Oh, oh, siapa dia????? Kalian tim Reina atau Regan?????
“Reina, Sayang ... akhirnya kamu dibebaskan,” ujar Regan yang datang menemui istrinya dengan wajah penuh senyuman.Tanpa rasa malu lelaki tampan itu merentangkan kedua tangannya. Berharap sang istri paham akan maksudnya.Namun Regan salah. Istrinya tersebut hanya memasang wajah datar. Tidak ada raut wajah penuh kebahagiaan yang Reina coba perlihatkan kepada Regan.Padahal CEO itu sudah susah payah membujuk Alice agar mau ia tinggalkan di apartemen. Dan Regan juga tidak mengizinkan adiknya untuk ikut.Reina memperhatikan sekeliling. Ia melihat Regan datang seorang diri. Wanita itu pikir suaminya tersebut akan pulang dengan Alice. Adik kesayangannya.“Reina capek. Pengen istirahat.”Wanita itu berjalan terlebih dahulu. Bahkan ia mengabaikan tangan Regan yang sejak tadi bersiap mendekapnya.Regan hanya bisa mendesah kasar sambil menurunkan kedua tangannya secara perlahan. Ia memilih untuk menghampiri anak buahnya sejenak.“Ada apa dengannya? Ada yang salah?” tanya Regan kepada Roni sambi
Reina merasakan ada yang aneh. Ia membuka kedua mata dan mendapati Regan tengah memainkan tubuh bagian atasnya.“Pak Regan!!! Apa-apaan ini?!” teriak Reina dengan nada yang melengking.Regan sangat terkejut. Ia pikir Reina tidak akan bangun. Telinga lelaki itu terasa sakit mendengar teriakan istrinya. Ia langsung menghentikan aksinya.“Reina?” ucap Regan lirih. Ia senyum-senyum malu.Namun wajah Reina justru terlihat garang. Tanpa berkata apapun ia segera menarik jubah mandi yang berada tidak jauh dari tempatnya. Wanita itu keluar dari kamar mandi dan segera mencari baju ganti yang pertama kali ia temukan tanpa memilah-milah lagi.“Kamu masih marah?” tanya Regan gelisah. Lelaki itu asyik membuntuti istrinya yang tak mau menengadahkan wajah kepadanya.Reina duduk di tepi ranjang. Ia tidak tahu dengan perasaannya sendiri. Kenapa dirinya bisa semarah itu kepada Regan. Padahal lelaki di dekatnya tersebut hanya berusaha untuk memanjakannya di kamar mandi.Regan bingung sendiri melihat sang
Malam itu mereka makan malam dengan duduk bersebelahan. Begitu dekat. Ya, Regan sengaja melakukannya. Sepertinya ia harus sering-sering bersikap seperti benalu yang menempel dengan tumbuhan inangnya. “Aku suapin, ya?” lirih Regan romantis. Kening Reina berkerut. “Pak Regan kenapa, sih?” “Kenapa apanya? Hem? Coba katakan?! Apakah ada yang salah?” tanya Regan sambil memainkan dagu istrinya. “Bukankah suami yang perhatian adalah idaman setiap istri?” lanjutnya tanpa mengalihkan perhatian. “Kita mau makan atau peluk-pelukan?” Reina memutar bola matanya dengan malas seraya memperhatikan tangan kiri Regan yang mendekapnya begitu erat. Seperti takut kehilangannya saja. “Kamu tidak suka?” Dengan perlahan Regan menarik tangan kirinya. “Baiklah, mungkin lebih baik kita makan sendiri-sendiri.” Reina senyum-senyum mengamati tingkah lucu suaminya. Entah mengapa malam itu Regan terlihat sangat tampan. Apalagi rambutnya yang terlihat acak-acakan. Sengaja tidak mau disisir. Tidak tahu apa maksud
