“Gendhis, kelihatannya Bang Farid masih mengharapkan kamu,” ujar Ukhti Aisya.Deg!Gendhis terkejut, mungkinkah Farid masih masih mengharapkannya sementara sudah bertahun-tahun yang lalu Gendhis tak pernah bertemu Farid lagi.“Tidak mungkin Ukhti, Bang Farid kan sudah bertunangan, lagi pula cinta kami terhalang restu, Mamaku dan Emaknya tak merestui hubungan kami,” ujar Gendhis.“Tapi jodoh tidak ada yang tau bukan, ini buktinya ternyata kamu belum menikah, dan dia juga sedang bermasalah sama calon istrinya,” ucap Ukhti Aisya.“Kalau dia tau kamu belum menikah, pastilah dia akan sangat senang mendengarnya,” lanjut Ukhti Aisya seraya tersenyum.“Jangan bilang kalau aku belum menikah ya Ukhti, kasihan tunangannya, pernikahannya kan tidak lama lagi,” ujar Gendhis sambil mengambil kacang di dalam toples kaca di atas meja.“Iya, tapi Farid begitu berat menerima masa lalu Seruni, padahal Seruni sudah berhijab dan berniqab pula.”“Menurutku ya Ukhti, semua orang punya masa lalu, mungkin s
Keramaian di kota ini menjadi pemandangan di waktu malam, pedagang-pedagang makanan sudah dipenuhi oleh pengunjung yang hendak menikmati kuliner di waktu malam hari, melepas penat setelah seharian bekerja. Malam ini keluarga Pak Hartono betandang ke rumah Farid, mereka tak memberi tahu Farid sebelumnya supaya menjadi kejutan.Tak ada banyak percakapan di dalam mobil, Seruni juga lebih banyak diam, dari tadi ia hanya gelisah dan takut jika Farid tak mau menikahinya lebih cepat.Begitu sampai di rumah Farid, Bu Wartini sangat terkejut karena keluarga Seruni tiba-tiba berkunjung.“Kok tiba-tiba datang tanpa memberi tahu dulu Jeng Laila?” tanya Bu Wartini, Bu Wartini mempersilahkan semuanya untuk duduk di ruang tamu.“Iya nih, kebetulan ada yang ingin kami sampaikan, oh iya Farid mana?” tanya Bu Laila kemudian.“Ada, di kamarnya, sebentar saya panggilkan dulu,” ucap Bu Watini, kemudian ia berlalu ke kamar Farid. Setelah mengetuk pintu Bu Wartini masuk ke dalam.“Farid, Seruni dan orang t
Setelah pulang dari rumah lama Annisa, rumah tangga Annisa dan Damar sekarang sedang tak baik-baik saja, sikap Annisa yang dingin membuat Damar frustasi. Clarissa terus saja merongrong Damar untuk menikahinya, Damar sampai kesal dibuat olehnya. Hari ini Clarissa, Damar dan juga Annisa bertemu, mereka ingin menyelesaikan semuanya agar, andai saja benar apa yang dikatakan Clarissa, Damar harus bertanggung jawab. Suasana di rumah Danar nampak begitu tegang, Pak Danu benar-benar marah pada Damar, ia tak menyangka Damar akan berbuat seperti itu. “Clarissa, aku ingin bertanya, benarkah kau sedang hamil?” tanya Damar. Clarissa tak menjawab ia malah terisak di samping Bu Widya, Annisa yang masih terlihat kesal pada Damar membuang pandangannya, ia menahan air mata yang bisa saja lolos seketika “Nak, Damar bertanya apa kau benar-benar hamil?” Clarissa menyerahkan selembar kertas hasil pemeriksaan dari dokter, bahwa ia dinyatakan positif hamil. Damar mengambil kertas berisi hasil pemeriksaan
