Giselle memukul Kevin untuk melepaskannya. Namun usahanya sia-sia, tenaganya kalah jauh dari pria itu. Giselle menangis—akhirnya menangis di pelukan Kevin. Giselle mengusap air matanya di kemeja putih yang digunakan Kevin. “Kenapa kamu selalu membelanya?” Giselle sesak dengan tangisnya sendiri. “Aku tidak suka. Aku benar-benar—” Giselle menghirup udara dengan susah payah. “Aku benar-benar tidak suka dengannya.” Kevin mengusap punggung Giselle tanpa menjawab ucapan wanita itu. “Aku bukan siapa-siapa. Aku hanya seorang janda yang tidak punya pekerjaan. Aku memang tidak pantas untukmu Kevin.” Kevin menggeleng. “Tidak. Jangan berpikir seperti itu. Kamu yang terbaik. Jangan berpikir seperti itu lagi.” Kevin menangkup wajah Giselle. Mengusap derai air mata Giselle yang berjatuhan karena menangis. “Giselle, dengarkan aku.” Kevin mengambil tangan Giselle. “Aku mencintaimu, aku tidak akan menyukai apalagi mencintai wanita lain. Ariel hanyalah temanku. Dia bersikap seperti itu karena dia t
Ariel memandang langit. “Aku temannya. kita berteman sejak kecil. Tapi perasaan lain tumbuh ketika kita beranjak semakin dewasa. Kevin dan aku adalah sepasang remaja yang saling menyukai namun terjebak dalam kata sahabat.” “Aku dan dia saling mendukun satu sama lain. Aku selalu mendukungnya—bahkan aku selalu menemaninya latihan untuk masuk ke akademi kepolisian. Aku selalu datang saat dia masih pendidikan. Aku satu-satunya orang yang datang saat masa kunjungan. Aku yang mendukungnya, membawa bunga sebagai ucapan selamat. Di saat siswa lain didatangi oleh orang tua. Kevin tidak, tidak ada orang tuanya yang datang. Ayahnya hanya datang sekali saat dia diresmikan menjadi polisi.” “Saat dia menjadi polisi, aku bersiap akan keluar negeri untuk meneruskan pendidikanku menjadi dokter. Sebelum itu—” Ariel menjeda ucapannya. “Kevin menyatakan perasaannya. Dia bilang, dia mencintaiku.” Giselle terdiam. Jadi, pertemanan antara wanita dan laki-laki itu kebanyakan memang tidak berhasil. “Aku
21++Kevin mendorong tubuh Giselle sampai membentur sebuah meja. dalam sekali tarikan, semua kain yang membalut tubuh Giselle telah sirna. Giselle pasrah—kemarahan Kevin yang harus ia terima. Namun semuanya terasa menyakitkan. “Kevin pelan-pelan..” Giselle memejamkan mata saat jemari pria itu masuk ke dalam miliknya. jika saja Kevin tidak menahan tubuh Giselle, sudah pasti Giselle sudah terjatuh. Kakinya begitu lemas. Apalagi jemari Kevin yang bergerak dengan kasar di bawah sana. “Kevin aku ahh!” Giselle hampir sampai. Namun Kevin mencabut jemarinya dari milik Gielle. Giselle menggeleng—namun tubuhnya sudah diputar hingga ia hanya berpegang pada sebuah meja. jemari Kevin mencengkram buah dadanya dari belakang. Memainkannya sesuka hati dengan bibir pria itu menyusuri punggungnya. “Akh!” jerit tertahan Giselle. “Its hurt.” Giselle yang harus menahan sakit saat puncak dadanya dimainkan sesuka hati oleh kekasihnya. “Terima hukumanmu.” Kevin menarik dagu Giselle ke belakang. Kemudian
Pagi hari—Giselle tidak mendapati seseroang di sampingnya. Sekuat tenaga ia bangkit dan pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. setelah itu keluar—tidak ada satupun orang di dalam Villa. Akhirnya ia berjalan di belakang Villa. Tepatnya di sebuah pantai—di sanalah ia menihat Kevin sedang bercanda ria dengan Ariel. Giselle mengerucutkan bibirnya—semudah itu ia dilupakan. Jika benar hubungan mereka gampang berakhir karena berawal dari sebuah hubungan ranjang, maka Giselle tidak lebih hanya sebuah jalang bagi Kevin. Giselle diam. memilih untuk tidak menyusul mereka dan berdiri di tempatnya. “Kau terlihat tidak begitu senang pagi ini.” Ariel mendongak—ia merapikan rambutnya sendiri. “Kau bertengkar dengan Giselle?” “Hm.” Kevin mengangguk. “Dia membuatku kesal berkali-kali. Aku masih mencoba sabar, tapi dia malah melakukan kesalahan yang begitu fatal.” “Kevin kau masih ingat 5 tahun lalu sebelum aku berangkat ke luar negeri?” tanya Ariel. “Ketika dulu kau menyatakan perasaanmu.”