Tepat pukul sepuluh pagi Reina membuat satu gelas coklat untuk menemani aktivitasnya. Meskipun seharusnya wanita itu masuk ke dalam ruangan Regan sesuai yang dikatakan kemarin malam.Di saat itu seorang wanita datang dan memasukkan sesuatu di atas meja kerja sang sekretaris. Ia menunggu kedatangan Reina.“Maaf, Anda siapa?” tanya Reina seraya meletakkan minuman di atas meja.“Perkenalkan, aku Kimberly. Mantan calon istri Pak Regan. Aku mau bertemu dengannya.”“Oh, sudah ada janji?” tanya Reina lagi.“Buat apa? Aku cuma mau mengembalikan jam tangan Pak Regan yang ketinggalan di hotel malam itu.”“Apa? Jam tangan?” Reina benar-benar tidak percaya. ‘Apa maksudnya? Bagaimanapun mungkin?’Regan yang hendak menemui sang istri merasa terkejut ketika melihat Kimberly sedang berbicara dengan Reina.“Dia? Kenapa ada di sini? Buat apa? Gawat! Ini tidak boleh terjadi.” Regan sedikit resah. Ia takut Kimberly berkata macam-macam kepada sekretaris kesayangannya itu.Kimberly tersenyum sinis. “Kenapa
“Kata dokter, ia terus memanggil nama kamu Reina. Ayah juga tidak tahu apa yang telah terjadi.” Danny merasa sangat bersalah karena tidak bisa menjaga putranya. “Apakah Reina boleh masuk, Ayah?” tanya Reina lagi. “Nanti setelah dokter ke luar, ya?” jawab Danny tak semangat. Reina mengangguk lemah. Ia berdiri dengan resah. Regan mendekati Danny dan mengajaknya berbicara. Mungkin ia bisa mengetahui apakah ada yang sengaja mencelakai Rafa atau memang murni kecelakaan biasa. Amel melihat Reina sendirian. Ini adalah sebuah kesempatan untuknya mengatakan sesuatu kepada adik tirinya tersebut. “Setelah ini ada yang ingin aku bicarakan kepadamu, Reina. Penting!” ujar Amel berkata lirih. Reina mendongakkan kepalanya. “Maksud kakak apa? Reina tidak mengerti.” “Sudahlah, jangan berlagak sok polos. Nanti kamu juga tahu sendiri.” Amel berlalu meninggalkan Reina seraya menyenggol bahu adiknya tersebut dengan sangat keras. ‘Apasih maunya? Keterlaluan banget Kak Amel!’ Reina mengelus lengan ba
Reina masih betah berdiam diri. Hal itu membuat Regan merasa serba salah. Padahal ia sudah berusaha bersikap lembut dan berusaha menarik perhatian Reina kembali.“Kamu masih marah? Masih tidak percaya denganku, Sayang?” Regan berjongkok di bawah Reina. Lelaki itu menggenggam erat tangan milik istrinya.Reina merasa bersalah. Ia merasa egois telah menuduh Regan yang tidak-tidak.“Aku tahu kamu masih belum yakin dengan semua penjelasanku. Tapi aku bisa pastikan jika aku tidak menyentuh Kimberly lebih jauh. Aku benar-benar hanya mengantarkan dia ke tempatnya.”“Bagaimana Pak Regan bisa tahu kalau dia tinggal di hotel?” tanya Reina ketus.“Apakah kamu ingat saat Ayah masih di rumah sakit? Aku melihatmu berpelukan dengan Leon. Di saat itu Papa dan Mama memintaku untuk datang ke acara makan malam. Dan ternyata aku dijodohkan dengan Kimberly. Aku terpaksa mengantarkan dia pulang. Tetapi aku menolak perjodohan itu.”Reina mendongakkan kepalanya. Ia cukup terkejut mendengar penuturan lelaki di
“Mungkin apa, Pak Regan? Reina juga ingin tahu.” Wanita itu semakin merasa penasaran. Regan justru menggedikkan bahunya. “Aku juga tidak yakin. Lebih baik kita ikuti saja apa kemauan mereka. Tetaplah di sisiku.” Regan menautkan jemarinya. Ia genggam erat tangan milik Reina. Reina merasakan kenyamanan. Setidaknya ia tidak akan merasa takut jika nantinya akan disalahkan. Mereka pun berjalan beriringan hingga saat tiba di depan pintu, Mama Claudia dan Papa Justin berdiri menghadang mereka. “Dari mana saja kalian? Kenapa jam segini baru pulang?” tanya Claudia dengan suara begitu lantang. Ia tidak peduli meski di rumah itu sekarang banyak orang. “Di kantor pun tidak ada,” imbuh Justin ikut menimpali. “Kami dari rumah sakit, Pa. Rafa terkena musibah,” jawab Regan tegas. Sementara Reina hanya diam menunduk di samping Regan. Ia tak berani ikut campur dengan ikut berbicara. “Menyusahkan sekali keluargamu itu!” Claudia semakin berapi-api. “Oh, ya. Mulai hari ini kami akan tinggal
