Share

Bab 6. Ketidakadilan

Penulis: Vanilla_Nilla
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Stella dan sahabatnya, Elsa, sedang duduk di ruang tamu kontrakan mereka. Stella terlihat terus-menerus melamun, membuat Elsa bingung dan mencoba mencari tahu apa yang sedang membuat sahabatnya itu sedih.

“Kenapa kamu terus melamun? Apa kamu masih memikirkan Ramon?” tanya Elsa penasaran. Elsa merasa kesal ketika Stella memberitahunya bahwa Ramon telah berselingkuh dan telah membuat sahabatnya itu kecewa.

Stella menjawab dengan tegas, “Aku tidak lagi memikirkannya.”

Elsa kemudian bertanya lagi, mencoba menggali penyebab lamunan Stella. “Lalu karena apa?”

“Ini karena pengganti Pak Damian,” jelas Stella sambil menghela napas.

Elsa memperlihatkan raut wajah heran. “Kenapa? Apa dia orangnya galak?”

“Lebih dari itu,” jawab Stella dengan nada serius. “Kamu pasti tidak akan percaya siapa dia,” tambahnya, membuat Elsa semakin penasaran.

“Siapa memangnya?”

“Tristan,” ungkap Stella sambil memainkan ponselnya.

“Tristan...?” Elsa berhenti sejenak, mencoba mengingat.

“Dia pernah satu SMA dengan kita,” tutur Stella.

“Tristan yang pernah nembak kamu dulu?” Elsa mencoba menghubungkan kembali ingatannya.

“Ya,” balas Stella, wanita itu kini meletakkan ponselnya di meja sambil terus memperhatikan ikan di akuarium.

Elsa terkesiap mendengar jawaban dari sahabatnya itu. Ia masih ingat betul, lelaki yang pernah dekat dengan sahabatnya, bahkan lelaki itu sempat menembak Stella. Akan tetapi, Stella malah menolaknya mentah-mentah.

“Kamu serius?” Elsa bergeser dari tempat duduknya dan duduk di samping Stella, ingin mendengar lebih banyak lagi. “Berarti Tristan menjadi atasan dan kamu jadi sekretarisnya dong?”

Stella mengangguk sambil menatap Elsa. “Iya, tapi ternyata dia juga membawa sekretarisnya dari luar negeri,” jelasnya.

Elsa mengernyitkan kening. “Gawat, posisimu bisa terancam, Stel,” imbuhnya dengan nada khawatir. “Tapi… kalau begitu, kamu dan Tristan akan bertemu terus dong, ya?” tanyanya, mencoba melihat sisi positif dari situasi yang sulit itu. “By the way, bagaimana Tristan sekarang? Apa dia tambah ganteng?” Elsa bertanya dengan nada bercanda.

Stella tersenyum kecil mendengar pertanyaan Elsa. “Hmm, sepertinya dia masih tampan,” jawabnya sambil menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan senyum malu.

“Wow, mungkin ada kesempatan bagimu untuk menarik perhatiannya,” goda Elsa sambil menyipitkan mata.

Stella hanya menggeleng-gelengkan kepala. “Aku pikir itu tidak mungkin. Dia pasti sibuk dengan pekerjaannya dan tidak punya waktu untuk hal-hal seperti itu. Apalagi mungkin dia masih marah karena aku sempat menolaknya dulu," kata Stella dengan suara rendah.

“Eh, jangan pesimis begitu, Stel. Siapa tahu, mungkin ada jalan keluar dari situasi ini,” sahut Elsa, mencoba menghibur temannya.

Stella mengangguk setuju, tetapi masih merasa ragu. Hatinya berdebar-debar saat membayangkan bertemu Tristan setiap hari di tempat kerja. Tetapi di sisi lain, dia juga merasa ada semacam kegembiraan terselip di dalam hatinya.

Drrtt … rrrttt … drttt ….

Stella meraih kembali ponselnya dari atas meja saat mendengar bunyi berdering.

“Siapa itu?” tanya Elsa.

