“Ruwet! Ruwet!” Cewek muda berponi itu ngedumel dengan semburat raut sebal.
Dia berjalan melintas jalan raya tengah malam, yang langitnya menampakkan bulan sedang berdampingan dengan bintang.Penampakkan itu justru membuat si cewek berponi yang belum sempat mengikat rambut bercat honey tea kusut itu semakin merasa merana. Lengkung miris pun tergaris. Ia mengelus dadanya seraya berucap,“Bulan aja ada pasangannya,” celotehnya lelah hayati dan berhenti melangkah sejenak. Lah aku? Baru pacaran lima hari aja udah jadi jomlo lagi. Nasiib, nasib. Sabar, ya, buat aku ....“Keluhan itu sebenarnya sama sekali tidak membantu. Malah yang ada beban hidupnya terasa tambah berat, dan ujung-ujungnya malah bikin stres abis.Nama cewek itu Dea Klaudia, putri bungsu dari sesebapak bernama Pak Jhon. Widih, keren, ya, nama bapaknya Dea? Itu panggilannya. Kalau nama aslinya Jhoni Mujahidin, seorang juragan ternak ikan lele yang ketenaran usahanya tak diragukan lagi.Dea ini punya tiga kakak perempuan yang usianya tak terlalu terpaut jauh. Dia sekarang berusia dua puluh satu, tapi otaknya sudah melebihi otak si kakak tertua—Dina. Pikirannya terus saja tertuju pada pernikahan. Dia kira menjalani pernikahan itu mudah?Terkadang Dea ini suka ngeces kalau lihat penampakan cowok ganteng. Tak peduli soal bibit, bobot, bebet. Kalau hati sudah buka pintu, dia pasti langsung kejar sampai dapat.Nah, ini jadi permasalahan besar untuk keluarga Pak Jhon. Ia dan para kakak-kakak merasa anak bungsunya masih sangat labil dan terlalu mudah jatuh cinta. Kalau dibiarkan terus, nanti setelah menikah takutnya rumah tangga Dea yang belum seumur jagung akan kandas secara sia-sia, persis seperti kakak keduanya—Anita—yang bercerai sebulan setelah menikah. Miris.Itulah kenapa Pak Jhon dan ketiga, lebih tepatnya kedua anaknya yang lain sepakat untuk mengadakan seleksi calon menantu secara ketat. Siapa pun cowok yang dekat-dekat dengan Dea, bakal dihadang olehnya dahulu.“Tak semudah itu wahai ....” Begitulah jargon Pak Jhon yang kreatif ini.Bayangkan saja saat Pak Jhon mengatakannya diiringi tawa menggelegar penuh ancaman yang amat seram, sambil tangan kanannya mengelus janggut lumayan panjang yang sebagian sudah memutih.Jika bagi Pak Jhon kelakuan Dea adalah masalahnya, bagi Dea malah yang jadi masalah adalah bapak serta sodara-sodaranya. Mereka terlalu ikut campur pada kehidupan percintaan dia. Sampai pakai acara ngadain seleksi calon menantu segala.Malam ini Dea menenteng tas ransel yang isinya mengalahkan tas ransel Dora. Dan isinya bukanlah berupa peta menuju pulau dewata apalagi Alaska, melainkan benda-benda keramat milik wanita. Seperti lipstik, bedak, krim wajah, krim kaki, krim leher, dan krim lainnya.Banyak pokoknya. Ribet kalau harus disebut satu-satu.Sebagai pemberat, ia banyak menjejalkan pakaian yang diambil dalam lemari beberapa belas menit lalu. Ceritanya Dea ini kabur, lagi ngambek sama bapak dan kakak-kakaknya.Ia datang ke rumah Nana, teman sejawat dari masa ketika mereka masih balita. Letaknya tepat berada di depan rumah bapaknya sendiri.Duh, kabur, kok deket-deketan. Ya, pasti gampang disusulin.Itu bukanlah kemauan Dea. Andai punya uang ratusan juta, sudah pasti ia milih kabur ke Amerika, atau Paris, bisa juga ke Afrika? Ya, pokoknya pergi jauh dari keluarganya sambil cuci mata lihat bule-bule di sana.