Dea masih belum bisa memejam mata, padahal jam sudah menunjukkan hampir pukul dua malam. Hm ... gimana bisa merem, si Nana Banana masih aja ketawa jahat di sampingnya. Katanya karena terus terbayang dengan apa yang Dea ceritakan sebelumnya.
Tentang insiden yang bagi cewek berponi itu sangat sadis. Cerita saat cinta seorang Arvan dites oleh bapaknya pakai cara tak biasa.Masa anak orang ditantangin gendong manja peliharaan si bapak, yaitu ikan lele sebesar paha. Sudah berkumis, berkepala gepeng, moncongnya mangap-mangap, pulak. Macam bibir mantan kurang ajar yang lagi gombal, dan ujung-ujungnya nge-gostingin kita.Ervan sebenarnya cowok gagah mirip opa-opa negara tetangga. Tinggi, tegap, dan kegantengannya sudah jangan ditanya lagi. Bagi Dea dia udah paling juara pokoknya.Soal kerjaan, tak kalah kerennya jabatan dia punya. Wakil direktur. Sudah tampan, mapan, pulak. Andai si Dea jadi menikah sama Arvan, sejahtera urusan dunianya.Awalnya, Arvan memang serius mau lamar si Dea, itulah kenapa dia bersedia menemui bapak sang pacar, dan sebelum itu ia begitu yakin bisa menaklukkan hati calon mertua.Padahal, hari sebelumnya Dea sudah mengatakan tentang tabiat bapak dan kakak-kakaknya yang absurd itu. Mengatakan tentang seleksi calon mantu yang super ketat. Kemudian melarang agar Arvan jangan dulu menemui keluarganya, takut dia syok.Namun, Arvan yang sudah tak tahan mau milikin Dea seutuhnya pun tetap nekat melamar, walau sudah diingatkan oleh si pacar bahwa bapaknya rada-rada.Cincin berlian sudah dibelinya, Arvan tetap datang dengan percaya diri. Baru tiba di teras, dia sudah dihalangi kedua kakaknya yang bermuka judes. Cowok ganteng itu ditanyai banyak pertanyaan, mau ke siapa? Tujuannya apa? Dan lain sebagainya.Dia menjawab dengan lancar, dan akhirnya diperbolehkan masuk. Sayang, ketika ketemu tuan rumah sebenarnya, nyali sebesar gunung itu langsung menciut.Melihat betapa menyeramkannya penampakkan bapak si dea yang bawa-bawa golok, dia gemetar. Ditanya pakai nada bentak-bentak. Aduh, itu sudah seperti proses introgasi kepolisian saja. Kasihan Arvan, pasti kena mental.Yang paling nyeremin buat dia, yaitu pas Pak Jhon ngajakin ke halaman belakang, terus dengan santainya nyuruh si Arvan buat gendong salah satu peliharaan lele raksasanya sebagai tantangan pertama supaya dibolehin milikin Dea.Demi restu, Arvan bersedia. Dan ....“AAAKH!” Dia malah jerit pas si lele nggak terima mau diangkat dari dalam baskom. “Sakiiiiiit!” Arvan pun dipatil kumisnya.Auto kabur saat itu juga. Walhasil Dea misuh-misuh, terus nangis kejer di tempat, karena Arvan si ganteng nyerah dan mutusin dia. Untuk ketiga belas kalinya, hubungan kandas seketika. Dea sebal dan terus menyalahkan bapaknya.Emang, dah, bapaknya Dea the best soal ketatnya milih mantu. The best level sadisnya.Saat Dea masih cemberut habis ingat kejadian itu, si Nana malah ngakak terus, tak bisa berhenti.Bantal bersarung putih itu dijejalkan ke wajah untuk menahan tawa agar suaranya tak bocor keluar keras-keras. Takut disemprot Momy-nya yang lagi bobo cantik. Aduh, kebayang betapa tersiksanya itu bantal.“Udah, Na. Tidur. Nanti Momy demo!” sungut Dea. Ia memasang raut kesal. Boro-boro kepancing ikut ketawa waktu Nana goda-goda. Dia malah semakin dongkol.“Habisnya lucu ... bapak kamu itu, loh ha ha ha!” Coba lihat, sekarang malah semakin menjadi. Bantal yang sedari tadi menahannya agar tak ketawa keras, akhirnya dibuka. “Si Arvan sampe digigit moncong lele. Bisa gitu, sih?”