“Pak Damian. Aku harus angkat dulu,” kata Stella sambil beranjak dari sofa menuju balkon. Dia merasa tegang. Apa yang akan dikatakan oleh Damian?

“Halo, Pak Damian.”

“Stella, bisa kita bicara sebentar?”

“Tentu, Pak.”

“Aku ingin bertanya tentang tawaran yang aku berikan tempo lalu. Apa kamu sudah memiliki jawabannya?”

Stella terdiam sejenak, memikirkan perintah Damian untuk mendekati putranya, Tristan. Damian ingin mengetahui apakah Tristan seorang lelaki normal atau tidak karena selama ini, Tristan tidak pernah dekat dengan wanita manapun atau memiliki pacar.

Stella berusaha memilih kata-kata dengan hati-hati sebelum menjawab, “Pak Damian, saya masih mempertimbangkan tawaran tersebut. Saya butuh waktu untuk memikirkannya lebih lanjut.”

Damian merespons dengan suara serius, “Tentu, Stella. Aku mengerti. Tapi tolong diingat, ini adalah kesempatan yang sangat penting bagiku. Aku harap kamu dapat mempertimbangkannya dengan sungguh-sungguh.”

Stella mengangguk meskipun dia tahu ini akan menjadi tugas yang sulit. Setelah percakapan singkat itu berakhir, dia duduk kembali di sofa, memikirkan langkah selanjutnya dengan hati-hati.

Stella menatap ke arah Elsa dengan wajah penuh keraguan. “Elsa, aku butuh saranmu. Pak Damian mengajakku untuk mendekati Tristan. Aku tidak yakin apa yang harus kulakukan,” keluh Stella.

Elsa memandang Stella dengan penuh perhatian. “Hmm, itu memang situasi yang sulit. Tapi menurutku, kamu harus mempertimbangkan baik-baik. Apakah kamu merasa nyaman dengan tawaran itu? Dan bagaimana perasaanmu terhadap Tristan?”

Stella menggeleng perlahan. “Aku tidak yakin. Tapi aku juga tidak ingin mengecewakan Pak Damian. Dia sepertinya sangat memperhatikan Tristan, dan aku ingin membantunya jika bisa. Tapi … kenapa harus aku? Kenapa tidak wanita lain saja yang ia suruh?”

Elsa tersenyum melihat kebingungan sahabatnya itu. “Mungkin kamu adalah wanita yang bisa diandalkan, makanya Pak Damian menyuruhmu untuk mendekati Tristan. Kalau aku jadi kamu, tidak disuruhpun oleh Pak Damian, mungkin aku akan mendekatinya sendiri.”

“Ini benar-benar tidak mudah bagiku, apalagi dengan sikap Tristan yang dingin, sebenarnya aku ingin menolak, tapi karena Pak Damian sudah begitu baik kepadaku selama ini, aku jadi tak enak untuk menolaknya,” keluh Stella.

Elsa mengedipkan mata sambil memberikan senyum kecil. “Tenang, Stella. Aku yakin kamu akan menemukan jalan keluar dari situasi ini. Kamu harus percaya pada dirimu sendiri.”

***

Stella, pagi ini sedang berada di pantry, wanita yang mengikat rambut satu itu sedang menyeduh teh hangat untuk Tristan, tapi tiba-tiba Maya, teman kerjanya, mendekatinya.

“Stella, kemarin bagaimana? Apakah kamu dimarahi tanpa henti?” Maya bertanya, mengingat Stella terlambat datang ke kantor.

Untungnya, Pak Damian tidak marah padanya. “Tidak,” jawab Stella.

“Tapi, apa Tuan Tristan yang memarahimu?” tanya Maya kembali.

“Tidak juga,” jawab Stella sambil menggelengkan kepalanya.

Maya menghela napas lega. “Syukurlah. Aku pikir Tuan Tristan akan marah besar karena situasinya sedang panas saat itu.”

“Kenapa, kok seperti itu?” tanya Stella.

“Kamu tidak tahu?” tanya Maya terkejut.

Stella hanya menggeleng.