“Assalamualaikum! Momy, Nana ... buka, dong ...!”Dea mengetuk pintu sambil mengucap salam. Namun, dari nadanya yang tinggi bertempo cepat, ucapan itu terdengar agak menggelegar. Persisi seperti debt collector mau nagih utang. Tambah bikin risih kalau pakai acara gedor-gedor daun pintu segala. Untung cewek ini nahan diri.Pintu terbuka, tetapi yang menyambutnya adalah wanita yang tadi dipanggil ‘Momy’ oleh Dea. Namanya Karina. Terlihat lengkung senyum hangat tergaris memanjakan mata, membuat keadaan hati Dea yang sedang marah membara sedikit terasa adem. Salam Dea pun dibalasnya.“Momy ....” Dea merengkuh tubuh proposional janda kalem itu erat-erat. “Bapak, tuh ....” Dan akhirnya mengadu kalau ia sedang marah pada bapak dan ketiga kakaknya karena suatu hal.Wanita yang cantik khas orang dewasa ini berusaha menenangkan dengan memberi elusan di kepalanya sambil menarik masuk ke dalam ruangan.Nana lari pontang-panting, turun dari lantai atas sambil pegangin perut. Dia lagi diare sebenarnya. Sekarang wajah oval itu menampakkan keseriusan yang amat menyiksa. Garis-garus halus tercetak lumayan jelas di kening Nana, dan dia menatap sahabat sekaligus tetangganya penuh tanya. Sayang, diarenya tak bisa ditahan lagi saat itu.“Eh, Dea! Bentar, ya, ada urusan penting dulu yang nggak bisa ditunda-tunda!” Dia berlari, belok kanan dan masuk ke area dapur. Kemudian masuk ke kamar mandi.Ribut sekali Nana ini samapai pintu kamar mandi pun dibantingnya.Dea menangis sesegukan usai bercerita tentang apa yang membuatnya memutuskan minggat ke tetangga depan rumah.Katanya, dia lagi ngambek sama mereka gara-gara bikin hubungannya dengan si pacar kandas. Nahasnya, ini adalah kisah ke tiga belas yang gagal terhalang karena seleksi calon menantu.“Ya, ampun Zeyenk ... ikut prihatin sama kandasnya hubungan kamu sama si Arip itu.” Nana menunjukkan raut sesal, mengibai Dea. Padahal, ia sama sekali tak butuh ditatap begitu. Kesannya semakin menyedihkan sekali.Dea mendelik, tangisnya terhenti, dan ia kini menyatukan kedua alisnya yang hitam mengilat oleh pensil alis.“Arvan, Na ... bukan Arip!” dengkusnya sebal, tetapi rasa itu masih ditahan-tahan sekuat tenaga.Nana nyengir kuda, “Eh, iya. Arvan. Salah ternyata. Kalo nggak salah, Arip itu mantanmu yang ke sepuluh, ya?”Dea menatap semakin sengit. “Nana, Banana ... kapan aku punya mantan namanya Arip?! Ngaco!” Tentu saja ia bantah, soalnya tak masuk akal. Mana pernah cewek berponi itu punya pacar namanya Arip. Ngada-ngada.Momy Karina menyela, menghentikan perdebatan tak berfaedah mereka. Ya iyalah, daripada berisik, kan?“Sudah ... kalian ini kenapa, sih? Ribut cuma karena satu nama. Mau itu Arip, Aron, Arit, intinya Dea lagi galau berat. Kamu jangan nambah-nambahi, dong, Na. Kasihan, kan?”Dea menatap Momy Karina haru, kepalanya mengangguk pelan setuju. Sementara Nana hanya terus nyengir saja, seolah masalah yang dibawa Dea bukanlah suatu hal menyedihkan.Begitulah teman sejati. Selalu tertawa di atas penderitaan.“Ya, sudah. Kamu naik, gih, ke kamar Nana. Kamu boleh tinggal di sini sesuka hati. Tapi ingat, kalian jangan ribut, ya.” Pesan Momy Karina adalah peringatan halus pada keduanya agar jangan berisik, atau jangan ganggu. Momy Karina mau bobo cantik.Baik Dea maupun Nana, keduanya mengangguk saat itu. Gegas mereka naik ke lantai atas dengan tenang sesuai perintah.Ketika Dea bisa bersikap tenang-tenang saja, di rumahnya sekarang malah heboh. Kak Maya, kakak Dea yang ketiga berlari ke arah kamar bapak sambil gedor-gedor pintu, dan bilang kalau adiknya hilang.