Regan tertidur begitu lelap, hingga tak sadar pagi telah datang. Tangannya meraba tempat di sebelah. Dan kosong. Sang istri tidak ada di sampingnya. “Reina?” Regan mengedarkan pandangannya. “Sayang, kamu di mana?” Regan menggeliatkan tubuhnya. Tubuhnya terasa lebih ringan. Kepalanya tak pusing lagi. “Ke mana istri kesayanganku? Pagi-pagi sudah meninggalkan aku begitu saja.” Regan berjalan menuju kolam renang. Berharap di sana ia menemukan keberadaan sang istri. Namun nyatanya tidak ada siapa-siapa. Lelaki tampan itu terlanjur ingin menikmati air di kolam renang itu. “Tidak apa. Sebentar saja.” Setelah beberapa menit lamanya, Regan ingin kembali ke kamarnya. Bersamaan dengan itu, Alice datang menghampirinya. Matanya tak berkedip menyaksikan tubuh kekar milik kakaknya. “Alice ... ngapain kamu ke sini?” tanya Regan merasa heran. “Nyariin Kakak, lah. Habis ditelpon nggak diangkat-angkat!” kesal Alice berpura-pura. “Kenapa nyariin kakak? Ada masalah?” Regan memilih untuk duduk. “T
Hari pernikahan Xavier dan Karin telah tiba. Udara pagi terasa segar dan cerah, seakan menyambut kebahagiaan yang akan segera berlangsung. Keluarga dan sahabat berkumpul di sebuah taman indah yang telah dihias dengan bunga-bunga warna-warni dan lampu-lampu gemerlapan. Suasana penuh dengan tawa dan senyum. Regan dan Reina tiba lebih awal bersama bayi kembar mereka, Alana dan Bianca, yang tertidur pulas di kereta dorong. Mereka disambut oleh Olivia dan Danny yang sudah tak sabar menantikan momen bahagia itu. “Aku tak percaya Xavier akhirnya menemukan kebahagiaan bersama Karin,” ucap Reina dengan mata berkaca-kaca. “Dia memang pantas mendapatkannya,” jawab Regan sambil tersenyum, merangkul Reina yang terlihat anggun dalam gaun biru muda. “Kita semua pantas bahagia.” Tak lama kemudian, para tamu mulai berdatangan. Leon, mantan pacar Reina dan Karin juga hadir dengan pasangan barunya. Mereka tampak sangat bahagia, saling berpegangan tangan dan tertawa bersama. Leon menghampiri Reg
Tanpa disangka, suatu hari Regan menemukan fakta baru yang mengejutkan. Saat itu, dia sedang bekerja di ruangannya. Berkas-berkas tersebar di atas meja ketika ponselnya berdering. Panggilan itu berasal dari salah satu anak buah kepercayaannya. “Ada apa, Roni?” tanya Regan sambil menyandarkan punggungnya ke kursi. “Ada perkembangan baru, Pak Regan. Kami berhasil melacak beberapa transaksi mencurigakan yang berhubungan dengan Shadow Phoenix. Dan yang mengejutkan, ada keterlibatan Alex Ricardo di dalamnya,” lapor Roni. Regan terdiam sejenak, mencerna informasi tersebut. “Apa kamu yakin? Alex Ricardo? Bukankah dia masih berada di dalam penjara?” “Betul, Pak. Tapi tampaknya dia masih mengendalikan beberapa hal dari dalam penjara. Kami menemukan bukti bahwa beberapa anak buahnya masih menjalankan perintahnya dan menggunakan nama Shadow Phoenix untuk menyamarkan identitas asli mereka,” jelas Roni. Regan merasakan darahnya mendidih. “Teruskan penyelidikannya, Roni. Dan pastikan ki