“Bukan digigit, tapi dipatil. Kamu tahu itu si lele ada kumisnya? Nah, karena itu! Itu, Na!”Dea mengguncang bahu Nana sambil membelalakkan mata. Kembali teringat kejadian saat mantannya disuruh pegang ikan lele sebesar paha sama bapaknya. Aduh, bayangin aja itu makhluk air mulutnya mangap-mangap kayak mau menelan bulat-bulat.Lah, Pak Jhon enak waktu itu pakai sarung tangan karet. Makanya dia santai abis pas pegang-pegang itu hewan. Kasihan banget nasibmu, Van.*Lain tempat, lain lagi cerita. Bapak Dea yang sudah bawa pedang keramat peninggalan kakeknya pun tancap gas pakai mobil sport. Eh, gaya bener si bapak.“Untung aja sempet nanya di mana si kampret tinggal, jadi bisa nyusul!” ujarnya kesal. Yap, tujuannya rumah si Arvan.Pak Jhon termakan ucapan Kak Maya yang nyebut si Dea diculik sama mantannya sebagai misi balas dendam. Pak Jhon udah marah tingkat dewa, janji pada diri sendiri bakal bikin Arvan bonyok, dan bawa pulang lagi anaknya.Auto heboh dong pas Pak Jhon teriak-teriak di depan pintu rumahnya suruh keluar. Rusuh abis dan meresahkan. Mana bawa benda tajam yang mengilat, pulak. Serem.“Keluar! Mana anak gue! Balikin!”Etdah, dikata ember yang dipinjem tetangga, pakai suruh balikin.Lama tak ada yang buka pintu, bapak Dea gedorin itu daun pintu heboh. Ya, ampun. Saking marahnya sampai tak sadar ada pencetan bel yang lebih praktis.“Heh, Arvan! Keluar! Jangan ngumpet di balik ketiak emak lu! Sini hadepin gue kalau mau dapetin si Dea!” Pak Jhon kelewat marah dan pintu utama disabetnya sama pedang panjang di tangan.Rusuh abis dan akhirnya penghuni rumah yang tadinya emang beneran ngumpet bukain juga itu pintu lebar-lebar. Arvan beneran ngumpet di balik ketiak ibunya.“Aduh, Pak. Ada apa, sih teriak-teriak?! Bawa-bawa benda tajam, pulak! Mau begal rumah saya?!”Pertanyaan ibu Arvan ini menusuk jantung Pak Jhon. Dia tersinggung. Ya, kali mau begal rumah, datang aja pakai mobil sport.“Sembarangan! Saya ini sudah kaya, ngapain begal rumah orang! Saya datang ke sini cuma mau cari Dea, anak saya. Pasti dia di sini karena diculik cowok cemen di belakang ibu itu!” sergah Pak Jhon sambil nunjuk-nujuk ke wajah Arvan yang masih kelihatan bengkak gara-gara patilan si moncong berkumis waktu itu.Arvan menarik-narik tangan ibunya, takut kalau disabet dadakan oleh Pak Jhon. Ibu Arvan malah memdengkus gemas pada anaknya yang penakut. Ia pun menyuruh anaknya diam.“Siapa yang Anda sebut cowok cemen, hah? Anak saya? Keterlaluan, ya! Sudah bikin keributan malam-malam, tuduh anak saya nyulik anak orang, pulak! Mau ditempeleng mukamu wahai Pak Kumis?!”Lengan daster pun dilipat, siap-siap pasang kuda. Aduh, kelakuan dua manusia penghuni bumi ini bikin geleng-geleng kepala.“Malah masih nanya! Nantangin, pulak. Kutebas habislah riwayat Anda!” Tak kalah gaya Pak Jhon pasang kuda-kuda. Bener-bener, deh, mereka.Mata wanita berdaster itu mendelik dan menatap Arvan. “Bener kamu nyulik anak orang?!”Arvan geleng-geleng, lalu berkata, “Sueeer! Kagak!”“Halah, masih berani bohong! Sini kamu cecunguk pendusta!”Gawat, Pak Jhon sekarang malah mengincar Arvan. Dia berlari mengejar cowok yang kocar-kacir histeris.“Dasar tidak mau usaha! Cinta endasmu itu takkan pernah terwujud! Kamu bukan kriteria menantu idaman buat saya! Jadi cepat kembalikan Dea! Di mana dia?!”