“Mau ke mana kamu?” tanya Kevin ketika kembali ke Villa dan mendapati Giselle sudah siap dengan koper. “Mau pulang.” Giselle melengos—tidak sedikitpun melirik Ariel yang yang berada di samping Kevin. Ia menyeret kopernya sampai Kevin menahannya. “Jangan seperti ini Giselle!” bentak Kevin. “Kenapa kau selalu kekanak-kanakan?” Giselle sudah sekuat tenaga menahan air matanya agar tidak jatuh—namun mendengar bentakan Kevin membuat tangisnya akhirnya pecah juga. Giselle mengepalkan tangan—tenggorokannya terasa kering dan ia tidak bisa membalas perkataan Kevin. Yang dilakukannya hanyalah menyeret kopernya. Namun Kevin tetap menghalanginya. “Kau tidak bisa pergi,” ucap Kevin merebut koper Giselle. “Biarkan aku pergi sialan,” desis Giselle. “Aku akan membiarkan kalian di sini dan bermesraan sesuka hati kalian. Biarkan aku pergi.” Giselle merebut kopernya kembali. “Giselle aku sudah menjelaskannya padamu tadi malam. Apa kau belum mengerti juga?” “TIDAK. AKU MEMANG TIDAK BISA MENGERTI. M
Giselle menoleh lalu menggeleng. “Jordan itu gila dan rumit. Kau tidak akan paham dengan jalan pikirannya. Tapi untungnya aku bisa lepas darinya.” Aland mengangguk. “Memang apa yang dilihat dan apa yang terjadi tidak selalu benar.” Aland menghela nafas. “Apa yang terjadi denganmu? Kenapa kau menangis?”“Aku ingin pergi,” lirih Giselle. “Ke mana?” “Ke manapun, di tempat di mana tidak ada yang menemukanku.” Giselle menatap jendela samping. Ada pemandangan langit yang indah. “Apa kau punya rekomendasi tempat seperti itu?” Aland berpikir sebentar. “Sepertinya aku punya.” “Di mana?” Giselle menoleh. “Aku akan ke sana.” “Kau tidak bisa ke sana tanpa bantuanku. Jika kau butuh bantuanku, kau bisa datang padaku.” Aland memberikan nomor ponselnya pada Giselle. “Jangan ragu hubungi aku. Dulu aku ingin berteman denganmu tapi kehalang oleh suamimu.” ~~Giselle kembali ke rumah. Bukan rumahnya tapi Rumah Kevin. Giselle menghela nafas dalam sebelum masuk ke dalam kamar. Ia duduk di tepi ranja
“Bagaimana kabarmu? Aku dengar kau baru saja naik pangkat. Kau menyelesaikan misi yang begitu besar.” Gerald mengusap pelan bahu Kevin. “Aku bangga denganmu.” Satu-satunya keluarga dari pihak ayahnya yang menerima Kevin adalah Gerald. Gerald lebih tua 3 tahun. Berprofesi sebagai pengacara yang tinggal di luar negeri. Mereka jarang sekali bertemu. Dan ini adalah pertemuan mereka semenjak bertahun-tahun tidak pernah bertemu. “Biasa,” balas Kevin dengan sombong. “Kurang ajar.” Gerald merangkul bahu Kevin. “Kau menjadi sombong sekarang.” pandangan Gerald berhenti pada seorang wanita yang menggunakan dress berwarna hitam. “Kau berkencan dengannya?” “Tidak.” Kevin menggeleng. Melepaskan rangkulan Gerald. Ia kembali meneguk minumannya. Alkohol itu membuat ketagihan, sekali meminum maka ingin terus meminum. “Aku punya kekasih,” balas Kevin lagi. “Lalu di mana kekasihmu? Aku tidak percaya. Bukannya datang dengan kekasihmu, kau malah datang dengan sahabat yang dulu kau cintai.” Gerald men
