Regan segera berangkat ke kantor. Ia mencoba untuk mengabaikan pesan ancaman yang masuk ke ponselnya.Tiba di kantor, Regan merasa kecewa karena Amel tetap saja keras kepala. Wanita itu belum datang ke kantor.“Sepertinya Amel benar-benar serius dengan ucapannya.”Terpaksa Regan kembali bekerja seorang diri. “Mungkin jika aku bilang ke mama, ia akan mengizinkan Reina bekerja kembali. Lagi pula Bi Nita sudah ada di rumah. Tapi bagaimana jika Amel merencanakan sesuatu?”Regan menggelengkan kepalanya berkali-kali. Ia harus memikirkan solusi yang terbaik atas permasalahan ini.Di saat jam menunjukkan pukul sepuluh pagi, pintu ruangan CEO diketuk. Regan yang tengah tenggelam dalam tumpukan dokumen di mejanya segera mengangkat kepala dan mempersilakan tamunya masuk. Pintu terbuka perlahan dan Regan merasa terkejut melihat seseorang yang datang menemuinya. Dia adalah Kimberly. Wanita itu masuk dengan wajah pucat dan mata sembab. “Kimberly, ada apa?” Regan mencoba berbicara dengan tenang.
“Saya belum tahu identitasnya, Pak. Tapi saya pikir kita perlu menyelidikinya lebih lanjut.” Regan merasa jantungnya berdebar. Apakah ini bagian dari rencana untuk menjebaknya? Atau ada alasan lain mengapa Amel bersama pria itu? “Jeffan, kita perlu lebih hati-hati. Jika Amel benar-benar mencoba menjebakku, kita harus memiliki bukti yang cukup untuk melindungi diri kita sendiri.” Jeffan mengangguk. “Saya mengerti, Pak. Saya akan terus menyelidiki.” Hari itu, Regan merasa terbebani dengan keputusan yang diambilnya tentang Justin. Ia pulang ke rumah dengan perasaan campur aduk. Saat tiba di rumah, Reina sudah menunggunya di ruang tamu. “Sayang, kamu terlihat sangat lelah. Ada masalah di kantor?” tanya Reina setelah menyadari perubahan pada wajah suaminya. Regan mengangguk pelan, berusaha tersenyum. “Ya, ada sedikit masalah. Tapi sekarang sudah selesai. Bagaimana harimu, Sayang?” Reina tersenyum lembut. “Baik-baik saja. Aku hanya khawatir melihatmu seperti ini.” Regan memeluk Reina
Reina mengangguk, melihat suaminya pergi ke kamar mandi. Namun hati kecilnya merasa ada sesuatu yang tidak beres. Setelah Regan masuk ke dalam kamar mandi, Reina melihat ponsel suaminya yang tergeletak di meja. Ia ragu sejenak tetapi kemudian memutuskan untuk memeriksanya. Reina membuka pesan-pesan di ponsel Regan dan menemukan beberapa pesan dari Amel yang terasa tidak wajar. Meskipun tidak ada yang jelas, pesan-pesan itu cukup untuk membuat Reina merasa cemas. Ketika Regan keluar dari kamar mandi, Reina menatapnya dengan tatapan serius. “Sepertinya kita perlu bicara.” Regan merasa ada yang tidak beres. “Ada apa, Sayang?” Reina menunjukkan ponsel Regan. “Apa yang sebenarnya terjadi antara kamu dan Amel?” “Reina, aku bisa jelaskan. Tidak ada apa-apa antara aku dan Amel. Dia hanya sekretaris biasa. Tidak lebih.” Reina menatap suaminya dengan mata yang mulai berkaca-kaca. “Lalu kenapa dia mengirim pesan seperti ini?” “Reina, aku benar-benar tidak tahu. Mungkin dia sal
“Reina, ini aku Evan.” Seorang lelaki berucap dengan nada cemas.“Evan, ada apa?” tanya Reina penasaran.“Aku hanya ingin bertanya. Mengapa kamu tidak datang lagi ke latihan? Semua orang merindukanmu.”Reina tidak menyangka jika teman-teman di tempat latihan masih mengingatnya. “Evan, aku sedang banyak masalah. Maaf aku tidak bisa hadir belakangan ini.”“Apa yang terjadi, Reina? Kamu boleh cerita kepadaku. Mungkin aku bisa membantu.” Evan menawarkan diri.Reina merasa lega mendengar nada perhatian dari suara Evan. Ia menghela napas panjang. Lalu mulai menceritakan semua yang terjadi. Tentang masalah demi masalah yang tak kunjung selesai.Evan mendengarkan dengan seksama. Wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang mendalam meski tak terlihat oleh Reina.“Reina, kamu tahu aku selalu ada untukmu. Jika ada yang bisa aku lakukan, jangan ragu untuk menghubungiku,” ucap Evan dengan tegas.“Terima kasih, Evan.”Setelah sambungan telepon terputus, Reina akhirnya bisa kembali dengan niatnya. Ia me
