisa saya lakukan, Pak?”Dalvin terdiam sejenak, menarik napas panjang se
Pagi itu, Dimas duduk di meja kecil di ruang tamu apartemen mereka di Amsterdam, membuka laptop dengan mata yang masih sedikit berat karena kurang tidur. Kiara masih terlelap di kamar, tubuhnya tertutup selimut tebal, meringkuk dalam tiduran yang dalam. Dimas menatap layar laptopnya, dan beberapa pesan email masuk ke dalam inboxnya. Satu per satu ia membuka pesan-pesan itu, dan matanya terbelalak saat melihat transfer dana yang luar biasa besar masuk ke rekeningnya."Ini..." Dimas bergumam sendiri, terkejut. Ternyata Dalvin, meskipun jauh, masih memikirkan kehidupannya dan Kiara. Dengan wajah cemas, Dimas mulai membaca rincian transaksi yang datang bersama surel. Dimas diberi akses untuk bekerja dari jarak jauh, dengan gaji tetap yang masuk setiap bulan. Itu adalah sesuatu yang seharusnya bisa meringankan beban mereka, tetapi ada sesuatu dalam dirinya yang merasa tidak nyaman. Tidak nyaman karena ini semua datang dari Dalvin, dan itu berarti segala sesuatu yang dilakukan Dimas sekar
Malam itu, suasana di apartemen terasa lebih sunyi dari biasanya. Kiara terjaga dalam kegelapan, matanya basah oleh air mata yang tak bisa dibendung lagi. Emosinya naik turun seperti ombak, tak dapat dikendalikan. Ia terbaring di tempat tidur, merasakan ketidakpastian yang menggerogoti hatinya. Kehamilannya yang seharusnya menjadi momen bahagia kini terasa penuh dengan kecemasan. Bagaimana bisa, seorang wanita harus melewati semua ini tanpa kehadiran suaminya, Dalvin, yang seharusnya ada di sisinya? Mengapa Dalvin semudah itu membuangnya?Dimas terbangun mendengar suara isakan Kiara yang samar dari samping tempat tidurnya. Ia mendongak dan melihat Kiara duduk di tepi tempat tidur, kepalanya tertunduk, wajahnya tertutup tangan yang gemetar. Tanpa pikir panjang, Dimas bangkit dan berjalan mendekat."Kiara?" suara Dimas terdengar lembut, namun penuh perhatian.Kiara mendongak, dan dalam sekejap air mata kembali mengalir deras. "Dimas, aku merasa sangat takut. Aku merasa sangat sendiria
Pagi itu terasa berbeda. Kiara terbangun lebih awal dari biasanya, matanya masih terasa sedikit berat akibat tidur yang nyenyak. Namun, ada perasaan aneh yang membangkitkan semangatnya. Hari ini, ia ingin melakukan sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang tak hanya bisa membuatnya merasa sedikit lebih normal, tetapi juga membuatnya merasa lebih dekat dengan kehidupan barunya bersama Dimas.Sepertinya benar. Selama ini Kiara membutuhkan kehangatan dari suami. Setelah orgasme dua kali, Kiara merasa perasaan ingin menangisnya pun hilang.Kiara bangun dari tempat tidur, perlahan menyusun langkah menuju dapur. Udara pagi yang segar menerpa wajahnya, memberikan dorongan untuk memulai hari dengan penuh energi. Ia membuka lemari es dan mulai menyiapkan bahan-bahan untuk sarapan. Sejenak, Kiara terdiam, merasakan ketenangan yang sudah lama tidak ia rasakan. Ia mulai memasak dengan penuh semangat, memasukkan ayam untuk digoreng, menyiapkan sup hangat, dan memeras jeruk untuk jus segar. Tawa kecil te
Ruangan rumah sakit penuh dengan kesibukan. Dokter dan perawat berseliweran, membawa berbagai peralatan menuju ruang operasi. Di tengah suasana panik itu, Dimas berdiri di lorong dengan wajah tegang. Sementara itu, Dalvin berdiri tidak jauh darinya, rahangnya mengeras dan matanya tak pernah lepas dari Dimas.Dalvin bisa melihat cinta di mata Dimas. Tatapan mata yang belum pernah Dalvin lihat sepanjang hidupnya bersama Dimas. Karena itulah batin Dalvin berteriak, ia tidak mau melihat Dimas seperti itu.Dokter keluar dari ruang persalinan dengan langkah cepat, menghampiri mereka berdua. "Kami akan segera melakukan operasi caesar. Detak jantung bayi melemah, dan kami harus bertindak cepat," jelas dokter dengan nada serius."Dokter, tolong selamatkan mereka," ujar Dalvin tanpa ragu.Dimas mengangguk tegas. "Lakukan apa pun yang diperlukan. Jangan biarkan istriku atau bayinya terluka."Tatapan Dalvin berpindah ke Dimas, penuh kemarahan. Kata-kata dokter seolah tak terdengar, tenggelam ole