“Pak! Dea nggak ada di kamar! Bajunya semua nggak ada! Jendelanya kebuka! Kayaknya diculik si Arvan, deh!” teriaknya menuding.Astaga ... pernyataan Kak Maya ini sungguh di luar dugaan. Kok, bisa-bisanya mikir si Dea diculik mantannya, sih?Gawat. Kacaulah dunia persilatan. Bapak Dea begitu marah. Ia mengambil sebilah pedang panjang yang katanya keramat dan sakti dari kamarnya.Dea masih belum bisa memejam mata, padahal jam sudah menunjukkan hampir pukul dua malam. Hm ... gimana bisa merem, si Nana Banana masih aja ketawa jahat di sampingnya. Katanya karena terus terbayang dengan apa yang Dea ceritakan sebelumnya. Tentang insiden yang bagi cewek berponi itu sangat sadis. Cerita saat cinta seorang Arvan dites oleh bapaknya pakai cara tak biasa.Masa anak orang ditantangin gendong manja peliharaan si bapak, yaitu ikan lele sebesar paha. Sudah berkumis, berkepala gepeng, moncongnya mangap-mangap, pulak. Macam bibir mantan kurang ajar yang lagi gombal, dan ujung-ujungnya nge-gostingin kita.Ervan sebenarnya cowok gagah mirip opa-opa negara tetangga. Tinggi, tegap, dan kegantengannya sudah jangan ditanya lagi. Bagi Dea dia udah paling juara pokoknya.Soal kerjaan, tak kalah kerennya jabatan dia punya. Wakil direktur. Sudah tampan, mapan, pulak. Andai si Dea jadi menikah sama Arvan, sejahtera urusan dunianya.Awalnya, Arvan memang serius mau lamar si Dea, itulah
Pagi ini Dea maksain bangun karena lapar. Padahal, ia hanya tidur sebentar menjelang subuh. Gara-gara Nana, sih, jadi begadang. Lihat saja buktinya, lingkaran mata Dea menghitam sekarang.Momy Karina lagi asyik masak sambil ngelantunin lagu dangdut milik raja dangdut. Tak usah disebut namanya, sejagat raya pasti sudah tahu siapa, kan?“Mom—” Eh, baru aja mau bicara, Nana menarik lengannya sambil teriak ceria, ngajakin beli gorengan abang-abang yang suka nongkrong di pengkolan jalan raya. Nana beli sebagai pelengkap hidangan di meja makan nanti.Keduanya pun pergi dengan perut kosong. Tak ayal suara gerucuk-gerucuk dari perut terus terdengar. Ah, tetapi mereka santai saja. Untung keadaan kota lagi rame, jadi suara khas kelaparan itu tak terdengar orang lain.“Bang beli bakwan, keroket, tahu isi, sama goreng tempe dibungkus, ya. Pokoknya atur-atur, deh, yang penting isinya lengkap. Ini uangnya,” ucap Nana seraya menyerahkan lembar hijau bertuliskan angka dua puluh ribu. Ya, ampun. Uan
“Dea, kita disuruh berhenti!” teriak Nana masih dengan suara kencangnya.Kali ini dia berinisiatif berpegangan pada pinggang Dea, tetapi masih saja hampir oleng. Apalagi waktu ketemu polisi tidur, Nana hampir saja tak bisa napas saking takutnya.“Sama siapa?!” Tak kalah berisik Dea menyahut.Takut-takut Nana menoleh, mau tahu siapa yang berteriak menyuruh berhenti. “Heh?!” Mata Nana membulat hampir sempurna ketika melihat dua polantas lagi ngejar di belakang mereka. “Siapa, Na?!” tanya Dea kepo tanpa mau memperlambat laju kendaraannya itu.“Anu, polisi!”“Hah? Anu-nya siapa?!”Ingin sekali Nana getok kepala Dea yang asal jeplak kalau ngomong. Bisa-bisanya si Dea tanya begitu.Yang duduk paling belakang tiup peluit, tapi Dea masih nggak nyadar kalau dia dikejar orang penting. Ampun, dah, kelakuan.“Itu polisi ngejar kita!” Panik, Nana segera laporan ke Dea yang kekurangwarasannya lagi kumat. Tentu saja dengan suara super kencang, takut Dea pas lagi budeg.“Hah? Serius?!” Cewek yang l
