Rumah Pak Danuarta Kini Annisa dan Damar bisa bernafas lega, akhirnya masalah yang berbulan-bulan tak terselesaikan, selesai dengan mudahnya, mereka pikir akan memakan proses yang sulit karena harus tes DNA sehingga butuh menunggu berminggu-minggu untuk menerima hasil tesnya. Tapi ternyata tanpa disangka Clarissa membeberkan semuanya, entah apa penyebabnya hingga Clarissa meminta maaf dan berkata jujur. Kemudian Annisa dan Damar masuk ke dalam rumah di mana ada Bu Widya Pak Danu, Gendhis dan Farid. Kebetulan Farid dan Gendhis kini berkunjung ke rumah Pak Danu, setelah resepsi pernikahan mereka berdua tinggal di rumah Farid, berhubung Ibu Farid juga tinggal sendirian. Farid tak tega meninggalkan Ibu Farid sendiri.“Bagaimana Nis? Apa semuanya berjalan lancar? Kapan hasilnya akan keluar?”Gendhis memberikan pertanyaan beruntun pada Annisa. Semenjak Annisa ditimpa masalah ini Gendhis paling mengerti tentang sahabatnya itu. Kini semenjak menika
“Aku lega Mas, akhirnya urusan dengan Clarissa selesai juga, sebenarnya aku benar-benar tidak menyangka kalau Mama tega menjerumuskan anaknya, Kak Damar,” ucap Gendhis pada Farid ketika sudah menuju perjalanan pulang ke rumah Farid. “Jangan begitu, itu Mama kamu, nasehati Mama agar dia sadar, aku berharap sih Mama dan Papa juga bisa hijrah bersama kita,” ucap Farid. Memang Bu Widya masih saja belum mau berhijab sampai saat ini. Padahal usianya sudah tidak muda lagi. “Kalau Papa sih udah lumayan Mas, shalatnya juga sudah rajin, tinggal Mama nih yang agak susah,” ucap Gendhis. “Sabar sayang, insya Allah nanti ada saatnya,” tukas Farid, kemudian Farid melajukan mobilnya dengan agak cepat. karena hari juga sudah hampir hujan. Gendhis sebagai adik juga ikut kepikiran dengan masalah yang tengah dihadapi Kakaknya, tapi sekarang semua sudah berakhir, semoga nanti Damar dan Annisa segera diberi keturunan.Hari berganti hari, Bulan berganti bulan.Gendhis baru saja pulang dari cafenya, ia me
“Alhamdulillah, Masya Allah, Ya Allah Mas, aku hamil, aku tidak percaya ini,” ucap Gendhis seraya menitikkan air mata, ia menangis haru, kemudian memeluk Farid. “Jalan berapa bulan Dok?” tanya Farid bersemangat. “Usia kandungannya sudah lima minggu, jaga kesehatan ya, makan makanan bergizi, istirahat yang cukup, jangan stres, karena sepertinya kandungan istri kamu agak rentan. Tapi jangan khawatir saya sudah memberikan obat agar kandungannya kuat,” ucap Dokter Haris. Farid mendengarkan dengan seksama.“Baik Dok.”Sepertinya Farid harus ektra menjaga Gendhis, Krena Gendhis termasuk anak yang aktif, yang susah untuk diam, dia selalu saja ingin bekerja. Sepertinya Farid harus tegas, demi kesehatan Gendhis dan jabang bayi yang ada di rahimnya.Setelah selesai mereka segera berpamitan untuk pulang. Ketika di perjalanan pulang, Farid tak henti-hentinya mengingatkan Gendhis, agar menjaga kesehatan, istirahat yang cukup dan jangan banyak pikiran.“Gendhis, kamu dengar kata Dokter, kandunga
