Kedua insan yang tengah dimabuk cinta, kini saling bertatapan. Pikiran mereka seakan tidak ada di tempat, jauh menembus masa depan.Pernyataan Hajoon membuat dampak besar bagi Weni yang terbilang tengah resah akan kehidupan pernikahannya. Ia ingin menyanggupi apa yang menjadi permintaan pria asing itu, tapi bayangan Rena menghampirinya.Weni terbilang belum siap untuk menjadikan Rena korban dari keegoisannya. Ia juga tak sanggup membayangkan bagaimana menjelaskannya.Membayangkan Rena harus mengetahui hal yang tak seharusnya dia ketahui, membuat ia menatap pria yang tengah menanti jawabannya. Meski pria di hadapannya itu baik, tapi Weni belum yakin sepenuhnya.“Maaf.” Hanya satu kata itu yang bisa diucapkan Weni, terlihat Hajoon terkejut dengan ucapan Weni.“Sudah kuduga,” ucap Hajoon.“Hajoon ....”“Kalau kamu langsung menerimanya, bukankah itu gila?” Hajoon tersenyum. “Kamu yang masih punya Suami, bagaimana bisa dengan mudah menerima ajakan menikah pria lain. Aku sudah yakin kamu ak
“Sayang kamu masak apa?” tanya Hajoon memeluk wanitanya itu dari belakang, sementara Weni masih tetap fokus dengan masakannya.“Aku masak makanan yang mudah saja,” jawab Weni seadanya dan masih fokus dengan masakannya.Hajoon mendengus kesal, dengan gemas ia menggigit pundak Weni. “Ah, sakit. Kamu ngapain sih?” marah Weni, kesal dengan tingkah Hajoon yang seperti anak kecil sejak tadi pagi.Hajoon membalik tubuh Weni, ia menatap wanitanya itu dengan tajam. “Morning Kiss, sayang.” Ia segera mendekatkan wajah mereka, mengecup bibir yang seakan sudah menanti untuk disentuhnya.“Nanti Rena melihatnya,” tolak Weni saat Hajoon ingin kembali menciumnya.“Rena masih tertidur jadi kita ....”“Mamah,” panggil Rena dengan mengucak-ucak matanya. Terlihat gadis kecilnya baru saja terbangun, tentu panggilan Rena mampu membuatnya mendorong Hajoon begitu saja.Hajoon terkekeh dengan tingkah Weni, dengan segera ia mengambil alih Rena. Terlihat gadis kecil itu terkejut dengan apa yang dilakukan Hajoon,
“Setidaknya bercermin dahulu sebelum berangkat menemui seseorang.”Haris terkejut, ia segera pamit ke toilet untuk melihat apa yang di maksud dengan kliennya itu. Tak butuh waktu lama ia menemukan maksud dari pria bernama Hajoon itu.Ia merutuki perbuatannya sebelum berangkat menemui Hajoon, dirinya bahkan memaki Aurel dalam hatinya. Haris menganggap Aurel orang yang hampir saja membuat dirinya gagal dengan beberapa klien.Haris menyudahi kekesalannya, ia segera menutup bercak merah di lehernya itu dengan kerah bajunya karena itu satu-satunya yang bisa menutupinya. Setelah itu ia kembali dan menemukan Hajoon masih tenang menyeruput minumannya.“Maafkan atas kelalaian saya, Istri saya terkadang suka tidak sengaja.” Haris meminta maaf, ia kembali berbohong. “Lain kali saya akan hati-hati,” ucap Haris kembali.Sementara Hajoon yang mendengar itu, tak kuas menahan amarahnya. Ia memegang gagang cangkir dengan kencang, rasanya saat ini juga dirinya ingin memukul Haris.Istri mana yang dimak