“Di rapat kemarin, Tuan Tristan marah besar karena kesalahan dalam laporan keuangan. Dia bahkan menggebrak meja!”

Stella mengangguk. “Pak Damian juga suka begitu.”

“Tapi Tuan Tristan lebih parah,” sela Maya “dia memarahi setiap orang yang tidak bersalah juga.”

Setelah menyeduh tehnya, Stella bergegas akan pergi ke ruang Tristan. “Sudahlah, nanti lanjut lagi gosipnya,” ucap Stella sambil meninggalkan pantry.

Maya hanya mengangguk melihat kepergian Stella dari hadapannya.

Di ruang Tristan, Stella menaruh secangkir teh di meja kerjanya. “Tuan, ini teh hangatnya,” kata Stella sambil tersenyum manis.

Tristan, yang tengah sibuk dengan dokumen, melirik ke arah teh tersebut lalu memanggil Dafina, sekretarisnya. “Dafina,” panggil Tristan.

Dafina masuk ke ruang Tristan. “Iya, Tuan?”

“Tolong buatkan saya teh!” perintah Tristan yang membuat semua orang bingung.

Stella mengernyitkan dahinya saat mendengar perintah tersebut. Sedangkan Dafina memandang secangkir teh yang sudah dibuat Stella.

“Lain kali, kamu saja yang buatkan teh. Aku tidak ingin minum dari teh yang dibuat orang lain. Rasanya pasti tidak sama,” ujar Tristan.

“Baik, Tuan.“

Saat Tristan memberikan perintah kepada Dafina, Stella merasakan adanya perasaan tidak adil. Kenapa ia harus menyeduh teh untuk Tristan, sedangkan Dafina yang notabene adalah sekretaris Tristan tidak pernah ditegur. Dia merasa ada perlakuan tidak adil dari Tristan dan menjadi sedih mendengar kata-kata Tristan.

Bab terkait

  • Sekretaris Kesayangan Tuan Tristan   Bab 7. Tak Dianggap

    Tristan, seorang pria yang selalu terlihat sibuk dengan pekerjaannya, duduk di mejanya dengan tumpukan dokumen yang tersebar di hadapannya. Matanya terfokus pada setiap detail yang tertera di lembaran-lembaran kertas tersebut, sementara pikirannya sibuk merencanakan langkah-langkah selanjutnya dalam menjalani hari yang padat.Namun, perhatiannya terganggu oleh keberadaan Stella, seorang wanita cantik yang masih berada di ruangannya. Dengan pakaian kemeja pink yang menambah kesan manis pada penampilannya, Stella tampak tenggelam dalam lamunan sendiri. Tristan tidak bisa menahan kebingungannya. “Kenapa kamu masih ada di sini? Apa kamu tidak memiliki pekerjaan lain?” tanyanya, mencoba memahami alasan keberadaan Stella yang terus berada di ruangannya.“Oh, baiklah.” Stella tersentak dari lamunannya dan segera berbalik untuk menuju pintu, seperti tersadar bahwa keberadaannya di sana tidak diinginkan. Namun, sepasang kakinya berhenti melangkah ketika Tristan menghentikannya dan berseru,

  • Sekretaris Kesayangan Tuan Tristan   Bab 8. Pesan Masuk

    Ping! Pesan masuk dari Tristan: “Stella, bisa kita bicara sebentar setelah rapat hari ini?”Ping! Belum juga Stella membalas, pesan dari Tristan masuk lagi. “Nanti malam jam 08:00 di First Love Cafe,” bunyi pesan dari Tristan.Stella hampir tidak percaya pada apa yang dibacanya. “Seriusan? Aku tidak lagi bermimpi, ‘kan?” gumamnya dengan gugup sambil menepuk wajah. Ia segera melirik ke arah ruang kerja Tristan, namun pintunya tertutup rapat. Stella merasa gelisah. Dia ingin memastikan apakah itu benar-benar Tristan yang mengirimkan pesan tersebut.“Kenapa dia ingin bertemu denganku? Dan mengajakku bertemu di cafe?” gumam Stella yang merasa bingung. Untuk apa lelaki itu mengiriminya pesan dan meminta untuk bertemu? Stella duduk di depan meja kerjanya, matanya menatap kosong ke arah monitor komputernya. Namun, pikirannya sudah jauh terlempar ke masa lalu, saat ia masih SMA dan dekat dengan seorang laki-laki bernama Tristan.Tristan adalah sosok yang cerdas, berbakat dan sangat populer