Tanpa terasa, usia kehamilan Reina sudah memasuki trimester ketiga. Perutnya semakin membesar, membuatnya sulit menemukan posisi tidur yang nyaman. Setiap malam menjadi tantangan baru bagi Reina. Sementara Regan berusaha sebaik mungkin untuk membuat istrinya merasa nyaman dan bisa tidur nyenyak. Malam itu setelah mencoba berbagai posisi tidur dan tidak menemukan yang pas, Reina merasa frustasi. Ia berguling-guling di tempat tidur sambil menghela napas panjang. Regan yang melihatnya merasa kasihan dan ingin membantu. “Ada yang bisa aku lakukan, Sayang?” tanya Regan lembut. Ia duduk di tepi tempat tidur dan mengelus rambut istrinya. Reina menggeleng lemah. “Aku tidak tahu, Pak Regan. Aku sudah mencoba semua posisi tapi tetap saja tidak nyaman. Perutku terlalu besar.” Regan berpikir sejenak, lalu tersenyum. “Bagaimana kalau kita coba sesuatu yang baru? Tunggu sebentar.” Ia keluar dari kamar dan kembali dengan bantal-bantal tambahan. “Ayo, kita coba dengan bantal-banta
Pagi itu di kantor, suasana di ruang CEO terasa lebih sibuk dari biasanya. Regan tengah tenggelam dalam tumpukan dokumen dan panggilan telepon yang tak henti-hentinya. Di luar ruangan, para karyawan tampak sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Sedangkan Reina pergi ke toilet sebentar untuk menyegarkan diri. Saat Reina keluar dari ruangan, pintu lift terbuka dan dua orang masuk ke lantai itu. Claudia dan Xavier melangkah dengan hati-hati menuju kantor CEO. Claudia tampak sedikit gugup, sementara Xavier berusaha tampak tenang meskipun jelas terlihat gelisah. Mereka mengetuk pintu dan menunggu sebentar sebelum mendengar suara Regan dari dalam yang mempersilakan mereka masuk. Ketika pintu terbuka, Claudia dan Xavier masuk dengan hati-hati. Regan yang tadinya duduk di balik mejanya langsung berdiri. Ekspresi wajahnya berubah dari fokus keheranan. “Mama Claudia? Xavier? Apa yang membawa kalian berdua datang ke sini?” tanya Regan dengan nada sedikit terkejut. Claudia mendekat de
Saat kehamilan Reina menginjak usia lima bulan, Regan memutuskan untuk mengajak Reina jalan-jalan di taman kota. Hari itu cerah, dengan langit biru dan angin sepoi-sepoi yang membuat suasana terasa sejuk. Reina tampak sangat bahagia, mengenakan gaun hamil berwarna pastel yang membuat perutnya yang semakin membesar terlihat menawan. Regan tak henti-hentinya tersenyum, menikmati momen kebersamaan mereka. Mereka berjalan-jalan sambil menikmati pemandangan taman yang indah. Banyak anak-anak bermain di taman bermain, pasangan-pasangan duduk di bangku menikmati suasana, dan para pedagang menjajakan makanan ringan di kios-kios kecil di sepanjang jalan setapak. “Ini hari yang sangat indah, ya?” ungkap Reina sambil menggenggam tangan Regan erat. “Ya, benar-benar indah,” jawab Regan, menatap istrinya dengan penuh cinta. “Aku senang kita bisa meluangkan waktu bersama seperti ini.” Mereka melanjutkan berjalan, berhenti sesekali untuk melihat bunga-bunga yang sedang mekar dan menikmati
Kehamilan Reina telah memasuki usia empat bulan dan perutnya mulai terlihat membesar. Setiap hari Regan semakin takjub melihat perubahan pada tubuh istrinya dan merasa tidak sabar untuk menyambut kehadiran anak mereka. Pagi itu Regan memutuskan untuk membawa Reina ke klinik untuk melakukan USG. “Sayang, hari ini kita akan ke klinik untuk melihat bayi kita,” ucap Regan dengan senyum lebar. Reina tersenyum bahagia, merasa tak sabar untuk melihat perkembangan bayinya. “Aku tidak sabar, Pak Regan. Pasti mereka sudah semakin besar sekarang.” Regan mengangguk. "Aku juga sangat bersemangat. Ayo kita bersiap-siap." Setelah bersiap-siap, mereka berdua berangkat ke klinik dengan penuh semangat. Dalam perjalanan, mereka terus berbicara tentang rencana masa depan dan bagaimana mereka akan merawat anak mereka. Regan menggenggam tangan Reina dengan erat, memberikan rasa tenang dan nyaman. Sesampainya di klinik, mereka disambut oleh dokter dan perawat yang ramah. “Selamat pag