Kediaman Farid Malam ini Bu Widya sekeluarga ingin menjenguk Gendhis, begitu mendengar Gendhis hamil Bu Widya dan Pak Danu begitu bahagia, entah dari mana kabar tersebut mereka ketahui sehingga mereka mengetahui kalau Gendhis sudah hamil, sudah barang tentu Bu Widya sangat murka. “Ma?” Gendhis yang sedang makan buah terkejut akan kedatangan mereka. “Nisa, Papa, Kak Damar mau datang kok nggak bilang-bilang,” Gendhis berusaha untuk memperbaiki duduknya, tapi segera di cegah oleh sang Bunda. Farid dan Bu Wartini juga ada di kamar itu.“Kami dengar kamu tidak sehat, Mama juga kepikiran terus, sudah dua Minggu kamu nggak pernah datang ke rumah, jadi Mama menelepon Farid,” ucap Pak Danu.“Jadi Mas Farid memberitahu Papa tentang keadaan Gendhis?” ucap Gendhis melihat ke arah suaminya. “Jangan salahkan Farid, Mamamu yang mendesak Farid, sehingga dia mengatakan kalau kami sedang hamil, mengapa kau merahasiakannya dari kami?” “Iya! Ini Mama kandung kamu, Mama berhak tahu keadaan kamu, seti
Annisa memegang perutnya, kemudian berucap pada dirinya sendiri,” Mungkinkah kalau aku hamil?” Annisa kembali tertegun, program bayi tabung saja yang menggunakan alat-alat canggih, Annisa tak kunjung hamil juga, mungkinkah dengan tanpa program apa pun dia bisa hamil. Apakah aku harus tes pack?’ ucap Annisa dalam hati. Ia beranjak dari duduknya dan berjalan mondar mandir di dalam kamarnya. Hingga ia tak sadar jika Damar masuk ke kamar, Damar menatap Annisa dengan tatapan heran. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya, ‘Tidak, tidak, aku tak ingin kecewa untuk ke sekian kalinya, lebih baik aku tak memberitahu Mas Damar dulu, sebelum semua ini pasti’ “Sayang... Kamu kenapa? Kok bolak balik aja kayak setrikaan rusak,” ucap Damar yang baru saja masuk, ia keheranan melihat sang istri bolak balik.“Ah, eh, enggak Mas, nyariin kecoak tadi ada di sini, tiba-tiba menghilang, entah kemana,” dusta Annisa. “Oh.” Damar melengos. “Eh, tapi perasaan di kamar ini tidak pernah ada kecoaknya,” ucap Damar
Pagi ini mereka segera berangkat ke Dokter, sebelum ke dokter mereka sarapan bersama di meja makan, Damar terlihat begitu memperhatikan Annisa. Bu Widya sampai menatapnya sinis, mengapa Damar begitu? Tentu saja Damar tak mengataknya pada Bu Widya, biarkan setelah ini mereka menunjukkan surat dokter agar Bu Widya percaya, bahwa Annisa benar-benar hamil. Setelah sarapan Annisa dan Sabar berangkat ke sebuah klinik Ibu dan Anak, Begitu sampai di ruangan Dokter, Annisa segera diperiksa, Dokter memeriksa rahim Annisa dengan seksama. “Dokter apakah janinnya sudah terlihat?” “Sebentar saya lihat dulu.” Dokter kembali memeriksa dengan hati-hati, ia menggerakkan gagang USG ke kiri dan Kanan. “Oh, ini dia, masih mungil sekali, perkiraan kehamilannya sudah 6 Minggu,” ucap Dokter. Annisa dan Damar melihat ke layar USG tersebut dengan penuh rasa haru. Dokter membuatkan hasil pemeriksaan bahwa Annisa positif hamil dan sudah berjalan 6 Minggu pada selembar kertas.Setelah memeriksakan diri ke dok
Pagi minggu Damar dan Annisa berjalan pagi, dokter menyarankan ketika hamil sudah memasuki sembilan bulan sebaiknya sering berjalan pagi, agar melahirkan jadi lebih mudah. Mereka berkeliling-keliling komplek, sambil berjalan menyusuri rumah-rumah mewah yang penghuninya rata-rata orang sibuk semua. Tapi pagi minggu biasanya penghuni rumah-rumah mewah itu ada di rumah, berkumpul bersama keluarga melepas lelah setelah bekerja. “Sepertinya cerah hari ini, Nis,” ucap Damar sambil terus menggandeng tangan istrinya. “Iya Mas, cerah, semoga nggak hujan ya,” ucap Annisa sambil melihat langit. “Kamu masih sanggup berjalan?” “Masih Mas, memangnya kamu sanggup menggendongku, kalau aku tak sanggup berjalan?” tanya Annisa tersenyum.“Sanggup dong, aku kan laki-laki perkasa, aku sanggup menggendongmu sampai ke rumah.” Annisa terkekeh. Kemudian Annisa mengernyitkan dahinya, ia seperti merasakan sakit di bagian perutnya. Tapi karena tak terlalu sakit ia tak mengindahkannya. Ia terus berjalan samb