  • Sekretaris Kesayangan Tuan Tristan   Bab 9. Kekecewaan Stella

    Tetapi ketika melihat siluet Tristan di ujung cafe, Stella meremas gaunnya dengan gemetar saat menyadari bahwa Tristan duduk di meja yang sama dengan Dafina.“Apa yang terjadi? Mengapa dia melakukan ini?” gumamnya lirih dalam kebingungan.Stella tak menyangka Tristan akan membodohinya seperti ini. Wanita itu berharap bahwa undangan makan malam Tristan hanya untuk dirinya saja, tanpa ada orang lain. Tetapi kenyataannya, Tristan malah mengajak Dafina, sekretarisnya yang lain.“Stella!” seru Dafina ketika melihat Stella memasuki cafe.Tristan, yang menyadari kehadiran Stella, ikut memalingkan pandangannya ke arah gadis cantik itu. Tidak bisa dipungkiri, Stella tampak begitu cantik malam ini dengan gaun biru tua yang dipilihnya, ditambah dengan rambutnya yang digerai dengan indah, membuat Tristan sulit untuk tidak memperhatikannya.Stella meremas gaunnya erat, meskipun dadanya terasa sesak. Dia mencoba untuk tersenyum dan mendekati meja Tristan dan Dafina.“Kamu juga di sini?” tanya Dafin

  • Sekretaris Kesayangan Tuan Tristan   Bab 10. Merasa Bersalah

    Tristan, lelaki tampan bertubuh atlentis dengan berahang kokoh, yang memiliki hidung mancung, dan mata tajam seperti burung elang sedang berenang di kolam renang. Di siang yang cerah itu, kolam renang tampak sepi dan tenang, hanya ada bunyi gemericik air yang bergerak pelan. Tristan memasuki kolam renang dengan tenang dan meluncur dari pinggiran kolam.Ketika ia mulai berenang, air kolam bergolak dan berombak karena gerakan lengan dan kaki Tristan yang kuat. Dengan kecepatan yang luar biasa, ia bergerak maju dan meluncur ke bawah air, menggunakan tekniknya untuk mengeksplor kedalaman kolam renang.Sedangkan di tepi kolam, Evan duduk tenang di kursi panjang, mengamati gerakan Tristan.Evan melihat Tristan yang masih terus berenang di dalam kolam renang. Ia memperhatikan langit yang tadinya cerah berwarna biru sudah mulai berubah menjadi jingga, menandakan waktu siang akan berganti malam, namun Tristan masih tampak betah berenang.“Tristan, berapa lama kamu masih akan berenang?” tanya E

  • Sekretaris Kesayangan Tuan Tristan   Bab 11. Kekecewaan Tristan

    Setelah memasuki kantor, Tristan, Dafina, Stella, dan Maya berjalan menuju lift. Dafina menekan tombol untuk naik ke lantai 14, tempat ruang kerja mereka berada. Saat pintu lift tertutup, suasana menjadi hening, hanya terdengar gemerisik halus dari mesin lift.Tristan memperhatikan Stella diam-diam, tetapi wanita itu membuang muka, tidak mau bertatapan dengannya. Ada keheningan yang kaku di antara mereka, yang tak bisa diabaikan.Ketika pintu lift terbuka di lantai 14, mereka semua keluar dan menuju ruang kerja masing-masing. “Tuan, rapat akan dimulai dalam satu jam,” ujar Dafina mengingatkan Tristan.Tristan mengangguk dan masuk ke dalam ruangannya tanpa berkata apa-apa.“Stella, tolong berikan dokumen surat perjanjian perusahaan ini kepada Tuan Tristan,” titah Dafina, yang sedang sibuk dengan panggilan telepon.Namun, Stella terdiam sejenak, wanita itu ragu-ragu. Ia tidak ingin bertemu langsung dengan Tristan, terutama setelah malam yang sulit dia lewati. Namun, dengan berat hati,