Setelah mendengar kabar dahsyat yang begitu mengagetkan tiga manusia beda usia di hadapan Kak Maya, mereka pun gegas mengusulkan untuk pergi ke lokasi.Dea, Nana, dan si Momy cantik terpaksa naik angkot karena tidak mungkin bagi mereka naik motor bonceng tiga. Tamat riwayat mereka kalau ketahuan sama polisi lagi.Yang tadi saja sudah bikin bete bin kesel waktu surat-surat kendaraan diambil, apalagi seandainya yang dibawa motornya? Kacau, nanti Dea habis diomelin sama ibu dan anak itu.Waktu masih menunjukan pukul sembilan ketika ketiganya sampai di polsek. Dea disambut oleh tatapan sinis kedua kakaknya, juga Arvan dan sang ibu.“Dea! Kamu nggak apa-apa?! Ada yang luka?!”Buset, Kak Anita langsung menangkup wajah Dea sampai miring-miring, mastiin keadaannya. Karena dia masih mikir kalau adiknya itu baru bebas dari penyekapan.“Aduh, Kak. Ada apa, sih? Aku baik-baik aja. Kalian kenapa, sih?!” Dea melepas tangkupan tangan Kak Anita, dia pun beralih pandang sama cowok ganteng samping mama
Jadi Dea emang serba salah. Ini salah itu salah. Karena dia biangnya bikin masalah.Dea diem aja pas lihat adegan lebay para kakak-kakaknya peluk haru Pak Jhon yang baru dikeluarin dari dalam sel tahanan. Bagi dia, itu seperti tontonan drama ikan terbang.Boro-boro mau ikut-ikutan, dia ogah sendiri dan ceritanya agak sebel atas kelakuan Pak Jhon yang ngerusuh semalam di rumah sang mantan.Momy Karina gemas dan akhirnya dorong itu cewek, suruh samperin Pak Jhon. Berhubung semua terjadi karena dia nggak ngasih tahu kalau Dea semalam minggat ke rumah, Momy Karin jadi ngerasa paling bersalah.“Apa, sih, Momy?!” tanya Dea setengah berbisik. Dia memicingkan matanya saking sebel.“Sana ke bapakmu dan minta maaf.”Yang bener aja? Minta maaf adalah hal tersulit bagi Dea. Harusnya bapaknya yang minta maaf padanya karena sudah menjadi tembok penghalang bagi dia yang lagi cari cinta sejati.Dea dan Momy Karina masih saing adu mulut dalam bisikan, sampe nggak sadar kalau Pak Jhon dan kedua kakakny
Hm ... hanya karena Pak Jhon tidak sabaran untuk mendapat penjelasan dan pengakuan anak bungsunya yaitu Dea, akhirnya yang terjadi adalah, mobil yang dinaiki banyak orang itu oleng dan hampir menabrak pembatas jalan.CKIIIIT!Untungnya Pak Jhon bisa mengendalikan kembali mobilnya dan memilih untuk berhenti. Daripada mati gara-gara ceroboh."Ya Allah, Pak! Hati-hati!" Dea Posa terkaget-kaget sampai mikir apa dia baru saja hampir berurusan dengan malaikat kematian lagi? Aduh ... Dea sampai basah oleh keringat."Gusti, tak kira kita akan mati, Bun." Nana Banana malah nyeplos sekata-kata. Mengilatkam bulatnya mata Pak Jhon dan Momy Karina."Nana! Jangan ngomong gitu!" tegur Momy Karina sambil mencubit pinggang Nana. Nana meringis sakit, dia yang polos hanya nyengir usai meminta maaf bila kata-katanya salah."Iya, untung masih selamat." Dan ganti dengan kalimat ini.'Buset, tahu ini si Nana. Kagak bisa baca situasi lagi genting juga. Mata bapakku sampai mau keluar lompat, tuh.'"Bapak ngga
Pagi menyapa seperti biasa. Hanya suasana saja yang berbeda. Biasanya, saat membuka mata akan ada salah satu kakaknya yang membangunkan dia sambil bawa sapu atau kemoceng. Memaksa bangun.Tapi kali ini tidak, dan Dea merasa ada yang kosong. Dia duduk di tepi ranjang dengan helaan napas lesu tanpa tenaganya.Menoleh ke atas meja samping ranjang.Tak ada gelas berisi susu, tak ada helai roti selai yang biasa sudah nangkring di atas sana. Tambah lesu Dea Posa.Dia hampir berpikir kakak-kakaknya memusuhi karena masalah semalam. Tapi bukan itu aslinya, dia hanya lupa pintu kamar dikunci, jadi tak ada yang bisa masuk ke dalamnya."Hm, pantesan nggak ada yang masuk kasih perhatian, toh pintunya dikonci. Dah, ah buset!" gerutunya mulai membuat bibir macam tengah komat-kamit.Dea membuka pintu. Dan benar saja, roti serta segelas susu sudah berdiri di atas nampan di lantai itu. Seketika mata serasa tengah diciumi irisan bawang, panas dan tak bisa membuat air matanya diam di tempat."Padahal ngg
