Sebuah kotak kayu berukuran mungil berwarna cokelat mengkilap, dengan berbagai ukiran menghiasi di setiap sisinya—berisikan potongan-potongan kayu berbentuk segitiga bertuliskan angka—mulai diputar ke seluruh peserta. Satu per satu peserta mendapatkan angka berbeda. Marca menjulurkan tangan, ikut mengambil satu potongan kayu.
“Hai, Marca, kau mendapat angka berapa?” salah seorang peserta bertanya. Seorang lelaki bertubuh kurus mengenakan ikat kepala berwarna biru tua, berdiri tepat di samping Marca. Lelaki itu adalah Soma. Di dunia ini, Soma adalah satu-satunya sahabat yang Marca miliki.
Dulu di desa, ketika masih berusia tiga belas tahun, Marca dan Soma sering dikenal dengan julukan: Dua Bandit Kecil. Oleh kebanyakan orang, mereka berdua dianggap hama. Sama sekali tak berguna. Tak pernah sekalipun diinginkan. Selalu merusak dan membuat onar.
Berulang kali sudah Marca dan Soma terlibat perkelahian sengit dengan beberapa orang yang dianggap berpengaruh di desa. Salah satu contohnya adalah perkelahian mereka dengan Kaskar—seorang lelaki bertubuh kekar yang berasal dari kalangan atas. Kaskar memiliki delapan pengikut setia, yang selalu mengikutinya, ke mana pun ia berada.
Perkelahian antara Dua Bandit Kecil dan Kaskar diawali dengan tindakan ceroboh salah satu anggota Dua Bandit Kecil, yaitu Soma. Di hari itu Soma membuat gempar. Ia kepergok tengah menggorok leher hewan kesayangan Kaskar. Hewan bertanduk satu dengan gigi bertaring tajam itu tak berdaya di tangan Soma. Kedua sayap hewan itu patah. Darah segar berwarna hitam pekat mengucur deras. Bau busuk menyengat, menusuk penciuman. Perut buncit hewan itu robek, dan seluruh organ dalamnya terlihat dikeluarkan secara paksa.
Di tengah aksi brutal yang dilakukan oleh Soma, seorang perempuan yang tanpa sengaja melihat langsung eksekusi pembantaian itu seketika menjerit histeris. Perempuan itu tak lain dan tak bukan adalah istri dari Kaskar. Ia berteriak kencang sampai akhirnya jatuh pingsan.
Perempuan berambut panjang yang selalu tersanggul rapi itu sama sekali tak pernah menduga, di harinya yang begitu indah—karena sang suami yang baru saja diberitakan akan segera dicalonkan sebagai Kepala Suku—harus dinodai dengan matinya hewan kesayangan yang sudah ia anggap sebagai anaknya sendiri. Yang mati dengan keji di tangan bocah ingusan yang baru senang-senangnya membuat kekacauan di mana-mana. Berniat pergi ke area belakang rumah untuk memberikan hewan kesayangannya makan, ia justru melihat hal paling mengenaskan di dalam hidupnya.
Kaskar, yang saat itu sedang mengadakan pesta atas pencalonannya sebagai Kepala Suku di area teras rumahnya, terkesiap dengan suara teriakan nyaring khas istrinya. Merasa ada sesuatu hal yang tak beres, secara spontan ia langsung melakukan pergerakan. Sebuah gada besi berukuran cukup besar yang tak jauh dari jangkauannya segera disambar.
Melihat Kaskar yang secara mendadak pergi dengan tergesa, sambil membawa senjata andalannya—delapan orang pengikut Kaskar yang berada dalam pesta perayaan itu sontak juga langsung melakukan pergerakan. Dengan cekatan mereka mengambil beberapa senjata, dan tanpa perlu diinstruksi, mereka berlari mengikuti Kaskar yang sudah lebih dulu pergi ke area belakang rumahnya.
∆
Tepat di area belakang rumah Kaskar, pemandangan menjijikkan terpampang. Seekor hewan besar yang terlihat gagah sekaligus ganas dengan kedua taringnya yang runcing bagai pisau belati yang diasah setiap hari, harus terkapar tak berdaya dengan kepala terpisah dari tubuhnya, dan kedua sayap yang patah di ujung pangkal, serta bagian perut yang robek memanjang. Tak jauh dari bangkai hewan berbau busuk walau belum lama mati itu, seorang perempuan separuh baya telah terbujur lesu tak berdaya.
Menyaksikan segala hal menjijikkan di depan mata, membuat rahang Kaskar sontak mengencang. Tanpa berpikir panjang, ia berlari ke arah istrinya yang sudah tak sadarkan diri. Sementara para pengikut yang awalnya berada di belakangnya justru berbalik arah, pergi. Kembali ke area teras depan.
Sambil melangkahkan kaki lebar-lebar, kedelapan lelaki itu terus menahan rasa mual yang terasa semakin mengoyak kuat isi perut mereka. Semasa hidup pun, hewan bertaring tajam itu memang sudah berbau busuk dan menyengat. Mereka justru tak habis pikir, bagaimana bisa hewan semacam itu dipelihara dan bahkan dijadikan anak angkat.
“Istriku! Bangun! Siapa yang telah melakukan semua ini?” Bentak Kaskar sambil terus menggoyang-goyangkan tubuh istrinya.
Tak ada jawaban. Perempuan bersanggul rapi itu masih tetap tak sadarkan diri.
Di saat Kaskar sibuk membangunkan istrinya, tiba-tiba bangkai hewan besar yang berada tepat di hadapannya bergerak-gerak dengan sendirinya. Kaskar yang menyadari kejanggalan itu seketika bangkit berdiri. Dengan penuh kewaspadaan, ia mulai melakukan pergerakan. Melangkah perlahan ke arah bangkai hewan kesayangannya.