“Clarissa, benar-benar hamil Ma,” jawab Damar lemah. “Apa?” “Clarissa benar-benar hamil,” ulang Damar. Bu Widya membeliakkan matanya tak percaya, padahal kemarin Clarissa hanya berpura-pura hamil, jadi kenapa dia bisa hamil betulan. “Ah, baguslah, berarti kami harus menikahinya, mana mungkin Clarissa melahirkan tanpa seorang suami di samping, lagi pula ank itu kan anakmu,” ujar Bu Widya tak yakin. Damar masuk ke kamarnya, Annisa baru saja selesai mandi, ia menyisir rambut yang panjang. “Assalamualaikum.” “Waalaikumsalam,” sahut Annisa. Annisa hanya diam saja, tak ingin menanyakan apa pun pada Damar, hatinya belum siap menerima kenyataan. Wajah Damar terlihat sangat kusut, sepertinya ada hal yang telah terjadi. “Ini Mas, handuknya, mandi dulu,” ucap Annisa. Damar menurut, ia masuk ke kamar mandi, kemudian Damar membuka bajunya, ia memutar shower, ia mengguyur seluruh tubuhnya. Ia menangis, entah kenapa rasanya ia terlalu berdosa pada Annisa, jika benar janin yang dikandung oleh
Pagi-pagi sekali Annisa sudah bangun, padahal hari ini Sabtu, akhir pekan, kemarin ia benar-benar kesal pada Bu Widya mertuanya, bisa-bisanya Bu Widya mengajak Clarissa tinggal di sini. Sedangkan Clarissa bukan siapa-siapanya Damar dia hanya mantan Damar yang tega menghianati Damar. Adu mulut sempat terjadi antara dirinya dan mertuanya, Annisa mengungkap keberatannya kalau Clarissa sampai tinggal di rumah ini. “Clarissa itu sedang hamil, sedang ngidam berat, kalau ada apa-apa bagaimana, kamu mau tanggung jawab?” Bu Widya terus menggerutu. “Lagi pula anak yang dikandung oleh Clarissa itu anak Damar, emang kamu yang nggak bisa punya anak,” lanjutnya. Annisa mencoba menekan rasa sedihnya, ia akan mengutarakan pendapatny kalau dia tak ingin ada Clarissa di rumah ini. “Tapi Ma aku keberatan ...” “Ini sudah keputusan Mama, jika kau setuju kau bisa pindah dari rumah ini, lagi pula ini kan rumah saya,” tukas Bu Widya sinis. Annisa terdiam ia tak ingin berdebat lagi dengan mertuanya yang
Setelah ditangani dokter akhirnya keadaan Clarissa membaik, esoknya harinya Clarissa diperbolehkan untuk pulang. Bu Widya telah mewanti-wanti agar Damar tak sembarangan berbicara pada Clarissa, karena kehamilan muda seperti Clarissa ini sangat rentan keguguran. “Walaupun kamu nggak suka sama Clarissa, dia itu bakal jadi istrimu juga, perlakukan dia dengan baik!” ucap Bu Widya tegas. Damar tak bisa berkutik jika Bu Widya telah berbicara. Damar duduk di taman belakang sambil memandangi taman bunga dan pepohonan. Gendhis duduk di samping Damar dan menatap Kakaknya yang sedang runyam itu. “Kak, aku tau yang Kakak jalani ini berat, tapi Mama dan Papa yakin sekali bayi yang dikandung oleh Clarissa itu anakmu.” “Tapi aku yakin, dia bukan anakmu, Kakak masih menyimpan foto itu bukan? Mengapa Kakak tidak bawa ke ahlinya? dan ambil foto kamar sewaktu di villa itu, sebagai pembuktian” saran Gendhis. “Kakak juga pernah memikirkan hal itu, tapi bukti itu tidak akan cukup, malam itu aku tak in
“Insyaallah Mas, bulan depan kita ke Singapura ya, kiat program bayi tabung,” ucap Annisa. “Jadi, kau mau Nis? Alhamdulillah, akhirnya kau mau juga, Minggu depan aku akan urus semunya, kita berangkat ke Singapura, semoga Allah memberikan kita keturunan secepatnya,” ucap Damar seraya menatap istrinya. Annisa mengaminkan. Kemudian Damar memeluk istrinya dan mengecup pucuk kepala Annisa lembut. Annisa memejamkan matanya. Clarissa yang menyaksikan hal itu, menekuk wajahnya tak suka.“Ayo kita ke pasar, bayiku udah ileran nih, dalam perutku!!” ucap Clarissa ketus.“Sabar dong, ini juga mau jalan, cerewet banget jadi Ibu hamil,” ucap Annisa.“Emang.” Damar hanya tersenyum melihat tingkah Annisa yang kini tak lagi marah padanya, ini semua berkat Gendhis yang memberikan pengertian pada Annisa, sehingga Annisa kini percaya pada Damar.setelah sampai di pasar, Mereka bertiga turun dan mencari tempat orang menjual kue-kue tradisional.pasar tradisional ini lumayan ramai juga, Clarissa terliha
