“Silahkan duduk Mar, Tante Wid,” ucap Clarissa mempersilahkan Damar dan Bu Widya duduk. Damar dan Bu Widya duduk ditempat yang telah disediakan oleh Clarissa. “Kita pesan makanan dulu ya Tan,” ucap Clarissa lagi menawarkan. “Boleh Ca, kebetulan Tente juga sudah laper,” ucap Bu Widya, ia meletakkan tas mewah di atas meja, sedangkan Damar hanya duduk dengan memasang muka dingin. Bu Widya dan Clarissa, sibuk memesan makanan sambil melihat-lihat buku menu, sementara Damar berkali-kali melirik jam tangannya. “Damar, kamu mau makan apa?” tanya Clarissa menyentuh lengan Damar pelan, Damar langsung menarik tangannya tak suka. “Apa aja.” ketusnya.Bu Widya dan Clarissa kembali bercengkrama bersama, mereka membicarakan hal-hal kecil sampai seputaran tentang wanita, seperti fashion, salon, masih banyak lagi. Damar sampai bosan mendengarnya. “Ma, Damar nggak punya banyak waktu ini, sebentar lagi aku mau balik ke kantor,” ujar Damar. “Ah, buru-buru amat Mar, makan dulu sama Mama dan Clariss
“Ah benar, handphone aku harus menelponnya.” Damar mengambil handphone di saku jasnya, kemudian memencet nomor sang istri, ia menghubungi Annisa.Tuut! Tuut! Tut!Tersambung, tapi tak diangkat, kembali lagi Damar menghubungi Annisa, tetap saja tak diangkat.Kemana Annisa? Pikir Damar, ia pergi ke parkiran ia harus menyusul Annisa, tapi kemana? Berkali-kali Damar menghubungi Annisa tapi tetap saja ia tak mengangkatnya.“Mungkinkah Annisa sudah menerima pesan dari Clarissa? Ah bodohnya aku mengapa tak lebih dulu aku memberitahu Annisa, kalau ini semua adalah skenario Mama dan Clarissa,” Damar menggerutu sambil menyetir mobilnya.Damar tak tau harus kemana, ia memutuskan untuk pulang ke rumah, ia bingung harus mencari Annisa kemana, lebih baik ia pulang dulu, siapa tau Annisa juga pulang ke rumah.Damar masuk ke dalam rumah tanpa mengucap salam, ada Bu Widya dan Pak Danu sedang duduk santai di ruang keluarga menatap heran pada Damar yang kelihatan panik.“Pa, dimana Annisa?” tanya Damar
Beberapa menit kemudian sebuah taxi berhenti di depan rumah Damar, seorang wanita berjilbab lebar turun dari taxi tersebut, menenteng sebuah plastik yang lumayan besar.Damar segera memburu wanita tersebut, langkahnya terhenti, benar istri tercinta yang ia cari keberadaannya dari tadi kini ada di depannya.“Annisa?” lirih Damar. Annisa berdiri menatap Damar dengan wajah datarnya. Ia tak memperlihatkan wajah kesalnya. Damar langsung menghampiri Annisa dan memeluknya.“Kau kemana saja sayang? Dari tadi siang aku khawatir mencarimmu,” ujar Damar. Annisa mematung.“Kau baik-baik saja bukan?” tanya Damar, Annisa hanya mengangguk. Damar merangkul bahu Annisa menuju mobil dimana Pak Danu dan Bu Widya menunggu.“Annisa kamu kemana saja? Kami semua mencemaskanmu, lihat bagaimana cemasnya suamimu mencarimu kemana-mana,” ujar Pak Danu.“Maafkan aku Pa, tiba-tiba aku jadi kengen Ibu, jadi tadi siang aku langsung ke kuburan Ibu,” ujar Annisa."Oh, Papa kirain kamu kemana," ujar Pak Danu.“Kamu ya