Hari ini adalah hari terakhir kebersamaan Weni dengan Hajoon, setelah hari ini kehidupan sebenarnya seorang Weni akan kembali. Weni akan kembali ke rutinitasnya dan dunia tempatnya berada yang sesungguhnya.“Tidak terasa bukan kalau ini hari terakhir,” ucap Hajoon menatap wanitanya yang terlihat murung.“Kenapa kamu harus mengingatkannya lagi?” marah Weni, ia segera beranjak dari tempatnya dan ke dapur bersiap memasak untuk sarapan.Hajoon tersenyum karena melihat Weni tengah mengambek adalah hal tergemas untuknya. “Hari ini tidak usah masak, kita akan makan di luar. Lebih baik kita menghabiskan waktu berdua,” tutur Hajoon yang sudah memeluk wanitanya dari belakang.Ia menaruh kepalanya di pundak Weni, mencium setiap bagian kanan leher jenjang Weni. Mencoba menghirup lebih banyak aroma wanitanya, sebelum ia nantinya akan sulit untuk melakukannya.“Jangan lakukan itu, nanti Rena melihatnya.”Weni mencoba menjauhkan kepala Hajoon dari pundaknya. Jantungnya berdetak tak karuan, ia takut
“Ada apa denganmu?” tanya Hajoon yang melihat perubahan sikap Weni seharian ini. Padahal hari ini adalah hari terakhir, ia tak mau semua terlihat buruk. Bagaimana bisa ia pergi bila Weni diam saja seperti sekarang? Dirinya benar-benar dibuat frustrasi oleh wanita itu. “Katakan bila aku melakukan kesalahan, atau aku mengatakan sesuatu yang membuatmu tersinggung.” Hajoon menahan Weni yang akan kembali menemani Rena bermain. “Aku mohon,” pinta Hajoon dengan tatapan yang memelas. Tapi h itu tak digubris oleh Weni, wanita itu pergi begitu saja. Ia bahkan bisa tertawa bersama Rena, padahal Hajoon tengah pusing karenanya. “Om,” panggil Rena yang membuyarkan lamunan Hajoon. “Ada apa sayang?” tanya Rena, ia memangku Rena yang ternyata tengah seorang diri tanpa Weni. “Mamah sama Om bertengkar?” Rena menatap Hajoon, sementara Hajoon hanya bisa menggeleng. “Mamah suka coklat, Om kasih coklat ke Mamah. Rena yakin Mamah tidak marah lagi,” usul Rena tiba-tiba. Hajoon tersenyum dibuatnya, ia ti
“Dari mana saja kalian?” Weni mengambil alih Rena yang nyatanya sudah tertidur di gendongan Hajoon. Ia dengan perlahan membawa Rena yang sedikit terbangun dan membawanya ke kamar yang akan ditempatinya terakhir kali.Dengan sesikit usapan, mata Rena yang hampir saja terbuka kini kembali terpejam. Weni memakaikan selimut untuk tubuh kecil putrinya yang terlihat kedinginan, sebelum ia kembali ke luar kamar.Weni menemukan Hajoon yang tengah berada di dapur, entah apa yang dilakukan pria itu. Namun tak membutuhkan waktu lama untuk mengetahui jawabannya karena kini seluruh ruangan tercium wangi kopi yang nikmat.“Kamu mau?” tanya Hajoon.“Tidak, aku sudah minum kopi tadi.” Weni menolak tawaran Hajoon, ia kini duduk di depan jendela kaca yang menampakkan keindahan malam hari. “Apa Rena menyulitkanmu?” tanya Weni tanpa mengalihkan tatapannya.Hajoon menghela napasnya, “Sejak kapan peri cantik itu menyusahkanku.” Ia berjalan dengan satu gelas di kedua tangannya.“Aku kan bilang tidak mau.”
