Tak ada seorang pun tahu bagaimana perasaannya di hari ini. Jiwanya terkekang oleh rasa yang tak sama, yang terus bersemayam di dalam dirinya. Seakan saling tak sejalan, dan saling menikam tanpa belas kasihan.
Di dalam kamarnya, sembari memandangi cermin berbentuk persegi panjang besar miliknya—yang terpasang dengan kokoh di dinding kamarnya—Marcapada terus bertanya kepada sisi lain di dalam dirinya. Apakah aku harus mengikuti takdir yang telah digariskan? Atau aku harus mengikuti kata hatiku yang tak sejalan?
Pintu kamar yang sedikit terbuka tiba-tiba diketuk dari luar. Suara ketukan itu memecah kesunyian yang sedari tadi menyelimuti. Membuyarkan lamunan.
“Apa kau akan berdiam di sana seharian?” tanpa pernah diundang, Rea datang ke kamar anaknya. Mendapati tingkah laku anak sulungnya yang terus menatap cermin dan tak lekas beranjak dari sana. “Sudah saatnya, Marca. Semua orang telah berkumpul. Bukankah hari ini adalah hari yang kau tunggu?”
Marca terpegun lama, memilih untuk tetap bergeming. Terasa enggan walau hanya untuk menolehkan wajahnya. Pandangannya tetap lurus ke depan. Menatap cermin. Ia malas harus meladeni ocehan perempuan separuh baya yang telah berdiri tepat di depan pintu kamarnya, mengenakan gaun panjang berwarna hitam dengan polesan makeup menyeramkan. Sebenarnya perempuan itu masih terlihat cantik meski usianya hampir memasuki kepala lima, namun bagi Marca, perempuan itu tetap menyeramkan, bagaimanapun keadaannya.
“Aku tak pernah menunggu hari ini,” Marca menjawab pertanyaan Rea dengan suara datar. Lebih datar dari tanah makam yang telah diratakan.
Ibu? Bukan. Dia adalah perempuan yang telah hadir tanpa diundang. Dia adalah perempuan yang dengan seenaknya mengusik kehangatan sebuah keluarga. Membuat semuanya runyam. Memisahkan dua sejoli yang saling mencintai. Dia adalah racun yang membuat kehidupan Marca seakan terbelenggu oleh kegelapan yang begitu pekat, begitu menakutkan. Perempuan itu adalah mimpi buruk yang menjadi nyata.
Di malam itu, ketika tetesan air hujan mendarat cepat ke bumi. Menimbulkan suara bising yang tak nyaman didengar. Ketika cahaya dari langit tiba-tiba memancar tanpa aba-aba, dan membawa serta suara gemuruh guntur yang membengkakkan telinga. Tatkala Marca masih menikmati masa-masa bermainnya sebagai anak-anak, orangtuanya bertengkar begitu hebatnya. Lontaran cacian dan makian terus ia dengar di setiap detik waktu yang ada.
Marca melihat dengan mata kepalanya sendiri, ibunya tersungkur jatuh di lantai ruang keluarga rumah mereka. Menangis tersedu-sedu sambil memegangi pipinya yang memerah akibat tamparan ayahnya.
Tak seharusnya Marca melihat semua itu, namun suara bising pertengkaran mereka membuat Marca yang tengah asyik bermain di dalam kamar tiba-tiba beringsut dengan sendirinya. Membuka perlahan pintu kamar, dan dengan hati-hati mengintip dari balik pintu.
Entah apa penyebab pertengkaran hebat itu, Marca tak pernah tahu. Yang ia tahu, setelah pertengkaran hebat di malam itu ibunya tak pernah lagi terlihat. Di pagi hari, di kala Marca terbangun dari tidurnya, ibunya sudah tak ada. Ia terus berusaha mencari, ke mana-mana, ke setiap sudut desa, ke segala tempat yang terpikirkan olehnya, berhari-hari, berbulan-bulan, tapi tak pernah sekalipun ia temukan. Ibunya hilang bagaikan ditelan bumi. Tak ada tanda, atau petunjuk apa pun. Benar-benar menghilang tanpa jejak.
