Hujan rintik-rintik membuat Raka dan Rania mempercepat langkah agar lebih cepat sampai di rumah. Rania menanyakan pada Raka soal Dirga dan Annisa. "Mengapa Bu Annisa itu baik padamu Raka? Dia ngomong sesuatu nggak sama kamu?" tanya Rania."Nggak tahu Bu, aku juga ditawari makan dan mereka juga memberikan berbagai camilan yang enak-enak, tapi...," ucap Raka menggantung kalimatnya. "Tapi kenapa Raka?" tanya Rania penasaran."Oma nya Bu, Oma Dirga seperti tak suka Raka bermain dengan Dirga," ucap Raka."Mungkin Oma nya tidak mau ada orang asing yang bermain bersama cucunya," ucap Rania."Mungkin Bu.""Besok-besok tidak usah ke rumah itu lagi ya, mereka orang kaya, status sosialnya beda," ucap Rania."Terus apa Bu Annisa itu pernah menatapmu lama atau bagaimana begitu?" tanya Rania, Raka benar-benar kebingungan oleh kan pernyataan Rania. Maksud Rania adalah, apa ada keterikatan batin antara Annisa dan Raka, jika ada bisa jadi ada hubungan antara Annisa dan Raka.Beberapa hari kemudian R
"Tidak usah repot-repot Bu, di sini aja," ucap Rania. Sebenarnya ia hanya ingin melihat Dirga saja. Kemudian karena dipaksa akhirnya Rania mau masuk juga ke rumah besar itu.Mata Rania tak pernah lepas dari Dirga, ia terus memandangi Dirga dengan rasa rindu yang amat dalam. Rasanya Rania ingin memeluk anak itu tapi tidak mungkin pasti Ibunya akan marah. Rania memindai ruang tamu besar itu ada foto-foto Dirga saat masih kecil yang digantung dengan rapi di dinding rumah. Rania. tersenyum melihat foto Dirga saat masih kecil."Ayo Raka kita main di kamarku," ajak Dirga, Raka menurut saja saat Dirga mengamit tangannya dan menarinya ke kamar. Annisa tersenyum melihat mereka."Oh, iya boleh saya tahu nama kamu siapa?" tanya Aannisa setelah anak-anak mereka pergi."Rania Bu, nama saya Rania," ucap Rania agak gugup. "Tidak usah sungkan, anggap saja saya Ibunya anak teman Kamu Bu Rania," ucap Annisa. Rania begitu bersyukur Dirga bisa hidup dengan layak, tapi Raka, dia hidup serba Kekurangan ba
Esok harinya Rania datang lebih pagi, ia tak mau terlambat lagi seperti hari pertama bekerja. Ia harus bisa mengambil hati Bu Widya yang galak itu. Karena terlalu pagi bangun dan beberes Rania membangunkan suaminya. Ia bangun dan pergi ke dapur tak biasanya pagi buta begini Rania sudah bangun dan memasak.Surendra mengucek matanya dan menuju dapur mungil itu dengan setengah mengantuk."Bising banget sih Ran? pagi-pagi udah ribut aja, ini masih terlalu pagi," ucap Surendra kesal. Rumah petak itu akan terdengar jelas jika ada yang membuat kebisingan, selain hanya berdindingkan triplek tipis ditambah lagi karena rumah itu hanya sepetak, sehingga terdengar jelas ke kamar tidur."Iya Mas, aku harus bekerja, kebetulan kemarin kau mendapatkan pekerjaan baru, majikannya agak galak, jadi harus tempat waktu, jangan seperti kemarin telat," ucap Rania sambil terus mengaduk sayur kangkung yang ia tumis dengan bawang cabai. Wangi ikan asin digoreng menyeruak ke seluruh penjuru rumah itu."Kerja apa