Ting!Giselle terbangun dari tidurnya. Entah sudah berapa lama ia tertidur. Ia mengambil ponselnya yang berbunyi. Sebuah nomor yang tidak dikenal mengirimnya sebuah pesan. Giselle membukannya meskipun ragu. 4 PictureGiselle mengepalkan kedua tangannya. foto itu menampilkkan Ariel dan Kevin yang sedang bermesraan. Bahkan Kevin memangku Ariel, memeluk pinggang wanita itu dengan bibir mereka yang saling bertaut. “Sialan!” teriak Giselle. “Kau akan menyesal melakukan ini padaku Kevin!” Giselle mengusap air matanya. Kedua tangannya mengepal kuat. Ia beranjak dari kasurnya. PRAANG! Giselle menghancurkan beberapa perabotan di dalam kamar mereka. guci dan beberapa pajangan hancur di bawah. Giselle menatap tangannya yang sedikit terluka dan mengeluarkan darah. Tidak ada niatan untuk mengobati lukanya tersebut. Giselle terduduk lemas dengan air mata yang mengucur deras. Menepuk dadanya berkali-kali. Semuanya terasa menyakitkan dan begitu sesak. “Mama..” lirih Giselle. “Mama Giselle sakit…
Sial sekali, pagi ini Ana harus terlambat karena ayahnya, Royce kesiangan bangun setelah menonton bola dini hari. Royce dan Helena sama saja, suka menonton sampai larut. Sampai-sampai paginya terlambat bangun. “Maaf ya. Dad kesiangan bangun.” Royce memberhentikan mobilnya di depan sekolah. “Pasti kamu dihukum. Tapi gak papa.” Royce mengecup puncak kepala anaknya. “Semangat ya dihukumnya.” “DAD!” teriak Ana yang sungguh kesal. Ia turun tanpa menyalami tangan orang tuanya itu. kemudian berjalan dengan gontai masuk ke sekolah. Maka benar saja. Ia harus dihukum karena terlambat. Untuk siang hari setelah istirahat, ia harus membersihkan lapangan basket yang luasnya melebihi stadion. Ana berjalan ke arah gudang, di sanalah ia mengambil peralatan kebersihan. Namun sayup-sayup saat ia masuk ke dalam gudang. Telinganya harus ternodai oleh suara menjijikkan. Ana membeku di tempatnya berdiri. ~~ “Untuk yang terakhir kali kelas 12 diijinkan untuk mengikuti perlombaan. Karena setelah in
Extra capter Alvaro dewasa International Alexandra school adalah sekolah internasional yang terisi dengan anak-anak orang kaya. Orang tua murid yang berasal dari kaum berjois. Hingga terjadilah sistem kasta yang tidak terlihat namun bisa dirasakan. “Ana, kak Alvaro itu sangat tampan ya.” Raya menyenggol lengan Ana. Melihat seorang laki-laki yang menggunakan seragam basket itu memasuki koridor sekolah. Laki-laki yang menjadi incaran para perempuan. Alvaro Pradana, putra satu-satunya dan digadang-gadang menjadi penerus dari Devian group. Alvaro Pradana, pemuda yang saat ini menginjak kelas 12. Dengan pesonanya yang mampu meluluhkan seluruh hati perempuan yang ada di sekolah. Mendapat julukan si pemain. Pemain hati perempuan. Namun, ada satu perempuan yang ia hindari. Perempuan yang sedari dulu ia anggap sebagai adiknya. Alvaro bersikap baik dengan Ana. Ana tersenyum. Ia pun menyetujui jika Alvaro memang begitu tampan. “Iya aku setuju—" “Hai adik, minta permennya.” Alvaro