Tak lama setelah ibu Marca pergi, perempuan menyeramkan itu datang. Tersenyum manis menatap Marca. Senyuman itu seakan tulus membawa kebahagiaan dan kedamaian ikut serta dengannya. Semua orang merasakannya. Mereka bersikap hangat, menyambut perempuan itu bak juru selamat. Namun dari banyaknya orang yang menyambut Rea, hanya Marca yang bersikap berbeda. Baginya, senyuman Rea adalah awal mula dari semua kegelapan yang akan terus menghantui kehidupannya.
“Jangan bodoh, Marca! Kubur impian bodohmu itu dalam-dalam! Kau tak akan bisa melawan takdir yang sudah digariskan untukmu,” tukas Rea. Meski tak terucap, ia tahu betul hal apa yang dipikirkan oleh anak sulungnya.
Bayangan di cermin itu kini lenyap. Marca beranjak dari tempatnya, menghampiri ibu tirinya. “Aku tahu, aku tak akan pernah bisa melawan takdir. Tapi jika boleh memilih, maka aku akan lebih memilih untuk mengikuti kata hatiku.”
“Sudahlah. Aku tak ingin berdebat. Cepat persiapkan dirimu, sudah saatnya, pertarungan akan segera dimulai,” sahut Rea. Tergesa, ia langkahkan kedua kakinya, pergi meninggalkan kamar Marca. Jaraknya dengan Marca yang hanya terpaut satu langkah sungguh membuatnya jengah. Hadirnya Marca tepat di hadapannya mendatangkan berbagai macam perasaan yang tak dapat ia jabarkan.
Dari sudut pandangnya, Marcapada—anak sulungnya—kini telah berubah tak seperti dulu, anak laki-laki cengeng yang hanya bisa menangis ketika dimarahi. Benar-benar berubah. Kini Marca lebih terlihat gagah, berbadan kekar, tinggi menjulang. Otot-otot hasil latihan selama bertahun-tahun terlihat jelas. Marca bermetamorfosis menjadi laki-laki mengagumkan. Rambut hitam kecokelatan yang panjangnya hampir sebahu dikucir satu di bagian belakang, bulu-bulu halus yang menghiasi wajahnya, alis hitam lebat yang menaungi kedua matanya, hidung mancung, dan garis rahang yang tegas, membuatnya tampak memesona di mata semua orang.
Tak bisa dipungkiri, walau Marca tak pernah sekalipun memedulikan penampilannya, tetap saja tak ada satu pun perempuan yang tak menoleh ke arahnya ketika ia sedang berjalan menelusuri jalanan desa. Semua mata seakan terpusat ke satu arah. Banyak perempuan menaruh hati kepada Marca. Dan untuk Rea, meski Marca bukan berasal dari rahimnya, ia tetap menganggap Marca segalanya. Dalam diri Marca, Rea selalu melihat sesosok wujud laki-laki yang dulu teramat sangat dicintainya.
∆
Jamahitpa, satu-satunya desa yang terisolir dari luasnya daerah sebuah kerajaan besar. Terletak di tepian pulau, Jamahitpa hampir dilupakan banyak orang. Dikelilingi oleh hutan gelap yang paling ditakuti untuk dimasuki, dan jembatan tua penuh misteri yang tak mungkin lagi dilewati, membuat tak ada satu pun akses untuk masuk maupun keluar dari sana.
Untuk hutan gelap nan mengerikan yang mengelilingi desa, semua orang sepakat menamai hutan tersebut dengan julukan “Hutan Terlarang”. Sejak dahulu kala, Hutan Terlarang sama sekali tak boleh dimasuki. Diceritakan, bahwa di dalam hutan sana, ada makhluk mengerikan yang hobi memakan manusia. Sehingga siapa saja yang nekat berkunjung ke dalam Hutan Terlarang, maka dikabarkan bahwa ia tak akan pernah bisa kembali.
Sementara itu, untuk jembatan tua, banyak orang menjulukinya dengan berbagai sebutan berbeda. Namun, “Jembatan Pertemuan” adalah julukan yang paling sering diucapkan. Menurut cerita dari para orang tua, alasan dicetuskannya julukan “Jembatan Pertemuan” itu lantaran jembatan yang telah dibangun beratus-ratus tahun lamanya pernah digunakan sebagai tempat bertemu antara kedua sosok penting pendiri kerajaan.