Beberapa hari sebelum Annisa melahirkan, di sebuah sederhana, sepasang suami istri sedang berbicara serius. Rumah petak tersebut sangat sempit, hanya ada satu kamar tidur dan ruangan, kemudian di sisi belakang, ada dapur sempit yang jarang ngebul. Sebelum ia hamil besar Sang Istri Rania masih bekerja, ia mencuci pakaian dari rumah ke rumah, untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga, tapi kini setelah perutnya semakin membesar ia tak bisa lagi bekerja. Sehingga ia terus mendesak sang suami agar bekerja, suami Rania bernama Surendra.Surendra adalah laki-laki pemalas dan suka mabuk, ia bekerja di pasar sebagai kuli angkut barang, itu pun jika ia ingin pergi, jika rasa malasnya datang, ia akan tidur sepanjang hari, tak ia pernah memikirkan bahwa beras sudah habis, anaknya kelaparan, ia tak mau tahu.“Kamu ingin anak dalam perutmu bahagia bukan?” tanya Surendra sambil menyalakan rokok, padahal ia tahu istrinya sedang hamil besar. Tapi ia tetap merokok. Anak pertama mereka bernama Kanaya ia ki
Esok harinya kami mengadakan resepsi di sebuah gedung, resepsi hanya dilakukan sekali saja, aku tak terlalu suka yang ribet-ribet jadinya cukup satu kali undangannya dari kedua belah pihak. Pihak Zahra mengatakan tak mampu membuat acara di rumahnya lagian membuang-buang uang saja, jadi kamu memutuskan melakukan satu kali acara. Resepsi digelar meriah banyak sanak keluarga yang hadir, termasuk ibu Rania yang kemarin sudah berada di rumahku. Ia begitu bahagia melihat aku bersanding dengan Zahra, begitu juga Ayah dan Ibu ada keharuan di wajah mereka, melepas anak semata wayang mereka. Saat sedang berdiri di pelaminan, Dirga membisikkan sesuatu ke telingaku. "Ka, kamu tahu, kemarin polisi berhasil menangkap Clarissa, dalang yang menular kita dulu," bisiknya. "Oh ya?" Dirga mengangguk. "Dia pulang ke Indonesia, entah dari mana informasi yang polisi dapatkan, akhirnya dia tertangkap juga," ucap Dirga. "Alhamdulillah, biarkan dia mendapatkan hukuman atas apa yang dia lakukan,"
Kabar hubunganku dengan Zahra tersebar ke seluruh kantor, mereka tak menyangka akhirnya aku dan Zahra bisa berjodoh, mereka langsung mencari tahu pada Dirga dan juga Zahra. Tak butuh waktu lama akhirnya Zahra menerima perjodohan ini dan aku akan melamar Zahra dalam waktu dekat ini.Bisik-bisik di kantor pun mulai terdengar, mereka tak menyangka jika akhirnya aku memilih Zahra yang sederhana. Tak sengaja aku mendengar percakapan karyawanku yang sedang berdiri di dekat depan kantorku."Aku nggak nyangka lho, kok bisa Pak Raka jatuh cinta sama Zahra yang hidupnya sederhana dan juga gayanya biasa saja." Terdengar suara seorang karyawan perempuan yang sepertinya kurang suka dengan aku memilih Zahra."Iya, aku juga heran, masak CEO seleranya cuma begitu, nggak berkelas banget nggak sih." Aku geram dan juga ingin marah dan melabrak mereka tapi saat aku hendak melangkah menghampiri mereka. "Kalian nggak boleh gitu, memandang orang lain dari luarnya saja, walaupun Zahra itu sederhana tapi di