Seruni tengah duduk di beranda rumah, dengan pakaian lengkap dengan niqabnya, ia tengah merenungi nasibnya, kesalahan yang ia buat semasa SMA menjadi momok baginya. Kini calon suaminya Farid yang terlihat sempurna di matanya, hampir mengetahui rahasia yang ia dan keluarga tutup rapat. Seruni sampai pindah ke luar kota, agar tak ada tahu kalau ia sudah pernah melahirkan seorang anak tanpa seorang Ayah. Tapi, tiba-tiba saja disaat ia hendak menikah, Ratih sahabatnya satu-satunya yang mengetahui rahasia Seruni kini ada di kantor Farid. “Seruni?” Bu Laila membuyarkan lamunan Seruni. “Ini, makanannya sudah jadi, antar gih ke kantor Farid, sebentar lagi sudah waktunya makan siang,”ucap Bu Laila lagi. Seruni menggeleng lemah. Rasanya ia sudah tak ingin lagi ke kantor Farid, ia takut tiba-tiba Ratih mengenalinya. “Kenapa Nak? Kamu takut ketemu Ratih?” tanya Bu Laila. Seruni kembali mengangguk, ia memilin ujung jilbabnya sambil menunduk. “Nak, Ratih pasti tak bisa mengenali Kamu dengan p
Esok harinya kami mengadakan resepsi di sebuah gedung, resepsi hanya dilakukan sekali saja, aku tak terlalu suka yang ribet-ribet jadinya cukup satu kali undangannya dari kedua belah pihak. Pihak Zahra mengatakan tak mampu membuat acara di rumahnya lagian membuang-buang uang saja, jadi kamu memutuskan melakukan satu kali acara. Resepsi digelar meriah banyak sanak keluarga yang hadir, termasuk ibu Rania yang kemarin sudah berada di rumahku. Ia begitu bahagia melihat aku bersanding dengan Zahra, begitu juga Ayah dan Ibu ada keharuan di wajah mereka, melepas anak semata wayang mereka. Saat sedang berdiri di pelaminan, Dirga membisikkan sesuatu ke telingaku. "Ka, kamu tahu, kemarin polisi berhasil menangkap Clarissa, dalang yang menular kita dulu," bisiknya. "Oh ya?" Dirga mengangguk. "Dia pulang ke Indonesia, entah dari mana informasi yang polisi dapatkan, akhirnya dia tertangkap juga," ucap Dirga. "Alhamdulillah, biarkan dia mendapatkan hukuman atas apa yang dia lakukan,"
Kabar hubunganku dengan Zahra tersebar ke seluruh kantor, mereka tak menyangka akhirnya aku dan Zahra bisa berjodoh, mereka langsung mencari tahu pada Dirga dan juga Zahra. Tak butuh waktu lama akhirnya Zahra menerima perjodohan ini dan aku akan melamar Zahra dalam waktu dekat ini.Bisik-bisik di kantor pun mulai terdengar, mereka tak menyangka jika akhirnya aku memilih Zahra yang sederhana. Tak sengaja aku mendengar percakapan karyawanku yang sedang berdiri di dekat depan kantorku."Aku nggak nyangka lho, kok bisa Pak Raka jatuh cinta sama Zahra yang hidupnya sederhana dan juga gayanya biasa saja." Terdengar suara seorang karyawan perempuan yang sepertinya kurang suka dengan aku memilih Zahra."Iya, aku juga heran, masak CEO seleranya cuma begitu, nggak berkelas banget nggak sih." Aku geram dan juga ingin marah dan melabrak mereka tapi saat aku hendak melangkah menghampiri mereka. "Kalian nggak boleh gitu, memandang orang lain dari luarnya saja, walaupun Zahra itu sederhana tapi di
