21++“Kevin..” kepalanya bergerak ke kanan dan ke kiri. Miliknya terasa berdenyut—sampai akhirnya ujung kenikmatan itu datang. Tubuhnya melengkung dengan kedua tangannya yang menggenggam sprai dengan kuat. Belum sempat bernafas dengan tenang—sesuatu yang besar dan panjang melesak masuk ke dalam intinya. Kevin menerobosnya—menyentakkan sampai membuat kepala Giselle terbentur di sandaran kasur yang sialan kecil sekali. “Kevin—“ Giselle membuka mata. kevin berada di atasnya dengan milik mereka yang saling menyatu. Kedua tangan Kevin tidak membiarkan buah dada Giselle menganggur begitu saja. kedua tangannya menangkup dan mengusap puncak dada Giselel dengan gerakan abstrak. “Babe..” erang Kevin. “Berputar.” kevi membalikkan tubuh Giselle. Menarik sedikit pinggang Giselle ke atas. kemudian melakukan penyatuan kembali. Kevin bergerak maju mundur sesuai keinginannya. Sedangkan Giselle yang hanya pasrah, ia bertumpu pada lutut dan lengannya. Membiarkan Kevin memasukinya dari belakang. Ia m
Jujur Kevin kesal karena Giselle menggunakan pengaman. Ia kira wanita itu tidak menggunakan apapun. Kevin memasukkan miliknya lagi ke dalam milik Giselle. kali ini lebih kasar. Ia bergerak dengan kasar dan membuat Giselle mendesah dengan keras. “Ahh.. kau nikmat sayang!” Kevin memutarbalikkan tubuh Giselle hingga menungging. Kemudian memasukkan miliknya. Menusuk Giselle dari belakang. Sesekali menampar pantat Giselle hingga berwarna merah. “Kevin ahh..ahh!” Giselle menunduk—tubuhnya terasa lemas. Namun ia dipaksa untuk tetap bangun. “Ahh! Jangan kasar-kasar sayang ahh!” Giselle hanya bertumpu pada lutut dan kedua tangannya. tubuhnya bergerak maju mundur sesuai dengan gerakan yang Kevin ciptakan. “SAYANG AKUUHH!” Giselle mendongak akibat tarikan pada rambutnya. kevin menarik rambutnya dari belakang hingga memaksanya mendongak. tubuhnya terasa menikmati semua permainan kasar yang dibuat oleh Kevin. “Sayang aku ahh! Ahh!” Giselle bergerak gelisah seiring dengan miliknya yang berdenyu
Giselle termenung. Mendadak pikirannya kosong. demi kebebasannya dari Jordan, ia menghancurkan banyak orang. Tapi bagaimanapun mereka sendiri juga salah. lebih parahnya lagi, bukannya Giselle merasa lega tapi merasa bersalah. Apalagi orang-orang yang terkena dampaknya adalah orang-orang sekitarnya. “Giselle,” panggil Kevin. “Aku—” “Aku tidak tahu,” Giselle menggeleng. “Aku tidak tahu harus bagaimana. aku merasa bersalah pada orang-orang.” Giselle bangkit dari pangkuan Kevin. Ia memilih berbaring di tepi ranjang. Giselle menutup mata. membiaran air matanya mengalir keluar begitu saja. Giselle merasakan kasurnya bergerak. Tak lama ia merasakan pelukan hangat dari belakang. “Aku membenci ayahku. Tapi aku tidak tahu apakah aku tega melihatnya kesusahan. Bagaimanapun dia pernah menjadi cinta pertamaku, meskipun pada akhirnya aku dibuang. Dan dia lebih memilih anak orang lain.” Kevin menepuk pelan bahu Giselle. Ia sedikit bangkit dan melih wajah Giselle yang basah karena air mata. Gise