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Sudah mau lupa, eh sidia nampak di depan mata. Alamat kayang Dea Posa, soalnya lelaki dambaannya disangka takdir yang tak bisa dihindari."Bener-bener, deh. Alhamdulillah ...."Dea berjalan centil. Membenarkan anak rambut ke belakang telinga sebelum akhirnya dia jalan lurus menuju dia. Laki-laki tampan membahana bermama Daffa.'Alamak ... semakin dekat semakin kelihatan gantengnya. Buset, dah ciptaan Tuhan sempurna banget.'Lebay. Dea muji berlebihan. Karena pada kenyataannya tak ada manusia yang sempurna di muka bumi, termasuk Daffa sekaligus. Walau benar adanya, wajah Daffa macam patung pahatan, dia ada kurangnya.Daffa bukam orang kaya seperti Dea. Terlahir sederhana, diasuh oleh nenek kakeknya, sebab sejak lahir dia dibuang ditinggalkan kedua orang tua yang dipisahkan oleh meja sidang.Sudahlah, hal itu sungguh memilukan untuk dibahas di bab ini.Daffa melamar kerja di kecamatan dan baru saja diterima. Dia kini jadi anak magang yang banyak penggemarnya
Hari-hari berlalu begitu saja. Normal seperti yang kemarin-kemarin. Herman masih berusaha sekuat hati mendapatkan Kak Dina serta perhatiannya.Tapi tak kunjung mendapat respons yang baik."Kamu, tuh ngapain, sih setiap hari ngikutin?! Kulapoin kamu ke polisi kalau gini terus, dasar penguntit!" Bahkan Kak Dina mengancam saking gedeknya dengan kelakuan Herman yang ada setiap kali ia keluar rumah.Seperti ketika ia lari pagi, tiba-tiba muncul dan sok akrab. Ketika ia mau makan di luar, tiba-tiba duduk di belakangnya atau di sebelahnya. Sampai hari ini ... malam ini, ketika Kak Dina keluar untuk membeli sesuatu di mart, dia muncul lagi, malah pake sok-sok'an mau ngebayarin barang belanjaannya segala.Kak Dina semakin ilfeel."Nanti kalau pak polisinya nanya kenapa aku menguntit, aku pasti jawab karena Dina cantik," ujar Herman tidak takut sekali. Kalaupun dia beneran dilaporkan, pikirnya tak akan mungkin bisa dipenjara lama-lama. Toh, kesalahannya hanya jatuh cinta. Tak ada sentuhan tanga
"Saya akan hubungi abah dan nenek saya di kampung, Pak. Segera."Malam itu Daffa berpikir bahwa semuanya sudah selesai, dan ia hanya tinggal membawa keluarganya untuk menghadap Pak Jhon. Tak pikiran bahwa akan ada halangan lain sama sekali."Tapi sebelum itu terjadi, kamu harus meluluhkan hati kakak Dea dulu, Dina. Karena saya tak bisa mengizinkan kalian menyeriusi hubungan ini tanpa restu dari semua anak-anak saya."Sampai ketika Pak Jhon berkata begini, Daffa pun terkejut. Dia menatap Dea yang murung. Pantas saja Dea tak seantusias dirinya.Jantung Daffa yang semula berdentum-dentum penuh dengan pukulan cinta itu perlahan tak sesemangat itu lagi. Dirinya merasa lemas lunglai seketika.***Dea Dan Daffa duduk berdua di teras rumah. Saling diam awalnya."Kak Dina beneran nggak mau nerima aku sebagai calon iparnya, ya?" Sampai detik ini ia tak mengerti, apa yang salah dari dirinya sampai kakak Dea yang sulung itu tak mau bahkan hanya sekadar melirik saja.Dea tertunduk tak kalah lesu.
