Berhari hari Kylee harus menahan umpatan demi umpatan pada pria menyebalkan didepannya itu. Ia sungguh mengusik hari-hari Kylee dengan hal konyolnya. Kadang mengusiknya dengan melempar sesuatu ke jendela Kylee pada pagi hari. Kadang membuntutinya. Menyebalkan sangat. Tapi tidak untuk hari ini pria itu bahkan tak memperlihatkan batang hidungnya sama sekali. Jujur saja Kylee jadi kesepian, tak ada celotehan gila dari pria itu. Tapi tetap saja menyebalkan.
Kylee kini menjemur pakaian dengan sesekali menegok kerumah disebrang sana. Pria menyebalkan itu adalah tetangga dekatnya. Bahkan adiknya Gee malah sangat luluh dengannya.
"Tumben sekali dia tak mengusikku? Dia bosan apa sibuk? Aish entahlah." gumam Kylee sambari menenteng embernya.
Ia mengehentikan langkahnya ketika menangkap siluet pria yang kini keluar dari rumah dengan menaiki sepeda. Dengan cepat ia membuang ember dan langsung meneriaki namanya.
"HEI!!! Kau ingin kemana?!" tanya Kylee kini berlari kearahnya. Pria itu mengerutkan keningnya namun akhirnya menghela nafas beratnya melihat gadis yang kini tengah cengingiran tak jelas.
"Kenapa? Aku ingin belanja ke pasar. Jangan sekarang aku sedang malas berdebat denganmu." ujarnya malas kini kakinya siap akan menggayuh sepedanya namun dengan segera Kylee mencegahnya dengan merentangkan kedua tangannya didepan pria itu. Bermaksud menghalangi jalannya.
"Aku ikut." putus Kylee naik sepedanya begitu saja. Ia berdiri sambari memegang bahunya. Jalas pria itu ingin protes namun sepertinya sia sia alhasil ia hanya menghela nafas beratnya.
"Ck.. Pegangan." perintahnya.
"Iya iya, Let’s go.. Brian " serunya bersemangat. Pria bernama Brian hanya menggeleng malas, namun tak sadar sudut bibirnya tertarik keatas membuat lengkungan pada wajah tampannya. Ia menggayuh sepedanya menyusuri jalan dengan kecepatan sedang, Raut wajah Kylee sangatlah bahagia. Ia sangat menyukai hal kecil seperti ini. Hatinya benar benar senang.
“Brian kayuhlah yang lebih cepat!" protes Kylee. Bibir Brian mencebik, "Kau cerewet sekali! Kau berat tahu!"
Kylee memukul pundak Brian cukup keras, "Ck kau saja yang payah!" Brian mendelik tak suka, benar benar wanita dibelakangnya itu membuat darahnya naik.
"Enak saja. Kau yang berat." ujarnya kini malah mengolengkan sepedanya, ia menggoda Kylee dengan cara mengolengkan sepedanya ke sana kemari.
"Kyaaa. Hati hati bodoh?!!!" sang empu malah tertawa lepas. Begitu juga Kylee yang tertawa karena tingkah usil Brian . Hanya bahagia yang menghampirinya.
Kini mereka berdua sampai di pasar tradisional, memilih sayuran ini dan itu. Mata Kylee berbinar melihat berbagai sayuran didepannya. Ia baru pertama kali mendatangi pasar tradisional dengan terpampang harga lumayan murah. Saat ia menjadi dirinya ia memilih untuk ke supermarket yang terbilang praktis. Juga kualitasnya.
"Wuahhhh.. Sayur sayur itu apa sama kualitasnya dengan disupermarket?" tanya Kylee dengan polosnya. Baiklah Brian kini berpikir sejak kapan wanita disampingnya itu peduli dengan sayuran? Namun ia tak ambil pusing.
"Hmm.. Kau bisa menawar walaupun harganya sudah terbilang murah." jawabnya kini sampai di salah satu tempat sayur. Ia memilah milih tomat.
"Benarkah?" tanya Kylee kini ikut memilih yang ada didaftar belanjaan Brian. Lagi-lagi kening Brian berkerut.
"Kau suka masak?" tanya Brian. Kylee tentu mengangguk antusias.
Apa hilang ingatan juga merubah hobi juga kemampuan seseorang? Padahal dia hanya bisa membuat kopi. Masak saja gosong?