“Ana sangat lucu, Mom.” Alvaro memandang seorang balita yang sedang merangkak. Balita perempuan yang menggemaskan. “Nanti kamu pacaran sama Ana saja ya.” Helena mengusap puncak kepala Alvaro. “Heh!” Irene menyenggol bahu Helena. “Mana ada, masih anak kecil tidak usah berpikir pacar-pacaran.” Alvaro memandang kedua orang yang sedang bertengkar itu sebentar. kemudian mendekati Ana yang sedang bermain dengan sebuah boneka. Alvaro menunduk—mengusap pipi Ana pelan. “Kamu suka bermain boneka?” Alvaro tersenyum. “Lihat-lihat saja.” Helena memandang dua anak yang sedang bermain. Tepatnya, Alvaro yang menjaga Ana. “Alvaro memang menantu idaman.” “Aduh..” Irene menggeleng. “Masih kecil disebut menantu. Helena memang gila.” Irene berdecak pelan. Setelah bermain seharian di rumah Helena, akhirnya Irene pulang juga. Alvaro berada di samping Irene. Sepertinya bocah itu sudah mengantuk tapi ternyata masih berusaha membuka mata. “Tidur saja, Al. Mom akan membangunkan kamu nanti.” Al
Ia membawa barang-barang itu namun dari belakang ada beruang yang terus menempel di tubuhh kecilnya. Bahkan sampai masuk ke dalam kamar, Devain tidak melepaskan pelukannya pada istrinya. “Bagaimana dengan hot wife?” tanya Devian membalikkan tubuh Irene. “Aku tidak suka tubuh kamu dilihat orang lain.” “Tidak ada yang melihat.” Irene mendongak. “Lagipula malam-malam tidak akan ada yang melihat.” Devian berdecak. “Dress seperti ini hanya boleh digunakan di hadapanku. Tidak boleh digunakan di luar.” Mengangkat dagu Irene. Menatap kedua bola mata istrinya itu dengan bola matanya yang tajam. “Baiklah.” Irene mengangguk. “Besok aku akan ke rumah Helena, kamu..” Devian mengusap pinggang Irene. “Saat libur aku ikut. Lusa kan libur. Aku janji tidak akan mengurusi pekerjaan lagi.” “Tapi jika kamu masih mengurusi pekerjaan. Apa yang harus aku lakukan?” “Goda aku. Goda aku dengan tubuhmu yang seksi ini sayangku..” tangan Devian yang nakal sudah bergilya di belakang Dress Irene. “Be
“Bisa.” Devian mengambil satu balon dan melepasnya ke udara. “Waah..” kagum Alvaro melihat balon yang berwarna kuning menyala itu di udara. “Tapi—” Devian menunjuk beberapa anak-anak yang bermain di sekitar mereka. “Apa kamu tidak ingin memberikan balon-balon ini pada mereka? Mungkin saja mereka juga ingin.” Alvaro menatap gerombolan anak-anak yang sedang bermain tidak jauh dari tempatnya berdiri. Alvari memandang anak-anak itu lebih lama, karena menurutnya sedikit berbeda dengannya. “Kenapa?” tanya Devian. “Kamu tidak ingin memberikan balon ini pada mereka?” Alvaro menggeleng pelan. “Tapi, kenapa beberapa dari mereka membawa makanan? Mereka berjualan? Ada yang membawa karung besar juga.” Devian mengangguk. “Mereka sedang bekerja. Sebagian dari mereka membantu orang tua mereka mencari uang dengan berjualan. Kamu ingin membantu mereka?” “Bagaimana caranya Dad?” Devian mengeluarkan dompetnya. “Sebentar.” Mengambil uangnya yang berwarna merah sebanyak 20 puluhan. “Setiap
Beberapa bulan kemudian. “Akhh!!” Teriakan Irene yang terakhir kali. Disusul dengan tangisan seorang bayi. “Selamat bayinya berjenis kelamin laki-laki.” Dokter itu menggendong seorang bayi kecil yang baru saja keluar dari perut Irene. Devian menitikkan air mata. “Hai boy.” Menggendong bayinya dengan hati-hati. “Nama kamu Alvaro Pradana.” Devian tersenyum saling memandang dengan Irene. Tangan yang satunya lagi digunakan untuk mengusap puncak kepala istrinya. “Terima kasih sudah berjuang.” Alvaro Pradana, putra sulung dari pasangan Devian dan Irene. Seorang pengusaha yang sukses. Perusahaan yang memiliki beberapa cabang di luar negeri. Devian mengembangkan bisnisnya sampai ke luar negeri. 5 tahun berlalu, Alvaro tumbuh menjadi anak yang begitu cerdas. Setiap harinya selalu haus bertanya. Diusianya yang menginjak 4 tahun, bocah itu sudah memasuki sekolah. Berbaur dengan anak-anak lain tanpa kesulitan. Hal tersebut membuat Irene tidak berhentinya bangga. “MOM!” teriak Alvaro