Mentari semakin gencar menyemai cahayanya di jam dua belas siang ini. Panasnya lumayan membakar kulit kepala siapa saja yang ada di bawah cahayanya.Pak Jhon melihat ke luar jendela kaca, menatap betapa indah cuaca hari ini sebab tak mendung seperti kemarin.Pikirnya, mungkin karena hujan sudah puas menghujani bumi semalaman, jadi alam menciptakan cuaca bagus hari ini sebagai gantinya.Hati yang awalnya dipenuhi ragam curiga, prasangka, serta ketakutan itu telah kosong ruang-ruangnya. Semua perasaan semu itu telah lari entah ke mana. Pergi, sejak ia selesai bicara dengan Daffa.***Dea dan Daffa kini sedang bergandengan tangan di pinggir pantai. Tidak dekat airnya, sebab panas. Mereka berjalan-jalan di sepanjang deretan pohon-pohon kelapa.Hari yang cerah, hubungan yang sedikit diberi izin, dua hal itu membuat Dea dan Daffa senang bukan main."Jadi, bapak bilang gitu? Izinkan Mas buat ikut seleksinya?" Antara senang dan resah, keduanya menyatu seperti kopi dan gula.Duh, berbahaya. Ra
Nadewi terhenti ketika melihat Daffa terburu-buru. Ia segera kembali, mengikuti langkah Daffa yang entah mau ke mana. Tapi melihat wajahnya begitu berseri, Nadewi pikir mood Daffa sudah membaik, makanya dia berniat untuk PDKT lagi.Ya ... namanya mental pelakor tak ada urat malunya. Dia akan kembali lagi dan lagi sampai laki orang benar-benar berhasil direbutnya.Namun, ketika melihat apa yang terjadi di luar gedung hotel, niat terselubungnya runtuh sudah.Semua karena Nadewi melihat Dea Posa memeluk Daffa. Tidak, lebih tepatnya mereka berdua saling berpelukan sama-sama."Dasae nggak tahu malu! Nggak tahu tempat! Najis amit-amit ih! Liatnya aja jijik!" umpat kasar Nadewi. Inilah bentuk rasa kecewanya karena berkali-kali melihat Daffa benar-benar hanyut dalam cinta yang Dea beri.Kenapa tidak bisa ke dirinya, sih? Dia cantik dan seksi!Ya, bila dibandingkan dengan Dea, Nadewi unggul. Tapi hanya unggul di badan, tidak di hati dan pikiran. Nadewi terlalu gila untuk bisa menjadi kekasih h
"Ya Allah ... pagi-pagi ada aja yang membuatku mau julid." Daffa ngelus Dada. Lantas masuk kamar mandi. Akhirnya dia cuci muka saja, lalu berdoa kepada Allah untuk mengampuninya karena tidak salat subuh.Meski Daffa niatkan, nanti di-qodho, tetap saja rasa bersalah itu menghantui. Saking tak biasanya Daffa melewatkan waktu salat seperti hari ini.Daffa membenahi koper, bersiap pulang. Semalam ia dan pak camat sudah sepakat akan langsung pulang menjelang siang karena tugas sudah tak ada lagi.Tapi karena pak camat melewatkan satu tanda tangan di dokumen, mungkin waktu pulang tertunda. Daffa akan menunggu.Ketukan di pintu mengejutkan Daffa yang masih mengemas pakaian. Tak lama menyusul suara Pak Ridwan, salah satu rekan yang pak camat ajak juga.Daffa buru-buru meninggalkan aktivitasnya dulu, lalu menghampiri pintu dan membukanya."Daffa, kamu katanya kecelakaan. Apa kamu baik-baik saja?!" Pak Ridwan memang terlihat galak, tapi aslinya perhatian. Daffa tersenyum, memperlihatkan tangann