Damar beranjak dari duduknya dan mendekatkan tubuhnya pada Annisa, niat hati ingin memeluk sang istri, Annisa menepis tangan Damar.“Jangan sentuh aku, aku jijik padamu, Mas!” ungkapnya sambil menangis. Damar membiarkan Annisa larut dalam tangisnya, biarkan dia tenang dulu, akan sulit baginya untuk berbicara dalam keadaan kalut begitu.Setelah beberapa saat tangis Annisa reda, Damar terduduk di lantai dan menyandarkan tubuhnya di tepi tempat tidur dan mulai berbicara.“Annisa, Jangan percaya pada Clarissa, dia itu wanita licik Nis, Mama dan Clarissa telah bekerja sama untuk membuat sandiwara ini,” ujar Damar pelan.Annisa masih terdiam duduk dengan memeluk kaki yang ia tekuk.“Foto itu juga tidak benar, dia mengganti latarnya agar menyerupai kamar hotel, padahal itu di puncak Nis, ketika kita masih di Villa, kau ingat ketika aku tertidur pulas malam itu?” Annisa tak menyahut.“Sekarang, tak tau lagi siapa yang harus ku percaya Mas, kepercayaanku padamu juga sudah hilang, sirna begitu
Annisa dan Damar makan tanpa bersuara, Damar begitu lahap menikmati sarapan nasi uduk yang jarang mereka santap ketika sedang berada di rumah, Bahkan nyaris tidak pernah.Setelah sarapan Damar kembali mencoba berbicara pada Annisa. Annisa sudah terlihat lebih tenang sekarang.“Annisa, maafkan aku, aku tak pernah melakukannya, semua ini akal-akalan mereka agar aku menikahi Clarissa.” Damar menceritakan semuanya dari awal ketika Clarissa masuk ke kamar mereka dan Damar mengira itu Istrinya, sampai ia bertemu dengan Clarissa dan memintanya untuk jadi istri kedua. Annisa tak sapatah kata pun menanggapi cerita Damar yang mengalir begitu saja.“Jadi sekarang kau percaya padaku?” tanya Damar sambil menggenggam tangan Annisa dengan kedua tangannya.“Saat itu kau bilang kau tak sadar bukan? Kau pikir Clarissa adalah aku, cukup lama lho Mas aku berada di kamar Mama, hampir satu jam lebih, bisa saja kau melakukannya tanpa kau sadari,” ucap Annisa tenang, kini air mata itu tak mengalir lagi, sema
Ruang tamu rumah tersebut tampak kosong tak ada perabot apa pun di sana, hanya ada bekas ban motor diparkirkan di ruangan ini. Farid masuk ke ruang keluarga terdengar suara seorang perempuan memanggil Ratih.“Ratih? Kau kah itu Nak?”Suara perempuan itu berasal dari salah kamar satu-satunya di rumah itu, Farid masuk ke kamar tersebut, terlihat seorang perempuan yang paruh baya berbaring lemah di ranjang tua.“Bukan Bu, saya temannya Ratih, maaf Bu saya langsung masuk ke rumah, dari tadi saya mengucapkan salam tak ada yang menyahut, jadi aku langsung masuk saja,” ucap Farid.“Oh, ndak apa-apa, masuklah kemari, Ibu Ndak bisa bangun, apa kamu mencari Ratih?” Farid masuk ke kamar Ibunya Ratih yang sedang berbaring sakit. Farid mengangguk. Ia memindai seluruh kamar, ada lemari tua samping kiri rtemoat tidur dan ada meja kayu di Kananya, di tas meja ada tudung saji kecil, sepertinya nasi untuk makan siang yang diletakkan oleh Ratih tadi pagi.“Duduklah Nak, sepertinya Ibu tidak pernah meli
Flash back.Ratih sibuk menghubungi nomor Seruni ketika kabar Seruni pindah sampai ke telinga Ratih dari orang lain.“Kemana anak itu? Kenapa dia tak memberi tahuku jika dia mau pindah dari kemarin-kemarin, kenapa mendadak begini?” gerutu Ratih sambil terus menghubungi Seruni melalui ponselnya.Tapi tetap saja tak diangkat. Setelah memesan ojek online Ratih memasukkan benda pipih itu ke dalam saku rok sekolahnya.Tak lama kemudian ojek yang dipesan oleh Ratih pun tiba di depan sekolah. Ia segera naik setelah memakai helm yang diberikan oleh Bang ojol.“Ke perumahan Indah permai ya Mas,” ujar Ratih, Bang ojol mengangguk, motor berjalan pelan karena kemacetan, Ratih kelihatan gelisah duduk di jok belakang.“Mas cepetan!” “Macet Neng, gimana mau cepat,” jawab sang ojol. Satu jam kemudian barulah Ratih tiba di perumahan elite tersebut. Ia segera masuk ke rumah bertingkat dua itu setelah mengucapkan salam, seorang asisten rumah tangga membukakan pintu untuknya.“Masuk Neng Ratih.” Ratih m
