“Apa kamu serius?”Pertanyaan Hajoon terlontar saat kini mereka sudah berada di kamar Hajoon. Ya, ciuman mereka memanas dan lampu hijau segera diberikan Weni membuat Hajoon pun tak bisa menolaknya.Hanya saja lagi dan lagi, Hajoon menghentikannya menatap Wanita di bawahnya yang kini cukup menggoda dengan baju yang sudah setengah terbuka. Ia juga tak tahu kenapa selalu menghentikan semua ini.Weni yang mengangguk dengan wajah yang memerah, ia tak tahu akan mendapatkan pertanyaan seperti itu dari Hajoon. Bahkan setelah ia dulu yang memulainya, bagaimana bisa pria di hadapannya itu mempertanyakan kembali.“Kamu tak melakukannya hanya karena kewajibanmu dan semua yang telah aku berikan?” tanya Hajoon mencoba meyakinkan Weni.Weni jelas terkejut dengan pertanyaan Hajoon yang terdengar sangat masuk akal. Dirinya selama ini mendapatkan apa pun dari Hajoon dan dirinya tak bisa memberikan apa pun untuk Hajoon.Seketika pertanyaan itu membuat Weni terdiam, seakan memikirkan kembali niat sebenar
“Ah, sudah pulang.” Suara itu mengejutkan Weni, terlebih suara itu terdengar sedikit mirip dengan suara orang yang tidak mau di dengarnya hari ini. “Mila?” sebut Weni saat melihat seorang wanita berdiri di balik pintu yang terbuka.“Apa kabar Mbak?” sapa Mila dengan menerobos masuk ke dalam rumah.“Bagaimana kamu tahu Mbak sudah pulang?” tanya Weni penasaran, ia takut Mila melihatnya tadi turun dari mobil sewaan Hajoon yang terbilang cukup mewah itu.Mila tak langsung menjawab, ia justru mendekati Rena yang tengah asyik menonton televisi. “Rena kangen Tante?” tanya Mila dengan memeluk tubuh kecil Rena.“Tante Mila,” sebut Rena dengan senyuman terkembang.Weni yang ingin bertanya kembali pada gadis yang tengah beranjak dewasa itu, segera mengurungkan niatnya saat melihat Rena kini fokus pada Mila. Tanpa sadar di dalam hatinya mengucapkan syukur pada Mila, karena ia datang tepat waktu.Weni bisa mengalihkan sedikit pikiran Rena dari bayang-bayang seorang Park Hajoon, yang sejak tadi di
“Apa kamu menyukainya?” Weni terbatuk mendengar pertanyaan Bianca, ia tahu itu akan kembali dipertanyakan oleh sahabatnya itu. Terlebih saat jalan-jalan dirinya dengan Hajoon, menggunakan alasan pergi dengan Bianca. Bianca dengan rela menjadi tempat kebohongannya, bahkan katanya Bianca beberapa kali dihubungi Haris untuk meyakinkan bahwa dirinya benar pergi dengan sahabatnya itu. Namun beruntung Haris hanya meyakinkan beberapa kali di hari pertama, selebihnya ia tak kembali menghubungi Bianca. “Apa kamu melakukan itu dengannya?” Pertanyaan Bianca kembali membuat Weni tersedak, kali ini matanya bahkan membelalak menatap sahabatnya itu. Ia tak percaya dengan pertanyaan kedua gang terlontar dari mulut Bianca. “Apa kamu sudah gila?” omel Weni. “Bukankah itu pertanyaan yang wajar?” Bianca tak menurunkan ekspresinya sedikitpun, ia tetap pada pendiriannya. “Apalagi kamu mendapatkan segalanya dari dia, apalagi yang bisa diberikan kita wanita yang sudah menikah padanya?” tutur Bianca real