“Seorang wanita mencoba melakukan pembunuhan di rumah sakit. Hal itu didasari oleh cinta. Cinta pada seorang pria yang sudah beristri. Cintanya ditolak dan berusaha membunuh istri si pria.” Di layar televisi itu. ditayangkan sebuah kos-kosan kecil. “Wanita itu mengalami stress berat bertahun-tahun. Bisa dilihat dari rumahnya yang begitu kotor dan berserakan sampah. Saat ini polisi masih menyelidiki lebih lanjut kasus ini. namun, sudah dipastikan wanita itu mendapat hukuman penjara.” Klik! Layar dimatikan. Devian masih setia berada di samping istrinya. “Aku gagal lagi. Aku terlambat. Jika aku datang lebih cepat, dia tidak akan menyakiti kamu.” Devian menatap leher Irene yang sudah di olesi salep. Beberapa kali Devian mencium punggung tangan Irene. “Bagaimana Irene?” tanya Helena yang baru saja datang. “Maaf, maaf aku tidak bisa datang lebih cepat.” Devian menghela nafas. “Jalang itu memiliki cara untuk menyakiti Irene.” Helena mengusap punggung tangan Irene. Kedua matanya
“Bye Mom Dad!” Irene menyalami Giselle. Membiarkan mertuanya itu pergi. Setelah kepergian mertuanya, Irene menjadi sendirian dan merasa kesepian. Ia mengambil bungkusan yang berada di atas nakas. katanya sebuah kue buatan Giselle. tapi Irene tidak langsung memakannya. Ia masih takut dan trauma dengan apa yang terjadi. Ia menghela nafas dan berjalan ke arah jendela. menatap pemandangan sebuah taman kecil yang terisi oleh anak kecil. Irene tersenyum. tangannya mengusap perutnya sendiri. “Nanti bermain di taman juga, bersama Mom dan Dad. Sehat-sehat di perut Mom ya.” Irene senang berbicara dengan anaknya. “Permisi, ibu Irene..” panggil seorang suster. Irene menoleh ke belakang. Ia langsung memutar badannya dan mendekat ke arah ranjang. namun ia sudah disuntik beberapa menit yang lalu. Ia mendongak. “Siapa kau?!” Suster itu tersenyum dan membuka maskernya. “Aku akan membunuhmu.” Tangannya mencengkram tangan Irene. Suntik yang hendak disuntikkan itu entah berisi apa. Irene me
“Sayang aku bekerja dulu. Oh ya Mom dan Dad akan ke sini. Aku juga sudah meminta Helena untuk ke sini menemani kamu saat Mom dan Dad pulang.” Devian mengecup dahi Irene pelan. “Oh ya untuk malam hari nanti, aku akan menyuruh beberapa bodyguard berjaga di luar ruangan.” “Tapi—” ucapan Irene terpotong karena Devian yang mengecup bibirnya. “Sudah tidak ada tapi-tapi. Ini demi keselamatan kamu, keselamatan bayi kita.” Devian menunduk. mengecup perut Irene. “Daddy berangkat dulu. Jaga Mommy ya.” Irene memandang kepergian Devian. Ia mengambil ponsel. Menghubungi temannya yang katanya akan menjenguknya [Sebentar ya Irene, aku akan ke sana siang saja. Aku masih bersama Royce. Nanti aku akan ke sana.] Irene melotot. [Pagi-pagi masih bersama Royce. Kalian sedang membuat bayi kan?] [Hehehe Iya!] Helena di kamarnya membalas pesan dari Irene. Ia tertawa pelan dengan pertanyaan Irene. Tapi tebakan temannya itu memang benar. Ia smpai tertawa sendiri. “Siap babe.” Royce memeluk Helena dar