Flash backSeruni pulang ke rumahnya di antar oleh Rendy pagi itu, Seruni mengaku kalau dia pulang dari Rumah Ratih.Seruni langsung masuk ke kamar dan menangis, ia membenamkan wajahnya di bantal menangis sesenggukan. Entah kenapa ia melakukan kesalahan terbesar menyerahkan keper*wan*nnya pada Rendy, orang yang baru sesaat menjadi kekasihnya.Seruni bangun dari tempat tidur, ia masuk ke kamar mandi, ia memutar kran shower, ia basahi seluruh tubuhnya dengan air, sambil menangisbsesegukan.“Aku sudah tak suci lagi, aku tak suci lagi,” isaknya. Penyesalan datangnya belakangan, nasi sudah menjadi bubur.Cukup lama Seruni duduk dalam guyuran air shower, ia menangis tersedu menyesali perbuatannya, bisa-bisanya ia terpedaya oleh ajakan Rendy.“Seruni! Seruni!” panggil Sandika.“Aku di kamar mandi Kak!!” sahut Seruni.“Oh ya sudah, Kakak pikir kemana kok nggak keluar-keluar dari kamar,” ujar Sandika.Esoknya Seruni berkunjung ke rumah Ratih, ia tak sanggup menyimpan semua ini sendirian, ia s
Esok harinya kami mengadakan resepsi di sebuah gedung, resepsi hanya dilakukan sekali saja, aku tak terlalu suka yang ribet-ribet jadinya cukup satu kali undangannya dari kedua belah pihak. Pihak Zahra mengatakan tak mampu membuat acara di rumahnya lagian membuang-buang uang saja, jadi kamu memutuskan melakukan satu kali acara. Resepsi digelar meriah banyak sanak keluarga yang hadir, termasuk ibu Rania yang kemarin sudah berada di rumahku. Ia begitu bahagia melihat aku bersanding dengan Zahra, begitu juga Ayah dan Ibu ada keharuan di wajah mereka, melepas anak semata wayang mereka. Saat sedang berdiri di pelaminan, Dirga membisikkan sesuatu ke telingaku. "Ka, kamu tahu, kemarin polisi berhasil menangkap Clarissa, dalang yang menular kita dulu," bisiknya. "Oh ya?" Dirga mengangguk. "Dia pulang ke Indonesia, entah dari mana informasi yang polisi dapatkan, akhirnya dia tertangkap juga," ucap Dirga. "Alhamdulillah, biarkan dia mendapatkan hukuman atas apa yang dia lakukan,"
Kabar hubunganku dengan Zahra tersebar ke seluruh kantor, mereka tak menyangka akhirnya aku dan Zahra bisa berjodoh, mereka langsung mencari tahu pada Dirga dan juga Zahra. Tak butuh waktu lama akhirnya Zahra menerima perjodohan ini dan aku akan melamar Zahra dalam waktu dekat ini.Bisik-bisik di kantor pun mulai terdengar, mereka tak menyangka jika akhirnya aku memilih Zahra yang sederhana. Tak sengaja aku mendengar percakapan karyawanku yang sedang berdiri di dekat depan kantorku."Aku nggak nyangka lho, kok bisa Pak Raka jatuh cinta sama Zahra yang hidupnya sederhana dan juga gayanya biasa saja." Terdengar suara seorang karyawan perempuan yang sepertinya kurang suka dengan aku memilih Zahra."Iya, aku juga heran, masak CEO seleranya cuma begitu, nggak berkelas banget nggak sih." Aku geram dan juga ingin marah dan melabrak mereka tapi saat aku hendak melangkah menghampiri mereka. "Kalian nggak boleh gitu, memandang orang lain dari luarnya saja, walaupun Zahra itu sederhana tapi di