BRAK! Gebrakan pintu sukses membuat Weni yang tengah tertidur terbangun, bahkan dengan mata sedikit terpejam ia beranjak dari tempat tidurnya dan berlari keluar ruangan. Ia takut seseorang menyerang rumahnya. Begitu ia keluar, bisa dilihatnya bahwa Haris sudah pulang dengan wajah yang sangat tak karuan. Ia duduk di sofa, mencoba membuka sepatunya dengan kesal. “Kamu sudah pulang,” sapa Weni lembut pada pria yang sudah seminggu tak dilihatnya. “Senang aku tidak ada di rumah? Jam berapa sekarang!” Buk! Sepatu yang baru saja terlepas dari kaki Haris melayang ke arah Weni, beruntung dengan refleks Weni menghindari membuatnya terhindar dari pukulan sepatu pantofel hitam yang cukup berat itu. “Mas, kenapa kamu ….” “Apa?” marah Haris dengan tatapan yang tak kalah tajam. Ia bahkan segera bangkit dari duduknya dan mendekati Weni, jelas Weni melangkah mundur dan menundukkan kepalanya. “Inilah aku tidak suka kamu berhubungan dengan orang lain.” Haris mencengkeram wajah Weni. “Kamu mulai b
“Apa yang dilakukannya?” Aurel, wanita yang duduk tepat di samping Haris mengomel sejak tadi. Tapi Haris yang kini tengah sibuk dengan kemudinya tak juga membuka suara untuk menjawab pertanyaan Aurel. Weni jelas tak ingin ikut menjawab pertanyaan itu, ia hanya fokus pada anaknya-Rena. Rena begitu senang karena kini bisa pergi bersama kedua orang tuanya lengkap, meski ada tambahan wanita lain di dalamnya. “Mamah, Rena nanti mau beli es krim.” Rena menatap Weni dengan berbinar-binar, seketika membuat suasana hati Weni yang rusak menjadi baik kembali. “Rena mau beli yang cokelat,” lanjutnya. “Iya, nanti kita ....” “Nanti Mamah Aurel belikan, es krim seperti waktu itu kan?” Aurel memotong ucapan Weni, mencoba mengambil perhatian Rena. “Kita juga akan beli permen coklat kesukaan Rena,” lanjutnya penuh semangat. Rena bersorak riang dan mengiyakan apa yang di sarankan oleh Aurel, ia bahkan seketika melupakan Weni yang terdiam melihat kedekatan mereka. Ia tak tahu kalau Rena juga nyaman
[Sepertinya hari ini adalah hari menyenangkan, sampai aku chat tidak di balas] [Kamu sudah makan, bukan?] [Apa Rena menikmatinya?] [Kabari aku kalau kamu sempat ya,] [Aku merindukanmu] Weni baru membaca semua pesan yang dikirim Hajoon hari ini, ia baru sempat melihat ponselnya saat malam hari. Rena dan Haris terlihat cukup kelelahan dengan acara jalan-jalan mereka, begitu juga dengan Weni. Hanya saja, Se-cape apa pun Weni. Dia tidak akan bisa tidur nyenyak setalah apa yang ia dengar dan lihat hari ini, bagaimana kedua orang itu menghancurkan segala pertahanan seorang Weni. ‘Aku juga merindukanmu, sangat-sangat merindukanmu.’ Weni membalas pesan Hajoon dengan air mata yang mengalir, ia merasa sangat-sangat membutuhkan Hajoon saat ini. Benar kata orang, luka bisa sembuh dengan sebuah kebahagiaan baru. Walaupun luka itu akan meninggalkan bekas dan tak mungkin sepenuhnya hilang. Tapi dengan bertemu kebahagiaan baru, kamu akan sedikit melupakan luka itu bahkan menganggap luka itu a
Tatapan Weni menerawang jauh ke atas, ia kini tengah menatap langit-langit kamarnya. Rasa sesak yang terus saja dirasakannya hari ini tak kunjung hilang. Terlebih saat tadi ia beberapa kali mengajak Rena pulang tapi terus di tolak, ia akan pulang saat Ayahnya pulang. Hal itu membuatnya mendapat cacian dari keluarga Haris. Weni bahkan bisa mendengar bisik-bisik tetangganya yang mengatakan bahwa dirinya tak becus merawat satu anak saja. Entah bagaimana sang tetangga tahu, tapi yang pasti Weni kembali di hakimi. Hanya satu kesalahan, membuatnya terlihat jelek Dimata siapa pun. Hanya goresan kecil, tapi seakan itu adalah goresan yang besar. “Kenapa semua jadi seperti ini?” gumam Weni yang terus saja tak mendapatkan jawaban apa pun atas pertanyaannya. Ia mencoba menutup matanya, berharap semua bisa lebih tenang. Berharap perasaan dan pikirannya kembali berjalan dengan baik. Seharian ia tak makan, bahkan tak merasakan lapar. Namun tenaganya terus terkuras dengan kegiatan rumah tanggany