  • Sekretaris Kesayangan Tuan Tristan   Bab 12. Ketakutan Stella

    Stella dan Dafina mencari dokumen tersebut dengan penuh ketegangan. Stella mencari dokumen itu di meja Dafina karena dia masih ingat betul terakhir kali dia meletakkan dokumen tersebut di meja Dafina. Dafina bersedekap dada melihat Stella yang mencari dokumen itu di mejanya.“Bagaimana? Dokumennya tidak ada di mejaku, ‘kan? Sudahlah, kamu tidak perlu menyalahkan orang lain atas kesalahanmu sendiri,” ujar Dafina yang terlihat kesal.“Tapi aku masih ingat jelas, aku meletakkannya di meja kamu,” ungkap Stella.“Daripada kamu mencari di mejaku, lebih baik kamu cari di mejamu sendiri!” kata Dafina dengan nada yang tajam.Setelah mendengar perkataan Dafina, Stella pun berlari ke meja kerjanya untuk mencari dokumen tersebut, wanita yang memiliki tubuh langsing itu mulai mencari dari laci hingga tempat penyimpanan lainnya. Bahkan ia sampai mengeluarkan semua barang yang ada di tasnya, tapi tetap saja dokumen tersebut tidak ditemukan.Setelah Stella tak menemukan keberadaan dokumen itu di meja

  • Sekretaris Kesayangan Tuan Tristan   Bab 13. Kegelisahan Tristan

    Tristan memasuki kantornya pada pagi yang cerah. Sepasang kaki jenjangnya melangkah dengan lebar saat ia berjalan menuju ruang kerjanya. Hari ini, ia mengenakan kemeja putih yang rapi dengan jas warna biru tua yang cocok di badannya. Di pergelangan tangannya, terdapat jam tangan mewah merek Rolex yang menambah kesan elegan pada penampilannya.Sesampainya di depan ruang kerjanya, Tristan melihat Dafina yang sibuk bekerja. “Dafina,” seru Tristan.“Iya, Tuan.” Dengan hormat, Dafina berdiri dan memberikan salam. Tristan mengangguk sebagai balasan dan segera menanyakan tentang dokumen yang dicari.“Dafina, apa kamu sudah menemukan dokumen itu?” tanya Tristan dengan nada yang agak tegang.Dafina menggelengkan kepala dengan wajah yang cemas. “Maaf, Tuan, saya belum menemukan dokumen tersebut. Saya masih mencarinya.”Tristan mengangguk singkat, namun ekspresinya menunjukkan sedikit kekecewaan. “Baiklah, segera temukan dan persiapkan beberapa dokumen untuk rapat hari ini.”Setelah memberi inst

  • Sekretaris Kesayangan Tuan Tristan   Bab 14. Aku Akan Menjagamu

    Tristan dengan cepat menggendong Stella ala bridal style dan segera membawanya keluar dari gudang menuju ruangannya. Setiap langkahnya dipenuhi dengan kekhawatiran dan kecemasan akan kondisi Stella. Para karyawan yang melihatnya hanya bisa menatap heran, bertanya-tanya apa yang terjadi dengan Stella.“Tuan!” seru Dafina ketika melihat Tristan menggendong Stella.“Cepat panggil dokter!” perintah Tristan kepada Dafina.Dafina dengan cepat mengangguk. “Baik, Tuan.”“Stella!” Sementara itu, Maya berteriak panik sambil mendekati Tristan dan Stella. “Tuan, apa yang terjadi dengan Stella?” tanyanya dengan suara gemetar.“Dia pingsan. Segera bawa minyak angin ke ruanganku,” titah Tristan kepada Maya.Maya mengangguk. “Baik, Tuan.”Tristan kembali fokus pada tugasnya untuk membawa Stella ke ruangannya. Begitu sampai di sana, dia meletakkan tubuh Stella dengan perlahan di atas sofa.Dengan cepat, Tristan berusaha memeriksa keadaan Stella, memastikan dia tetap bernapas dengan stabil. Hatinya berd