"Sejak kapan? Bibi bungkus ini dua ya." kata Brian menyerahkan dua buket bayam. "Ah ya.. Aku tambah satu. Kalian pengantin baru ya?" tanya Bibi itu dengan semburat wajah bahagia. Brian dan Kylee hanya tersenyum kikuk.
"Pantas saja kalian serasi. Ini." ujar Bibi itu menyerahkan sayurnya. Begitu juga Brian yang membayar. "Terima kasih Bibi." ujar Kylee. Kini mereka melanjutkan membeli ke tempat ikan.
"Sejak kapan kau suka memasak?" tanya Brian lagi. Kylee berfikir keras. Ah sepertinya ia melakukan kesalahan.
"Hanyaa.. Suka tapi tak pernah enak. Iyakan? Itu dirikukan? Kau bisa masak?" Brian menhembuskan nafas sedikit lega. Lega? Aneh sekali.
"Yah kau benar-benar lupa diriku?! Aku bahkan tampil diacara tv. Kau tak tahu aku pemilik restoran Blue Rose. Wahhh setidaknya jika kau lupa diriku kau harusnya mengenalku ditelevisi. Wahh.."
Mata Kylee sukses melebar, "Benarkah? Kau pemilik restoran itu? Jadi... Kau chef Brian yang terkenal itu. WOW!"
Brian terkekeh pelan, "Kau mengakui diriku terkenal? Hanya saja ada yang kurang..." Kylee mengrenyitkan dahinya menunggu pria didepannya itu kembali berucap."..kau kurang memujiku tampan heheh."
Kylee memutar bola matanya malas. Hampir saja ia tersedak ludahnya sendiri. Tapi ada rasa bahagia yang hinggap dihatinya. Jika dirinya Jean pasti dia akan berkenalan, mengajaknya bekerja sama. Dan lainnya tapi bertemu seperti ini membuat ia lebih senang. Ia bisa merasakan masakan chef ternama itu dengan langsung. Ahh cita-citanya terkabul juga.
"Nanti masakkan aku ya?" pinta Kylee kemudian.
"Tidak gratis."
"Tidak masalah."
"Mencuci piring, deal?"
"Deal."
Brian menoleh sebentar namun ia lagi lagi hanya tersenyum. Sifat dingin Jean entah mengapa menjadi sedikit lebih hangat. Padahal jika diingat Jean sangatlah susah untuk diajak komunikasi, apalagi untuk didekati.
---
Manik mata Jean tak lepas dari keadaan sekitar yang membuat dirinya sukses mengaga. Apartemen Gavin. Sungguh lumayan luas namun mewah, Jean yakin Gavin pasti seorang kaya raya. Apartemennya tertata sangat rapi. Dan membuat ia sepertinya akan nyaman disini. Setelah puas melihat lihat kini Jean memasuki kamarnya. Jean rasa pemilik tubuhnya itu sering menginap disini,tak heran kamarnya terdapat beberapa foto dan parfum juga make up bermerk sama yang tertinggal dimeja riasnya. Sebenarnya dia masih bingung dengan hubungan Gavin. Walaupun sepasang kekasih tentunya tak sedekat seperti ini atau lebih dari sepasang kekasih?
"Kau sudah selesai menata baju?" tanya Gavin mengagetkan lamunan Jean. Ia berdiri diambang pintu sambari bersedekap. Jean mengangguk cepat.
"Ayo makan jika sudah." ujar Gavin kemudian. Jean menyusul Gavin ke ruang makan, sudah tersedia banyak makanan disana. Gavin yang memasak ini?
"Kau yang memasak ini?" tanya Jean memposisikan dirinya duduk.
Gavin terkekeh pelan, "Tidak. Aku memesan." Jean ber-oh ria saja.
Mana mungkin Gavin memasak sebanyak itu dalam waktu singkat."Enak?" tanya Gavin. Ia membawa tanganya untuk menghapus makanan yang tertinggal di sudut bibir Jean. Jean mengangguk.
"Tapi lebih enak masakanmu. Aku merindukan masakanmu." Seketika Jean berhenti mengunyah. Ia menatap Gavin tengah tersenyum, "Aku bisa memasak?" tanya Jean hati-hati. Lagi-lagi Gavin tersenyum lebar.