“Mamah!” teriak Rena dengan berlari kecil ke arah Weni yang sudah siap menyambut kedatangannya. Rena memeluk Weni dengan linangan air mata, entah apa yang tengah dipikirkan Rena. Tapi Weni dapat merasakan keresahan anak semata wayangnya itu, tanpa berkata ia tahu bahwa Rena merasa bersalah dengan apa yang dilakukannya. Weni memeluk erat Rena seakan mengatakan bahwa tidak apa-apa, ia tidak marah dan kini memaafkannya. Rena yang bisa memahami Ibunya itu pun kembali menangis dengan keras, membuat ulasan senyuman di wajah Weni. Tapi tidak dengan Haris, ia sudah siap marah kembali dengan Weni. Ia bersumpah akan memberikan pelajaran lebih pada wanita yang kini cukup membangkang dengannya. “Rena ....” “Rena sudah makan?” Weni mencoba mengalihkan pembicaraan, tak mau anaknya semakin larut dalam sedihnya. Ia juga tahu bahwa sepenuhnya itu bukan salah Rena seorang, ada dirinya juga yang salah. “Sudah,” jawab Rena. “Baguslah, sekarang Rena tidur ya. Ini sudah malam,” pinta Weni dengan bai
Weni terbangun dengan cukup kaget, mengingat kamar yang semula terlihat gelap kini sangat terang. Tangannya segera meraba nakas, mencari keberadaan ponselnya untuk mengetahui jam berapa sekarang.Namun tak lama pergerakannya tertahan, ada tangan besar yang kini menariknya untuk kembali tidur. Bahkan tangan itu kini memeluknya erat dengan balutan selimut tebal.“Kamu tidak bekerja?” tanya Weni menyerah saat tubuh hangat sang pemilik tangan kini bisa ia rasakan.“Aku ambil cuti hari ini.”“Bukannya kamu sedang banyak pekerjaan?” Weni melepaskan pelukan sang pria, membalik tubuhnya dan menatap pria yang selalu membuatnya terpesona itu. “Aku Ngga mau kamu sering mengabaikan pekerjaan karena aku,” tutur Weni memegang wajah tampan kekasihnya, Hajoon.Hajoon tersenyum, ia menghilang di dekapan Weni. Menghirup wangi tubuh Weni yang tembus oleh selimut tebal yang melilit tubuh kecil wanitanya. Rasanya sudah la
Weni menatap ruangan yang cukup sepi saat siang hari, Rena tengah tertidur siang dan ia baru saja menyelesaikan pekerjaan rumahnya. Tak banyak yang dilakukan di kediaman Hajoon karena ada seorang Wanita paruh baya yang membantunya pada pagi hari dan ia akan menyelesaikannya sisanya.Bahkan kegiatan berbenah sangat mudah karena ada alat-alat yang cukup canggih untuk membersihkan rumah. Weni cukup sedikit kesulitan pada awal pengoperasian alat-alat canggih itu, beruntung Wanita paruh baya yang Bernama Bibi Jang sangat membantunya, meski mereka berbicara dengan Bahasa Korea yang minim.“Apa yang harus aku lakukan lagi?” gumam Weni menyalakan Televisi di hadapannya.Beruntung saluran TV tidak hanya berbahasa Korea, banyak penayangan film luar dan acara-acara yang berbahasa Inggris. Weni sedikit terhibur, hanya saja tetap ada rasa bosan tersendiri untuknya.Hal itu terus berulang sampai tak terasa sudah seminggu lamanya ia berada di negeri orang. Hal yang sangat menghibur bagi Weni ada