Pandu menggeleng. “Mereka membawa uang Papa, sekarang polisi sedang mengejar mereka.” Pandu mengusap puncak kepala anaknya. “Sudah Giselle, jangan pikirkan apapun. Kamu berhak bahagia. Maafkan Papa.” Giselle mengangguk. “Papa, ada satu laki-laki yang Giselle cintai. Laki-laki itu yang membuat Giselle bebas. Laki-laki itu yang mengungkap kejahatan Jordan.” Giselle menunjuk Kevin yang berada di luar ruangan. Kevin nampak berbincang dengan penjaga tahanan. “Giselle ingin memperkenalkannya pada Papa.”Setelah mendapat panggilan dari Giselle. akhirnya Kevin masuk ke dalam ruangan. ia menyalami tangan ayah Giselle. “Saya Kevin Pradana, Om. Saya kekasih Giselle sekaligus orang yang membongkar kejahatan Jordan,” ucap Kevin begitu tegas dan lugas. Tanpa ragu sedikitpun. Pandu mengangguk. “Jaga Giselle. dia tidak mempunyai siapapun. Om tidak punya kekuasaan untuk melindungi Giselle. jaga putri Om, Nak.” Pandu mendekat dan memeluk Kevin. Kevin mengangguk. “Saya akan menjaga Giselle. Saya be
“Iyaaa…” balas Giselle. “Kamu setuju?” Giselle mengangguk. “Kamu lebih dewasa. Pemikiran kamu lebih dewasa dariku.” “Hm. Termasuk dalam urusan di atas ranjang.” Kevin tertawa pelan. Sedangkan Giselle malah bergidik ngeri. Ngeri karena perkataan Kevin memang benar. Pria itu benar-benar ganas saat berada di atas ranjang. tidak memberi ampun pada Giselle. Selalu membuat Giselle pasrah dan berakhir terkulai lemah di atas kasur. “Kamu akan menikahiku?” tanya Giselle. “Maksudku, aku tidak tahu kita akan menikah secepat ini. aku sedikit terkejut kamu langsung meminta ijin Papa.” “Ya. Aku ingin menikahi kamu. Secepatnya. Setelah kamu resmi bercerai kita akan langsung menikah.” Giselle terdiam sebentar. “Sayang, sebenarnya aku—” Giselle berhenti. Ia bingung menjelaskannya. Kevin menoleh sebentar sebelum menepikan mobilnya di pinggir jalan. “Bilang ada apa. Bilang apa yang ada dipikiran kamu. Kamu ragu?” Giselle mengangguk. “Iya aku ragu. Aku baru saja bercerai dari pernikahanku. Bagai
Tidak terasa perceraian Giselle dengan Jordan sudah selesai. Giselle merasa dirinya benar-benar bebas. Tidak ada ketakutan yang ia rasakan. Tidak ada tekanan yang setiap hari yang harus ia pendam sendirian. Giselle memejamkan mata. kedua tangannya berpegang pada pembatas balkon. Menyenangkan menjadi manusia biasa. Ia tersenyum ketika mendapatkan pelukan hangat dari belakang. Giselle membuka mata. “Sudah pulang?” tanya Giselle pada Kevin. Kevin mengangguk. menaruh wajahnya di ceruk leher Giselle. menghirup aroma kesukaannya dari sana. Kevin mengeratkan pelukannya di perut Giselle. “Aku sudah mengambil cuti.” Kevin terdiam sebentar. “Orang tuaku ingin bertemu denganmu.” Giselle membuka matanya lebar. Ia mematung sejenak—bertemu dengan orang tua Kevin? Ia berpikir itu terlalu terburu-buru. Giselle memutar tubuhnya. “Bukankah ini terlalu cepat?” tanya Giselle mendongak. Jujur ia takut sekali orang tua Kevin tidak menerimanya. Giselle mendongak—menatap dua bola mata Kevin yang semaki
“Dad.” Kevin menatap ayahnya. “Hentikan. Tanpa restu kalian pun, Kevin akan tetap bersama Giselle.” “Lagipula siapa yang tidka memberikan kalian restu? Dad hanya minta kalian jangan terburu-buru. Hubungan kalian masih terlalu awal, nikmati saja dulu kebersamaan kalian.” Gamantra memberikan sinyal pada pegawai untuk menyajikan makanan. “Dad!” Kevin hendak berbicara lagi, namun Giselle menghentikannya. Giselle mengusap punggung tangan kekasihnya itu pelan. ia tersenyum dan mengangguk pelan. Memberikan pengertian bahwa dirinya baik-baik saja dengan semua ini. “Makan dulu.” Gamantra acuh. Tidak ingin memperpanjang perdebatan ini karena menurutnya ucapannya sudah begitu jelas. Dan ucapannya mutlak untuk dipatuhi oleh mereka yang berada di bawah kuasanya.Akhirnya makan berjalan dengan tenang. Meskipun tidak ada percakapan di antara mereka. Hanya sesekali ayah Kevin bertanya mengenai pekerjaan anaknya. Di sisi lain, Giselle berperang dengan pikirannya. Ia sudah menduga dari awal semua in
