Waduh, kira-kira siapa itu? Nggak bahaya tha?
Malam telah berganti pagi. Reina langsung memberikan sebuah pertanyaan yang sulit untuk dijawab oleh Regan. “Semalam Pak Regan ke mana saja?” tanya Reina penuh selidik. Kedua matanya memperhatikan sang suami dari atas sampai bawah. Menyelidiki apakah ada bekas lipstik wanita lain di bajunya. “Em, itu ... aku tidak bisa tidur, Sayang. Karena Tiger ngambek.” “Lalu?” Reina masih tidak percaya. “Aku berkeliling hingga kelelahan. Dan berakhir tertidur di apartemenku. Apakah kamu tidak percaya? Hem?” Regan mencolek hidung sang istri. Entah mengapa perasaan Reina jadi tak enak. Ia memiliki prasangka buruk terhadap suaminya. “Baiklah, Reina percaya. Sebaiknya sejarah Pak Regan segera mandi. Kita siap-siap untuk melakukan perjalanan ke luar kota.” Regan menepuk keningnya. “Astaga! Aku hampir lupa, Sayang. Maaf, ya?” ucapnya manja. Namun hal itu membuat Reina merasa kesal. Ia merasa Regan telah berbeda. “Pak Regan tidak perlu meminta maaf. Reina tunggu di ruang makan.” “Reina, tunggu, S
Sejak tiba di hotel tempat menginap, CEO tampan itu tidak sempat memberi kabar kepada Reina. Regan sibuk mempersiapkan segalanya bersama sang asisten hingga melupakan ponselnya. Sementara di rumah, Reina justru tak sabar mendengar kabar terbaru dari suaminya itu. Beberapa kali Reina terlihat mondar-mandir dengan memegangi handphone. Namun sayangnya ia terlalu gengsi untuk bertanya terlebih dahulu. “Kenapa, Reina? Ada masalah? Kamu pasti sangat mengkhawatirkan Regan, ya? Tenang saja. Dia pasti tidak akan macam-macam di sana,” terang oma yang berusaha menenangkan cucunya. Reina hanya tersenyum tipis. Ia tidak ingin semakin memperkeruh keadaan. Kini Oma Regina dan Reina telah berada di dalam kamar. Dokter mengatakan jika keadaan Oma Regina semakin membaik. Dan sang oma yakin jika semua itu berkat Reina. Tak lama kemudian seorang pelayan datang membawakan menu makan siang. “Oma, makan siang dulu, ya? Setelah ini nanti Oma harus tidur siang. Seperti kata Pak Dokter. Oma, harus banyak-
Jeffan benar-benar tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Angel. Tetapi ia butuh tanda tangan itu. “Bagaimana Jeffan? Kamu tidak mau mengecewakan Regan bukan?” tanya wanita tersebut santai sambil memainkan rambutnya yang panjang. “Tapi kenapa harus saya?” tanya Jeffan memastikan. “Suatu hari nanti pasti kamu akan tahu sendiri. Ini hanya pura-pura, Jeffan. Aku tidak menuntut apapun darimu. Hanya sebuah status saja.” Jeffan terdiam cukup lama. Agaknya ia benar-benar berpikir keras agar tidak salah langkah. Sementara Regan masih berkendara di tengah ramainya jalanan kota. Beberapa kali ia harus terjebak macet hingga waktunya harus banyak tertunda agar tiba di rumah. Di saat Regan merasa kesal karena harus terkena macet kembali, tiba-tiba ponselnya berdering. Ia pikir yang menghubungi adalah Reina. Ternyata tebakannya salah. “Papa? Tumben sekali dia menghubungiku. Apakah ada hal penting?” Dengan malas ia mengangkat telepon itu. “Ada apa, Pa?” “Cepat pulang, Regan. O
Di mansion, keluarga besar Admaja tengah berkumpul. Regan terlihat duduk menyendiri di sudut teras. Hal itu menarik atensi mama tirinya. “Pa ... lihat itu, Regan. Pasti dia sangat terpukul atas kematian omanya. Sementara sang istri justru ditahan di sel.” “Betul, Ma. Sebenarnya papa sangat tidak suka dengan istrinya itu. Papa seperti pernah melihatnya di masa dulu. Tapi siapa? Papa tidak begitu ingat.” “Bagaimana kalau kita dekatkan kembali sama Kimberly, Pa. Gadis itu 'kan sangat cantik, elegan, wajahnya blasteran. Nggak malu-maluin kalau diajak pergi ke pesta. Tidak seperti Reina.” “Sepertinya itu ide yang bagus, Ma. Mama masih sering komunikasi dengan Kimberly?” tanya Justin penasaran. “Tentu saja, Pa. Dia cerita beberapa waktu yang lalu ketemu sama Regan di depan klub malam. Lalu mereka—” Claudia sengaja menghentikan ucapannya. “Mama serius?” Justin membelalakkan kedua matanya. Ia tidak percaya jika Regan juga tertarik dengan perempuan itu. Tidak beda jauh dengan Justin sendi