Weni menatap wanita bak bidadari tepat di hadapannya, wanita dengan wajah yang kecil dan cantik. Kulit putih bersih, bibir yang tipis, rambut sebahu yang indah terurai.Bahkan saat wanita itu mendekat wangi lembut semerbak mengisi indra penciuman Weni. Semua kepercayaan diri Weni hancur luluh lantah tepat di saat wanita itu duduk di dekatnya.“Maaf membuatmu terkejut akan kehadiranku,” ucap Yerim untuk membuka pembicaraan di antara mereka.Weni tak menjawab, ia bingung, kesal, marah, rendah hati, dan merasa minder. Semua perasaan itu akan meledak, andai Weni membuka mulutnya. Ia menahan segalanya, berharap masih bisa mempertahankan harga dirinya.Weni sepenuhnya tahu bahwa dirinyalah yang salah, ia yang berselingkuh. Weni bisa merasakan posisi Yerim, karena belum lama itu adalah posisinya.“Aku dan Hajoon bertunangan bukan karena cinta.” Yerim cukup fasih dengan bahas Inggris, jadi Weni bisa mengerti ucapannya. “Kami bertunangan karena aku sakit, Hajoon menerimanya begitu saja. Tapi s
Weni menatap langit yang berbeda dari langit yang biasa menemani hidupnya selama ini. Udara yang cukup dingin menerpa wajahnya, memberikan kesejukan yang berbeda.“Mamah, ini dimana?”Weni berjongkok dan memakaikan syal pada leher Rena agar anak semata wayangnya itu tak sakit dengan perubahan cuaca yang tiba-tiba. “Kita sedang berada di negara yang Bernama Korea Selatan,” jawab Weni.“Apa?”Rena menatap tak mengerti, ia bahkan sedikit mengernyitkan keningnya karena tak mengerti. Namun belum sempat Weni kembali menjelaskan, tangan besar nan kokoh sudah mengambil alih Rena darinya dan menggendong tubuh kecil Rena dengan erat.“Rena sekarang ada di tempat Om dilahirkan.” Hajoon menjelaskan dengan singkat dan di terima dengan cepat oleh Rena. “Apa Rena senang berada di tempat kelahiran Om?” tanya Hajoon dengan membawa Rena dan Weni ke sebuah mobil yang terparkir.Mereka masuk ke dalam mobil yang cukup bagus, bahkan saat masuk ke dalamnya Weni bisa merasakan kemewahan mobil itu. Bahkan so
Weni menghembuskan napasnya dalam, melangkahkan kakinya dengan pasti. Setelah ia keluar dari gedung tempatnya berada, kehidupan dan status baru kini di sandangnya.‘Janda’Ya, kini statusnya berubah dari seorang ‘Istri’ menjadi seseorang ‘janda’. Wanita yang telah bercerai dengan suaminya secara sah.Pengadilan memutuskan menerima gugatannya, begitu juga hak asuh sepenuhnya menjadi miliknya. Weni cukup merasa puas, meski ada rasa yang sedikit tertinggal kala semua diputuskan.Wajah Haris yang ia pikir akan sedikit menyesal, justru menunjukkan rasa senangnya. Bahkan salam perpisahan dengan menjabat tangan dilakukannya dengan senang hati.“Sudah selesai?”Suara berat yang kini lebih banyak menyita pikirannya, sukses membuat Weni terkejut. Bahkan ia terlihat seperti baru saja bertemu hantu.Pria tinggi nan tampan dengan gagahnya berdiri di hadapan Weni, ia seakan menanti kehadiran Weni sejak tadi. Bahkan wajah sang pria seakan menunggu kepastian yang sudah beberapa bulan ini di t
Weni yang tak menau isi perjanjian ikut terkejut. Matanya kini teralihkan menatap pengacara wanita di sampingnya, dirinya juga butuh penjelasan.“Setelah bercerai, semua hubungan akan terputus baik dengan Istri atau Anak.” Pengacara itu berbicara dengan tegas, Weni dan Haris menatap dengan penuh penolakan. “Hal ini dimaksudkan agar tidak ada ancaman yang akan merugikan pihak mana pun.”“Wah, aku tidak tahu kalau kamu segila ini.” Haris menatap Weni dengan rendah. “Kamu dengan teganya memisahkan seorang Anak dan Ayah,” sindir Haris.“Aku ....” Weni merasa bersalah.“Baiklah, lagi pula ini semua menguntungkanku. Aku juga bisa memiliki anak lainnya dari kekasihku.” Dengan yakin Haris menandatangani surat itu, yang membuat kekecewaan besar pada hati Weni. “Ini, aku kembalikan.”Haris mengeluarkan ponsel di sakunya dan menaruh di meja, ponsel yang ia ambil untuk bisa menghubungi Hajoon. “Urus semua hingga tuntas, aku tidak mau mengeluarkan sedikit pun uang.”“Kamu benar-benar menerima uan