“Zahra?” gumamku sambil terus menatap gadis yang dari tadi menunduk kini malah melotot padaku. Matanya membeliak, seolah-olah hendak keluar dari kelopak matanya. Aku juga ikut membeliakkan mataku, tak kalah terkejutnya seperti yang Zahra rasakan. “Pak Raka?” ucap Zahra. Kulihat ibu dan yang lain menatap heran pada kami berdua, ternyata yang akan dijodohkan saling mengenal. Aku juga tak sempat bertanya pada ibu siapa nama wanita yang akan dijodohkan denganku. “Kalian saling kenal?” tanya Tante Sukma. Zahra mengangguk. Kemudian aku menjelaskan karena melihat raut wajah mereka yang bingung. “Zahra adalah karyawan aku di kantor, ia juga teman SMA-ku,” jawabku. “Berarti kalian sudah saling kenal dong,” ucap Tante Sukma. Aku mengangguk hampir bersamaan dengan Zahra. “Wah, wah, menarik ni, jadi ngapain dikenalin lagi ya kan Jeng Nisa, ternyata anaknya saling kenal, tinggal nanyak ke mereka saja, apa kalian cocok satu sama lain,” ucap Tante Sukma. “Benar Jeng, aku nggak nyangka t
Malam ini aku masih tiduran di kamarku, sebenarnya malam ini aku dan ibu akan berkunjung ke rumah gadis yang akan dijodohkan oleh Ibu, gadis itu adalah anak dari temannya dari temennya ibuku, Tante Sukma. Tante Sukma adalah teman yang baru ibu temui di acara pengajian akhir-akhir ini, istilahnya teman baru. Aku benar-benar tidak bersemangat sedikit pun, menolak pun aku tak mungkin. Sore tadi Mama mengatakan padaku. Jika dia tidak percaya pada dengan pilihanku. “Tuh, contohnya si Briana kan nggak genah, malah kayak memaksakan diri untuk bersamamu, pokoknya kali ini kamu nurut sama Ibu,” ucap Ibu, sepertinya ucapan ibu tak bisa dibantah lagi. Tapi untuk mengganti bajuku saja enggan aku malah mengantuk. Tok! Tok! Pintu kamar di ketuk, itu pasti ibu, dia pasti menyuruhku ganti baju, padahal sudah dari tadi sore ibu mewanti-wantiku. Aku beranjak dari tidurku dengan malas dan membuka pintu kamarku. Wajah cantik ibu terlihat di depan pintu dengan jilbab lebarnya yang menjuntai. Ibu menili
Aku berjalan keluar cafe tersebut berjalan dengan langkah gontai. Ternyata Zahra telah dijodohkan dengan orang lain. Apa aku harus menyerah begitu saja? Apa aku harus pasrah pada keadaan dan menerima Briana lagi? Aku tak lagi kembali ke kantor, karena aku tak sanggup untuk bertatap muka dengan Zahra. Ku putuskan untuk mengatakan semua ini pada ibu, ya pada ibuku. Aku segera memacu mobilku di jakanyang padat, aku ingin segera tiba di rumah dan bertemu dengan ibu. Tak beberapa lama aku bertemu dengan ibu dan ingin melepaskan semua bebanku ini. “Eh, eh, kok kusut gitu? Kenapa Nak?” Sapa Ibu dengan senyum hangatnya. Aku nafas dan menghempaskan bobot tubuhku di sofa tepat di samping Ibuku. “Ada apa ayo cerita,” ucap ibu penuh perhatian. Kemudian aku menceritakan soal Briana masa laluku yang telah kembali, ia ingin aku kembali padanya. “Maksud kamu Briana teman kuliah kamu itu?!” tanya ibu terkejut. Aku mengangguk lemah. “Udah, nggak usah. Ibu nggak akan setuju, kalau udah nggak norm
"Dirga, biasa aja dong. Jangan begitu, aku kan cowok normal," ucapku dengan wajah kusut. Dirga tersenyum penuh arti padaku, membuat aku salah tingkah. "Sejak kapan kamu jatuh cinta pada Zahra?" tanya Dirga dengan tatapan tajam. "Nggak tahu, Ga. Entah sejak kapan, rasa itu tumbuh begitu saja di hatiku. Mungkin saat dia ikut wawancara di kantor ini, aku juga tak tahu," aku tergelak gugup. Dirga menatapku sambil tersenyum simpul. "Em, aku tahu saat itu. Sewaktu aku mau menyatakan cinta pada Zahra, raut wajahmu berubah, wajar tak menentu. Aku tahu sebenarnya kau sudah menaruh hati padanya, tapi kau tak mau mengakuinya." Aku tercenung sesaat, berpikir kembali perasaan yang terus kubendung selama ini. "Yah, padahal aku sudah berusaha menyembunyikan perasaan ini dan menjaga sikap agar tak seorang pun yang tahu jika aku sebenarnya menaruh hati pada Zahra." "Benar kan?" tanya Dirga. "Mungkin..." aku menjawab dengan ragu. Dirga tertawa. "Raka, Raka, kamu masih saja menyembunyikan perasaanmu,"