"Eum. Kau kan chef di restoran Lets Eat!. Kau juga lupa? Cara memasak juga?" Jean meneguk salivanya kasar. Ia menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Bingung.
Gavin mengacak rambut Jean, "Wahhh kau benar-benar lupa. Jangan bilang kau juga lupa diriku siapa?" Masih bungkam, namun sesuatu terlintas dipikiranya. Mata Jean sukses melebar,
"Kau.. Gavin pemilik perusahan terkenal itukan? GO Corp! Benarkah?"
Oh ayolah bukan itu yang ingin Gavin tau. Gavin ingin Jean ingat bahwa sebenarnya Gavin adalah...Ah sudahlah.
"Kenapa kau malah mengingat itu?" kesal Gavin. Jean tersenyum lebar.
"Memangnya kenapa? Memang dirimu terkenal.. Wah keren, aku bisa bertemu orang sekeren dirimu." Puji Jean tanpa sadar.
Gavin menoleh, sejak kapan..
"Sejak kapan kau memujiku keren? Kau menyadarinya jika aku keren? Wah sungguh tak ku percaya." kegirangan Jean berhenti tatkala mendengar Gavin berkata seperti itu.
"Memangnya aku tak pernah memujimu? Tak pernah?"
Gavin mengaga tak percaya, hilang ingatannya merubah sifat gadis didepannya itu total. "Kau bercanda? Kau bahkan tak pernah memujiku sedikitpun. Yang kau puji hanyalah chef itu. Tak ada bandingannya denganku. Ck."
Jean melipat bibirnya kedalam, "Benarkah? Memangnya siapa dia?"
"Wahhh... Aku harap kau benar-benar lupa dan tak mengingat chef sialan itu. Aku tak ingin memberitahumu."
"Jangan mengatainya sembarangan. Aku yakin dia pasti lebih tampan darimu. Hingga kau mengatainya."
Gavin melotot tak percaya, “Hei jangan sembarangan. Aku lebih tampan dan keren darinya. Heran saja. Banyak wanita yang tergila gila denganku. Tentunya lebih kaya."
Jean mencebikkan bibirnya, mengendikan bahunya, "Tak percaya. Eumm.. Aku rasa aku tahu orangnya."
"Hei jangan diingat. Aku tidak suka." jawab Gavin kesal. Padahal Jean sedang mengerjainya. Salah siapa Gavin suka menggodanya. Sekarang giliran Jean.
Balas dendam
"Bukanya chef... Eum ..ahhhh... Brian bukan?"
"HEIII!" Bentak Gavin membuat Jean bungkam.
Namun bukan malah takut Jean kini sedang menahan tawanya. Melihat wajah Gavin yang marah seperti anak kecil membuat Jean gemas. Padahal ia hanya menebak. Membawa nama tetangganya. Ah iya bagaimana kabar tetangga rewelnya itu? Gavin mendengus sebal , lantas Gavin kemudian meninggalkan Jean, ia memilih pergi kekamarnya. Merajuk ruapanya.
"Gavin? Kau marah? Benarkah?" tanya Jean yang tak diubris oleh Gavin. Dan sekarang Jean merasa bersalah ketika Gavin menutup pintu lumayan keras.
"Hah.. Dia marah." Jean dengan lahapnya kini menyantap makanannya. Ia mencuci piring setelah itu ia memberanikan diri untuk menghampiri kamar Gavin. Tak enak jika marahan dengan orang serumah.
Tok tok tok
Kini Jean mengetuk pintu tapi tak ada jawaban dari dalam. Ia meraih gagang pintu lalu membuka pintu perlahan. Tak dikunci.
"Gavin.. Kau didalam." Jean menyembulkan kepalannya dari balik pintu.
Matanya melihat sekeliling, menangkap sosok yang kini tengah bergelung diselimut. Jean menghela nafas antara lega dan bingung, Gavin tadi hanya mengintip sekilas dan kini wajah dan tubuhnya tertutup selimut sepenuhnya.
Mau tak mau Jean kini meyakatinya, naik kesisi ranjang kosong. Ia mencoba membuka selimut Gavin namun pria itu menahannya cukup erat.
"Kau masih marah? Gavin... Jangan marah.. Tidak enak jika seperti ini. Maaf ya? ya? Ayolahhh Gavin.. Aku bingung jika kau marah."
