Matahari baru saja menyinari pagi. Sisa-sisa embun itu masih melekat di atas dedaunan. Embun-embun yang dingin menyentuh kulit dengan lembut. Suasana pagi yang sejuk, seolah tak ada duanya di waktu-waktu lainnya.
Sena memperhatikan sekitar, tidak ada orang. Ia mencari zona teraman dan ternyaman yang bisa ia lewati. Setelah menemukan akhirnya ia berdiri di sana.
Sena mulai menghembuskan nafasnya perlahan. Ia menikmati suasana udara pagi yang jarang ia temukan di kota. Sesekali ia memejamkan mata.
“Ke mana kau akan pergi?” Suara Azlan mengagetkan Sena yang kini berdiri di belakang tenda. Ia menatap Azlan menyebalkan, ia masih kaget di buatnya.
“Aku bertanya dan butuh jawaban.” Ujar Azlan lagi. Sena masih diam di tempatnya tak berniat menjawab. Pikirannya memikirkan hal lain, ia bahkan tidak mendengar ucapan Azlan. Azlan menyentikkan jarinya di depan Sena. Hal itu membuat lamunan Sena buyar seketika.
“Sejak kapan kau berdiri di situ?” Ujar Sena b
Azlan bersiaga menghunuskan benda tajam yang ia siapkan di balik jaketnya. Sena enggan berpaling, ia maju selangkah kemudian berpaling. Untuk menghindari kemungkinan buruk yang akan terjadi. Keduanya menghela nafas, saat melihat ke arah sumber suara. Azlan mengembalikan pisau lipatnya. Sena tersenyum kemudian melihat sosok yang kini berdiri di depannya. “Apa yang kalian lakukan di sini?” Suara pak tua terdengar khas. Ia tersenyum ke arah kami berdua. Ia melangkah melewati kita yang masih diam di tempat. “Kenapa kalian sudah ada di sini. Sepagi ini?” Tanya Pak Tua lagi sambil menautkan kedua tangannya di punggungnya. Sena mengubah arahnya, kini menjadi searah dengan pak tua. Ia takut menyejajarkan langkahnya dengan Pak Tua. Seolah hal itu tidak sopan untuk di lakukan. Azlan pun demikian, ia kini berjalan sejajar dengan Sena. Azlan berniat menjawab pertanyaan Pak Tua. Ia melirik Sena sedikit. “Kami sedang melakukan jalan pagi pak. Sambil lalu me
Kini kami berada di atas tikar yang tak pernah di lipat kecuali hujan, itu pun jarang jika kami sibuk dengan kegiatan masing-masing. Meskipun begitu ia adalah satu-satunya karpet yang bertahan dari guyuran hujan tanpa basah. Hal itu karena ia terbuat dari plastik tahan air. Karpet berwarna merah tua ini merupakan karpet serbaguna yang biasa digunakan untuk shalat maupun sarapan, makan pagi maupun makan malam. Kami telah membentuk lingkaran bersiap menikmati sarapan pagi bersama. Kay sudah bisa mengondisikan posisi duduknya. Tangannya sudah bisa digunakan meskipun belum sempurna. Goresan panjang itu membuat siapa pun yang melihatnya akan iba. Namun senyum Kay tak pernah lepas dari bibirnya. Ia seolah menjelaskan bahwa ia baik-baik saja dengan lukanya. Kebetulan aku duduk diantara Kay dan Azlan. Aku membagikan piring seperti biasanya. Di lanjutkan dengan Dira dan Faleya yang mengisi piring-piring itu dengan menu. Tapi pagi ini ada sedikit kecangg
Flashback on. Sesi pemakaman sudah siap. Raja Colse yang sedari tadi melihat putra sulungnya itu hanya bisa melihat pasrah pada tubuh putra sulungnya yang mendingin. Ia menyentuh tangan putranya yang terlipat kaku. Derai airmata membasahi pipinya. Corlen yang duduk di samping ayahnya mencoba tegar menghadapi situasi yang ia alami. Ia melihat sang bunda yang terduduk lemas di samping kakaknya pun tak kuasa ia lihat. Pemandangan ini seolah cambuk bagi dirinya. Bak panah api di hatinya. Dan sebuah tombak yang menghancurkan raganya. Pangeran Corlen yang terlihat sangat belia di ajarkan dewasa oleh keadaan. Hanya ia satu-satunya putra ayahnya hari ini. Ia merasa sangat terpukul dengan kejadian ini. Belum lagi ia melihat tubuh kakak paling baik yang baginya kakaknya lebih dari sekedar saudara. Ia menganggap sang kakak sebagai sahabat yang mau mendengarkan segala keluh kesahnya. Kini ia meratapi tubuh kaku itu. Tanpa suara hanya ada air mata.