Regan berkali-kali harus meminta maaf kepada Reina di dalam hatinya. ‘Maafkan aku, Sayang.’ Kali ini ia harus mengutamakan Alice terlebih dahulu. Regan takut jika adiknya kenapa-napa. Lelaki tampan itupun segera menelepon asisten kepercayaannya. Siapa lagi kalau bukan Jeffan. “Jeffan, ikut aku!” Ucapannya setelah telepon tersambung. “Ke mana, Bos? Ini tapi tidak bisa. Masih sibuk di kantor, Bos. Pekerjaan sangat banyak. Sepertinya hari ini harus lembur lagi.” Jeffan menjawab apa adanya. “Ya, sudah. Selesaikan saja tugasmu.” Regan memutuskan sambungan. Bergegas ia menjalankan mobilnya dengan kencang. Regan langsung masuk ke dalam apartemen milik adiknya. Ia berjalan cepat menemui Alice di kamarnya. Bersamaan dengan itu ada seorang laki-laki yang keluar dari kamar Alice.“Pak Regan ... kasihan Alice.” “Kamu siapa? Dia bilang hanya sendirian?” tanya Regan ingin tahu. “Saya temannya, Pak. Saya baru saja datang dan hendak mengambilkan air minum.” “Baiklah. Segera ambilkan.” Lela
“Reina, Sayang ... akhirnya kamu dibebaskan,” ujar Regan yang datang menemui istrinya dengan wajah penuh senyuman.Tanpa rasa malu lelaki tampan itu merentangkan kedua tangannya. Berharap sang istri paham akan maksudnya.Namun Regan salah. Istrinya tersebut hanya memasang wajah datar. Tidak ada raut wajah penuh kebahagiaan yang Reina coba perlihatkan kepada Regan.Padahal CEO itu sudah susah payah membujuk Alice agar mau ia tinggalkan di apartemen. Dan Regan juga tidak mengizinkan adiknya untuk ikut.Reina memperhatikan sekeliling. Ia melihat Regan datang seorang diri. Wanita itu pikir suaminya tersebut akan pulang dengan Alice. Adik kesayangannya.“Reina capek. Pengen istirahat.”Wanita itu berjalan terlebih dahulu. Bahkan ia mengabaikan tangan Regan yang sejak tadi bersiap mendekapnya.Regan hanya bisa mendesah kasar sambil menurunkan kedua tangannya secara perlahan. Ia memilih untuk menghampiri anak buahnya sejenak.“Ada apa dengannya? Ada yang salah?” tanya Regan kepada Roni sambi
Reina merasakan ada yang aneh. Ia membuka kedua mata dan mendapati Regan tengah memainkan tubuh bagian atasnya.“Pak Regan!!! Apa-apaan ini?!” teriak Reina dengan nada yang melengking.Regan sangat terkejut. Ia pikir Reina tidak akan bangun. Telinga lelaki itu terasa sakit mendengar teriakan istrinya. Ia langsung menghentikan aksinya.“Reina?” ucap Regan lirih. Ia senyum-senyum malu.Namun wajah Reina justru terlihat garang. Tanpa berkata apapun ia segera menarik jubah mandi yang berada tidak jauh dari tempatnya. Wanita itu keluar dari kamar mandi dan segera mencari baju ganti yang pertama kali ia temukan tanpa memilah-milah lagi.“Kamu masih marah?” tanya Regan gelisah. Lelaki itu asyik membuntuti istrinya yang tak mau menengadahkan wajah kepadanya.Reina duduk di tepi ranjang. Ia tidak tahu dengan perasaannya sendiri. Kenapa dirinya bisa semarah itu kepada Regan. Padahal lelaki di dekatnya tersebut hanya berusaha untuk memanjakannya di kamar mandi.Regan bingung sendiri melihat sang
Malam itu mereka makan malam dengan duduk bersebelahan. Begitu dekat. Ya, Regan sengaja melakukannya. Sepertinya ia harus sering-sering bersikap seperti benalu yang menempel dengan tumbuhan inangnya. “Aku suapin, ya?” lirih Regan romantis. Kening Reina berkerut. “Pak Regan kenapa, sih?” “Kenapa apanya? Hem? Coba katakan?! Apakah ada yang salah?” tanya Regan sambil memainkan dagu istrinya. “Bukankah suami yang perhatian adalah idaman setiap istri?” lanjutnya tanpa mengalihkan perhatian. “Kita mau makan atau peluk-pelukan?” Reina memutar bola matanya dengan malas seraya memperhatikan tangan kiri Regan yang mendekapnya begitu erat. Seperti takut kehilangannya saja. “Kamu tidak suka?” Dengan perlahan Regan menarik tangan kirinya. “Baiklah, mungkin lebih baik kita makan sendiri-sendiri.” Reina senyum-senyum mengamati tingkah lucu suaminya. Entah mengapa malam itu Regan terlihat sangat tampan. Apalagi rambutnya yang terlihat acak-acakan. Sengaja tidak mau disisir. Tidak tahu apa maksud