Dibalik selimut Gavin tersenyum lebar mendengar rengekan Jean. Tapi ia mencoba menahan semuanya. Ia ingin tahu apa yang akan dilakukan Jean selanjutnya. Salah sendiri dia membuat dirinya kesal.
"Hei ayolah. Maafkan aku... Jika kau mendiamiku seperti ini aku merasa buruk. Begini saja aku akan melakukan apapun terserah yang penting kau memaafkanku." Dengan cepat Gavin menyibakkan selimutnya dengan senyum lebarnya. Ah! Senyum jahilnyanya. "Apapun?" Jean mengangguk tanpa ragu.
"Tapi jangan macam-macam." Baru saja Gavin ingin meminta, Jean sudah melarangnya. Melarang apa? Gavin hanya ingin meminta....
Ehem!
"Memangnya aku sudah mengatakan. Ingin apa? Ya sudah aku tak akan memaafkanmu."
"Memang apa yang kau minta Gavin? Kau jangan aneh-aneh."
Gavin memanyunkan bibirnya, "Aku ingin kiss me.."
TAK
"Aww sakit Kylee! Kenapa kau memukul kepalaku!" Gavin memegangi kepala bekas pukulan Jean.
"Salah sendiri kau tak tahu malu mengatakannya. Tidakkah terlalu vulgar?" Gavin menampakkan smirknya, membuat Jean bergidik ngeri. Apa dia salah bicara?
"Jadi kau ingin aku mengkode dirimu? Begitu? Kau ingin aku diam-diam meminta itu darimu,'kan?" Benar saja Jean salah bicara. Pria didepannya itu sungguh tak jauh dari kata mesum. Posisinya sekarang juga tak mengenakkan. Yakin sekali Gavin adalah pria termesum dari awal. Sungguh bodoh Jean.
"Tid-ak.. B. Bukan seperti itu hmpp.."
Ucapan Jean terpotong begitu saja ketika Gavin langsung menyambar bibir Jean. Ia menarik tengkuk Jean agar semakin dalam. Berbeda dengan Jean yang matanya melebar sempurna bahkan ia menahan nafas beberapa detik tubuhnya menegang.
Awalnya Gavin hanya menempelkan , namun perlahan ia melumat, menghisap kecil, tak kunjung merespon kini Gavin menggigit bibir bawah Jean hingga ia membuka mulutnya memberikan akses untuk masuk. Mengabsen seluruh giginya. Jantung Jean seperti ingin meledak, perlahan semburat merah terpatri pada wajah cantiknya. Dan itu terlalu memabukkan bahkan ia perlahan menikmatinya. Ia bahkan mengalungkan tangannya keleher Gavin.
Ciuman yang diberikan Gavin sungguh memabukkan lembut dan tidak menuntut, seperti ada kupu-kupu terbang diperutnya. Darahnya berdesir, dan itu adalah ciuman pertamanya. Merasa pasokan oksigen telah habis. Jean memukul dada Gavin. Begitu Gavin langsung melepaskan tautan keduanya. Nafas mereka tersengal sengal, dengan rakus baik Jean maupun Gavin menghirup oksigen sebanyak banyaknya.
"Aku rindu dirimu." bisik Gavin yang kini tengah menariknya, membawanya ikut berbaring. Ia memeluk tubuh Jean yang masih mematung, memeluknya posesif. Perlahan sorot mata Jean melunak. Menatap lekat pria yang tengah memejamkan matanya itu. Ada rasa bersalah dalam dirinya.