Di sana, mereka berdua tak hanya sekedar melakukan pertemuan biasa, lebih dari itu. Mereka melakukan pertarungan sengit yang berlangsung berhari-hari. Dampak dari pertarungan keduanya adalah jembatan megah nan kokoh yang tak lagi bisa dilewati karena tertelan bulat-bulat oleh kabut pekat.
Banyak yang mengira, kalau gumpalan kabut yang menyelimuti Jembatan Pertemuan adalah hasil benturan kekuatan dahsyat dari kedua pendiri kerajaan. Tak pernah ada yang tahu, hal mengerikan apa yang saat ini bersemayam di dalam sana. Yang pasti, setiap orang yang mencoba melintasi Jembatan Pertemuan selalu tak diberitakan kembali.
Terakhir kali ada seorang lelaki yang nekat melewati Jembatan Pertemuan. Lelaki itu dengan gagah berani masuk ke dalam pekatnya kabut. Namun, baru beberapa detik waktu berjalan, terdengar suara teriakan. Semua orang bergidik ngeri ketika menyaksikan hal itu terjadi.
Di sisi lain, dari dalam desa, seluas pandangan mata ditebarkan, tembok-tembok batu berlumut hijau—menjulang tinggi, menusuk langit—menjadi objek utama yang paling banyak menyeruak di penglihatan. Awalnya tembok batu dibangun bertujuan untuk menghalau bahaya dari luar, tetapi pada kenyataannya, tembok-tembok batu itulah yang menjelma sebagai penjara sebenarnya bagi semua orang. Berpuluh-puluh tahun sudah desa Jamahitpa terkungkung dalam impitan tembok batu.
Di sudut berbeda, di mana tembok batu tak lagi menunjukkan pesona kengeriannya, sebuah tebing curam terpampang, lengkap dengan derasnya ombak laut dan runcingnya batu karang.
Desa Jamahitpa seakan benar-benar menjadi penjara bagi para penghuninya. Hanya mereka yang telah benar-benar bosan dalam menjalani kehidupan, atau mereka yang telah benar-benar gila, yang akan sudi keluar dari pintu gerbang atau terjun dari tepian tebing curam.
Akan tetapi, tak semua kisah tentang desa Jamahitpa semenakutkan seperti yang diceritakan di awal. Bagi mereka yang dapat membuka mata lebar-lebar, melihat sisi lain pada sebuah kehidupan, akan banyak hal baik yang patut untuk disyukuri.
Kekayaan alam yang melimpah adalah salah satunya. Untuk urusan pangan para penduduk desa Jamahitpa tak perlu lagi pusing-pusing memikirkan. Semua yang mereka butuhkan tersedia. Beraneka macam sayur, buah, bahkan hewan-hewan pemakan tumbuhan—berdaging tebal—sudah dapat mereka nikmati tanpa harus bersusah payah.
Ditambah lagi, sebuah mata air yang tak pernah kering menjadi sumber kehidupan utama bagi warga desa. Dan karena saking bergantungnya kepada mata air tersebut, ritual penghormatan khusus pun dilakukan setiap tahunnya. Sebuah perayaan besar-besaran.
Dan di hari ini, bertepatan dengan perayaan sumber mata air di desa mereka, digelar sebuah perhelatan pertarungan besar yang telah dinanti-nantikan selama bertahun-tahun lamanya. Sebuah pertarungan yang akan melibatkan seluruh pemuda yang ada di desa.
Dua puluh tahun lalu, datang sebuah perintah dari Istana Kerajaan. Setiap desa diwajibkan menyiapkan para petarung terhebat mereka. Bukan untuk saat itu, melainkan dua puluh tahun yang akan datang. Sudah pasti yang dimaksud pihak Istana adalah anak-anak kecil yang saat itu masih menikmati masa-masa bermain mereka.
Tepat setelah datangnya perintah dari Istana, kehidupan anak-anak kecil di desa Jamahitpa tak pernah lagi sama. Tak ada lagi masa-masa menyenangkan ketika bermain dengan teman sebaya. Mereka dipaksa berlatih fisik sedari kecil, dituntut untuk menguasai teknik bela diri sedini mungkin.