“Ampun, Om. Sueer! Saya nggak culik Dea! Kami aja sudah putus!” Masih aja sempet jawab, padahal situasinya lagi tak mendukung. Dasar Arvan.Ibunya tak tinggal diam. Dia pun melaporkan bapak Dea ke polisi dengan tuduhan penyerangan.Aduh, lebih gawat.Pagi ini Dea maksain bangun karena lapar. Padahal, ia hanya tidur sebentar menjelang subuh. Gara-gara Nana, sih, jadi begadang. Lihat saja buktinya, lingkaran mata Dea menghitam sekarang.Momy Karina lagi asyik masak sambil ngelantunin lagu dangdut milik raja dangdut. Tak usah disebut namanya, sejagat raya pasti sudah tahu siapa, kan?“Mom—” Eh, baru aja mau bicara, Nana menarik lengannya sambil teriak ceria, ngajakin beli gorengan abang-abang yang suka nongkrong di pengkolan jalan raya. Nana beli sebagai pelengkap hidangan di meja makan nanti.Keduanya pun pergi dengan perut kosong. Tak ayal suara gerucuk-gerucuk dari perut terus terdengar. Ah, tetapi mereka santai saja. Untung keadaan kota lagi rame, jadi suara khas kelaparan itu tak terdengar orang lain.“Bang beli bakwan, keroket, tahu isi, sama goreng tempe dibungkus, ya. Pokoknya atur-atur, deh, yang penting isinya lengkap. Ini uangnya,” ucap Nana seraya menyerahkan lembar hijau bertuliskan angka dua puluh ribu. Ya, ampun. Uan
“Dea, kita disuruh berhenti!” teriak Nana masih dengan suara kencangnya.Kali ini dia berinisiatif berpegangan pada pinggang Dea, tetapi masih saja hampir oleng. Apalagi waktu ketemu polisi tidur, Nana hampir saja tak bisa napas saking takutnya.“Sama siapa?!” Tak kalah berisik Dea menyahut.Takut-takut Nana menoleh, mau tahu siapa yang berteriak menyuruh berhenti. “Heh?!” Mata Nana membulat hampir sempurna ketika melihat dua polantas lagi ngejar di belakang mereka. “Siapa, Na?!” tanya Dea kepo tanpa mau memperlambat laju kendaraannya itu.“Anu, polisi!”“Hah? Anu-nya siapa?!”Ingin sekali Nana getok kepala Dea yang asal jeplak kalau ngomong. Bisa-bisanya si Dea tanya begitu.Yang duduk paling belakang tiup peluit, tapi Dea masih nggak nyadar kalau dia dikejar orang penting. Ampun, dah, kelakuan.“Itu polisi ngejar kita!” Panik, Nana segera laporan ke Dea yang kekurangwarasannya lagi kumat. Tentu saja dengan suara super kencang, takut Dea pas lagi budeg.“Hah? Serius?!” Cewek yang l
Setelah mendengar kabar dahsyat yang begitu mengagetkan tiga manusia beda usia di hadapan Kak Maya, mereka pun gegas mengusulkan untuk pergi ke lokasi.Dea, Nana, dan si Momy cantik terpaksa naik angkot karena tidak mungkin bagi mereka naik motor bonceng tiga. Tamat riwayat mereka kalau ketahuan sama polisi lagi.Yang tadi saja sudah bikin bete bin kesel waktu surat-surat kendaraan diambil, apalagi seandainya yang dibawa motornya? Kacau, nanti Dea habis diomelin sama ibu dan anak itu.Waktu masih menunjukan pukul sembilan ketika ketiganya sampai di polsek. Dea disambut oleh tatapan sinis kedua kakaknya, juga Arvan dan sang ibu.“Dea! Kamu nggak apa-apa?! Ada yang luka?!”Buset, Kak Anita langsung menangkup wajah Dea sampai miring-miring, mastiin keadaannya. Karena dia masih mikir kalau adiknya itu baru bebas dari penyekapan.“Aduh, Kak. Ada apa, sih? Aku baik-baik aja. Kalian kenapa, sih?!” Dea melepas tangkupan tangan Kak Anita, dia pun beralih pandang sama cowok ganteng samping mama