“Zahra?” gumamku sambil terus menatap gadis yang dari tadi menunduk kini malah melotot padaku. Matanya membeliak, seolah-olah hendak keluar dari kelopak matanya. Aku juga ikut membeliakkan mataku, tak kalah terkejutnya seperti yang Zahra rasakan. “Pak Raka?” ucap Zahra. Kulihat ibu dan yang lain menatap heran pada kami berdua, ternyata yang akan dijodohkan saling mengenal. Aku juga tak sempat bertanya pada ibu siapa nama wanita yang akan dijodohkan denganku. “Kalian saling kenal?” tanya Tante Sukma. Zahra mengangguk. Kemudian aku menjelaskan karena melihat raut wajah mereka yang bingung. “Zahra adalah karyawan aku di kantor, ia juga teman SMA-ku,” jawabku. “Berarti kalian sudah saling kenal dong,” ucap Tante Sukma. Aku mengangguk hampir bersamaan dengan Zahra. “Wah, wah, menarik ni, jadi ngapain dikenalin lagi ya kan Jeng Nisa, ternyata anaknya saling kenal, tinggal nanyak ke mereka saja, apa kalian cocok satu sama lain,” ucap Tante Sukma. “Benar Jeng, aku nggak nyangka t
Malam ini aku masih tiduran di kamarku, sebenarnya malam ini aku dan ibu akan berkunjung ke rumah gadis yang akan dijodohkan oleh Ibu, gadis itu adalah anak dari temannya dari temennya ibuku, Tante Sukma. Tante Sukma adalah teman yang baru ibu temui di acara pengajian akhir-akhir ini, istilahnya teman baru. Aku benar-benar tidak bersemangat sedikit pun, menolak pun aku tak mungkin. Sore tadi Mama mengatakan padaku. Jika dia tidak percaya pada dengan pilihanku. “Tuh, contohnya si Briana kan nggak genah, malah kayak memaksakan diri untuk bersamamu, pokoknya kali ini kamu nurut sama Ibu,” ucap Ibu, sepertinya ucapan ibu tak bisa dibantah lagi. Tapi untuk mengganti bajuku saja enggan aku malah mengantuk. Tok! Tok! Pintu kamar di ketuk, itu pasti ibu, dia pasti menyuruhku ganti baju, padahal sudah dari tadi sore ibu mewanti-wantiku. Aku beranjak dari tidurku dengan malas dan membuka pintu kamarku. Wajah cantik ibu terlihat di depan pintu dengan jilbab lebarnya yang menjuntai. Ibu menili
Aku berjalan keluar cafe tersebut berjalan dengan langkah gontai. Ternyata Zahra telah dijodohkan dengan orang lain. Apa aku harus menyerah begitu saja? Apa aku harus pasrah pada keadaan dan menerima Briana lagi? Aku tak lagi kembali ke kantor, karena aku tak sanggup untuk bertatap muka dengan Zahra. Ku putuskan untuk mengatakan semua ini pada ibu, ya pada ibuku. Aku segera memacu mobilku di jakanyang padat, aku ingin segera tiba di rumah dan bertemu dengan ibu. Tak beberapa lama aku bertemu dengan ibu dan ingin melepaskan semua bebanku ini. “Eh, eh, kok kusut gitu? Kenapa Nak?” Sapa Ibu dengan senyum hangatnya. Aku nafas dan menghempaskan bobot tubuhku di sofa tepat di samping Ibuku. “Ada apa ayo cerita,” ucap ibu penuh perhatian. Kemudian aku menceritakan soal Briana masa laluku yang telah kembali, ia ingin aku kembali padanya. “Maksud kamu Briana teman kuliah kamu itu?!” tanya ibu terkejut. Aku mengangguk lemah. “Udah, nggak usah. Ibu nggak akan setuju, kalau udah nggak norm
"Dirga, biasa aja dong. Jangan begitu, aku kan cowok normal," ucapku dengan wajah kusut. Dirga tersenyum penuh arti padaku, membuat aku salah tingkah. "Sejak kapan kamu jatuh cinta pada Zahra?" tanya Dirga dengan tatapan tajam. "Nggak tahu, Ga. Entah sejak kapan, rasa itu tumbuh begitu saja di hatiku. Mungkin saat dia ikut wawancara di kantor ini, aku juga tak tahu," aku tergelak gugup. Dirga menatapku sambil tersenyum simpul. "Em, aku tahu saat itu. Sewaktu aku mau menyatakan cinta pada Zahra, raut wajahmu berubah, wajar tak menentu. Aku tahu sebenarnya kau sudah menaruh hati padanya, tapi kau tak mau mengakuinya." Aku tercenung sesaat, berpikir kembali perasaan yang terus kubendung selama ini. "Yah, padahal aku sudah berusaha menyembunyikan perasaan ini dan menjaga sikap agar tak seorang pun yang tahu jika aku sebenarnya menaruh hati pada Zahra." "Benar kan?" tanya Dirga. "Mungkin..." aku menjawab dengan ragu. Dirga tertawa. "Raka, Raka, kamu masih saja menyembunyikan perasaanmu,"