Tak jarang, di masa-masa itu, untuk menguji kekuatan, para anak laki-laki kerap saling dipertemukan. Mereka diadu satu sama lain. Tak ada aturan yang dilanggar. Hanya saja, jika dalam pertarungan terlihat salah satu anak ada yang sudah mulai kewalahan, tak berdaya, maka harus secepatnya diselamatkan. Tak boleh ada anak kecil yang mati dalam sebuah pertarungan. Jika hal itu terjadi, maka orangtuanyalah yang harus menanggung hukuman.
Dan kini, saat yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Di tengah-tengah desa, kerumunan manusia telah mengepung lingkaran arena tempat berlangsungnya pertarungan. Para peserta telah lengkap, Marcapada ada di antara mereka. Di antara barisan pemuda yang telah berlatih keras selama bertahun-tahun lamanya.
“Para hadirin yang terhormat. Sebentar lagi, kita akan menyaksikan para penerus kita, anak-anak kita, akan menunjukkan kemampuan terbaik mereka,” seorang pria separuh baya berseru lantang di tengah-tengah arena.
“Di sinilah, di tempat inilah, semuanya akan terjawab. Kita akan tahu, siapa saja di antara mereka yang pantas menjadi seorang Penjaga, yang akan melindungi desa kita dari segala serangan yang tak terduga, dan akan menegaskan kekuatan desa kita kepada dunia.” Dengan semangat membara, pria separuh baya bertubuh gempal dengan berbagai bekas luka di tubuhnya itu memandang semua peserta dengan tatapan tak biasa. Tatapan seekor pemangsa kepada buruannya. “Apakah kalian semua telah siap untuk bertarung?” lantang, pertanyaan itu pun dikumandangkan.
“Siap!” semua peserta menjawab serempak.
Inilah hari yang benar-benar mereka tunggu. Hari pembuktian. Hari yang akan menentukan derajat mereka di desa, apakah akan menjadi Penjaga atau akan menjadi pemuda biasa. Semuanya bersemangat ingin menjadi yang terhebat. Akan tetapi tak semua benar-benar memiliki keinginan sama, ada satu yang berbeda, Marcapada.
Sebuah kotak kayu berukuran mungil berwarna cokelat mengkilap, dengan berbagai ukiran menghiasi di setiap sisinya—berisikan potongan-potongan kayu berbentuk segitiga bertuliskan angka—mulai diputar ke seluruh peserta. Satu per satu peserta mendapatkan angka berbeda. Marca menjulurkan tangan, ikut mengambil satu potongan kayu. “Hai, Marca, kau mendapat angka berapa?” salah seorang peserta bertanya. Seorang lelaki bertubuh kurus mengenakan ikat kepala berwarna biru tua, berdiri tepat di samping Marca. Lelaki itu adalah Soma. Di dunia ini, Soma adalah satu-satunya sahabat yang Marca miliki. Dulu di desa, ketika masih berusia tiga belas tahun, Marca dan Soma sering dikenal dengan julukan: Dua Bandit Kecil. Oleh kebanyakan orang, mereka berdua dianggap hama. Sama sekali tak berguna. Tak pernah sekalipun diinginkan. Selalu merusak dan membuat onar. Berulang kali sudah Marca dan Soma terlibat perkelahian se
Tanpa pernah diduga oleh siapa pun, gada besi besar milik Kaskar ternyata meleset dari sasaran. Senjata andalan Kaskar itu telah gagal menjalankan tugasnya. Keajaiban. Keberuntungan ternyata masih berpihak kepada Soma. Belum sempat gada besi besar itu menghantam bagian wajah, Kaskar sudah tersungkur jatuh lebih dulu. Mengerang kesakitan sambil memegangi satu bagian telinga. Soma kebingungan. Segera, ia tebarkan pandangan. Di ujung penglihatan, satu-satunya sahabat yang ia miliki, Marca, telah berdiri tak jauh dari tempatnya berada. Berdiri dengan gagah sambil memegangi katapel kayu. Melihat sesosok manusia yang begitu dikenalinya, selengkung senyum seketika tergambar jelas di wajah Soma. “Kenapa lama sekali?” tanya Soma. Ia tengah berusaha untuk bangkit berdiri. Bukannya lekas-lekas membatu, Marca justru melirik sahabatnya itu d