“Apa kamu serius?”Pertanyaan Hajoon terlontar saat kini mereka sudah berada di kamar Hajoon. Ya, ciuman mereka memanas dan lampu hijau segera diberikan Weni membuat Hajoon pun tak bisa menolaknya.Hanya saja lagi dan lagi, Hajoon menghentikannya menatap Wanita di bawahnya yang kini cukup menggoda dengan baju yang sudah setengah terbuka. Ia juga tak tahu kenapa selalu menghentikan semua ini.Weni yang mengangguk dengan wajah yang memerah, ia tak tahu akan mendapatkan pertanyaan seperti itu dari Hajoon. Bahkan setelah ia dulu yang memulainya, bagaimana bisa pria di hadapannya itu mempertanyakan kembali.“Kamu tak melakukannya hanya karena kewajibanmu dan semua yang telah aku berikan?” tanya Hajoon mencoba meyakinkan Weni.Weni jelas terkejut dengan pertanyaan Hajoon yang terdengar sangat masuk akal. Dirinya selama ini mendapatkan apa pun dari Hajoon dan dirinya tak bisa memberikan apa pun untuk Hajoon.Seketika pertanyaan itu membuat Weni terdiam, seakan memikirkan kembali niat sebenar
“Ah, sudah pulang.” Suara itu mengejutkan Weni, terlebih suara itu terdengar sedikit mirip dengan suara orang yang tidak mau di dengarnya hari ini. “Mila?” sebut Weni saat melihat seorang wanita berdiri di balik pintu yang terbuka.“Apa kabar Mbak?” sapa Mila dengan menerobos masuk ke dalam rumah.“Bagaimana kamu tahu Mbak sudah pulang?” tanya Weni penasaran, ia takut Mila melihatnya tadi turun dari mobil sewaan Hajoon yang terbilang cukup mewah itu.Mila tak langsung menjawab, ia justru mendekati Rena yang tengah asyik menonton televisi. “Rena kangen Tante?” tanya Mila dengan memeluk tubuh kecil Rena.“Tante Mila,” sebut Rena dengan senyuman terkembang.Weni yang ingin bertanya kembali pada gadis yang tengah beranjak dewasa itu, segera mengurungkan niatnya saat melihat Rena kini fokus pada Mila. Tanpa sadar di dalam hatinya mengucapkan syukur pada Mila, karena ia datang tepat waktu.Weni bisa mengalihkan sedikit pikiran Rena dari bayang-bayang seorang Park Hajoon, yang sejak tadi di
Weni terbangun dengan cukup kaget, mengingat kamar yang semula terlihat gelap kini sangat terang. Tangannya segera meraba nakas, mencari keberadaan ponselnya untuk mengetahui jam berapa sekarang.Namun tak lama pergerakannya tertahan, ada tangan besar yang kini menariknya untuk kembali tidur. Bahkan tangan itu kini memeluknya erat dengan balutan selimut tebal.“Kamu tidak bekerja?” tanya Weni menyerah saat tubuh hangat sang pemilik tangan kini bisa ia rasakan.“Aku ambil cuti hari ini.”“Bukannya kamu sedang banyak pekerjaan?” Weni melepaskan pelukan sang pria, membalik tubuhnya dan menatap pria yang selalu membuatnya terpesona itu. “Aku Ngga mau kamu sering mengabaikan pekerjaan karena aku,” tutur Weni memegang wajah tampan kekasihnya, Hajoon.Hajoon tersenyum, ia menghilang di dekapan Weni. Menghirup wangi tubuh Weni yang tembus oleh selimut tebal yang melilit tubuh kecil wanitanya. Rasanya sudah la
Weni menatap ruangan yang cukup sepi saat siang hari, Rena tengah tertidur siang dan ia baru saja menyelesaikan pekerjaan rumahnya. Tak banyak yang dilakukan di kediaman Hajoon karena ada seorang Wanita paruh baya yang membantunya pada pagi hari dan ia akan menyelesaikannya sisanya.Bahkan kegiatan berbenah sangat mudah karena ada alat-alat yang cukup canggih untuk membersihkan rumah. Weni cukup sedikit kesulitan pada awal pengoperasian alat-alat canggih itu, beruntung Wanita paruh baya yang Bernama Bibi Jang sangat membantunya, meski mereka berbicara dengan Bahasa Korea yang minim.“Apa yang harus aku lakukan lagi?” gumam Weni menyalakan Televisi di hadapannya.Beruntung saluran TV tidak hanya berbahasa Korea, banyak penayangan film luar dan acara-acara yang berbahasa Inggris. Weni sedikit terhibur, hanya saja tetap ada rasa bosan tersendiri untuknya.Hal itu terus berulang sampai tak terasa sudah seminggu lamanya ia berada di negeri orang. Hal yang sangat menghibur bagi Weni ada