Colven datang dengan tangan terkepal. Raut wajahnya sembab oleh Air mata. Namun tatapannya tajam berapi-api. Ratu Enase menatapnya dengan tatapan sayu. Ratu Enase beranjak hendak menyentuh wajah tampan putranya. Miss Alna menatap keduanya sedikit mengukir senyum memberi ekspresi positif. “Amam” Gumam Colven ia segera menyentuh tangan Ratu Enase. Ratu Enase menyentuh kepala Pangeran Colven. “ Putra Amam. Kemanakah kau akan pergi? Mengapa terlihat rapi sekali, Nak” Ratu Enase menyentuh pundak Colven. Mata Ratu Enase bertanya-tanya mencoba mencari jawaban. Melihat Colven yang sudah siap dengan semua persenjataan dan pakaian yang lebih rapi dari sebelumnya. “ Aku akan pergi Aman, Abam menyuruhku untuk melakukan sebuah misi.” Jawab Colven, ia menyentuh balik tangan Ratu Enase. Ratu Enase menggeleng tidak pasrah dengan ucapan Colven. “ Kemanakah kamu akan pergi Nak? Amam menginginkanmu tinggal di sini.” Belum sempat menjawab ucapan Ratu Enase. Raja
Sena Menerima kotak itu dan hendak membukanya. Dira yang penasaran ikut menunggu Sena agar segera melihat apa yang ada di balik kotak itu. Tak sempat membuka kotak itu Azlan dan lainnya datang. Sena menghentikan gerakannya. Mereka semua fokus menyambut Azlan dan yang lainnya. Ia meletakkan kotak itu di samping laptop. Mereka membawa beberapa kebutuhan sehari-hari. Kayu kering, buah-buahan, sayuran dan sebagainya. Mereka membawanya dengan alat dari kayu seadanya. Setelah semuanya di rapikan di tempat yang seharusnya. Dira membawa minuman yang sudah ia buat tadi. Minuman segar yang berasal dari air danau yang sejuk. Ia membuat minuman sejenis squash delight alami. Azlan meraih laptop yang terdiam. Ia menatap Sena yang kini menatapnya balik. “Kau sudah menyusun penjadwalan Minggu ini?” Tanyanya tanpa sedikitpun menyentuh minuman yang dibuat Dira untuknya. Ia mengecek beberapa penjadwalan yang dibuat oleh Sena. Sena tersenyum mengangguk. “
Pagi sudah kembali bersinar setelah beberapa hari lalu. Kehidupan kembali normal. Sejak kejadian beberapa hari yang lalu. Kejadian penyerangan, Kay yang terluka. Hingga banyak hal yang mereka alami lainnya.Kini saatnya untuk melanjutkan penelitian yang sempat tertunda. Aku, Azlan, dan Kay sudah bersiap untuk mendapatkan daun herbal baru sebagai formula. Teman-teman yang lain masih menunggu di area perkemahan untuk menjaga-jaga.Kami membawa barang secukupnya. Namun tidak begitu banyak. Hanya satu ransel sedang yang berisi persediaan makanan. Dan beberapa keperluan lainnya yang tidak begitu banyak.Semuanya sudah berdiri di ambang pintu area perkemahan. Kami tersenyum menyemangati. Kami berpamitan setelah semuanya di rasa sudah siap.Perjalanan selalu terasa indah. Namun, tak selamanya satu tim akan selalu bersama. Kadang kita perlu untuk berpisah sejenak untuk menyelesaikan tujuan kami.Kami akan kembali maksimal tujuh puluh dua jam dari waktu kam
Azlan masih menatap mata coklat tua Sena. Ucapan Sena barusan membuat pikirannya terganggu. Ia sedang berusaha membuat semua yang Sena katakan tidaklah benar adanya. Seketika ide briliannya datang, ia tersenyum kemudian menjawab singkat. “Akhirnya kalimat yang kutunggu keluar juga. Aku berhasil membuatmu jatuh dalam perangkapku, nona” Suaranya Azlan masih pelan. Namun intonasi pengucapannya sangat tidak ramah. Kini giliran Sena yang mencemaskan keadaannya yang tengah terpojokkan. Ia memutar otak sedemikian rupa agar dapat membungkam si kapten yang menyebalkan ini. Azlan melihat kecemasan di dalam raut wajah Sena. Dengan senang hati ia berdehem bangga atas jawabannya. “Tentu saja, terkadang seseorang yang punya selera humor rendah suka bercanda tidak tau tempat.” Sena menaikkan sebelah alisnya. Suasana semakin membeku, tiba-tiba saja rasa udara yang panas berubah menjadi sangat dingin dan mencekik. Azlan sekali lagi sadar. Sena tidaklah sama seperti pe