"Tujuh,” jawab Marca sekenanya. “Aku rasa hari ini akan menjadi hari kemenangan untuk kita,” gumam Soma sembari menebarkan pandangan, melihat beberapa peserta lain di sebelahnya. “Mereka sepertinya bukan lawan yang sulit. Kalau begini, kita pasti bisa menang dengan mudah,” lanjutnya dengan dada membusung. Marca terdiam. Malas meladeni kesombongan Soma. “Tapi tunggu,” perhatian Soma beralih ke arah Marca. “Perlu kau ingat, Marcapada yang terlalu hobi menyendiri. Di pertandingan ini, hanya akan ada satu pemenang,” bisiknya tepat di bagian telinga. Ia menghidu. Mencium aroma semerbak yang memanjakan. “Kenapa rambutmu bisa wangi sekali?” gumam Soma dengan mata terpejam. Penuh penghayatan . Merasa risi, Marca spontan mendorong tubuh Soma. “Di pertarungan ini, jika kau melakukan hal bodoh ini lagi, kau akan menjadi orang pertama yang akan tereliminasi,” sergah Marca, ketus. &
Seberantak potongan kayu berbentuk segitiga di dalam kuali berukuran besar terhampar di depan seorang pria tua. Mengenakan jubah hitam dengan bagian punggung tertoreh simbol lingkaran berwarna emas, dan delapan segitiga dengan warna serupa—yang mengitari lingkaran tersebut hingga menyerupai simbol matahari—pria tua itu secara perlahan mencoba mengambil satu potongan kayu. Janggut putih panjangnya seolah membelai halus kuali tanah liat yang memiliki retakan di beberapa sudut. Tremor di bagian tangannya seakan tak pernah berdamai dengan suasana hatinya. Meski sebuah potongan kayu sempat terjatuh di percobaan pertama, namun sesudahnya, semua berjalan sesuai rencana. Satu potongan kayu berbentuk segitiga berhasil ia genggam dengan sempurna. Dari tengah-tengah arena, Luca secepat kilat beringsut ke arah pria tua yang telah menggenggam satu potongan kayu bertuliskan angka. Tanpa ada kata “Permisi”,
Dengan nasib yang hampir serupa, kedua peserta berikutnya telah tumbang dengan mudah di tangan Wirotama. Dengan begitu, secara otomatis, Wirotama adalah peserta pertama yang memastikan diri mendapatkan gelar sebagai seorang Penjaga. Sambil berjalan keluar dari arena, Wirotama terus memandang sayu ke kedua telapak tangannya. Ada perasaan bersalah yang terus menggelayuti hati nuraninya. “Dia terlihat tangguh,” bisik Soma sembari melihat Wirotama yang kini telah duduk manis di atas kursi di sudut berbeda. Marca masih tercenung di tempatnya. Walau sedari tadi kedua bola matanya terus fokus mengamati pertarungan di tengah arena, tetapi pikirannya melayang entah ke mana. Berkelana tak tentu arah. Merasa gumamannya tak ditanggapi, Soma mengerling sinis ke arah Marca. “Walaupun kau tak pernah suka dengan semua pertarungan ini, sadarlah, jelas-jelas kau tak akan bisa berbuat apa-apa. Kau benar-benar harus sadar, Marca, bagaimanapun, saat ini kau tetap menjadi
Setengah berlari, Soma menuju ke tengah-tengah arena. Senyum semangat terlihat tak lepas dari wajahnya. “Dan lawan untuk peserta bernomor dua puluh tiga adalah peserta nomor … dua puluh delapan ….” sambung Luca. Sama seperti Soma, peserta bernomor dua puluh delapan dengan lincah bergegas ke tengah-tengah arena. Rambut jambulnya bergoyang-goyang lembut tertiup angin. Tubuhnya yang kurus sama sekali tak serasi dengan potongan rambutnya yang bervolume. Akan tetapi, otot-otot hasil latihan yang terlihat, menegaskan bahwa ia jelas bukanlah lawan yang mudah untuk dikalahkan. Seperti meletakkan cermin di tengah-tengah, jika diamati lebih teliti, keduanya seperti tak memiliki beda. Selain penampilan, kedua lelaki itu sama-sama memiliki semangat dan kepercayaan diri yang tinggi. “Hai, Kawan. Sebaiknya kau segera melambaikan tangan. Aku tak tega jika harus melihatmu terluka,” ser