Di ruang kerjanya yang megah, Dalvin duduk termenung. Di hadapannya, segelas kopi yang sejak tadi tak tersentuh mulai mendingin. Sebuah laporan tebal tergeletak di atas meja, tak menarik perhatian Dalvin sama sekali. Pikirannya dipenuhi oleh satu nama—Kiara.Seorang pria berjas hitam berdiri di hadapannya, wajahnya tegas tapi penuh keraguan. Beliau adalah ajudan sekaligus Sekretaris yang kini menggantikan Dimas. Dalvin memutar bola mata, menatap pria itu saksama."Tuan Dalvin, laporan terakhir dari tim kami. Nona Kiara sudah dibawa ke rumah sakit di Amsterdam. Dari informasi yang kami dapat, kemungkinan besar beliau akan melahirkan dalam waktu dekat."Dalvin mengangkat wajahnya, tatapannya tajam. "Amsterdam? Jadi mereka benar-benar pergi sejauh itu..." gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri."Benar, Tuan. Tim kami memastikan Dimas masih mendampingi Nona Kiara. Mereka terlihat cukup hati-hati, tapi kami berhasil mengawasi pergerakan mereka," pria itu melanjutkan.Dalvin menghela napas
Kiara terkulai lemah di atas ranjang hotel, matanya setengah terpejam karena kelelahan. Sejak beberapa hari terakhir, ia merasa gelisah dengan kontraksi-kontraksi palsu yang datang silih berganti. Setiap kali rasa sakit itu datang, tubuhnya menggigil dan perutnya terasa kencang. Meski begitu, ia tahu itu bukan tanda bahwa persalinan akan segera terjadi, tapi tetap saja, rasa tidak nyaman itu cukup membuatnya kelelahan."Aduh... Dimas..." Kiara mengeluh, memegangi perutnya yang semakin membesar.Kiara merasa sesak, dan kali ini rasa sakit itu seakan lebih kuat dari sebelumnya.Dimas yang berada di sampingnya, segera duduk di tepi ranjang dan menggenggam tangan Kiara dengan lembut. Sejak hari-hari terakhir di Amsterdam, ia tak bisa lagi menahan kekhawatiran melihat Kiara yang semakin menderita. Apalagi kalimat Dalvin, semua itu akan menjadi sebuah ancaman bagi Dimas dan Kiara ke depannya."Ada apa, sayang? Apakah rasa sakit itu semakin menjadi?" Dimas bertanya khawatir, matanya memandan
Dalvin duduk di ruang kerjanya yang luas, dikelilingi oleh tumpukan berkas dan file penting yang menanti untuk ditandatangani. Namun, hari itu pikirannya teralihkan oleh laporan yang baru saja ia terima. Di meja kerjanya, ponsel bergetar, menandakan panggilan masuk. Dalvin mengangkat telepon dengan wajah serius."Tuan Dalvin, saya punya kabar penting," suara suruhan Dalvin terdengar dari ujung telepon. "Kami telah melacak keberadaan Kiara dan Dimas. Mereka berada di Amsterdam."Dalvin terdiam sejenak, terkejut mendengar berita itu. Jantungnya berdebar kencang, dan seketika rasa cemas menyelubunginya. Amsterdam? Kiara dan Dimas? Tak pernah terlintas di pikirannya bahwa mereka akan pergi sejauh itu."Amsterdam?" Dalvin bertanya, berusaha tetap tenang meski hatinya berkecamuk. "Apa mereka melakukan perjalanan bersama? Ah ya tentu saja, maksudku apa mereka tinggal bersama?""Ya, Tuan," jawab suruhannya dengan nada hati-hati. "Mereka pergi bersama, dan yang lebih mengejutkan, mereka sudah
Kiara duduk di sofa ruang keluarga dengan tangan memegangi perutnya yang semakin membesar. Wajahnya pucat, dan keringat dingin membasahi dahinya. Ia sering mengeluh mulas belakangan ini, dan rasa itu kian hari semakin intens. Dimas yang duduk di sampingnya tampak gelisah, mengawasi Kiara dengan tatapan cemas.“Kiara, kita harus pergi ke dokter sekarang,” desak Dimas, suaranya tegas namun penuh perhatian. "Ini dekat dengan HPL bukan?"“Tapi aku takut, Dimas,” jawab Kiara lirih. “Aku dengar prosedur pemeriksaan untuk pembukaan itu menyakitkan. Aku tidak tahu seperti apa, tapi katanya akan sakit.”Dimas menggenggam tangan Kiara dengan lembut. “Aku ada di sini. Apa pun yang terjadi, aku akan menemanimu. Ini demi kesehatanmu dan bayi yang kamu kandung. Jika nanti sakit, kamu boleh meremas tanganku dengan keras."Kiara menatap mata Dimas yang penuh keyakinan. Akhirnya, ia mengangguk meski hatinya masih dipenuhi kecemasan. Dengan sigap, Dimas membantu Kiara berdiri dan mengenakan mantel. Mer