Weni menatap wanita bak bidadari tepat di hadapannya, wanita dengan wajah yang kecil dan cantik. Kulit putih bersih, bibir yang tipis, rambut sebahu yang indah terurai.Bahkan saat wanita itu mendekat wangi lembut semerbak mengisi indra penciuman Weni. Semua kepercayaan diri Weni hancur luluh lantah tepat di saat wanita itu duduk di dekatnya.“Maaf membuatmu terkejut akan kehadiranku,” ucap Yerim untuk membuka pembicaraan di antara mereka.Weni tak menjawab, ia bingung, kesal, marah, rendah hati, dan merasa minder. Semua perasaan itu akan meledak, andai Weni membuka mulutnya. Ia menahan segalanya, berharap masih bisa mempertahankan harga dirinya.Weni sepenuhnya tahu bahwa dirinyalah yang salah, ia yang berselingkuh. Weni bisa merasakan posisi Yerim, karena belum lama itu adalah posisinya.“Aku dan Hajoon bertunangan bukan karena cinta.” Yerim cukup fasih dengan bahas Inggris, jadi Weni bisa mengerti ucapannya. “Kami bertunangan karena aku sakit, Hajoon menerimanya begitu saja. Tapi s
Weni menatap langit yang berbeda dari langit yang biasa menemani hidupnya selama ini. Udara yang cukup dingin menerpa wajahnya, memberikan kesejukan yang berbeda.“Mamah, ini dimana?”Weni berjongkok dan memakaikan syal pada leher Rena agar anak semata wayangnya itu tak sakit dengan perubahan cuaca yang tiba-tiba. “Kita sedang berada di negara yang Bernama Korea Selatan,” jawab Weni.“Apa?”Rena menatap tak mengerti, ia bahkan sedikit mengernyitkan keningnya karena tak mengerti. Namun belum sempat Weni kembali menjelaskan, tangan besar nan kokoh sudah mengambil alih Rena darinya dan menggendong tubuh kecil Rena dengan erat.“Rena sekarang ada di tempat Om dilahirkan.” Hajoon menjelaskan dengan singkat dan di terima dengan cepat oleh Rena. “Apa Rena senang berada di tempat kelahiran Om?” tanya Hajoon dengan membawa Rena dan Weni ke sebuah mobil yang terparkir.Mereka masuk ke dalam mobil yang cukup bagus, bahkan saat masuk ke dalamnya Weni bisa merasakan kemewahan mobil itu. Bahkan so
Weni menghembuskan napasnya dalam, melangkahkan kakinya dengan pasti. Setelah ia keluar dari gedung tempatnya berada, kehidupan dan status baru kini di sandangnya.‘Janda’Ya, kini statusnya berubah dari seorang ‘Istri’ menjadi seseorang ‘janda’. Wanita yang telah bercerai dengan suaminya secara sah.Pengadilan memutuskan menerima gugatannya, begitu juga hak asuh sepenuhnya menjadi miliknya. Weni cukup merasa puas, meski ada rasa yang sedikit tertinggal kala semua diputuskan.Wajah Haris yang ia pikir akan sedikit menyesal, justru menunjukkan rasa senangnya. Bahkan salam perpisahan dengan menjabat tangan dilakukannya dengan senang hati.“Sudah selesai?”Suara berat yang kini lebih banyak menyita pikirannya, sukses membuat Weni terkejut. Bahkan ia terlihat seperti baru saja bertemu hantu.Pria tinggi nan tampan dengan gagahnya berdiri di hadapan Weni, ia seakan menanti kehadiran Weni sejak tadi. Bahkan wajah sang pria seakan menunggu kepastian yang sudah beberapa bulan ini di t