Malam terasa syahdu dan damai. Entah apa yang terjadi setelah Pak Jhon pingsan, dia tidak ingat. Ingatan terakhirnya hanyalah betapa erat Daffa menggenggam tangannya agar ia tak lepas."Ya Allah, aku telah menzalimi anak sebaik itu," gumam Pak Jhon di tengah sesal yang mengungkungnya.Setelah kejadian yang terjadi, banyak hal yang Pak Jhon ketahui tentang seorang Daffa. Dia memang miskin, tapi tidak dengan akal dan hatinya.Jika kelak Pak Jhon menitipkan Dea padanya, mungkin dia akan menjadi sosok yang tepat untuk menjaga anak bontotnya. Memang benar kekayaan tidak bisa menjamin kebahagiaan akan selalu melanda, kadang kesederhanaan pun bila dijalani dengan rasa syukur serta ikhlas, kebahagiaan itu sendiri akan hadir tanpa diminta.Mungkin maksud Dea begitu, hanya saja Pak Jhon selalu dibutakan oleh yang namanya bibit beber bobot. Pria tampan, kaya, berwibawa, berasal dari keluarga jelas dan berpangkat. Selama ini patokan sempurna Pak Jhon begitu adanya. Bukankah itu salah?"Ternyata a
"Bu-bukan begitu, Om. Sa-saya hanya ... aih, ya sedikit—""Dakjaaaaaal! Kamu kurang ajar!" Jelas Pak Jhon murka. Tak ada orang tua yang akan diam saja mengetahui anaknya sudah disentuh pria asing yang bukan pria sah-nya.Pak Jhon melepas kedua sisi perahu yang akhirnya mengakibatkan oleng. Kedua tangan Daffa segera bergerak mencoba menenangkan."Om, tenang dulu. Saya akan jelaskan! Se-semua terjadi begitu saja. Saya mengaku salah, tolong maafkan saya sekali ini saja, saya berjanji tidak akan melakukannya lagi. Sumpah demi Allah!" Ia juga ikut berdiri sekarang, gara-gara takut perahunya terbalik tiba-tiba. Mana hujan belum reda, ombaknya semakin ganas.Wah, kalau sampai nyemplung, untuk selamat rasanya sangat mustahil sekali. Daffa tetap ingin hidup, belum mau mati."Kamu gila?! Terjadi begitu saja?! Bawa-bawa Allah segala! Disambar petir baru tahu rasa!""Haih, Om boleh marah! Boleh memukul saya, tapi tolong jangan sekarang. Sekarang tidak tepat, kita bisa jatuh ke lautan, Om. Saya mo
GLEGAAAR!Hujan kembali turun dari angkasa, menyerbu manusia yang ada di muka bumi, termasuk Dea dan lainnya yang kini masih panik melihat pertikaian antara Pak Jhon dan Daffa.Payung yang Dea kenakan akhirnya tak berguna gara-gara dihantam angin kencang. Melayang, terbang, lalu entah mendarat di mana.Pada akhirnya menunggu hujan reda hanya sia-sia, sebab badan Dea tetap saja basah."Kak Anita! Tolong itu gimana ya Allah!" Dea merangkul kakaknya, tapi Kak Anita pun sama tak tahu harus bagaimana. Dia stres hanya dengan melihat pedang itu bergerak ke kanan dan kiri berusaha menebas Daffa."Telepon polisi!""Jangan Dea! Mau mampus bapakmu masuk sel?!"Ya, pilihan sulit. "Tapi kalau sampai Daffa terluka, bapak tetap akan masuk penjara!" kukuhnya."Ya Allah Dea, masih aja kamu bela pacarmu di saat begini. Iya aku tahu ini sangat menakutkan, aku juga takut bapak melukai anak orang, tapi aku lebih takut bapak kenapa-kenapa. Kecapean aja bisa kumat jantungnya!"Kak Anita melepaskan tangan De
Dea masih memeluk Daffa, erat. Tak peduli Daffa memaksa untuk melepaskannya, Dea tetap tak mau beranjak jauh darinya."Astagfirullah Dea! Ini udah hampir jam sembilan. Kalau kamu nggak pulang, putus kepalamu!" Bukan hanya Dea saja yang Daffa khawatirkan, tapi dirinya sendiri juga. Alamat putus sungguhan kalau anak gadis Pak Jhon tidak diantar pulang sesegera mungkin."Dea nggak mau putus! Kita kawin lari aja gimana?" ucap Dea sekata-kata. Sambil sesenggukan menangis lara."Innalillahi. Kamu ngomong apa?! Buruan lepas ya Allah! Nggak ada, ya kawin lari. Aku tak mau!" tolak Daffa blak-blakan. "Nggak ada pernikahan yang akan langgeng tanpa restu orang tua! Kalau pun ada, pasti rumah tangganya dihantui rasa bersalah dan tak akan bahagia! Sadarlah dan lepaskan Dea!"Melihat jam berdenting begitu cepat membuat Daffa semakin putus asa. Dia seperti prajurit di tengah gempuran bom dan anak panah. Hanya sendirian, tinggal menunggu waktu saja sampai semua buah senjata itu mengenai dirinya.Bersa