Jadi Dea emang serba salah. Ini salah itu salah. Karena dia biangnya bikin masalah.Dea diem aja pas lihat adegan lebay para kakak-kakaknya peluk haru Pak Jhon yang baru dikeluarin dari dalam sel tahanan. Bagi dia, itu seperti tontonan drama ikan terbang.Boro-boro mau ikut-ikutan, dia ogah sendiri dan ceritanya agak sebel atas kelakuan Pak Jhon yang ngerusuh semalam di rumah sang mantan.Momy Karina gemas dan akhirnya dorong itu cewek, suruh samperin Pak Jhon. Berhubung semua terjadi karena dia nggak ngasih tahu kalau Dea semalam minggat ke rumah, Momy Karin jadi ngerasa paling bersalah.“Apa, sih, Momy?!” tanya Dea setengah berbisik. Dia memicingkan matanya saking sebel.“Sana ke bapakmu dan minta maaf.”Yang bener aja? Minta maaf adalah hal tersulit bagi Dea. Harusnya bapaknya yang minta maaf padanya karena sudah menjadi tembok penghalang bagi dia yang lagi cari cinta sejati.Dea dan Momy Karina masih saing adu mulut dalam bisikan, sampe nggak sadar kalau Pak Jhon dan kedua kakakny
Hm ... hanya karena Pak Jhon tidak sabaran untuk mendapat penjelasan dan pengakuan anak bungsunya yaitu Dea, akhirnya yang terjadi adalah, mobil yang dinaiki banyak orang itu oleng dan hampir menabrak pembatas jalan.CKIIIIT!Untungnya Pak Jhon bisa mengendalikan kembali mobilnya dan memilih untuk berhenti. Daripada mati gara-gara ceroboh."Ya Allah, Pak! Hati-hati!" Dea Posa terkaget-kaget sampai mikir apa dia baru saja hampir berurusan dengan malaikat kematian lagi? Aduh ... Dea sampai basah oleh keringat."Gusti, tak kira kita akan mati, Bun." Nana Banana malah nyeplos sekata-kata. Mengilatkam bulatnya mata Pak Jhon dan Momy Karina."Nana! Jangan ngomong gitu!" tegur Momy Karina sambil mencubit pinggang Nana. Nana meringis sakit, dia yang polos hanya nyengir usai meminta maaf bila kata-katanya salah."Iya, untung masih selamat." Dan ganti dengan kalimat ini.'Buset, tahu ini si Nana. Kagak bisa baca situasi lagi genting juga. Mata bapakku sampai mau keluar lompat, tuh.'"Bapak ngga
Pagi menyapa seperti biasa. Hanya suasana saja yang berbeda. Biasanya, saat membuka mata akan ada salah satu kakaknya yang membangunkan dia sambil bawa sapu atau kemoceng. Memaksa bangun.Tapi kali ini tidak, dan Dea merasa ada yang kosong. Dia duduk di tepi ranjang dengan helaan napas lesu tanpa tenaganya.Menoleh ke atas meja samping ranjang.Tak ada gelas berisi susu, tak ada helai roti selai yang biasa sudah nangkring di atas sana. Tambah lesu Dea Posa.Dia hampir berpikir kakak-kakaknya memusuhi karena masalah semalam. Tapi bukan itu aslinya, dia hanya lupa pintu kamar dikunci, jadi tak ada yang bisa masuk ke dalamnya."Hm, pantesan nggak ada yang masuk kasih perhatian, toh pintunya dikonci. Dah, ah buset!" gerutunya mulai membuat bibir macam tengah komat-kamit.Dea membuka pintu. Dan benar saja, roti serta segelas susu sudah berdiri di atas nampan di lantai itu. Seketika mata serasa tengah diciumi irisan bawang, panas dan tak bisa membuat air matanya diam di tempat."Padahal ngg
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Sudah mau lupa, eh sidia nampak di depan mata. Alamat kayang Dea Posa, soalnya lelaki dambaannya disangka takdir yang tak bisa dihindari."Bener-bener, deh. Alhamdulillah ...."Dea berjalan centil. Membenarkan anak rambut ke belakang telinga sebelum akhirnya dia jalan lurus menuju dia. Laki-laki tampan membahana bermama Daffa.'Alamak ... semakin dekat semakin kelihatan gantengnya. Buset, dah ciptaan Tuhan sempurna banget.'Lebay. Dea muji berlebihan. Karena pada kenyataannya tak ada manusia yang sempurna di muka bumi, termasuk Daffa sekaligus. Walau benar adanya, wajah Daffa macam patung pahatan, dia ada kurangnya.Daffa bukam orang kaya seperti Dea. Terlahir sederhana, diasuh oleh nenek kakeknya, sebab sejak lahir dia dibuang ditinggalkan kedua orang tua yang dipisahkan oleh meja sidang.Sudahlah, hal itu sungguh memilukan untuk dibahas di bab ini.Daffa melamar kerja di kecamatan dan baru saja diterima. Dia kini jadi anak magang yang banyak penggemarnya