Raka duduk termenung di depan rumah, menikmati guyuran hujan siang ini, hari ini ia sedang tak enak badan, sehingga dia tak ikut sang Ibu bekerja ke rumah Dirga. Sebentar lagi tahun ajaran baru akan segera dimulai, ia tak bisa melanjutkan sekolahnya ke tingkat SMP. Kerena waktu itu Ibunya mengatakan tak sanggup membiayai sekolahnya.Kini ia baru berpikir mengapa Kanaya selalu mengatakan dia bukan adiknya, sedangkan Surendra terkesan tak perduli padanya, hanya Rania yang sayang pada padanya dan memperhatikannya.Apakah dia bukan anak kadung dari Ayahnya? Mungkinkah dia hanya anak sambung dari Surendra? Ia ingin menanyakan hal ini pada Rania, tapi urung, karena ia berpikir mungkin Surendra memang begitu, untuk bekerja keras saja dia enggan apa lagi untuk memperhatikan anaknya.Jika Kanaya mengapa ia selalu mengatakannya bukan adiknya? Ada apa ini, haruskah Raka bertanya pada Ibunya tentang hal ini. Kemudian ada satu hal lagi yang mengganjal di pikirannya, mengapa Rani tak mau menyekolah
Annisa menatap Dirga, kira-kira hal apa yang ingin Dirga sampaikan padanya."Iya, mau ngomong apa sih? Kok kelihatannya serius sekali, ngomong di sini saja, mau cerita apa sih kok Umi jadi penasaran," ungkap Annisa. Pak Dan Bu Widya pun kini menatap Dirga.Akhirnya Dirga duduk dan mengutarakan maksudnya," Ummi, ini soal Raka, Dirga merasa kasihan padanya, tadi Durga menanyakan kepadanya, apakah dia melanjutkan sekolahnya atau tidak," ucap Dirga menggantung ucapannya."Terus?" tanya Annisa penasaran."Dia tidak melanjutkan sekolahnya Mi.""Jadi?" tanya Bu Widya agak sinis."Maukah Umi membantu Raka, entah kenapa aku kasihan melihatnya, ia begitu ingin bersekolah Mi," ucap Dirga melanjutkan.Bu Widya yang memang dari awal tak suka melihat Dirga bermain dengan Raka, tentu saja tak setuju."Ibunya kan ada, Bapaknya juga masih sehat, apa bukan alasannya saja itu, pura-pura nggak aja nggak melanjutkan sekolah biar dibantu sama kita, "ucap Bu Widya."Ma, jangan su'udzon begitu lah, udah baik
3 tahun kemudian. Raka kini telah menyelesaikan SMP nya, ia juga mendapatkan nilai tertinggi saat itu, oleh karenanya Annisa akan menyekolahkan Raka kembali sampai tingkat SMA. Damar juga setuju akan hal itu. “Raka, ibu akan menyekolahkan kamu kembali sampai kamu selesai SMA, Ibu berharap kamu bisa menjadi orang yang sukses kelak,” ucap Anisa tulus. Entah kenapa ia begitu sayang pada Raka, padahal Raka hanya anak dari seorang Asisten Rumah Tangga di rumah itu.“Terima kasih Bu, entah dengan apa aku akan membalas kebaikan ibu dan Bapak sekeluarga, aku benar-benar bersyukur bisa melanjutkan sekolahku, Terima kasih Bu,” ucap Raka terharu, ia tidak menyangka ia bisa mendapatkan majikan yang sangat baik. Rania sampai terharu melihatnya, seharusnya mereka Memeluk Raka karena Raka lah anak kandung mereka sesungguhnya. Tapi tidak Raka menjadi orang asing di rumahnya sendiri.“Maafkan aku Bu Annisa, aku belum punya nyali untuk mengakui Semuanya,” lirih Rania dalam hati. Bagaimana pun ia mera
Sekolah SMA Bina Bangsa Sebuah motor gede berhenti di parkiran sekolah Bina Bangsa itu, Dirga memang menjadi idola kaum hawa karena mereka mengetahui kalau Durga adalah anak sultan, anak sang CEO. Jika soal tampan Dirga tak begitu tampan hanya saja penampilannya membuat ia terlihat gagah dan berkelas, sikap dinginnya itu membuat kaum hawa tergila-gila untuk mendapatkan hatinya. Ia membuka helmnya dan mengibaskan rambutnya agar tidak lepek dan kusut. Semua mata tertuju pada Dirga. Ia begitu mempesona. Ia berjalan menuju kelasnya dengan mengangkat dagunya tak lupa kaca mata hitam ia kenakan agar terlihat lebih menawan.Anak-anak kelas sepuluh berteriak histeris saat sang idola sekolah itu lewat menuju kelasnya."Dirga!!!" "Dirga! aku padamu!""Dirga, aku mau jadi pacarmu!"Begitulah cewek-cewek terus berteriak sambil loncat-loncat tak karuan, bak cacing kepanasan. Namun, sang idola tetap cuek, ia terus berjalan ke kelasnya tanpa mengindahkan panggilan dari mereka, kebetulan sekali Ra