Bab terbaru

  • Sekretaris Kesayangan Tuan Tristan   Bab 102. Honeymoon

    Keesokan paginya, Stella terbangun dengan sinar matahari yang menyelinap masuk melalui celah-celah tirai kamar. Dia merasa segar setelah tidur nyenyak semalam. Dia menoleh ke samping dan melihat Tristan masih tertidur pulas di sebelahnya. Wajahnya tampak damai dan bahagia. Stella bangkit perlahan dari tempat tidur, berusaha tidak membuat suara yang bisa membangunkan Tristan. Dia berjalan menuju kamar mandi untuk bersiap-siap menghadapi hari baru sebagai seorang istri. Ketika Stella selesai bersiap, dia keluar dari kamar mandi dan menemukan Tristan yang sudah bangun dan sedang duduk di tepi tempat tidur. "Selamat pagi," sapa Tristan dengan senyum lebar. "Selamat pagi," balas Stella sambil menghampiri Tristan dan duduk di sampingnya. "Apa kau tidur nyenyak?" tanya Tristan sambil mengusap lembut rambut Stella yang masih basah. "Ya, terima kasih. Kamu?" balas Stella sambil menatap mata Tristan dengan penuh cinta. "Aku juga. Ini hari pertama kita sebagai suami istri. Apa rencana

  • Sekretaris Kesayangan Tuan Tristan   Bab 101. Hot Night

    "Hay Stella," sapa Weni dengan senyum ramah. "Oh, iya, aku hanya kaget saja. Aku pikir kamu tidak akan datang," jawab Stella, yang juga tersenyum ke arah Weni. "Aku pasti datang, Stella. Selamat ya," ucap Weni dengan tulus. Stella dan Tristan memang sempat ragu untuk mengundang Weni ke pernikahan mereka, terutama dengan apa yang terjadi belakangan ini. Weni masih bersikukuh untuk mendapatkan hati Tristan kembali. Namun, Tristan tak goyah dengan pendiriannya untuk terus bersama Stella. Meskipun beberapa orang menentang pernikahan mereka, terutama karena sebelumnya Weni menginginkan pernikahan bisnis dengan Tristan untuk membantu perusahaan yang dikelola Tristan, tapi Tristan tetap menolaknya. Tristan lebih memilih cara lain. Ia bahkan pergi ke luar negeri untuk mengurus semuanya dan bekerja sama dengan perusahaan asing. Setelah kembali ke Indonesia, usaha keras Tristan membuahkan hasil. Ia akhirnya bisa membangun kembali perusahaan keluarganya tanpa harus bergantung pada perni

  • Sekretaris Kesayangan Tuan Tristan   Bab 100. Hari Bahagia

    Stella memandangi dirinya dalam cermin, memperhatikan gaunnya yang terlihat begitu indah. Gaun itu berwarna putih gading dengan desain klasik yang elegan. Potongan A-line yang membentuk siluet tubuhnya dengan sempurna, sementara renda halus menghiasi bagian atas gaun, memberikan sentuhan romantis. Tali bahu yang tipis menambahkan kesan anggun, dan ekor gaun yang panjang menambah kemegahan penampilannya. Veil yang panjang menutupi punggungnya, melengkapi penampilan yang sempurna sebagai pengantin. Hari ini adalah hari pernikahannya dengan Tristan. Ia tak menyangka bila akhirnya bisa menikah dengan pria yang begitu dicintainya. Stella teringat kembali saat-saat ketika ia dan Tristan pertama kali bertemu kembali di kantor. Waktu itu, Tristan menggantikan Damian sebagai CEO, dan Stella menjadi sekretarisnya. Mereka tak sengaja bertemu di ruang rapat saat Tristan baru saja mengambil alih jabatan. Stella merasa canggung, tapi Tristan dengan senyum hangatnya membuat Stella merasa nyaman. Pe

  • Sekretaris Kesayangan Tuan Tristan   Bab 99. Will You Marry Me?