Semburat jingga mulai tampak mengintip dari balik tembok batu. Terik mentari yang menyengat berangsur memudar. Dari arah selatan, tiupan angin berdesir pelan. Tenang, membawa kesejukan. Akan tetapi, suasana sejuk yang terasa di sore ini berubah menegangkan tatkala kompetisi pertarungan untuk menjadi seorang Penjaga masih terus dilangsungkan. Riuh pekik di sekitar arena semakin semarak. Di tengah-tengah lingkaran, dua orang pemuda kembali dipertemukan untuk saling mengalahkan. Tetesan peluh yang mulai bercampur dengan bulir darah tak henti-hentinya terjun bebas ke tanah. Napas seorang peserta yang masih bertahan di pertarungan keduanya sudah tak teratur sejak lonceng di pinggir arena kembali berbunyi. Kali ini Soma benar-benar dibuat kewalahan oleh lawannya. Peserta bernomor delapan itu dapat mengimbangi pergerakan Soma dengan ketenangan yang luar biasa. Bahkan, bisa dikatakan, bahwa kekuatan Soma saat ini sudah berada jauh di bawah lawannya. Orang
Soma tak berkutik. Pikirannya benar-benar buntu. Lawannya kali ini seakan tak memiliki titik lemah. Dengan napas satu-satu, Soma memindai lawannya dari ujung kepala sampai ke mata kaki. Kenapa dia bisa sebegitu tenangnya? Soma terkesiap. Ada hal penting yang baru saja ia sadari. Sesaat, kelopak mata Soma menutup. Ia lakukan meditasi singkat. Di dalam diamnya, lamunan Soma berputar kepada kisah pertemuannya dengan seorang pria tua yang hidup seorang diri jauh di dalam hutan. Yang dulu ia temui karena ketidaksengajaan. Dulu, setelah tak menemukan makanan apa pun di dalam rumah orang-orang desa, Soma kecil yang kelaparan selalu menjadikan hutan sebagai opsi kedua untuk memenuhi kebutuhannya. Maklum, penduduk desa sudah lebih waspada ketika terlalu seringan mendapati stok persediaan makanan mereka menghilang dengan sendirinya. Dan mereka semua sama-sama tahu, siapa dalang di balik itu semua. Soma. Sambil celingak-celinguk kelaparan Soma yang mal
Ada rasa tak percaya yang membayanginya sejak kali pertama ia melangkah masuk melewati pintu gerbang. Tak sedetik pun Marca terbayang akan berada di dalam Istana. Semua ini jelas bukanlah impiannya. Akan tetapi, menampakkan kaki di antah berantah yang disebut banyak orang sebagai tempat paling mewah, membuatnya serasa memeluk impiannya sendiri. Soma, kau lihat ini, aku berhasil sampai di Istana. Seutas senyum samar bersarang malu-malu di wajah Marca. Ia melihat persis segala hal yang dulu pernah dikatakan oleh Soma. Di tempat itu, segala hal memang tampak terbuat dari emas. Di area lapang beralaskan ribuan batu yang tak beraturan namun disusun sedemikian rupa sehingga nyaman untuk dipijak, Marca membaur bersama segerombolan lelaki berwajah lelah lainnya. Setelah sekilas menyapukan pandangan, Marca pun menyadari, bahwa dirinya, dan semua lelaki yang baru tiba di Istana, tengah ditontoni oleh ratusan manusia yang tersebar di segala penjuru. Wajah-wajah itu ter