“Zahra?” gumamku sambil terus menatap gadis yang dari tadi menunduk kini malah melotot padaku. Matanya membeliak, seolah-olah hendak keluar dari kelopak matanya. Aku juga ikut membeliakkan mataku, tak kalah terkejutnya seperti yang Zahra rasakan. “Pak Raka?” ucap Zahra. Kulihat ibu dan yang lain menatap heran pada kami berdua, ternyata yang akan dijodohkan saling mengenal. Aku juga tak sempat bertanya pada ibu siapa nama wanita yang akan dijodohkan denganku. “Kalian saling kenal?” tanya Tante Sukma. Zahra mengangguk. Kemudian aku menjelaskan karena melihat raut wajah mereka yang bingung. “Zahra adalah karyawan aku di kantor, ia juga teman SMA-ku,” jawabku. “Berarti kalian sudah saling kenal dong,” ucap Tante Sukma. Aku mengangguk hampir bersamaan dengan Zahra. “Wah, wah, menarik ni, jadi ngapain dikenalin lagi ya kan Jeng Nisa, ternyata anaknya saling kenal, tinggal nanyak ke mereka saja, apa kalian cocok satu sama lain,” ucap Tante Sukma. “Benar Jeng, aku nggak nyangka t
Malam ini aku masih tiduran di kamarku, sebenarnya malam ini aku dan ibu akan berkunjung ke rumah gadis yang akan dijodohkan oleh Ibu, gadis itu adalah anak dari temannya dari temennya ibuku, Tante Sukma. Tante Sukma adalah teman yang baru ibu temui di acara pengajian akhir-akhir ini, istilahnya teman baru. Aku benar-benar tidak bersemangat sedikit pun, menolak pun aku tak mungkin. Sore tadi Mama mengatakan padaku. Jika dia tidak percaya pada dengan pilihanku. “Tuh, contohnya si Briana kan nggak genah, malah kayak memaksakan diri untuk bersamamu, pokoknya kali ini kamu nurut sama Ibu,” ucap Ibu, sepertinya ucapan ibu tak bisa dibantah lagi. Tapi untuk mengganti bajuku saja enggan aku malah mengantuk. Tok! Tok! Pintu kamar di ketuk, itu pasti ibu, dia pasti menyuruhku ganti baju, padahal sudah dari tadi sore ibu mewanti-wantiku. Aku beranjak dari tidurku dengan malas dan membuka pintu kamarku. Wajah cantik ibu terlihat di depan pintu dengan jilbab lebarnya yang menjuntai. Ibu menili
Aku berjalan keluar cafe tersebut berjalan dengan langkah gontai. Ternyata Zahra telah dijodohkan dengan orang lain. Apa aku harus menyerah begitu saja? Apa aku harus pasrah pada keadaan dan menerima Briana lagi? Aku tak lagi kembali ke kantor, karena aku tak sanggup untuk bertatap muka dengan Zahra. Ku putuskan untuk mengatakan semua ini pada ibu, ya pada ibuku. Aku segera memacu mobilku di jakanyang padat, aku ingin segera tiba di rumah dan bertemu dengan ibu. Tak beberapa lama aku bertemu dengan ibu dan ingin melepaskan semua bebanku ini. “Eh, eh, kok kusut gitu? Kenapa Nak?” Sapa Ibu dengan senyum hangatnya. Aku nafas dan menghempaskan bobot tubuhku di sofa tepat di samping Ibuku. “Ada apa ayo cerita,” ucap ibu penuh perhatian. Kemudian aku menceritakan soal Briana masa laluku yang telah kembali, ia ingin aku kembali padanya. “Maksud kamu Briana teman kuliah kamu itu?!” tanya ibu terkejut. Aku mengangguk lemah. “Udah, nggak usah. Ibu nggak akan setuju, kalau udah nggak norm
"Dirga, biasa aja dong. Jangan begitu, aku kan cowok normal," ucapku dengan wajah kusut. Dirga tersenyum penuh arti padaku, membuat aku salah tingkah. "Sejak kapan kamu jatuh cinta pada Zahra?" tanya Dirga dengan tatapan tajam. "Nggak tahu, Ga. Entah sejak kapan, rasa itu tumbuh begitu saja di hatiku. Mungkin saat dia ikut wawancara di kantor ini, aku juga tak tahu," aku tergelak gugup. Dirga menatapku sambil tersenyum simpul. "Em, aku tahu saat itu. Sewaktu aku mau menyatakan cinta pada Zahra, raut wajahmu berubah, wajar tak menentu. Aku tahu sebenarnya kau sudah menaruh hati padanya, tapi kau tak mau mengakuinya." Aku tercenung sesaat, berpikir kembali perasaan yang terus kubendung selama ini. "Yah, padahal aku sudah berusaha menyembunyikan perasaan ini dan menjaga sikap agar tak seorang pun yang tahu jika aku sebenarnya menaruh hati pada Zahra." "Benar kan?" tanya Dirga. "Mungkin..." aku menjawab dengan ragu. Dirga tertawa. "Raka, Raka, kamu masih saja menyembunyikan perasaanmu,"