Mengingat bahwa dia bukanlah Kylee melainkan Jean
-To Be Continued-
"Chef! Aku bantu apa?" panggil Kylee kini sudah berada disamping Brian yang mengupas bawang. Brian mengrenyit, "Kau bisa kupas bawang ini?" tanyanya ragu. Tak disangka gadis di depannya itu mengangguk antusias.Brian mengangguk lalu menyerahkan pisau dan bawang itu kepada Kylee. Sedangkan dirinya menyiapkan bahan yang lain."Chef sejak kapan kau menyukai memasak?" tanya Kylee masih dengan bawangnya.Brian berfikir sebentar, "Eum mungkin sejak Ibuku meninggal." jawabnya.Kylee terkejut mendengar penuturan Brian. Bukan maksud Kylee untuk menyinggungnya. "Maaf.. Bukannya bermaksud." Sesal Kylee.Brian terkekeh, ia menyalakan kompor dan memasukkan rempah rempahnya. "Tidak papa.. Tenang saja. Aku suka memasak sejak Ibuku meninggal, karena tak saat itu aku berfikir bahwa tak kan ada lagi yang memasakkanku..""... Jadi aku bertekad kuat intuk belajar memasak seperti masakan Ibu. Sewaktu waktu aku merindukan aku bisa masak send
Author's pov Berkali-kali pria itu menghembuskan nafas beratnya, memijat pelipisnya yang terasa berdenyut akibat dari pikiran yang memenuhi seperti benang yang saling simpang siur tak tentu arah. Ia meyandarkan punggungnya pada kursi kerjanya, melonggarkan dasi yang seakan mencekik lehernya. Bro, sepertinya ada yang tidak beres dengan kecelakaan kemarin. Polisi masih menyelidiki hal itu, dan ada yang janggal. /Brak/ "ARGHHH Sialan! Sialan! Sialan!" Pria itu menggebrak meja cukup keras, tangannya mengepal erat memperlihatkan urat-urat nadinya. Nafasnya terengah-engah, rahangnya mengeras, terlihat jelas bahwa dia memendam amarah yang bergejolak dalam tubuh pria itu. Sorot matanya bahkan kini berubah sangat dingin,nyalang, dan mengintimidasi. Sesaat, emosinya perlahan reda, ia mengusap wajah lelahnya kasar, dadanya berkecamuk. Rasa benci, kecewa, marah semua bercampur menjadi satu dan h
"Jackson?" panggil seorang wanita bersurai coklat dengan poni tipis di dahinya. Tak lupa senyum hangatnya mampu membuat ptia bernama Jackson itu terpaku sejenak. Lekas tersadar pria bernama Jackson itu lantas membalas senyuman wanita di depannya ini, beranjak berdiri untuk membalas tamu penting yang datang menemuinya. Dimple nya sungguh manis di pria bermarga Kim ini. "Ya, benar. Jean teman Harris, benar?" tanya Jack ramah. Jean mengangguk masih dengan senyum manisnya, "Maaf mengganggu anda." Jack menggeleng pelan, "Tidak, kebetulan aku juga sedang ada waktu luang. Ngomong-ngomong jangan terlalu formal. Aku merasa sangat tua jadinya hahah." Jean tersenyum mengangguk. Jika dilihat dari segi umur memang tak jauh berbeda, mengingat wajahnya yang juga masih sangat muda dan rupawan. Alih-alih bertanya mengapa Jean bisa menemui Jack jawabannya adalah karena cerita Brian beberapa waktu lalu. Yaitu tentang kasus kecelakaan bus itu yang menga
Sedari pria yang mengemudi itu terus diam. Sesekali matanya melirik wanita yang duduk di sebelah kanannya dengan rasa antara bingung, khawatir. Melihat wanita itu terus menatap kosong lurus kedepan."Kau baik-baik saja?" ucapnya memecah keheningan yang menyelimuti suasana dalam mobil. Kylee menoleh sebentar lalu mengangguk. Helaan nafas berat terdengar dari pria bernama Brian itu, ia belum puas akan jawaban yang Kylee berikan. Tapi apa boleh buat itu bukan haknya untuk tahu, hanya saja ia sangat bersedia jika Kylee dengan senang hati menceritakan."Aku lebih senang Jean yang cerewet seperti bebek." Ujarnya tiba-tiba tanpa memalingkan wajahnya ke wanita itu, satu sudut bibirnya tertarik menyunggingkan sebuah senyum.Kylee menoleh cepat lalu mendegus, "Dan kau seperti pak tua pemilik bebek itu." yang akhirnya Kylee ikut tersenyum.Brian mendelik tak suka, "Heh! Aku tampan tau.""Siapa yang bilang jelek, Bodoh!!" seru Kylee tak terima. Brian menoleh d