Andai Daffa adalah kumbang, dialah kumbang jenis pemilih. Walau dikata ribuan bunga berbaris di tengah hamparan taman, ia tak akan mau hinggap pada salah satunya walau sebentar."Di mana, ya rumahnya? Apa aku buntuti aja dia, ya?" Dea ngeyel mencari tahu soal Daffa di sosial media, siapa tahu ada jejaknya.Tapi ... bukannya menemukan akunnya satu saja, yang ada malah Dea dilanda kesal bukan main. Daffa sungguh kolot, tak ada sosial media!"Ah! Atau jangan-jangan dia pakai nama lain kalau di facebook? Duh, kok gitu banget sih? Kan, jadi susah nyarinya!"Sedikit dongkol, akhirnya Dea menyerah sebentar, lalu melempar ponsel ke kasur. Dia mendesah berat, sesusah ini, ya mendapatkan hati Daffa? Hati meringis, sebab ini kali pertama dia diabaikan oleh pria."Jangankan mendapatkan hati si mas ganteng, mendapatkan akun sosial medianya aja nggak bisa. Sial banget emang. Dan anehnya, dia tambah memesona aja. Kalau iya ga ada akun sosmed, wah bisa dipastikan kalau dia itu cowok setia."Dea bergu
Hari-hari berlalu begitu saja. Normal seperti yang kemarin-kemarin. Herman masih berusaha sekuat hati mendapatkan Kak Dina serta perhatiannya.Tapi tak kunjung mendapat respons yang baik."Kamu, tuh ngapain, sih setiap hari ngikutin?! Kulapoin kamu ke polisi kalau gini terus, dasar penguntit!" Bahkan Kak Dina mengancam saking gedeknya dengan kelakuan Herman yang ada setiap kali ia keluar rumah.Seperti ketika ia lari pagi, tiba-tiba muncul dan sok akrab. Ketika ia mau makan di luar, tiba-tiba duduk di belakangnya atau di sebelahnya. Sampai hari ini ... malam ini, ketika Kak Dina keluar untuk membeli sesuatu di mart, dia muncul lagi, malah pake sok-sok'an mau ngebayarin barang belanjaannya segala.Kak Dina semakin ilfeel."Nanti kalau pak polisinya nanya kenapa aku menguntit, aku pasti jawab karena Dina cantik," ujar Herman tidak takut sekali. Kalaupun dia beneran dilaporkan, pikirnya tak akan mungkin bisa dipenjara lama-lama. Toh, kesalahannya hanya jatuh cinta. Tak ada sentuhan tanga
"Saya akan hubungi abah dan nenek saya di kampung, Pak. Segera."Malam itu Daffa berpikir bahwa semuanya sudah selesai, dan ia hanya tinggal membawa keluarganya untuk menghadap Pak Jhon. Tak pikiran bahwa akan ada halangan lain sama sekali."Tapi sebelum itu terjadi, kamu harus meluluhkan hati kakak Dea dulu, Dina. Karena saya tak bisa mengizinkan kalian menyeriusi hubungan ini tanpa restu dari semua anak-anak saya."Sampai ketika Pak Jhon berkata begini, Daffa pun terkejut. Dia menatap Dea yang murung. Pantas saja Dea tak seantusias dirinya.Jantung Daffa yang semula berdentum-dentum penuh dengan pukulan cinta itu perlahan tak sesemangat itu lagi. Dirinya merasa lemas lunglai seketika.***Dea Dan Daffa duduk berdua di teras rumah. Saling diam awalnya."Kak Dina beneran nggak mau nerima aku sebagai calon iparnya, ya?" Sampai detik ini ia tak mengerti, apa yang salah dari dirinya sampai kakak Dea yang sulung itu tak mau bahkan hanya sekadar melirik saja.Dea tertunduk tak kalah lesu.