Dari pertemuan itu membuat Zahra dan Raka dekat, Raka juga menceritakan bahwa dia masuk ke sekolah ini karena orang tua Durga yang menyekolahkan dia."Ibu aku bekerja di rumahnya sudah lama, sehingga aku sering main bersama Dirga, keluarga mereka baik hati jadi aku disekolahkan sampai ke jenjang SMA. Kalau Ibu aku mana sanggup menyekolahkan ku di sekolah elit begini," ucap Raka sambil memperhatikan sekeliling sekolah."Kalau boleh aku tahu, yang mana yang namanya Dirga?" tanya Zahra."Dirga yang duduk di sebelahku, yang ganteng," ucap Raka terkekeh. Zahra mengangguk-angguk, sambil mengingat-ingat Dirga yang mana, ia baru saja masuk tadi pagi, dia tidak bisa menghapal semua wajah di kelas itu.Bel berbunyi!Gegas Raka dan Zahra mengembalikan buku ke tempatnya, tapi segera beranjak ke kelas. Dirga yang sudah dari tadi masuk ke kelas, mengernyitkan dahinya, mengapa Raka Zahra masuk bersama? Ia seperti tak suka. Pelajaran hari ini berjalan lancar, Raka tetap yang paling menonjol di kelas
Esok harinya kami mengadakan resepsi di sebuah gedung, resepsi hanya dilakukan sekali saja, aku tak terlalu suka yang ribet-ribet jadinya cukup satu kali undangannya dari kedua belah pihak. Pihak Zahra mengatakan tak mampu membuat acara di rumahnya lagian membuang-buang uang saja, jadi kamu memutuskan melakukan satu kali acara. Resepsi digelar meriah banyak sanak keluarga yang hadir, termasuk ibu Rania yang kemarin sudah berada di rumahku. Ia begitu bahagia melihat aku bersanding dengan Zahra, begitu juga Ayah dan Ibu ada keharuan di wajah mereka, melepas anak semata wayang mereka. Saat sedang berdiri di pelaminan, Dirga membisikkan sesuatu ke telingaku. "Ka, kamu tahu, kemarin polisi berhasil menangkap Clarissa, dalang yang menular kita dulu," bisiknya. "Oh ya?" Dirga mengangguk. "Dia pulang ke Indonesia, entah dari mana informasi yang polisi dapatkan, akhirnya dia tertangkap juga," ucap Dirga. "Alhamdulillah, biarkan dia mendapatkan hukuman atas apa yang dia lakukan,"
Kabar hubunganku dengan Zahra tersebar ke seluruh kantor, mereka tak menyangka akhirnya aku dan Zahra bisa berjodoh, mereka langsung mencari tahu pada Dirga dan juga Zahra. Tak butuh waktu lama akhirnya Zahra menerima perjodohan ini dan aku akan melamar Zahra dalam waktu dekat ini.Bisik-bisik di kantor pun mulai terdengar, mereka tak menyangka jika akhirnya aku memilih Zahra yang sederhana. Tak sengaja aku mendengar percakapan karyawanku yang sedang berdiri di dekat depan kantorku."Aku nggak nyangka lho, kok bisa Pak Raka jatuh cinta sama Zahra yang hidupnya sederhana dan juga gayanya biasa saja." Terdengar suara seorang karyawan perempuan yang sepertinya kurang suka dengan aku memilih Zahra."Iya, aku juga heran, masak CEO seleranya cuma begitu, nggak berkelas banget nggak sih." Aku geram dan juga ingin marah dan melabrak mereka tapi saat aku hendak melangkah menghampiri mereka. "Kalian nggak boleh gitu, memandang orang lain dari luarnya saja, walaupun Zahra itu sederhana tapi di