Gerakan Kevin yang semakin cepat membuatnya gelisah. Puncak kenikmatan ini akan segera datang. Giselle memejamkan mata—membiaran milik Kevin memenuhi miliknya berkali-kali. Sampai akhirnya milik Kevin tenggelam di dalamnya. Menyemburkan benih yang seharusnya tidak berada di sana.Namun Kevin tetaplah Kevin, pria itu membenamkan miliknya hingga memenuhi milik Giselle. Sengaja menanamkan benihnya di sana. Berharap jika salah satu benihnya bisa berkemban di dalam janin Giselle. “Ayo menikah,” bisik Kevin sembari menggendong Giselle. Giselle tentu saja mendengar ajakan kekasihnya itu. namun lagi-lagi ia tidak bisa menjawab. Kata pernikahan untuknya masih terlalu berat. Apalagi masih terlalu awal untuk membangun kehidupan pernikahan setelah semuanya selesai. ~~ “Untuk apa kau peduli dengan anak itu? bukankah sejak lama kau membuangnya tapi sekarang kau mendadak peduli. Apa yang sedang kau rencanakan?” cecar Valencia pada sang suami setibanya mereka di rumah. Gamantra terdiam. Menatap
Sial sekali, pagi ini Ana harus terlambat karena ayahnya, Royce kesiangan bangun setelah menonton bola dini hari. Royce dan Helena sama saja, suka menonton sampai larut. Sampai-sampai paginya terlambat bangun. “Maaf ya. Dad kesiangan bangun.” Royce memberhentikan mobilnya di depan sekolah. “Pasti kamu dihukum. Tapi gak papa.” Royce mengecup puncak kepala anaknya. “Semangat ya dihukumnya.” “DAD!” teriak Ana yang sungguh kesal. Ia turun tanpa menyalami tangan orang tuanya itu. kemudian berjalan dengan gontai masuk ke sekolah. Maka benar saja. Ia harus dihukum karena terlambat. Untuk siang hari setelah istirahat, ia harus membersihkan lapangan basket yang luasnya melebihi stadion. Ana berjalan ke arah gudang, di sanalah ia mengambil peralatan kebersihan. Namun sayup-sayup saat ia masuk ke dalam gudang. Telinganya harus ternodai oleh suara menjijikkan. Ana membeku di tempatnya berdiri. ~~ “Untuk yang terakhir kali kelas 12 diijinkan untuk mengikuti perlombaan. Karena setelah in
Extra capter Alvaro dewasa International Alexandra school adalah sekolah internasional yang terisi dengan anak-anak orang kaya. Orang tua murid yang berasal dari kaum berjois. Hingga terjadilah sistem kasta yang tidak terlihat namun bisa dirasakan. “Ana, kak Alvaro itu sangat tampan ya.” Raya menyenggol lengan Ana. Melihat seorang laki-laki yang menggunakan seragam basket itu memasuki koridor sekolah. Laki-laki yang menjadi incaran para perempuan. Alvaro Pradana, putra satu-satunya dan digadang-gadang menjadi penerus dari Devian group. Alvaro Pradana, pemuda yang saat ini menginjak kelas 12. Dengan pesonanya yang mampu meluluhkan seluruh hati perempuan yang ada di sekolah. Mendapat julukan si pemain. Pemain hati perempuan. Namun, ada satu perempuan yang ia hindari. Perempuan yang sedari dulu ia anggap sebagai adiknya. Alvaro bersikap baik dengan Ana. Ana tersenyum. Ia pun menyetujui jika Alvaro memang begitu tampan. “Iya aku setuju—" “Hai adik, minta permennya.” Alvaro