Sena segera melepaskan gigitannya dari tangan Azlan saat ular itu berlalu di depan mereka. Azlan menatap Sena dengan tatapan tajam. Bukan ular yang menggigitnya, namun Sena yang terkejut spontan membuka mulutnya dan menggigit tangan Azlan yang membekam mulutnya. Sena meminta maaf dan segera mengobati tangan Azlan yang terluka karena giginya. Jujur saja, luka di tangan pasti cukup sakit. Ada darah yang mengucur di tangannya. Azlan terdiam tanpa basa-basi saat Sena cekatan membersihkan lukanya dan membalut dengan hansaplast. Sena merasa sangat menyesal dengan kejadian barusan. Ia tidak ingin menatap Azlan karena rasa gugup yang ia rasakan. Ia merasa telah berbuat tidak baik padanya. “Aku tidak sengaja, maaf!” Gumamnya yang masih terdengar jelas di telinga Azlan. Azlan seketika melepas tangannya dari Sena dan kembali duduk di tempatnya. Sena semakin merasa bersalah. Suara langkah kaki dari pasukan itu mendekat ke arah semak-semak, membuat situasi dingin
Mereka akhirnya berjalan meninggalkan perkemahan semua barang di kemas dengan baik tanpa menyisakan jejak apa pun. Mereka berjalan beriringan tanpa percakapan. Pikiran mereka menerawang satu sama lain. Perjalanan yang seharusnya sedikit singkat terasa lebih panjang dalam keheningan. Langkah yang tidak pernah di perhitungkan, kini mulai terbilang dan membosankan. Suasana hati, lelah dan segala hal yang terjadi membuat pikiran mereka tidak diam saja. Siapa yang bertahan? Tidak ada. Siapa yang bisa di percaya? Tidak ada. Siapa yang berhak di salahkan? Tidak ada. Ini hanya perjalanan hidup, semuanya akan kembali dan berjuang dalam kehidupan mereka masing-masing. Jangan percaya ucapan tentang kepedulian itu, itu hanya bualan saja. Mereka tak bisa melukai siapa pun. Tapi kau yang di lukai amarahmu, dan juga harapan-harapan itu. Kejadian-kejadian itu terputar ulang dengan jelas. Pertempuran, luka, kematian, semua hal janggal itu tergambar jelas di kepala mereka. Kini, semuanya harus kembal
Pangeran Corlen tersenyum menetralkan suasana pagi. Azlan membalasnya singkat sedikit ramah namun tegas. Ia menjawab kalimat pangeran itu dengan tegas.“Apa yang ingin kau tau?” Azlan mengamati sekitar dengan ekor matanya. Semua prajurit berdiri lebih dekat ke arahnya. Ia tersenyum miring melihat beberapa perubahan yang terjadi.Setiap senyuman hanyalah bingkai, di sini tidak ada yang benar-benar tulus melakukannya. Bahkan jika itu sebuah permainan maka pilihan teraman saat ini adalah ikut bermain. Sekali pun belum paham alur permainan.“Simpel saja, aku hanya ingin tau pembunuh saudaraku” Pangeran Corlen menjawab singkat. Seolah ia paham arah lawan dalam permainannya. Senyumnya masih mengembangkan di wajahnya.“Akan ku jelaskan singkat tentang kami, jika kau mencurigai kami adalah dalang dari pembunuhan.” Azlan menarik nafasnya berat dan menghembuskan dengan cepat. Pangeran Corlen bersiap mendengarkan.“