Briana? Apakah itu kau?" tanyaku sambil berusaha bersikap biasa saja. Aku melirik Zahra yang mulai gelisah dan risih karena kehadiran Briana."Ternyata kau masih mengingatku. Bolehkah aku duduk?" "A-ah, eh, tentu saja, silahkan," ucapku dengan gagu sambil mempersilahkan Briana untuk duduk. Selama ini aku berusaha melupakan masa lalu, tapi kini Briana hadir di depanku. Sudah bertahun-tahun lamanya kami tidak pernah bertemu. Bagaimana mungkin dia muncul begitu saja? Apakah dia sudah berubah, atau mungkin sudah normal kembali? "Pak Raka, sepertinya Anda punya tamu penting. Saya permisi dulu, nanti jika sudah selesai Bapak bisa memanggil saya lagi," ucap Zahra. Aku jadi bingung dan merasa bersalah. Bagi aku, Zahra yang lebih penting. Namun, mungkin saja Zahra mengira bahwa Briana adalah kekasihku dan bahwa bunga yang kubawa ini untuk Briana. Padahal ini untuknya. "Ah, baiklah, nanti saja kita bicara saat makan siang," jawabku kepada Zahra. Zahra mengernyitkan dahinya, namun kemudian ia
Malam itu, aku terjaga sepanjang malam, memikirkan cara terbaik untuk mengungkapkan perasaan cinta yang kian dalam ini kepada Zahra. Semakin kukendalikan perasaanku, semakin kukhawatirkan hari dimana aku terlambat mengungkapkannya kepadanya. "Benarkah ini cinta? Apa aku bisa mengatakannya melalui telepon saja? Atau mungkin lewat pesan?" Bisik hatiku. Aku meraih ponselku yang tergeletak di sampingku, meraba-raba dalam gelap, mencari nama Zahra di dalam daftar kontak. Saat jari-jari mulai mengetik, teringat akan satu momen ketika Zahra menyebut bahwa dia sedang menjalin hubungan dengan seseorang. Teringat akan wajahnya, air muka cemburuku tiba-tiba bergejolak. "Bukankah dengan Dirga? Lalu dengan siapa? Aku harus melakukannya, aku harus memberanikan diri sebelum terlambat." Namun ketika hampir menghubunginya, rasa ragu menghantui hatiku. Segala pertanyaan berkecamuk dalam benak ini, "Apa yang harus aku katakan padanya? Apakah dia akan menolakku dengan halus atau dengan marah?" Menghem
Melihat ekspresi wajah Dirga yang penuh kebahagiaan, aku tak bisa menahan rasa was-was dan cemas di dalam hati. Semakin mendekati saat calon istrinya keluar dari kamar, semakin besar kekhawatiran yang menghantui pikiranku. Bagaimana kalau ternyata calon tunangan Dirga adalah Zahra, wanita yang selama ini jadi bagian terbesar dari hidupku? Aku merasa seperti diterjang gelombang emosi yang menerjang tanpa ampun. Tiba-tiba, seorang wanita berhijab keluar dari kamar, didampingi oleh dua orang perempuan. Ia menunduk sambil berjalan ke arah kami semua. Mataku tak bisa lepas dari wanita tersebut, perhatianku tertuju pada postur tubuhnya yang ramping dan tinggi, seperti tubuh Zahra. "Apakah benar dia? Apakah Zahra-lah yang akan menjadi istri Dirga?" Batinku, hati berdebar kencang. Namun, ketika wanita itu akhirnya menatapku, aku baru menyadari sesuatu."Hei, kok gitu banget memperhatikan calon istrinya Dirga," ucap Ibu setengah berbisik sambil menepuk pahaku. "Eh, eh, penasaran aja Bu!" bis