Buda menelengkan kepala ke arah belakang. Pandangannya sesaat mengamati sekitar.“Apa mereka masih mengejar kita?” tanya Marca. Perhatiannya ikut teralih.“Kurasa tidak. Tetapi kita tak boleh berhenti. Kita harus terus lari. Matahari sudah hampir tenggelam.”∆“Kenapa kalian kembali?” kedua mata Wakaru membundar lebar ketika melihat Muriel dan Mormo berjalan ke arah berlawanan. “Apa semua orang sudah kalian bunuh?”“Tinggal tersisa lima,” jawab Mormo.“Dua,” sela Muriel.“Iya. Dua maksudku. Dua orang.”“Lalu kenapa tak kalian habisi mereka sekalian?”“Kami tak mau Ayah marah. Tadi kami sudah terlalu dekat ke pintu gerbang.”“Paman tidak akan marah.”“Siapa yang bilang?” potong Mormo. “Jelas-jelas Ayah sudah melarang kami untuk tidak mendekati pintu Gerbang I
Napas Darangga kian memburu tatkala ia kembali harus mengelak dari sebuah sabetan pedang yang menyasar tepat ke bagian leher. Sebelum lawan di hadapannya kembali melancarkan serangan, ia memanfaatkan celah waktu sempit itu untuk menghirup napas dalam-dalam. Ia harus terus bertahan, walau tak tahu akan sampai kapan. Saat ini situasi jelas tak berpihak kepada dirinya. Satu-satunya senjata yang Darangga bawa dari desa Sikmatu sudah tak mungkin dipergunakan karena bilah pedangnya telah patah menjadi dua. Kini, yang bisa ia lakukan hannyalah terus menghindar dari serangan bertubi yang dilancarkan oleh seorang lelaki berkulit hitam di depannya. Sembari menarik napas panjang, pandangan Darangga sekilas beredar. Dari ujung penglihatannya, area di sekitar tempatnya berdiri tampak begitu sunyi. Sepi. Tak terlihat sedikit pun tanda-tanda akan datangnya pertolongan. Belum genap ia mengambil napas, sebuah serangan kembali menghampiri. Kaweni tak henti-hentinya terkikik ge
Darangga mesti memosisikan diri untuk berjalan merangkak jika tak ingin berpapasan dengan salah seorang Penjaga desa Dansu. Sekumpulan ilalang setinggi lutut sudah cukup menyamarkan tubuhnya agar dapat menyaru dengan alam sekitar.Beberapa kali suara riuh menghampiri pendengaran, tetapi Darangga sama sekali tak mengidahkan. Untuk mengisi kembali tenaga, Darangga pun menghentikan sejenak pergerakannya. Sekilas, kepalanya mendongak. Di atas langit sana, matahari sudah mulai turun ke arah barat. Hari beranjak gelap.Waktuku hampir habis, batin Darangga. Aku harus bergegas. Ia kembali melanjutkan pergerakan. Sekumpulan kerikil kecil yang menyebar hampir di setiap bagian sabana membuatnya meringis tatkala tubuhnya mesti tergores berulang kali oleh bebatuan mungil yang runcingnya bukan main.Akan tetapi, mendadak pergerakan Darangga kembali terhenti. Ekor matanya langsung mendarat ke sepasang kaki yang jaraknya kin
Menjadi seorang Muka Panto bukan berarti tak memiliki konsekuensi. Sedari kecil, hampir setiap kali terjadi gerhana bulan, ia akan selalu diasingkan jauh ke dalam hutan. Seorang diri. Menyepi.Di dalam ruangan sempit berbentuk kerucut dengan alas segi lima, kedua kaki dan tangannya akan selalu diikat kuat-kuat. Kepalanya akan selalu terbungkus rapat oleh kain hitam. Di dalam sana, ia akan mengerang kesakitan. Menjerit, lalu kemudian menangis histeris.Hawa panas yang teramat akan menjalar ke sekujur tubuhnya. Mengeluarkan seluruh peluh dari setiap sel-sel kulitnya. Berbarengan dengan itu, seluruh bagian tubuhnya akan terasa seperti tercabik-cabik. Dingin yang begitu dingin selalu datang sesudahnya. Dalam sekejap, tubuh kurusnya akan terasa beku bagai batu. Diselimuti rasa sakit yang tak mungkin terjabarkan, kesadarannya pun akan setia menghilang hingga pagi datang.Akan tetapi, semua penderitaan yang kerap ia rasakan, katanya belum seberapa jika dibandingkan den