Sena segera melepaskan gigitannya dari tangan Azlan saat ular itu berlalu di depan mereka. Azlan menatap Sena dengan tatapan tajam. Bukan ular yang menggigitnya, namun Sena yang terkejut spontan membuka mulutnya dan menggigit tangan Azlan yang membekam mulutnya. Sena meminta maaf dan segera mengobati tangan Azlan yang terluka karena giginya. Jujur saja, luka di tangan pasti cukup sakit. Ada darah yang mengucur di tangannya. Azlan terdiam tanpa basa-basi saat Sena cekatan membersihkan lukanya dan membalut dengan hansaplast. Sena merasa sangat menyesal dengan kejadian barusan. Ia tidak ingin menatap Azlan karena rasa gugup yang ia rasakan. Ia merasa telah berbuat tidak baik padanya. “Aku tidak sengaja, maaf!” Gumamnya yang masih terdengar jelas di telinga Azlan. Azlan seketika melepas tangannya dari Sena dan kembali duduk di tempatnya. Sena semakin merasa bersalah. Suara langkah kaki dari pasukan itu mendekat ke arah semak-semak, membuat situasi dingin
Azlan masih menatap mata coklat tua Sena. Ucapan Sena barusan membuat pikirannya terganggu. Ia sedang berusaha membuat semua yang Sena katakan tidaklah benar adanya. Seketika ide briliannya datang, ia tersenyum kemudian menjawab singkat. “Akhirnya kalimat yang kutunggu keluar juga. Aku berhasil membuatmu jatuh dalam perangkapku, nona” Suaranya Azlan masih pelan. Namun intonasi pengucapannya sangat tidak ramah. Kini giliran Sena yang mencemaskan keadaannya yang tengah terpojokkan. Ia memutar otak sedemikian rupa agar dapat membungkam si kapten yang menyebalkan ini. Azlan melihat kecemasan di dalam raut wajah Sena. Dengan senang hati ia berdehem bangga atas jawabannya. “Tentu saja, terkadang seseorang yang punya selera humor rendah suka bercanda tidak tau tempat.” Sena menaikkan sebelah alisnya. Suasana semakin membeku, tiba-tiba saja rasa udara yang panas berubah menjadi sangat dingin dan mencekik. Azlan sekali lagi sadar. Sena tidaklah sama seperti pe
Pagi sudah kembali bersinar setelah beberapa hari lalu. Kehidupan kembali normal. Sejak kejadian beberapa hari yang lalu. Kejadian penyerangan, Kay yang terluka. Hingga banyak hal yang mereka alami lainnya.Kini saatnya untuk melanjutkan penelitian yang sempat tertunda. Aku, Azlan, dan Kay sudah bersiap untuk mendapatkan daun herbal baru sebagai formula. Teman-teman yang lain masih menunggu di area perkemahan untuk menjaga-jaga.Kami membawa barang secukupnya. Namun tidak begitu banyak. Hanya satu ransel sedang yang berisi persediaan makanan. Dan beberapa keperluan lainnya yang tidak begitu banyak.Semuanya sudah berdiri di ambang pintu area perkemahan. Kami tersenyum menyemangati. Kami berpamitan setelah semuanya di rasa sudah siap.Perjalanan selalu terasa indah. Namun, tak selamanya satu tim akan selalu bersama. Kadang kita perlu untuk berpisah sejenak untuk menyelesaikan tujuan kami.Kami akan kembali maksimal tujuh puluh dua jam dari waktu kam