“Ana sangat lucu, Mom.” Alvaro memandang seorang balita yang sedang merangkak. Balita perempuan yang menggemaskan. “Nanti kamu pacaran sama Ana saja ya.” Helena mengusap puncak kepala Alvaro. “Heh!” Irene menyenggol bahu Helena. “Mana ada, masih anak kecil tidak usah berpikir pacar-pacaran.” Alvaro memandang kedua orang yang sedang bertengkar itu sebentar. kemudian mendekati Ana yang sedang bermain dengan sebuah boneka. Alvaro menunduk—mengusap pipi Ana pelan. “Kamu suka bermain boneka?” Alvaro tersenyum. “Lihat-lihat saja.” Helena memandang dua anak yang sedang bermain. Tepatnya, Alvaro yang menjaga Ana. “Alvaro memang menantu idaman.” “Aduh..” Irene menggeleng. “Masih kecil disebut menantu. Helena memang gila.” Irene berdecak pelan. Setelah bermain seharian di rumah Helena, akhirnya Irene pulang juga. Alvaro berada di samping Irene. Sepertinya bocah itu sudah mengantuk tapi ternyata masih berusaha membuka mata. “Tidur saja, Al. Mom akan membangunkan kamu nanti.” Al
Ia membawa barang-barang itu namun dari belakang ada beruang yang terus menempel di tubuhh kecilnya. Bahkan sampai masuk ke dalam kamar, Devain tidak melepaskan pelukannya pada istrinya. “Bagaimana dengan hot wife?” tanya Devian membalikkan tubuh Irene. “Aku tidak suka tubuh kamu dilihat orang lain.” “Tidak ada yang melihat.” Irene mendongak. “Lagipula malam-malam tidak akan ada yang melihat.” Devian berdecak. “Dress seperti ini hanya boleh digunakan di hadapanku. Tidak boleh digunakan di luar.” Mengangkat dagu Irene. Menatap kedua bola mata istrinya itu dengan bola matanya yang tajam. “Baiklah.” Irene mengangguk. “Besok aku akan ke rumah Helena, kamu..” Devian mengusap pinggang Irene. “Saat libur aku ikut. Lusa kan libur. Aku janji tidak akan mengurusi pekerjaan lagi.” “Tapi jika kamu masih mengurusi pekerjaan. Apa yang harus aku lakukan?” “Goda aku. Goda aku dengan tubuhmu yang seksi ini sayangku..” tangan Devian yang nakal sudah bergilya di belakang Dress Irene. “Be
“Bisa.” Devian mengambil satu balon dan melepasnya ke udara. “Waah..” kagum Alvaro melihat balon yang berwarna kuning menyala itu di udara. “Tapi—” Devian menunjuk beberapa anak-anak yang bermain di sekitar mereka. “Apa kamu tidak ingin memberikan balon-balon ini pada mereka? Mungkin saja mereka juga ingin.” Alvaro menatap gerombolan anak-anak yang sedang bermain tidak jauh dari tempatnya berdiri. Alvari memandang anak-anak itu lebih lama, karena menurutnya sedikit berbeda dengannya. “Kenapa?” tanya Devian. “Kamu tidak ingin memberikan balon ini pada mereka?” Alvaro menggeleng pelan. “Tapi, kenapa beberapa dari mereka membawa makanan? Mereka berjualan? Ada yang membawa karung besar juga.” Devian mengangguk. “Mereka sedang bekerja. Sebagian dari mereka membantu orang tua mereka mencari uang dengan berjualan. Kamu ingin membantu mereka?” “Bagaimana caranya Dad?” Devian mengeluarkan dompetnya. “Sebentar.” Mengambil uangnya yang berwarna merah sebanyak 20 puluhan. “Setiap
Beberapa bulan kemudian. “Akhh!!” Teriakan Irene yang terakhir kali. Disusul dengan tangisan seorang bayi. “Selamat bayinya berjenis kelamin laki-laki.” Dokter itu menggendong seorang bayi kecil yang baru saja keluar dari perut Irene. Devian menitikkan air mata. “Hai boy.” Menggendong bayinya dengan hati-hati. “Nama kamu Alvaro Pradana.” Devian tersenyum saling memandang dengan Irene. Tangan yang satunya lagi digunakan untuk mengusap puncak kepala istrinya. “Terima kasih sudah berjuang.” Alvaro Pradana, putra sulung dari pasangan Devian dan Irene. Seorang pengusaha yang sukses. Perusahaan yang memiliki beberapa cabang di luar negeri. Devian mengembangkan bisnisnya sampai ke luar negeri. 5 tahun berlalu, Alvaro tumbuh menjadi anak yang begitu cerdas. Setiap harinya selalu haus bertanya. Diusianya yang menginjak 4 tahun, bocah itu sudah memasuki sekolah. Berbaur dengan anak-anak lain tanpa kesulitan. Hal tersebut membuat Irene tidak berhentinya bangga. “MOM!” teriak Alvaro