Hanso dan Ringga tampak terkejut ketika melihat dua orang yang tak mereka kenal berlari terbirit-birit. Melintas cepat di hadapan mereka. Tak lama kemudian, kini giliran dua orang yang mereka kenal, Arin dan Saga, juga terlihat tengah berlari mengejar dua orang sebelumnya.“Kalian urus tiga orang di belakang, kami akan mengejar mereka,” seru Arin kepada Hanso dan Ringga. Ia memberikan perintah tanpa menolehkan kepala.Sesaat setelah saling tatap, Hanso dan Ringga akhirnya mengerti dengan maksud dari perintah Arin. Tiga orang lelaki lainnya mendekat. Tak dikenal. Terlihat asing.Hanso lekas-lekas membentangkan kedua tangan. “Tunggu,” sergahnya.Mendadak, pergerakan Wrahaspati, Tumpak, dan Sukra kembali terhenti. Di tempatnya berdiri, Wrahaspati menelan ludah. Di hadapannya, kini telah berdiri dua orang lelaki berkulit hitam legam yang masing-masing terlihat membawa satu kepala manusia.“Siapa kalian?” tanya Ringga
Bodoh! Kenapa mereka bisa sebegitu nekatnya. Satu tangan Sukra meremas kuat-kuat daun kering yang tanpa sadar ia pungut. Sambil terus mengawasi pertarungan Marca dan Buda—melawan tiga orang yang diduga sebagai para Penjaga desa Dansu—kekesalannya kian membeludak seiring dengan detik yang terus berlalu.Dalam lamunan, Sukra teringat akan pesan kakeknya dulu, “Kau harus menjaga anak itu, Sukra. Apa pun taruhannya.”“Tapi itu tak adil, Kek,” protes Sukra. “Derajatku ini lebih tinggi. Tidak sepantasnya aku menjaga manusia yang derajatnya berada di bawahku.”“Ini bukan lagi soal derajat. Ini tentang misi penting yang harus kita jalankan. Misi ini sama sekali tidak boleh gagal. Kau harus ingat itu,” cetus kakeknya.Sambil termenung dengan kepala tertunduk dan mulut manyun, Sukra mengurut pelipisnya. Entah bagaimana bisa, namun mendadak kepalanya terasa begitu pusing.“Lag
Mengikuti pergerakan Darangga, Marca kembali mengintip dari balik batang pohon. Dari ekor matanya, walau hanya terlihat menghadapi satu orang lelaki berkulit hitam legam, sekelompok orang berpakaian serba hitam tampak kewalahan. Di sana, situasi mereka bagai sedang berada di ujung tanduk.“Kita harus menolong mereka,” gumam Marca, pandangannya terpaku ke arah pertarungan di depan.Sontak, perhatian semua orang tertuju ke arah yang sama. Marcapada tengah diamati lekat-lekat. Wajah-wajah itu tampak tak sependapat.“Untuk apa?” sahut Darangga. “Tujuan kita pergi ke Istana, bukan membantu mereka.”Marca mengedarkan pandangan. Mencari dukungan lain. Dalam sekelebat, tak ia jumpai satu pun orang yang memiliki pemikiran serupa, kecuali Buda. Meski samar, Buda terlihat menganggukkan kepala.∆Bertopang pada bilah pedang yang telah menancap kuat-kuat di tanah, Kausiki terus berusaha agar tubuhnya tak
Langkahnya mendadak gontai setelah sabetan pedang menyayat tepat di bagian pundak, sekepalan tangan lagi menuju leher. Darah bercucuran. Napasnya kian tersengal. Di ujung penglihatan yang mulai berbayang, Wipasa hanya dapat menyaksikan teman-temannya, masih terus berjuang melawan satu orang Penjaga desa Dansu.“Apa kubilang, Saga sudah pasti tak akan mau berlama-lama membiarkan mereka hidup,” kata Arin, tenang. Kedua tangannya masih terlipat di depan dada.“Itu tidak bisa dihitung sebagai serangan balik,” balas Rangjasa.“Bagaimana bisa tidak dihitung? Jelas-jelas tadi itu Saga melakukan serangan.”Terbungkam. Rangjasa tak lagi memiliki alibi kuat untuk membantah segala ucapan. Rahangnya mengencang. Ia tengah berusaha keras memendam kekesalan.Di tempatnya berdiri, Arin tersenyum penuh kemenangan. “Persiapkan senjatamu, kau tak ingin jika Saga memenggal semua kepala musuhnya, kan?”Rangjasa ter