Sena Menerima kotak itu dan hendak membukanya. Dira yang penasaran ikut menunggu Sena agar segera melihat apa yang ada di balik kotak itu. Tak sempat membuka kotak itu Azlan dan lainnya datang. Sena menghentikan gerakannya. Mereka semua fokus menyambut Azlan dan yang lainnya. Ia meletakkan kotak itu di samping laptop. Mereka membawa beberapa kebutuhan sehari-hari. Kayu kering, buah-buahan, sayuran dan sebagainya. Mereka membawanya dengan alat dari kayu seadanya. Setelah semuanya di rapikan di tempat yang seharusnya. Dira membawa minuman yang sudah ia buat tadi. Minuman segar yang berasal dari air danau yang sejuk. Ia membuat minuman sejenis squash delight alami. Azlan meraih laptop yang terdiam. Ia menatap Sena yang kini menatapnya balik. “Kau sudah menyusun penjadwalan Minggu ini?” Tanyanya tanpa sedikitpun menyentuh minuman yang dibuat Dira untuknya. Ia mengecek beberapa penjadwalan yang dibuat oleh Sena. Sena tersenyum mengangguk. “
Colven datang dengan tangan terkepal. Raut wajahnya sembab oleh Air mata. Namun tatapannya tajam berapi-api. Ratu Enase menatapnya dengan tatapan sayu. Ratu Enase beranjak hendak menyentuh wajah tampan putranya. Miss Alna menatap keduanya sedikit mengukir senyum memberi ekspresi positif. “Amam” Gumam Colven ia segera menyentuh tangan Ratu Enase. Ratu Enase menyentuh kepala Pangeran Colven. “ Putra Amam. Kemanakah kau akan pergi? Mengapa terlihat rapi sekali, Nak” Ratu Enase menyentuh pundak Colven. Mata Ratu Enase bertanya-tanya mencoba mencari jawaban. Melihat Colven yang sudah siap dengan semua persenjataan dan pakaian yang lebih rapi dari sebelumnya. “ Aku akan pergi Aman, Abam menyuruhku untuk melakukan sebuah misi.” Jawab Colven, ia menyentuh balik tangan Ratu Enase. Ratu Enase menggeleng tidak pasrah dengan ucapan Colven. “ Kemanakah kamu akan pergi Nak? Amam menginginkanmu tinggal di sini.” Belum sempat menjawab ucapan Ratu Enase. Raja
Flashback on. Sesi pemakaman sudah siap. Raja Colse yang sedari tadi melihat putra sulungnya itu hanya bisa melihat pasrah pada tubuh putra sulungnya yang mendingin. Ia menyentuh tangan putranya yang terlipat kaku. Derai airmata membasahi pipinya. Corlen yang duduk di samping ayahnya mencoba tegar menghadapi situasi yang ia alami. Ia melihat sang bunda yang terduduk lemas di samping kakaknya pun tak kuasa ia lihat. Pemandangan ini seolah cambuk bagi dirinya. Bak panah api di hatinya. Dan sebuah tombak yang menghancurkan raganya. Pangeran Corlen yang terlihat sangat belia di ajarkan dewasa oleh keadaan. Hanya ia satu-satunya putra ayahnya hari ini. Ia merasa sangat terpukul dengan kejadian ini. Belum lagi ia melihat tubuh kakak paling baik yang baginya kakaknya lebih dari sekedar saudara. Ia menganggap sang kakak sebagai sahabat yang mau mendengarkan segala keluh kesahnya. Kini ia meratapi tubuh kaku itu. Tanpa suara hanya ada air mata.
Kini kami berada di atas tikar yang tak pernah di lipat kecuali hujan, itu pun jarang jika kami sibuk dengan kegiatan masing-masing. Meskipun begitu ia adalah satu-satunya karpet yang bertahan dari guyuran hujan tanpa basah. Hal itu karena ia terbuat dari plastik tahan air. Karpet berwarna merah tua ini merupakan karpet serbaguna yang biasa digunakan untuk shalat maupun sarapan, makan pagi maupun makan malam. Kami telah membentuk lingkaran bersiap menikmati sarapan pagi bersama. Kay sudah bisa mengondisikan posisi duduknya. Tangannya sudah bisa digunakan meskipun belum sempurna. Goresan panjang itu membuat siapa pun yang melihatnya akan iba. Namun senyum Kay tak pernah lepas dari bibirnya. Ia seolah menjelaskan bahwa ia baik-baik saja dengan lukanya. Kebetulan aku duduk diantara Kay dan Azlan. Aku membagikan piring seperti biasanya. Di lanjutkan dengan Dira dan Faleya yang mengisi piring-piring itu dengan menu. Tapi pagi ini ada sedikit kecangg