Weni yang tak menau isi perjanjian ikut terkejut. Matanya kini teralihkan menatap pengacara wanita di sampingnya, dirinya juga butuh penjelasan.“Setelah bercerai, semua hubungan akan terputus baik dengan Istri atau Anak.” Pengacara itu berbicara dengan tegas, Weni dan Haris menatap dengan penuh penolakan. “Hal ini dimaksudkan agar tidak ada ancaman yang akan merugikan pihak mana pun.”“Wah, aku tidak tahu kalau kamu segila ini.” Haris menatap Weni dengan rendah. “Kamu dengan teganya memisahkan seorang Anak dan Ayah,” sindir Haris.“Aku ....” Weni merasa bersalah.“Baiklah, lagi pula ini semua menguntungkanku. Aku juga bisa memiliki anak lainnya dari kekasihku.” Dengan yakin Haris menandatangani surat itu, yang membuat kekecewaan besar pada hati Weni. “Ini, aku kembalikan.”Haris mengeluarkan ponsel di sakunya dan menaruh di meja, ponsel yang ia ambil untuk bisa menghubungi Hajoon. “Urus semua hingga tuntas, aku tidak mau mengeluarkan sedikit pun uang.”“Kamu benar-benar menerima uan
Weni terbangun dengan pantulan cahaya yang cukup terang menembus kelopak matanya yang tertutup, membuat tidur nyenyak terusik. Dengan malas ia membuka mata, tubuhnya terasa tak nyaman. Rasanya ia menghabiskan seluruh tenaganya semalam.Memikirkan apa yang semalam terjadi, Weni dengan segera membuka matanya. Ia terkejut mendapati tubuhnya hanya tertutup selembar selimut tebal. Tubuhnya kini tanpa busana, ingatan akan semalam terpampang jelas di pikirannya.Semalam adalah malam terpanas untuknya, setelah sekian lama ia merasakan kenikmatan yang tak pernah di rasakannya selama berumah tangga dengan Haris. Ia tak tahu bahwa melakukannya bisa membuatmu mabuk kepayang.“Sedang memikirkan apa?” bisikan lembut tepat di sampingnya membuat Weni terkejut dan menarik selimutnya.“Ha-Hajoon ....”Pria dengan wajah tampan itu segera membuat jantung Weni tak karuan. Terlebih saat Hajoon tersenyum manis dan mencubit pipi Weni lembut.“Apa semalam aku terlalu berlebihan? Kamu sampai pingsan da
“Weni Anggara, menikahlah denganku.”Hajoon kembali melontarkan ajakannya pada Weni yang sejak tadi terdiam dan tak kunjung merespons ucapannya. Weni terlihat terkejut, hanya saja matanya berkata lain. Mata seorang Wanita yang tengah bahagia karena apa yang dinantikannya kini menjadi kenyataan.“Apa aku masih kurang baik untukmu? Katakan apa yang membuatmu ragu menjawab ajakanku?” tanya Hajoon mencoba membuat Weni yakin akan dirinya.Weni yang ditanya hanya terdiam, ia merasa ini adalah kesempatan untuknya untuk memantapkan diri. Ia juga sangat penasaran pria seperti apa sebenarnya Park Hajoon yang selama ini ia kenal, masih banyak yang tak ia ketahui tentang pria di hadapannya.“Aku belum tahu banyak tentangmu, itu yang membuatku ragu.” Weni berbicara dengan mantap, terlihat Hajoon tak memperlihatkan keterkejutan akan pernyataannya.Hajoon memegang kembali pipi Weni dan tersenyum lembut. “Tanyakan apa pun yang ingin kamu ketahui untuk aku bisa bersamamu?”Deg! Pertanyaan itu
Hari demi hari berganti, Weni suah berada di rumah barunya selama 3 hari bersama Rena. Rena tidak rewel sedikit pun, ia justru menikmati fasilitas yang di dapatkannya dari Hajoon.Bahkan tanpa dipungkiri Weni juga ikut merasakan itu, ia cukup bebas dan nyaman. Dirinya tak perlu tertekan dengan Haris ataupun keluarganya, Weni menikmati kegiatannya sebagai seorang wanita dengan penuh kedamaian.Weni tak tahu apa yang terjadi di luar sana, terlebih tentang apa yang akan terjadi antara Haris dan Hajoon. Dirinya hanya mengandalkan kabar dari Mila, tapi yang di tunggu tak juga mengabarinya.Ia akhirnya mengikuti apa yang diperintahkan Hajoon, untuk tetap di rumah dan mengikuti semua arahan yang diberikannya. Karena hanya itu yang bisa ia lakukan.“Mamah, Rena mau makan.” Rena menarik baju Weni yang kini tengah menikmati secangkir teh di sofa yang nyaman. Bukankah itu terlihat elegan, ia bahkan tak pernah berpikir meminum teh di ruang tengah dengan menonton televisi akan senyaman ini.“Rena