    "Tristan," gumam Stella lirih, matanya sudah berkaca-kaca ketika melihat Tristan yang ada di hadapannya kini. Tristan malam ini tampil begitu menawan dengan kemeja hitam yang pas di tubuhnya dan celana panjang berwarna senada. Rambutnya disisir rapi, dan ia membawa buket bunga mawar merah yang cantik di tangannya. Cahaya lilin yang redup membuat penampilannya terlihat semakin mempesona. "Stella," kata Tristan ketika melihat Stella yang hanya terdiam. "Ini beneran kamu?" tanya Stella, mencoba untuk memastikan bahwa yang dilihatnya bukan sekadar ilusi. Tristan mengangguk dan memberikan buket bunga mawar yang cantik kepada Stella. Stella meraih bunga tersebut dengan perasaan kesal. "Jahat," gumamnya. "Jahat?" tanya Tristan sambil mengerutkan keningnya, ia merasa bingung. "Kamu jahat," kata Stella dengan suara serak. "Aku sudah menghubungi bahkan mengirim banyak pesan kepadamu, tapi kamu tidak membalasnya." Tristan tersenyum, lalu mengusap air mata yang jatuh di pipi Stell

  • Sekretaris Kesayangan Tuan Tristan   Bab 98. Kejutan

    "Sayang, bangun, ini sudah jam 8 pagi. Apa kamu mau tidur terus?" Safira membangunkan anaknya, Stella, yang masih tidur begitu pulas. Ia mengelus rambut Stella dengan lembut, berharap putri kesayangannya itu bangun. Stella menggeliat ketika merasakan tangan hangat ibunya mengelus rambutnya. "Stella masih ngantuk," gumamnya, yang masih enggan untuk bangun. "Ini udah pagi, Sayang. Mama sudah siapin sarapan, kita sarapan bareng, ya." "Hm, Stella nggak laper," jawab Stella dengan suara serak. "Tadi malam kamu juga makannya cuma sedikit. Sekarang harus makan lagi, ya." "Tapi, Ma ...." "Hust, nurut sama mama, ya. Di luar juga ada seseorang yang ingin bertemu dengan kamu." Stella langsung membuka matanya lebar-lebar ketika ibunya berkata ada seseorang di luar. "Siapa, Ma?" "Temui dia, dia bilang sudah kangen sama kamu." "Mm, iya deh, Ma," ujar Stella sambil bangun dari tidurnya. Ia pun menyingkap selimut dan mulai merapikan rambutnya yang masih berantakan. Namun, ketika Stel

  • Sekretaris Kesayangan Tuan Tristan   Bab 97. Desakkan Safira

    "Ya, tiba-tiba ada urusan keluarga yang harus aku selesaikan, dan aku juga mau menemui kamu. Aku nggak bisa tinggal lama di Jakarta," kata Elsa dengan nada menyesal. Stella menghela napas panjang. "Aku mengerti, tapi aku terkejut mendengar itu. Lalu bagaimana dengan pekerjaanmu di Jakarta?" Elsa tertawa kecil. "Tenang, Stella. Aku cuma sebentar di Jogja. Lagi pula, aku ingin memastikan kamu baik-baik saja. Aku sudah kangen sama kamu. Memangnya kamu gak kangen sama aku?" Stella tersenyum lemah. "Hm, ya, aku juga kangen sama kamu." Stella menghela napas lega. "Baiklah. Aku akan menunggumu di sini." "Aku akan segera menemui kamu, Stella. Kita bisa ngobrol banyak hal seperti biasa," ujar Elsa dengan nada meyakinkan. "Baiklah. Jaga diri di perjalanan, ya. Dan segera hubungi aku kalau sudah sampai Jogja," kata Stella dengan suara pelan. "Pasti, Stella. Kamu juga jaga diri baik-baik. Kalau ada apa-apa, langsung hubungi aku. Aku selalu siap buat kamu," balas Elsa. "Terima kasih,