Briana? Apakah itu kau?" tanyaku sambil berusaha bersikap biasa saja. Aku melirik Zahra yang mulai gelisah dan risih karena kehadiran Briana."Ternyata kau masih mengingatku. Bolehkah aku duduk?" "A-ah, eh, tentu saja, silahkan," ucapku dengan gagu sambil mempersilahkan Briana untuk duduk. Selama ini aku berusaha melupakan masa lalu, tapi kini Briana hadir di depanku. Sudah bertahun-tahun lamanya kami tidak pernah bertemu. Bagaimana mungkin dia muncul begitu saja? Apakah dia sudah berubah, atau mungkin sudah normal kembali? "Pak Raka, sepertinya Anda punya tamu penting. Saya permisi dulu, nanti jika sudah selesai Bapak bisa memanggil saya lagi," ucap Zahra. Aku jadi bingung dan merasa bersalah. Bagi aku, Zahra yang lebih penting. Namun, mungkin saja Zahra mengira bahwa Briana adalah kekasihku dan bahwa bunga yang kubawa ini untuk Briana. Padahal ini untuknya. "Ah, baiklah, nanti saja kita bicara saat makan siang," jawabku kepada Zahra. Zahra mengernyitkan dahinya, namun kemudian ia
Malam itu, aku terjaga sepanjang malam, memikirkan cara terbaik untuk mengungkapkan perasaan cinta yang kian dalam ini kepada Zahra. Semakin kukendalikan perasaanku, semakin kukhawatirkan hari dimana aku terlambat mengungkapkannya kepadanya. "Benarkah ini cinta? Apa aku bisa mengatakannya melalui telepon saja? Atau mungkin lewat pesan?" Bisik hatiku. Aku meraih ponselku yang tergeletak di sampingku, meraba-raba dalam gelap, mencari nama Zahra di dalam daftar kontak. Saat jari-jari mulai mengetik, teringat akan satu momen ketika Zahra menyebut bahwa dia sedang menjalin hubungan dengan seseorang. Teringat akan wajahnya, air muka cemburuku tiba-tiba bergejolak. "Bukankah dengan Dirga? Lalu dengan siapa? Aku harus melakukannya, aku harus memberanikan diri sebelum terlambat." Namun ketika hampir menghubunginya, rasa ragu menghantui hatiku. Segala pertanyaan berkecamuk dalam benak ini, "Apa yang harus aku katakan padanya? Apakah dia akan menolakku dengan halus atau dengan marah?" Menghem
Melihat ekspresi wajah Dirga yang penuh kebahagiaan, aku tak bisa menahan rasa was-was dan cemas di dalam hati. Semakin mendekati saat calon istrinya keluar dari kamar, semakin besar kekhawatiran yang menghantui pikiranku. Bagaimana kalau ternyata calon tunangan Dirga adalah Zahra, wanita yang selama ini jadi bagian terbesar dari hidupku? Aku merasa seperti diterjang gelombang emosi yang menerjang tanpa ampun. Tiba-tiba, seorang wanita berhijab keluar dari kamar, didampingi oleh dua orang perempuan. Ia menunduk sambil berjalan ke arah kami semua. Mataku tak bisa lepas dari wanita tersebut, perhatianku tertuju pada postur tubuhnya yang ramping dan tinggi, seperti tubuh Zahra. "Apakah benar dia? Apakah Zahra-lah yang akan menjadi istri Dirga?" Batinku, hati berdebar kencang. Namun, ketika wanita itu akhirnya menatapku, aku baru menyadari sesuatu."Hei, kok gitu banget memperhatikan calon istrinya Dirga," ucap Ibu setengah berbisik sambil menepuk pahaku. "Eh, eh, penasaran aja Bu!" bis