Hari Minggu tiba dengan suasana yang lebih cerah. Matahari bersinar terang di langit memberikan harapan baru bagi Regan yang telah menghabiskan hari-hari sebelumnya dalam kecemasan dan penyesalan. Hari ini ia berniat untuk membuktikan kepada Reina bahwa ia benar-benar menyesali kesalahannya dan siap melakukan apa pun untuk memperbaiki hubungan mereka. Pagi itu setelah memeriksa beberapa laporan di kantor, Regan pulang dengan membawa sebuket bunga mawar merah dan sebuah kotak kecil berisi perhiasan untuk Reina. Dengan hati-hati ia mengetuk pintu kamar Reina yang masih tertutup rapat. “Reina, bolehkah aku masuk?” tanyanya dengan suara lembut. Setelah beberapa saat pintu terbuka dan Reina muncul. Wajahnya tampak tenang meski masih ada jejak kelelahan. “Apa yang ingin kamu bicarakan?” balas Reina balik bertanya. Suaranya terdengar dingin dan ketus. Regan mengambil napas dalam-dalam. Lalu ia menyerahkan buket bunga yang dibawanya kepada Reina. “Ini untukmu. Aku ingin mem
Jeffan melihat Amira dan tersenyum canggung. “Amira, ada yang ingin aku beritahukan padamu.” Amira menatap Jeffan dan Angel bergantian. Merasa ada sesuatu yang tidak beres. “Apa yang terjadi, Jeffan?” Jeffan menarik napas dalam-dalam sebelum berbicara. “Angel hamil anakku. Aku akan menikahinya. Ini satu-satunya cara aku bertanggung kepada Angel.” Mendengar itu wajah Amira bertambah pucat. Tangan yang memegang testpack gemetar hebat dan benda itu terjatuh ke lantai. Tepat di depan Jeffan dan Angel. Testpack itu menunjukkan dua garis. Tanda positif kehamilan. Jeffan menatap testpack itu dengan mata membelalak. “Amira, apa ... apa itu milikmu?” Amira berusaha mengambil testpack itu dengan cepat. Tetapi tangannya masih gemetaran. “Jeffan, aku bisa menjelaskan ...” Jeffan mendekat. Memegang tangan Amira dengan lembut. “Amira, ada apa? Kenapa kamu tidak memberitahuku?” Amira menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan kekuatan untuk berbicara. “Aku juga hamil, Jeffan. Aku b
Hari itu Regan mengajak Reina makan malam di tempat spesial. Di sebuah restoran mewah yang berada di tepi pantai. Mereka berangkat menjelang senja saat matahari mulai tenggelam di cakrawala. Memberikan pemandangan yang indah dan romantis. Setibanya di restoran mereka disambut dengan hangat oleh pelayan yang membawa mereka ke meja yang telah dipesan oleh Regan. Meja itu berada di balkon. Memberikan pemandangan langsung ke laut yang berkilauan di bawah cahaya rembulan. Mereka duduk berhadapan dengan lilin kecil di tengah meja yang menambah suasana romantis. Regan memegang tangan Reina dengan lembut. “Aku benar-benar berterima kasih karena kamu mau memberiku kesempatan ini, Reina. Aku akan membuktikan semuanya.” Reina tersenyum tipis. Matanya masih penuh dengan keraguan namun juga harapan. “Reina hanya ingin kita bisa kembali seperti dulu. Aku ingin merasakan kebahagiaan itu lagi.” Makan malam berlangsung dengan suasana yang hangat dan penuh kehangatan. Mereka berbicara tentan
Pagi harinya, Reina bangun dengan perasaan yang masih kacau. Regan sudah bersiap-siap untuk pergi ke kantor. Melihat suaminya yang sibuk, Reina memutuskan untuk menunda lagi kabar tentang kehamilannya. “Reina, aku berangkat ke kantor dulu. Kamu jaga diri baik-baik di rumah, ya?” ucap Regan sambil mencium kening istrinya. Reina tersenyum, meskipun hatinya masih terasa berat. “Hati-hati di jalan, Sayang.” *** Siang itu saat Reina sedang duduk merenung di ruang tamu, ponselnya berbunyi. Ternyata sebuah pesan dari klinik tempat ia biasa memeriksakan dirinya. “Selamat siang, Ibu Reina. Hasil tes kehamilan Anda menunjukkan bahwa Anda positif hamil. Kami sarankan Ibu Reina segera membuat janji untuk pemeriksaan lebih lanjut.” Reina membaca pesan itu dengan perasaan campur aduk. Ia merasa bahagia sekaligus cemas. Ini adalah saat yang tepat untuk memberitahu Regan. Ia tidak bisa menunda lagi. Namun saat Reina hendak menghubungi Regan, pintu rumah terbuka dan Olivia masuk dengan wajah c