Briana? Apakah itu kau?" tanyaku sambil berusaha bersikap biasa saja. Aku melirik Zahra yang mulai gelisah dan risih karena kehadiran Briana."Ternyata kau masih mengingatku. Bolehkah aku duduk?" "A-ah, eh, tentu saja, silahkan," ucapku dengan gagu sambil mempersilahkan Briana untuk duduk. Selama ini aku berusaha melupakan masa lalu, tapi kini Briana hadir di depanku. Sudah bertahun-tahun lamanya kami tidak pernah bertemu. Bagaimana mungkin dia muncul begitu saja? Apakah dia sudah berubah, atau mungkin sudah normal kembali? "Pak Raka, sepertinya Anda punya tamu penting. Saya permisi dulu, nanti jika sudah selesai Bapak bisa memanggil saya lagi," ucap Zahra. Aku jadi bingung dan merasa bersalah. Bagi aku, Zahra yang lebih penting. Namun, mungkin saja Zahra mengira bahwa Briana adalah kekasihku dan bahwa bunga yang kubawa ini untuk Briana. Padahal ini untuknya. "Ah, baiklah, nanti saja kita bicara saat makan siang," jawabku kepada Zahra. Zahra mengernyitkan dahinya, namun kemudian ia
Malam itu, aku terjaga sepanjang malam, memikirkan cara terbaik untuk mengungkapkan perasaan cinta yang kian dalam ini kepada Zahra. Semakin kukendalikan perasaanku, semakin kukhawatirkan hari dimana aku terlambat mengungkapkannya kepadanya. "Benarkah ini cinta? Apa aku bisa mengatakannya melalui telepon saja? Atau mungkin lewat pesan?" Bisik hatiku. Aku meraih ponselku yang tergeletak di sampingku, meraba-raba dalam gelap, mencari nama Zahra di dalam daftar kontak. Saat jari-jari mulai mengetik, teringat akan satu momen ketika Zahra menyebut bahwa dia sedang menjalin hubungan dengan seseorang. Teringat akan wajahnya, air muka cemburuku tiba-tiba bergejolak. "Bukankah dengan Dirga? Lalu dengan siapa? Aku harus melakukannya, aku harus memberanikan diri sebelum terlambat." Namun ketika hampir menghubunginya, rasa ragu menghantui hatiku. Segala pertanyaan berkecamuk dalam benak ini, "Apa yang harus aku katakan padanya? Apakah dia akan menolakku dengan halus atau dengan marah?" Menghem
Melihat ekspresi wajah Dirga yang penuh kebahagiaan, aku tak bisa menahan rasa was-was dan cemas di dalam hati. Semakin mendekati saat calon istrinya keluar dari kamar, semakin besar kekhawatiran yang menghantui pikiranku. Bagaimana kalau ternyata calon tunangan Dirga adalah Zahra, wanita yang selama ini jadi bagian terbesar dari hidupku? Aku merasa seperti diterjang gelombang emosi yang menerjang tanpa ampun. Tiba-tiba, seorang wanita berhijab keluar dari kamar, didampingi oleh dua orang perempuan. Ia menunduk sambil berjalan ke arah kami semua. Mataku tak bisa lepas dari wanita tersebut, perhatianku tertuju pada postur tubuhnya yang ramping dan tinggi, seperti tubuh Zahra. "Apakah benar dia? Apakah Zahra-lah yang akan menjadi istri Dirga?" Batinku, hati berdebar kencang. Namun, ketika wanita itu akhirnya menatapku, aku baru menyadari sesuatu."Hei, kok gitu banget memperhatikan calon istrinya Dirga," ucap Ibu setengah berbisik sambil menepuk pahaku. "Eh, eh, penasaran aja Bu!" bis