Pagi itu, Dimas sedang sibuk di dapur. Ia mengaduk adonan pancake dengan cekatan sambil sesekali melirik ke arah Kiara yang duduk di sofa ruang tamu. Wanita itu tampak sibuk membaca buku tentang persiapan melahirkan, sesekali mengusap perutnya yang semakin besar. Dokter mengatakan bila menunggu dua minggu kedepan untuk melahirkan.“Kiara,” panggil Dimas dari dapur. “Kamu mau tambahan cokelat atau sirup maple di pancake-nya? Atau mau ditambahi ciuman dari aku?” imbuhnya.Kiara menoleh dan tersenyum kecil. Ia gemas pada Dimas yang sudah mulai gombal terhadapnya.“Sirup maple saja. Aku sedang mengurangi yang manis-manis. Kata Dokter berat badanku cepat naik, aku harus menjaganya supaya tidak sulit melahirkan."Dimas mengangguk, menuangkan adonan ke penggorengan. Suara desis adonan bertemu dengan wajan panas memenuhi ruangan, menciptakan aroma manis yang membuat suasana pagi terasa hangat.Namun, di tengah kehangatan itu, ponsel Dimas yang tergeletak di meja makan bergetar. Nama yang tert
Kiara terbangun di pagi itu dengan rasa sakit yang semakin mengganggu di dadanya. Beberapa kali ia terbangun dan meraba dadanya yang terasa sangat penuh dan membengkak. Setiap gerakan terasa begitu nyeri, dan meskipun ia mencoba untuk tidur, rasa sakit itu tak kunjung mereda."Ahh..." Kiara mengeluh pelan, meremas bantal yang ada di sampingnya. Ia tak bisa menahan rasa tidak nyaman itu lebih lama. Tak ada yang bisa membantunya kecuali Dimas, yang tidur dengan tenang di sebelahnya.Dimas yang terbangun mendengar suara desahan Kiara segera menoleh. "Kiara? Kamu kenapa?" tanyanya, suaranya penuh kekhawatiran. Matanya masih setengah terpejam, namun ia bisa melihat ekspresi kesakitan di wajah Kiara.Kiara menatap Dimas dengan tatapan penuh harap. "Dimas, dadaku... Sakit sekali," kata Kiara dengan nada lemah. "Aku merasa seperti hampir meledak, ini lebih sakit dari kemarin saat kamu memompanya. Keringatku juga dingin."Dimas menggaruk tengkuknya, sedikit bingung. Ia tidak tahu bagaimana har
Cecilia melangkah keluar dari bandara dengan perasaan campur aduk. Di tangannya, ia menggenggam tiket pesawat yang baru saja ia gunakan untuk kembali ke Indonesia. Hatinya penuh dengan kecemasan dan tekad. Ia tahu, apa yang akan ia lakukan hari ini akan mengubah banyak hal, terutama bagi keluarga Kiara.Keluarga Kiara harus tahu bila putrinya hidup. Hanya itu yang ada di benak Cecilia.Perjalanan ke rumah keluarga Kiara terasa lebih panjang dari biasanya. Ia memandangi jalanan yang penuh kenangan, mengingat bagaimana dulu ia dan Kiara sering melewati jalan ini bersama. Kini, Kiara berada ribuan kilometer jauhnya, berjuang untuk hidup dan bayinya, sementara orangtuanya di sini tidak tahu apa-apa.Ketika mobil berhenti di depan rumah besar dengan taman rapi, Cecilia menarik napas dalam-dalam. Ia turun dari mobil dan melangkah ke pintu depan. Tangannya gemetar saat mengetuk pintu, seolah ia membawa beban yang terlalu berat untuk disampaikan. Semua salahnya, ia yang telah membawa Kiara da
Di sebuah ruangan besar dengan pencahayaan redup, Irene duduk di kursi roda mewahnya. Wajahnya dingin, tanpa ekspresi, namun matanya menyiratkan kebencian yang dalam. Wanita itu belum puas dengan apa yang terjadi di hidupnya. Ia ingin siapapun yang ia benci, hancur lebur tak bersisa.Di hadapannya berdiri lima orang pria berpenampilan garang, berpakaian serba hitam, dengan wajah tanpa belas kasihan.Irene memutar cangkir teh di tangannya, aroma melati memenuhi udara. Ia menatap mereka satu per satu sebelum akhirnya berbicara dengan suara rendah namun penuh wibawa.“Kalian tahu kenapa kalian ada di sini?” tanya Irene, suaranya nyaris seperti bisikan namun cukup untuk membuat semua pria itu tegang.Salah satu dari mereka, seorang pria bertubuh besar dengan bekas luka di wajahnya, maju selangkah. “Kami akan mendengar perintah Anda, Nyonya. Kami siap menjalankan apa pun yang Anda inginkan.” ujar pria itu dengan tatapan tajam.Irene tersenyum tipis, namun senyumnya dingin seperti es. Wani