Tok Tok Tok/cklek/"Gavin?" Panggil seorang wanita yang tak lain adalah Jean. Kepalanya menyembul di balik pintu, mengedarkan pandangannya memastikan bahwa lelaki yang ia cari berada di dalam ruangan kerjanya.Ternyata benar, Jean melihat lelaki itu sedang berkutat dengan berkas-berkas ditangannya. Ya sedari tadi pagi Gavin tak keluar dari ruangan kerja yang ada di apartemen membuat wanita itu sedikit khawatir. Mengingat Gavin juga melewatkan makan. Dengan mantap dia memberanikan diri untuk membuka pintu hingga menampakkan semua tubuhnya tak lagi hanya kepala yang menyembul. Selama Jean di apartemen milik Gavin, Jean tidak pernah memasuki kamar milik Gavin atau ruang kerjanya. Menurut Jean itu tidak sopan dan tidak ada alasan juga untuk masuk."Gavin makanlah dulu aku sudah membuatkan makan siang untukmu." ujar Jean masih berdiri tak jauh dari pintu.Gavin yang menyadari kehadiran Jean lantas ia mengalihkan sejenak atensinya ke J
Musik klasik terdengar mengalun di ruangan yang tak begitu luas. Terlihat sang empu tengah menikmati suasana tenang dengan segelas wine di tangannya. Tak terganggu sedikitpun dengan tingkah gadis di depannya itu mondar mandir tak jelas."Apa yang kau khawatirkan?" tanya sang pria yang duduk di sofa dekat jendela kamar miliknya.Yang di tanya hanya melirik dan menghela nafas kasar, lantas ia melangkahkan kakinya dan duduk di pangkuan sang lelaki. Dengan senang hati lelaki itu membiarkan wanita itu bermanja dengannya."Kenapa hm? Khawatir tentang itu lagi?" tanya lelaki itu sambari membelai lembut rambut wanitanya.Wanita itu kembali menghela nafas, "Kau benar-benar tak khawatir? Bagaimana jika kita ter--""ssttt tidak akan. Percaya padaku." potong lelaki itu cepat dengan menaruhkan telunjuknya ke bibir wanita itu. "Kenapa kau tidak percaya denganku? Hei, kita sudah merencanakannya dengan matang. Tinggal menunggu selanjutnya,"Wanita itu
Lelaki itu mencoba memejamkan matanya kuat untuk mencoba tidur. Tetapi beberapa kali perkataan aneh itu masih berputar-putar di kepala lelaki itu dan ia merasakan bertapa terganggunya dengan perkataan tidak masuk akal itu dan terbilang sangat aneh. Beberapa kali lelaki tersebut menarik nafasnya lalu mengeluarkan perlahan guna memfokuskan dirinya untuk tidur namun sepertinya sia-sia."Iya, Aku mengalami itu. Bisa dibilang aku bukan Jean.""Dan aku bertemu Jack tadi dia tahu jika aku bukan Jean. Dia memintaku menemui ibunya yang mana seorang paranormal.""Sialan aku tidak bisa tidur!!!" Seru Brian menendang - nendang selimut asal. Menjambak rambutnya frustasi, setelah mendengar penjelasan Jean tadi otaknya mendadak kososng. Kepalanya berdenyut tidak karuan. Ingin ia tak mempercayainya sama sekali , tapi raut wajah Jean yang serius membuat ia berfikir dua kali.Huhhh...Brian menghela nafas panjang, menatap langit-langit. Pe
/Cklek/Suara pintu kamarnya itu membuat pemuda yang awalnya fokus pada benda di depannya kini menatap presensi wanita paruh baya itu sejenak. Senyum yang hangat dari wanita paruh baya itu tak pelak membuat pemuda itu juga ikut tersenyum. Ditangan wanita paruh baya itu terdapat nampan berisikan makanan dan satu gelas susu."Kau tidak istirahat dulu? Ibu lihat dari tadi malam kau datang kau masih memandangi dua benda itu." Tanya wanita paruh baya itu meletakkan nampan di nakas samping tempat tidur.Pemuda itu tersenyum menampilkan dimple manis pada pipinya, "Aku lelah tapi tidak bisa istirahat. Pikiranku penuh." Keluhnya.Sang ibu lantas duduk di sisi ranjang-disebelah pemuda itu. Matanya ikut mengamati benda berkilau yang tergeletak di atas selimut pemuda itu. Perlahan ibu menghela nafas, "Kau masih marah dengan Ibu? Jack, maafkan Ibu andai saja Ibu saat itu tak bilang padamu bahwa waktunya sedikit pasti-""Ibu..." Jack ters