“Zahra?” gumamku sambil terus menatap gadis yang dari tadi menunduk kini malah melotot padaku. Matanya membeliak, seolah-olah hendak keluar dari kelopak matanya. Aku juga ikut membeliakkan mataku, tak kalah terkejutnya seperti yang Zahra rasakan. “Pak Raka?” ucap Zahra. Kulihat ibu dan yang lain menatap heran pada kami berdua, ternyata yang akan dijodohkan saling mengenal. Aku juga tak sempat bertanya pada ibu siapa nama wanita yang akan dijodohkan denganku. “Kalian saling kenal?” tanya Tante Sukma. Zahra mengangguk. Kemudian aku menjelaskan karena melihat raut wajah mereka yang bingung. “Zahra adalah karyawan aku di kantor, ia juga teman SMA-ku,” jawabku. “Berarti kalian sudah saling kenal dong,” ucap Tante Sukma. Aku mengangguk hampir bersamaan dengan Zahra. “Wah, wah, menarik ni, jadi ngapain dikenalin lagi ya kan Jeng Nisa, ternyata anaknya saling kenal, tinggal nanyak ke mereka saja, apa kalian cocok satu sama lain,” ucap Tante Sukma. “Benar Jeng, aku nggak nyangka t
Malam ini aku masih tiduran di kamarku, sebenarnya malam ini aku dan ibu akan berkunjung ke rumah gadis yang akan dijodohkan oleh Ibu, gadis itu adalah anak dari temannya dari temennya ibuku, Tante Sukma. Tante Sukma adalah teman yang baru ibu temui di acara pengajian akhir-akhir ini, istilahnya teman baru. Aku benar-benar tidak bersemangat sedikit pun, menolak pun aku tak mungkin. Sore tadi Mama mengatakan padaku. Jika dia tidak percaya pada dengan pilihanku. “Tuh, contohnya si Briana kan nggak genah, malah kayak memaksakan diri untuk bersamamu, pokoknya kali ini kamu nurut sama Ibu,” ucap Ibu, sepertinya ucapan ibu tak bisa dibantah lagi. Tapi untuk mengganti bajuku saja enggan aku malah mengantuk. Tok! Tok! Pintu kamar di ketuk, itu pasti ibu, dia pasti menyuruhku ganti baju, padahal sudah dari tadi sore ibu mewanti-wantiku. Aku beranjak dari tidurku dengan malas dan membuka pintu kamarku. Wajah cantik ibu terlihat di depan pintu dengan jilbab lebarnya yang menjuntai. Ibu menili
Aku berjalan keluar cafe tersebut berjalan dengan langkah gontai. Ternyata Zahra telah dijodohkan dengan orang lain. Apa aku harus menyerah begitu saja? Apa aku harus pasrah pada keadaan dan menerima Briana lagi? Aku tak lagi kembali ke kantor, karena aku tak sanggup untuk bertatap muka dengan Zahra. Ku putuskan untuk mengatakan semua ini pada ibu, ya pada ibuku. Aku segera memacu mobilku di jakanyang padat, aku ingin segera tiba di rumah dan bertemu dengan ibu. Tak beberapa lama aku bertemu dengan ibu dan ingin melepaskan semua bebanku ini. “Eh, eh, kok kusut gitu? Kenapa Nak?” Sapa Ibu dengan senyum hangatnya. Aku nafas dan menghempaskan bobot tubuhku di sofa tepat di samping Ibuku. “Ada apa ayo cerita,” ucap ibu penuh perhatian. Kemudian aku menceritakan soal Briana masa laluku yang telah kembali, ia ingin aku kembali padanya. “Maksud kamu Briana teman kuliah kamu itu?!” tanya ibu terkejut. Aku mengangguk lemah. “Udah, nggak usah. Ibu nggak akan setuju, kalau udah nggak norm
"Dirga, biasa aja dong. Jangan begitu, aku kan cowok normal," ucapku dengan wajah kusut. Dirga tersenyum penuh arti padaku, membuat aku salah tingkah. "Sejak kapan kamu jatuh cinta pada Zahra?" tanya Dirga dengan tatapan tajam. "Nggak tahu, Ga. Entah sejak kapan, rasa itu tumbuh begitu saja di hatiku. Mungkin saat dia ikut wawancara di kantor ini, aku juga tak tahu," aku tergelak gugup. Dirga menatapku sambil tersenyum simpul. "Em, aku tahu saat itu. Sewaktu aku mau menyatakan cinta pada Zahra, raut wajahmu berubah, wajar tak menentu. Aku tahu sebenarnya kau sudah menaruh hati padanya, tapi kau tak mau mengakuinya." Aku tercenung sesaat, berpikir kembali perasaan yang terus kubendung selama ini. "Yah, padahal aku sudah berusaha menyembunyikan perasaan ini dan menjaga sikap agar tak seorang pun yang tahu jika aku sebenarnya menaruh hati pada Zahra." "Benar kan?" tanya Dirga. "Mungkin..." aku menjawab dengan ragu. Dirga tertawa. "Raka, Raka, kamu masih saja menyembunyikan perasaanmu,"