Reina berdiri di dekat jendela kamar, menatap ke luar dengan pandangan kosong. Matanya menyapu pemandangan yang indah, tetapi pikirannya jauh dari sana. Di luar, matahari mulai terbenam, menyinari langit dengan warna-warna keemasan, tetapi dalam hati Reina, ada kegelapan yang sulit hilang. Regan, yang baru saja selesai menutup laptopnya setelah bekerja seharian dari rumah mulai memperhatikan istrinya. Ia berjalan mendekat dan dengan lembut meletakkan tangannya di bahu Reina. “Ada apa, Sayang?” tanyanya dengan suara penuh perhatian. Reina tersentak dari lamunannya dan menoleh ke arah Regan. “Aku masih memikirkan Kak Amel,” jawabnya dengan suara lirih. “Aku merasa bersalah dan cemas tentang apa yang terjadi padanya.” “Sayang, kamu sudah melakukan yang terbaik. Kadang-kadang, kita tidak bisa mengendalikan semua yang terjadi di sekitar kita. Apa yang terjadi pada Amel adalah akibat dari pilihannya sendiri.” “Tapi, aku tetap merasa harus melakukan sesuatu,” lanjut Reina dengan nad
Linda dan Amel tampak berjalan menuju mereka. Kehadiran dua orang itu seakan membawa aura negatif. Amel, dengan tatapan jahat, mulai merencanakan sesuatu yang licik terhadap Reina. Linda dan Amel berpura-pura bergabung dengan kebersamaan keluarga Danny, tapi Amel dengan hati-hati mendekati Reina yang sedang berjalan di atas bebatuan. Amel mengatur langkahnya agar Reina terpeleset di atas batu licin. Namun, rencana jahat itu berbalik. Saat Amel mendorong Reina, dirinya sendiri yang kehilangan keseimbangan. Amel terjatuh keras di atas batu tajam. Semua orang terkejut dan bergegas menghampiri. Linda berteriak panik, “Amel! Apa yang terjadi?!” Regan, yang melihat situasi tersebut, segera memanggil bantuan. Amel tampak mengalami pendarahan hebat. Regan memeluk Reina erat-erat, memastikan dia baik-baik saja. “Kamu tidak apa-apa, Sayang?” tanyanya dengan penuh kekhawatiran. Reina mengangguk. “Aku baik-baik saja, Pak Regan. Tapi Kak Amel ... dia tampak sangat parah.” Ambulans segera
Liburan keluarga besar ke pantai adalah momen yang ditunggu-tunggu oleh seluruh anggota keluarga. Reina dan Regan memang telah merencanakan hal itu jauh-jauh hari. Hanya saja baru terealisasi saat ini. Dengan persiapan yang matang, mereka berangkat dari rumah dengan semangat tinggi. Olivia, Bi Nita, Danny, Rafa, Alya, dan Bi Siti bergabung dalam perjalanan tersebut, ikut memastikan tidak ada yang tertinggal. Mereka membawa perbekalan lengkap, termasuk makanan, minuman, mainan pantai, dan berbagai kebutuhan lainnya. Sesampainya di pantai, suasana langsung berubah menjadi ceria. Mereka menata tempat dengan menyiapkan tenda, menggelar tikar, dan menata makanan piknik. Rafa dan Alya segera berlari ke air, bermain dengan ombak dan tertawa riang. Danny dan Bi Siti membantu Olivia dan Bi Nita menyiapkan makanan. Regan dan Reina berkeliling, memastikan semuanya tertata dengan baik. “Ayah, jangan terlalu jauh, ya!” teriak Reina sambil melambai ke arah Danny yang sedang membawa ko