Malam.... satu bab lagi untuk hari ini. \(^o^)/
Reina terbangun pagi itu dengan perasaan tenang, meski ada sedikit kegelisahan di hatinya. Setelah membelikan sarapan untuk ayah dan adiknya, Reina berencana untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari. Kulkas dan dapur masih kosong. Hari itu kesempatan yang baik untuk mengisinya. Reina berpamitan. “Reina akan pergi berbelanja sekarang, Ayah. Rafa, kamu jagain Ayah ya?” Danny mengangguk lemah, sementara Rafa menjawab dengan antusias, “Tenang aja, Kak! Rafa sangat jago menjaga Ayah!” Reina tersenyum dan melangkah ke luar rumah, menuju pasar. Di pasar suasana ramai seperti biasa. Pedagang-pedagang menjajakan dagangannya dengan semangat dan suara riuh rendah para pembeli yang menawar harga menjadi latar belakang yang akrab. Reina sibuk memilih sayuran segar, daging, dan bahan-bahan lain yang diperlukan. Ketika ia merasa semua yang diperlukan sudah lengkap, ia memutuskan untuk pergi ke kasir dan membayar semua belanjaannya. Di tengah jalan, ia berpapasan dengan seorang wanita paruh b
Namun tiba-tiba Danny kembali merasakan kepalanya sakit dan memegang kepala dengan kedua tangannya. “Aduh ... kepalaku ... sakit ....” Reina langsung panik. “Ayah! Ayah kenapa? Rafa, panggil dokter!” Rafa segera berlari keluar untuk mencari bantuan, sementara Reina tetap di samping ayahnya, memegang tangannya erat-erat. “Ayah, tolong bertahan. Dokter akan segera datang.” Dokter tiba beberapa menit kemudian dan segera memeriksa kondisi Danny. Setelah memberikan obat penenang dan memastikan bahwa Danny sudah lebih tenang, dokter itu berbicara kepada Reina. “Reina, kondisi Ayahmu masih belum stabil. Jangan terlalu membebani pikirannya dengan hal-hal yang bisa membuatnya stres.” Reina mengangguk, meskipun hatinya masih penuh dengan kekhawatiran dan pertanyaan. “Baik, Dokter. Terima kasih.” Setelah dokter pergi, Reina duduk di samping ayahnya yang mulai tertidur karena obat penenang. Rafa dan Alya duduk di dekatnya, wajah mereka penuh kekhawatiran. "Kak Reina, sebenarnya ap
Di saat yang sama, Regan mendapatkan sebuah telepon dari seseorang. Ia mengangkatnya dengan cepat, memasang ekspresi serius saat mendengarkan suara di ujung sana. “Ya, halo?” Regan menjawab dengan nada tegas. “Pak Regan, pelaku penculikan Ibu Reina sudah tertangkap. Kami mendapati informasi bahwa pelaku ini bekerja sama dengan seseorang yang mungkin berkaitan dengan Alex Ricardo,” lapor anak buahnya dengan jelas. Regan menarik napas dalam-dalam, lalu mengangguk. “Baik, pastikan dia tidak lolos dan jaga ketat keamanannya. Aku akan segera ke sana.” Setelah menutup telepon, ia menatap Reina yang tampak sangat penasaran. “Sepertinya ini berkaitan dengan Ayah Daniel. Mungkin yang melakukan ini bekerjasama dengan Alex Ricardo,” kata Regan dengan tegas. Reina menghela napas, mencoba mencerna informasi tersebut. “Sepertinya memang seperti itu, Pak Regan. Kita harus segera mengambil tindakan.” Regan mengangguk setuju. “Aku akan ke kantor polisi sekarang. Aku harus memastikan pelaku itu be
Bi Siti mencoba mengingat-ingat detailnya. “Dia bilang sesuatu tentang 'menghancurkan hubungan mereka' dan 'mengambil alih bisnis'. Tapi Bibi tidak begitu paham saat itu.” Regan berpikir keras, menyusun potongan-potongan informasi tersebut. “Ini masuk akal. Jika Alex Ricardo melihat kita sebagai ancaman terhadap bisnisnya, dia mungkin mencoba memecah belah keluarga kita.” “Jadi, keluarga Admaja benar-benar tidak bersalah 'kan?” tanya Reina dengan suara penuh harap. Regan mengangguk pelan. “Sepertinya begitu. Mungkin kita hanya dijadikan kambing hitam untuk rencana jahat Ricardo.” Saat mereka terus berdiskusi, ponsel Reina berbunyi. Ternyata telepon dari Evan. “Evan? Ada apa dia menghubungiku?” lirih Reina. Regan yang mendengar nama Evan disebut, langsung mengambil alih handphone milik istrinya. “Biar aku saja yang mengangkat teleponnya.” Regan menjawab panggilan itu, suaranya tenang tapi tegas. “Halo, Evan?” Di ujung sana, Evan terdengar sedikit terkejut mendengar suara Regan.