Mentari semakin gencar menyemai cahayanya di jam dua belas siang ini. Panasnya lumayan membakar kulit kepala siapa saja yang ada di bawah cahayanya.Pak Jhon melihat ke luar jendela kaca, menatap betapa indah cuaca hari ini sebab tak mendung seperti kemarin.Pikirnya, mungkin karena hujan sudah puas menghujani bumi semalaman, jadi alam menciptakan cuaca bagus hari ini sebagai gantinya.Hati yang awalnya dipenuhi ragam curiga, prasangka, serta ketakutan itu telah kosong ruang-ruangnya. Semua perasaan semu itu telah lari entah ke mana. Pergi, sejak ia selesai bicara dengan Daffa.***Dea dan Daffa kini sedang bergandengan tangan di pinggir pantai. Tidak dekat airnya, sebab panas. Mereka berjalan-jalan di sepanjang deretan pohon-pohon kelapa.Hari yang cerah, hubungan yang sedikit diberi izin, dua hal itu membuat Dea dan Daffa senang bukan main."Jadi, bapak bilang gitu? Izinkan Mas buat ikut seleksinya?" Antara senang dan resah, keduanya menyatu seperti kopi dan gula.Duh, berbahaya. Ra
Nadewi terhenti ketika melihat Daffa terburu-buru. Ia segera kembali, mengikuti langkah Daffa yang entah mau ke mana. Tapi melihat wajahnya begitu berseri, Nadewi pikir mood Daffa sudah membaik, makanya dia berniat untuk PDKT lagi.Ya ... namanya mental pelakor tak ada urat malunya. Dia akan kembali lagi dan lagi sampai laki orang benar-benar berhasil direbutnya.Namun, ketika melihat apa yang terjadi di luar gedung hotel, niat terselubungnya runtuh sudah.Semua karena Nadewi melihat Dea Posa memeluk Daffa. Tidak, lebih tepatnya mereka berdua saling berpelukan sama-sama."Dasae nggak tahu malu! Nggak tahu tempat! Najis amit-amit ih! Liatnya aja jijik!" umpat kasar Nadewi. Inilah bentuk rasa kecewanya karena berkali-kali melihat Daffa benar-benar hanyut dalam cinta yang Dea beri.Kenapa tidak bisa ke dirinya, sih? Dia cantik dan seksi!Ya, bila dibandingkan dengan Dea, Nadewi unggul. Tapi hanya unggul di badan, tidak di hati dan pikiran. Nadewi terlalu gila untuk bisa menjadi kekasih h
"Ya Allah ... pagi-pagi ada aja yang membuatku mau julid." Daffa ngelus Dada. Lantas masuk kamar mandi. Akhirnya dia cuci muka saja, lalu berdoa kepada Allah untuk mengampuninya karena tidak salat subuh.Meski Daffa niatkan, nanti di-qodho, tetap saja rasa bersalah itu menghantui. Saking tak biasanya Daffa melewatkan waktu salat seperti hari ini.Daffa membenahi koper, bersiap pulang. Semalam ia dan pak camat sudah sepakat akan langsung pulang menjelang siang karena tugas sudah tak ada lagi.Tapi karena pak camat melewatkan satu tanda tangan di dokumen, mungkin waktu pulang tertunda. Daffa akan menunggu.Ketukan di pintu mengejutkan Daffa yang masih mengemas pakaian. Tak lama menyusul suara Pak Ridwan, salah satu rekan yang pak camat ajak juga.Daffa buru-buru meninggalkan aktivitasnya dulu, lalu menghampiri pintu dan membukanya."Daffa, kamu katanya kecelakaan. Apa kamu baik-baik saja?!" Pak Ridwan memang terlihat galak, tapi aslinya perhatian. Daffa tersenyum, memperlihatkan tangann