Briana? Apakah itu kau?" tanyaku sambil berusaha bersikap biasa saja. Aku melirik Zahra yang mulai gelisah dan risih karena kehadiran Briana."Ternyata kau masih mengingatku. Bolehkah aku duduk?" "A-ah, eh, tentu saja, silahkan," ucapku dengan gagu sambil mempersilahkan Briana untuk duduk. Selama ini aku berusaha melupakan masa lalu, tapi kini Briana hadir di depanku. Sudah bertahun-tahun lamanya kami tidak pernah bertemu. Bagaimana mungkin dia muncul begitu saja? Apakah dia sudah berubah, atau mungkin sudah normal kembali? "Pak Raka, sepertinya Anda punya tamu penting. Saya permisi dulu, nanti jika sudah selesai Bapak bisa memanggil saya lagi," ucap Zahra. Aku jadi bingung dan merasa bersalah. Bagi aku, Zahra yang lebih penting. Namun, mungkin saja Zahra mengira bahwa Briana adalah kekasihku dan bahwa bunga yang kubawa ini untuk Briana. Padahal ini untuknya. "Ah, baiklah, nanti saja kita bicara saat makan siang," jawabku kepada Zahra. Zahra mengernyitkan dahinya, namun kemudian ia
Malam itu, aku terjaga sepanjang malam, memikirkan cara terbaik untuk mengungkapkan perasaan cinta yang kian dalam ini kepada Zahra. Semakin kukendalikan perasaanku, semakin kukhawatirkan hari dimana aku terlambat mengungkapkannya kepadanya. "Benarkah ini cinta? Apa aku bisa mengatakannya melalui telepon saja? Atau mungkin lewat pesan?" Bisik hatiku. Aku meraih ponselku yang tergeletak di sampingku, meraba-raba dalam gelap, mencari nama Zahra di dalam daftar kontak. Saat jari-jari mulai mengetik, teringat akan satu momen ketika Zahra menyebut bahwa dia sedang menjalin hubungan dengan seseorang. Teringat akan wajahnya, air muka cemburuku tiba-tiba bergejolak. "Bukankah dengan Dirga? Lalu dengan siapa? Aku harus melakukannya, aku harus memberanikan diri sebelum terlambat." Namun ketika hampir menghubunginya, rasa ragu menghantui hatiku. Segala pertanyaan berkecamuk dalam benak ini, "Apa yang harus aku katakan padanya? Apakah dia akan menolakku dengan halus atau dengan marah?" Menghem
Melihat ekspresi wajah Dirga yang penuh kebahagiaan, aku tak bisa menahan rasa was-was dan cemas di dalam hati. Semakin mendekati saat calon istrinya keluar dari kamar, semakin besar kekhawatiran yang menghantui pikiranku. Bagaimana kalau ternyata calon tunangan Dirga adalah Zahra, wanita yang selama ini jadi bagian terbesar dari hidupku? Aku merasa seperti diterjang gelombang emosi yang menerjang tanpa ampun. Tiba-tiba, seorang wanita berhijab keluar dari kamar, didampingi oleh dua orang perempuan. Ia menunduk sambil berjalan ke arah kami semua. Mataku tak bisa lepas dari wanita tersebut, perhatianku tertuju pada postur tubuhnya yang ramping dan tinggi, seperti tubuh Zahra. "Apakah benar dia? Apakah Zahra-lah yang akan menjadi istri Dirga?" Batinku, hati berdebar kencang. Namun, ketika wanita itu akhirnya menatapku, aku baru menyadari sesuatu."Hei, kok gitu banget memperhatikan calon istrinya Dirga," ucap Ibu setengah berbisik sambil menepuk pahaku. "Eh, eh, penasaran aja Bu!" bis