Regan pulang ke rumah dengan tubuh lemas tak bertenaga. Setiap langkahnya terasa berat, seolah-olah seluruh dunia menimpanya. Ketika ia membuka pintu, rumah yang biasanya menyambutnya dengan kehangatan kini terasa dingin dan sunyi. Ia berharap bisa membawa Reina pulang bersamanya, menenangkan hatinya dan memberikan dukungan yang ia butuhkan. Namun kenyataannya berbeda. Berita tidak benar yang telah tersebar tentang keluarganya membuat situasi semakin rumit. Reina harus tetap di rumah baru Danny sampai terbukti bahwa keluarga Admaja tidak bersalah. Regan berjalan dengan langkah berat. Pikirannya penuh dengan apa yang akan ia ceritakan kepada Olivia. Ia tahu ini akan menjadi pembicaraan yang sulit, tetapi ia tidak punya pilihan lain. Semua hal yang telah terjadi harus diungkapkan. Saat ia memasuki rumah, Olivia sudah menunggunya di ruang tamu. Wajah wanita paruh baya itu tampak cemas, seolah-olah ia bisa merasakan ada sesuatu yang tidak beres. “Regan, ada apa? Kenapa kamu terliha
Regan mengunjungi rumah baru Danny pagi itu dengan semangat. Hari ini adalah jadwal rutin Reina untuk pergi ke klinik. Ia mengetuk pintu dan disambut oleh Reina yang baru saja menikmati sarapan bersama keluarga. “Hari ini adalah jadwal pergi ke klinik,” kata Regan dengan senyum. Reina hampir saja lupa. “Oh, iya! Terima kasih sudah mengingatkan, Pak Regan. Aku akan segera bersiap-siap.” Sementara Reina bersiap-siap, Regan menghabiskan waktu di ruang tamu bersama Danny. Mereka duduk sambil menikmati teh hangat dan berbincang ringan. “Bagaimana keadaan di rumah?” tanya Danny. “Semua baik-baik saja, Ayah. Kami semua merindukan Reina,” jawab Regan. Danny tersenyum. “Aku tahu kalian akan segera bersama lagi. Ini hanya sementara.” Tak lama kemudian, Reina muncul dengan pakaian rapi dan senyum cerah. “Aku siap, Pak Regan. Ayo kita pergi.” Mereka pun menuju mobil dan melaju ke klinik. Perjalanan mereka ditemani percakapan hangat dan canda tawa. Setibanya di klinik, mereka lan
Beberapa hari telah berlalu. Reina duduk di meja ruang keluarga, matanya terpaku pada tumpukan dokumen dan foto-foto yang berserakan di depannya. Regan berdiri di sampingnya, wajahnya serius dan penuh konsentrasi. Di tangan Regan terdapat sebuah berkas penting yang baru saja mereka terima dari penyelidikan terbaru. “Reina, lihat ini,” kata Regan sambil menyerahkan berkas tersebut kepada istrinya. “Ini adalah bukti yang kita cari.” Reina mengambil berkas itu dengan tangan bergetar, membukanya dan membaca setiap kata dengan seksama. Semakin ia membaca, semakin jelas baginya bahwa selama ini mereka telah disesatkan. Semua tuduhan terhadap keluarga Admaja hanyalah rekayasa untuk memecah belah keluarganya dan keluarga Danny. “Semua dugaan benar. Alex Ricardo dalang di balik semua ini,” ucap Reina dengan suara gemetar. “Dia yang merencanakan semua ini?” Regan mengangguk. “Ya, dari bukti yang kita dapatkan, Alex Ricardo menggunakan keluarganya untuk menjalankan bisnis ilegalnya. Di
Reina dan Regan kembali ke rumah Regan dengan suasana hati yang tenang. Setibanya di sana, mereka disambut oleh Olivia dan Bi Nita yang dengan senyuman lebar. “Selamat datang kembali Reina, Sayang,” ucap Olivia. Reina tersenyum lebar. “Terima kasih, Mama. Reina juga sangat merindukan Mama. Juga Bi Nita.” Olivia melihat ke arah Bi Nita dengan pandangan penuh arti. “Oh ya, Bi Nita, bukankah kita harus pergi ke tukang jahit untuk membetulkan baju yang sedikit sobek?” Bi Nita mengangguk. “Betul sekali, Nyonya Olivia. Mari kita segera pergi.” Reina memandang mereka dengan rasa terkejut. “Tapi bukankah kalian baru saja tiba di rumah?” Olivia tertawa kecil. “Oh, ini hanya sebentar saja, Reina. Kami ingin kalian berdua memiliki waktu berdua. Anggap saja sebagai waktu istimewa.” Reina dan Regan saling berpandangan dan tersenyum, menyadari maksud Olivia dan Bi Nita. “Baiklah, Mam. Hati-hati di jalan,” kata Regan sambil melambai kepada mereka. Begitu Olivia dan Bi Nita pergi, suasana rum