“Seorang wanita mencoba melakukan pembunuhan di rumah sakit. Hal itu didasari oleh cinta. Cinta pada seorang pria yang sudah beristri. Cintanya ditolak dan berusaha membunuh istri si pria.” Di layar televisi itu. ditayangkan sebuah kos-kosan kecil. “Wanita itu mengalami stress berat bertahun-tahun. Bisa dilihat dari rumahnya yang begitu kotor dan berserakan sampah. Saat ini polisi masih menyelidiki lebih lanjut kasus ini. namun, sudah dipastikan wanita itu mendapat hukuman penjara.” Klik! Layar dimatikan. Devian masih setia berada di samping istrinya. “Aku gagal lagi. Aku terlambat. Jika aku datang lebih cepat, dia tidak akan menyakiti kamu.” Devian menatap leher Irene yang sudah di olesi salep. Beberapa kali Devian mencium punggung tangan Irene. “Bagaimana Irene?” tanya Helena yang baru saja datang. “Maaf, maaf aku tidak bisa datang lebih cepat.” Devian menghela nafas. “Jalang itu memiliki cara untuk menyakiti Irene.” Helena mengusap punggung tangan Irene. Kedua matanya
“Bye Mom Dad!” Irene menyalami Giselle. Membiarkan mertuanya itu pergi. Setelah kepergian mertuanya, Irene menjadi sendirian dan merasa kesepian. Ia mengambil bungkusan yang berada di atas nakas. katanya sebuah kue buatan Giselle. tapi Irene tidak langsung memakannya. Ia masih takut dan trauma dengan apa yang terjadi. Ia menghela nafas dan berjalan ke arah jendela. menatap pemandangan sebuah taman kecil yang terisi oleh anak kecil. Irene tersenyum. tangannya mengusap perutnya sendiri. “Nanti bermain di taman juga, bersama Mom dan Dad. Sehat-sehat di perut Mom ya.” Irene senang berbicara dengan anaknya. “Permisi, ibu Irene..” panggil seorang suster. Irene menoleh ke belakang. Ia langsung memutar badannya dan mendekat ke arah ranjang. namun ia sudah disuntik beberapa menit yang lalu. Ia mendongak. “Siapa kau?!” Suster itu tersenyum dan membuka maskernya. “Aku akan membunuhmu.” Tangannya mencengkram tangan Irene. Suntik yang hendak disuntikkan itu entah berisi apa. Irene me
“Sayang aku bekerja dulu. Oh ya Mom dan Dad akan ke sini. Aku juga sudah meminta Helena untuk ke sini menemani kamu saat Mom dan Dad pulang.” Devian mengecup dahi Irene pelan. “Oh ya untuk malam hari nanti, aku akan menyuruh beberapa bodyguard berjaga di luar ruangan.” “Tapi—” ucapan Irene terpotong karena Devian yang mengecup bibirnya. “Sudah tidak ada tapi-tapi. Ini demi keselamatan kamu, keselamatan bayi kita.” Devian menunduk. mengecup perut Irene. “Daddy berangkat dulu. Jaga Mommy ya.” Irene memandang kepergian Devian. Ia mengambil ponsel. Menghubungi temannya yang katanya akan menjenguknya [Sebentar ya Irene, aku akan ke sana siang saja. Aku masih bersama Royce. Nanti aku akan ke sana.] Irene melotot. [Pagi-pagi masih bersama Royce. Kalian sedang membuat bayi kan?] [Hehehe Iya!] Helena di kamarnya membalas pesan dari Irene. Ia tertawa pelan dengan pertanyaan Irene. Tapi tebakan temannya itu memang benar. Ia smpai tertawa sendiri. “Siap babe.” Royce memeluk Helena dar