Malam terasa syahdu dan damai. Entah apa yang terjadi setelah Pak Jhon pingsan, dia tidak ingat. Ingatan terakhirnya hanyalah betapa erat Daffa menggenggam tangannya agar ia tak lepas."Ya Allah, aku telah menzalimi anak sebaik itu," gumam Pak Jhon di tengah sesal yang mengungkungnya.Setelah kejadian yang terjadi, banyak hal yang Pak Jhon ketahui tentang seorang Daffa. Dia memang miskin, tapi tidak dengan akal dan hatinya.Jika kelak Pak Jhon menitipkan Dea padanya, mungkin dia akan menjadi sosok yang tepat untuk menjaga anak bontotnya. Memang benar kekayaan tidak bisa menjamin kebahagiaan akan selalu melanda, kadang kesederhanaan pun bila dijalani dengan rasa syukur serta ikhlas, kebahagiaan itu sendiri akan hadir tanpa diminta.Mungkin maksud Dea begitu, hanya saja Pak Jhon selalu dibutakan oleh yang namanya bibit beber bobot. Pria tampan, kaya, berwibawa, berasal dari keluarga jelas dan berpangkat. Selama ini patokan sempurna Pak Jhon begitu adanya. Bukankah itu salah?"Ternyata a
"Bu-bukan begitu, Om. Sa-saya hanya ... aih, ya sedikit—""Dakjaaaaaal! Kamu kurang ajar!" Jelas Pak Jhon murka. Tak ada orang tua yang akan diam saja mengetahui anaknya sudah disentuh pria asing yang bukan pria sah-nya.Pak Jhon melepas kedua sisi perahu yang akhirnya mengakibatkan oleng. Kedua tangan Daffa segera bergerak mencoba menenangkan."Om, tenang dulu. Saya akan jelaskan! Se-semua terjadi begitu saja. Saya mengaku salah, tolong maafkan saya sekali ini saja, saya berjanji tidak akan melakukannya lagi. Sumpah demi Allah!" Ia juga ikut berdiri sekarang, gara-gara takut perahunya terbalik tiba-tiba. Mana hujan belum reda, ombaknya semakin ganas.Wah, kalau sampai nyemplung, untuk selamat rasanya sangat mustahil sekali. Daffa tetap ingin hidup, belum mau mati."Kamu gila?! Terjadi begitu saja?! Bawa-bawa Allah segala! Disambar petir baru tahu rasa!""Haih, Om boleh marah! Boleh memukul saya, tapi tolong jangan sekarang. Sekarang tidak tepat, kita bisa jatuh ke lautan, Om. Saya mo
GLEGAAAR!Hujan kembali turun dari angkasa, menyerbu manusia yang ada di muka bumi, termasuk Dea dan lainnya yang kini masih panik melihat pertikaian antara Pak Jhon dan Daffa.Payung yang Dea kenakan akhirnya tak berguna gara-gara dihantam angin kencang. Melayang, terbang, lalu entah mendarat di mana.Pada akhirnya menunggu hujan reda hanya sia-sia, sebab badan Dea tetap saja basah."Kak Anita! Tolong itu gimana ya Allah!" Dea merangkul kakaknya, tapi Kak Anita pun sama tak tahu harus bagaimana. Dia stres hanya dengan melihat pedang itu bergerak ke kanan dan kiri berusaha menebas Daffa."Telepon polisi!""Jangan Dea! Mau mampus bapakmu masuk sel?!"Ya, pilihan sulit. "Tapi kalau sampai Daffa terluka, bapak tetap akan masuk penjara!" kukuhnya."Ya Allah Dea, masih aja kamu bela pacarmu di saat begini. Iya aku tahu ini sangat menakutkan, aku juga takut bapak melukai anak orang, tapi aku lebih takut bapak kenapa-kenapa. Kecapean aja bisa kumat jantungnya!"Kak Anita melepaskan tangan De
Dea masih memeluk Daffa, erat. Tak peduli Daffa memaksa untuk melepaskannya, Dea tetap tak mau beranjak jauh darinya."Astagfirullah Dea! Ini udah hampir jam sembilan. Kalau kamu nggak pulang, putus kepalamu!" Bukan hanya Dea saja yang Daffa khawatirkan, tapi dirinya sendiri juga. Alamat putus sungguhan kalau anak gadis Pak Jhon tidak diantar pulang sesegera mungkin."Dea nggak mau putus! Kita kawin lari aja gimana?" ucap Dea sekata-kata. Sambil sesenggukan menangis lara."Innalillahi. Kamu ngomong apa?! Buruan lepas ya Allah! Nggak ada, ya kawin lari. Aku tak mau!" tolak Daffa blak-blakan. "Nggak ada pernikahan yang akan langgeng tanpa restu orang tua! Kalau pun ada, pasti rumah tangganya dihantui rasa bersalah dan tak akan bahagia! Sadarlah dan lepaskan Dea!"Melihat jam berdenting begitu cepat membuat Daffa semakin putus asa. Dia seperti prajurit di tengah gempuran bom dan anak panah. Hanya sendirian, tinggal menunggu waktu saja sampai semua buah senjata itu mengenai dirinya.Bersa