  • Sekretaris Kesayangan Tuan Tristan   Bab 96. Kabar Dari Elsa

    Safira terlihat sedikit terkejut dengan reaksi Stella, tetapi ia tetap tenang. "Mama hanya ingin yang terbaik untukmu, Sayang. Tristan tidak ada di sini sekarang, dan mama khawatir kamu akan sendirian mengurus semuanya." Stella menggelengkan kepalanya. "Aku tidak butuh orang lain, Ma. Aku bisa mengurus diriku sendiri dan bayiku." Emir yang sedari tadi diam, kini angkat bicara. "Stella, kami hanya ingin memastikan kamu tidak sendirian. Kami tahu ini berat, tapi coba beri kesempatan." Stella mendesah, ia merasa frustrasi, begitu bingung dengan sikap kedua orang tuanya. "Aku sudah bilang, aku tidak butuh orang lain. Aku hanya ingin fokus pada kesehatanku dan bayiku." Safira mencoba mendekati Stella dan memegang tangannya. "Sayang, mama mengerti perasaanmu. Tapi setidaknya, temuilah dia. Tidak ada salahnya berteman, 'kan?" Stella menarik tangannya dari genggaman Safira. "Ma, aku sudah punya Tristan. Meski dia tidak ada di sini sekarang, aku yakin dia akan kembali dan bertanggung jawa

  • Sekretaris Kesayangan Tuan Tristan   Bab 95. Rencana Safira

    Stella baru saja selesai mandi dan berjalan ke arah meja. Wanita yang masih mengenakan bathrobe itu segera meraih ponselnya yang ada di atas meja. Ia membuka layar ponselnya dan memeriksa pesan serta panggilan yang masuk. Namun, tak ada satu pun panggilan maupun pesan dari kekasihnya, Tristan. "Apa dia begitu sibuk sampai tak mengabariku?" gumam Stella sambil memandangi ponsel yang ada digenggamannya. Rasa cemas mulai menyelimuti hatinya. Stella pun mencoba untuk menghubungi Tristan, namun ponsel lelaki itu ternyata tidak aktif. Rasa kecewanya semakin bertambah. Akhirnya, Stella memutuskan untuk mencoba menghubungi Dafina, sekretaris Tristan yang ikut pergi ke luar negeri. Ia berharap mendapatkan kabar tentang Tristan dari Dafina. Stella menunggu beberapa saat hingga panggilannya terhubung. "Halo, Dafina?" sapa Stella dengan nada penuh harap. "Halo, Stella. Ada apa?" balas Dafina dari ujung telepon. "Dafina, aku khawatir karena tidak bisa menghubungi Tristan. Ponselnya tid

  • Sekretaris Kesayangan Tuan Tristan   Bab 94. Kembali ke Kampung

    Stella sudah berulang kali menegaskan bahwa ia tidak ingin meninggalkan Jakarta, tapi ibunya tetap saja bersikeras. Safira terus melipat baju-baju Stella dan memasukkannya ke dalam koper dengan cepat. "Ma, aku sudah bilang aku gak mau," rengek Stella, suaranya terdengar putus asa ketika melihat ibunya yang tak berhenti memasukkan pakaiannya ke dalam koper. Safira menghela napas panjang dan menatap Stella dengan mata penuh kasih sayang. "Sebentar saja, Stella. Memangnya kamu tidak mau melihat adik-adikmu dan papamu di kampung?" Stella menghela napas panjang, ia merasa terpojok. "Baiklah, tapi aku tidak mau Mama membawa semua baju-bajuku. Aku masih punya banyak urusan di sini." Safira tersenyum sedikit, ia merasa senang karena Stella mulai luluh. "Mama hanya membawa beberapa bajumu saja. Sekarang, bersiaplah. Kamu mandi dulu. Mama takut kita akan ketinggalan kereta." Stella mengangguk dengan enggan. "Hm, baiklah." Stella berjalan gontai menuju kamar mandi, merasa berat hati

DMCA.com Protection Status