Weni terbangun dengan pantulan cahaya yang cukup terang menembus kelopak matanya yang tertutup, membuat tidur nyenyak terusik. Dengan malas ia membuka mata, tubuhnya terasa tak nyaman. Rasanya ia menghabiskan seluruh tenaganya semalam.Memikirkan apa yang semalam terjadi, Weni dengan segera membuka matanya. Ia terkejut mendapati tubuhnya hanya tertutup selembar selimut tebal. Tubuhnya kini tanpa busana, ingatan akan semalam terpampang jelas di pikirannya.Semalam adalah malam terpanas untuknya, setelah sekian lama ia merasakan kenikmatan yang tak pernah di rasakannya selama berumah tangga dengan Haris. Ia tak tahu bahwa melakukannya bisa membuatmu mabuk kepayang.“Sedang memikirkan apa?” bisikan lembut tepat di sampingnya membuat Weni terkejut dan menarik selimutnya.“Ha-Hajoon ....”Pria dengan wajah tampan itu segera membuat jantung Weni tak karuan. Terlebih saat Hajoon tersenyum manis dan mencubit pipi Weni lembut.“Apa semalam aku terlalu berlebihan? Kamu sampai pingsan da
“Weni Anggara, menikahlah denganku.”Hajoon kembali melontarkan ajakannya pada Weni yang sejak tadi terdiam dan tak kunjung merespons ucapannya. Weni terlihat terkejut, hanya saja matanya berkata lain. Mata seorang Wanita yang tengah bahagia karena apa yang dinantikannya kini menjadi kenyataan.“Apa aku masih kurang baik untukmu? Katakan apa yang membuatmu ragu menjawab ajakanku?” tanya Hajoon mencoba membuat Weni yakin akan dirinya.Weni yang ditanya hanya terdiam, ia merasa ini adalah kesempatan untuknya untuk memantapkan diri. Ia juga sangat penasaran pria seperti apa sebenarnya Park Hajoon yang selama ini ia kenal, masih banyak yang tak ia ketahui tentang pria di hadapannya.“Aku belum tahu banyak tentangmu, itu yang membuatku ragu.” Weni berbicara dengan mantap, terlihat Hajoon tak memperlihatkan keterkejutan akan pernyataannya.Hajoon memegang kembali pipi Weni dan tersenyum lembut. “Tanyakan apa pun yang ingin kamu ketahui untuk aku bisa bersamamu?”Deg! Pertanyaan itu
Hari demi hari berganti, Weni suah berada di rumah barunya selama 3 hari bersama Rena. Rena tidak rewel sedikit pun, ia justru menikmati fasilitas yang di dapatkannya dari Hajoon.Bahkan tanpa dipungkiri Weni juga ikut merasakan itu, ia cukup bebas dan nyaman. Dirinya tak perlu tertekan dengan Haris ataupun keluarganya, Weni menikmati kegiatannya sebagai seorang wanita dengan penuh kedamaian.Weni tak tahu apa yang terjadi di luar sana, terlebih tentang apa yang akan terjadi antara Haris dan Hajoon. Dirinya hanya mengandalkan kabar dari Mila, tapi yang di tunggu tak juga mengabarinya.Ia akhirnya mengikuti apa yang diperintahkan Hajoon, untuk tetap di rumah dan mengikuti semua arahan yang diberikannya. Karena hanya itu yang bisa ia lakukan.“Mamah, Rena mau makan.” Rena menarik baju Weni yang kini tengah menikmati secangkir teh di sofa yang nyaman. Bukankah itu terlihat elegan, ia bahkan tak pernah berpikir meminum teh di ruang tengah dengan menonton televisi akan senyaman ini.“Rena