Baru beberapa langkah dari tempat istrinya berada, ayunan pelan kaki Kaskar mendadak terhenti. Sorot matanya terus memandang lamat-lamat pergerakan bangkai hewan di depannya. Menyadari ada sebuah kejanggalan yang semakin kentara, ia pun mulai bersiap siaga.
Dan ternyata, tanpa pernah disangka-sangka oleh Kaskar, dari bagian perut hewan kesayangannya itu, keluarlah seorang lelaki muda dengan sekujur tubuh yang telah berlumuran darah hitam. Lelaki muda itu adalah Soma. Ia tersenyum bahagia sambil memegangi sebuah cincin—yang juga berwarna hitam—yang sepertinya baru saja ia temukan di dalam perut hewan ganas yang baru beberapa saat lalu ia kalahkan.
Emosi Kaskar benar-benar membuncah. Ia sudah tak tahan dengan kelakuan Soma. Soma jelas-jelas sudah berani dengan seenaknya memasuki rumahnya, membuat istrinya jatuh pingsan, dan jelas-jelas sudah membunuh Anobi. Hewan kesayangannya.
“Kau!” bentak Kaskar. “Apa yang kau lakukan? Kau sudah berani membunuh Anobi, hewan kesayanganku!”
Mendengar bentakan Kaskar yang menggelegar, justru tak membuat Soma ketakutan. Dengan santai ia memandangi Kaskar, dan sambil terus tersenyum ia pun berkata, “Santai saja Orang Tua. Aku sudah berhasil menemukan cincin yang kuberikan kepada hewan peliharaanku, yang dimakan oleh hewan bodohmu ini. Anggap saja kita impas. Aku kehilangan hewan peliharaanku, tapi tak kehilangan cincin berharga milikku ini.”
Merekam perkataan Soma lewat telinga membuat aliran darah panas di tubuh Kaskar berdesir naik. Ia lantas menggerung marah. Jalaran otot di sekujur tubuhnya bagai cacing yang menggeliat di permukaan tanah. Ucapan Soma bagaikan bahan bakar yang sengaja ditumpahkan di atas api yang telah berkobar. Dan sekarang, kobaran api itu telah siap membakar tubuh Soma hingga matang.
“Apa yang sudah kau lakukan, Manusia Buangan! Istriku sudah menganggap Anobi seperti anak kami, dan kau! Membunuh Anobi di hadapan istriku. Akan kutukar nyawamu dengan nyawa Anobi!” Tanpa perlu ancang-ancang, Kaskar berlari kencang ke arah Soma.
Soma yang tak menduga akan menerima serangan mendadak seketika tak lagi bisa berbuat apa-apa. Tanpa adanya penghalang, tertubruklah ia oleh tubuh kekar Kaskar. Soma tersungkur jatuh, tak berdaya. Cincin yang baru saja ia temukan kembali menghilang di rerumputan.
Kaskar, yang telah berhasil dengan mudah menjatuhkan tubuh Soma, dengan sigap langsung berada di atas tubuh musuh kecilnya. Mengunci pergerakan. Dan sambil memegangi gada besi besar miliknya, Kaskar bersiap menghantamkan senjata andalannya itu ke wajah Soma.
Soma benar-benar tak berkutik. Dalam sejarah hidup Kaskar, tak pernah ada satu orang pun dapat selamat ketika dihantam dengan gada besi besar miliknya.
Dan di saat itu bisa dipastikan, bahwa Soma begitu dekat dengan kematian. Hanya dalam hitungan detik, gada besi besar itu meluncur deras. Soma menutup mata, telah bersiap menerima segala kemungkinan terburuk yang sebentar lagi akan terjadi.
Tanpa pernah diduga oleh siapa pun, gada besi besar milik Kaskar ternyata meleset dari sasaran. Senjata andalan Kaskar itu telah gagal menjalankan tugasnya. Keajaiban. Keberuntungan ternyata masih berpihak kepada Soma. Belum sempat gada besi besar itu menghantam bagian wajah, Kaskar sudah tersungkur jatuh lebih dulu. Mengerang kesakitan sambil memegangi satu bagian telinga. Soma kebingungan. Segera, ia tebarkan pandangan. Di ujung penglihatan, satu-satunya sahabat yang ia miliki, Marca, telah berdiri tak jauh dari tempatnya berada. Berdiri dengan gagah sambil memegangi katapel kayu. Melihat sesosok manusia yang begitu dikenalinya, selengkung senyum seketika tergambar jelas di wajah Soma. “Kenapa lama sekali?” tanya Soma. Ia tengah berusaha untuk bangkit berdiri. Bukannya lekas-lekas membatu, Marca justru melirik sahabatnya itu d
"Tujuh,” jawab Marca sekenanya. “Aku rasa hari ini akan menjadi hari kemenangan untuk kita,” gumam Soma sembari menebarkan pandangan, melihat beberapa peserta lain di sebelahnya. “Mereka sepertinya bukan lawan yang sulit. Kalau begini, kita pasti bisa menang dengan mudah,” lanjutnya dengan dada membusung. Marca terdiam. Malas meladeni kesombongan Soma. “Tapi tunggu,” perhatian Soma beralih ke arah Marca. “Perlu kau ingat, Marcapada yang terlalu hobi menyendiri. Di pertandingan ini, hanya akan ada satu pemenang,” bisiknya tepat di bagian telinga. Ia menghidu. Mencium aroma semerbak yang memanjakan. “Kenapa rambutmu bisa wangi sekali?” gumam Soma dengan mata terpejam. Penuh penghayatan . Merasa risi, Marca spontan mendorong tubuh Soma. “Di pertarungan ini, jika kau melakukan hal bodoh ini lagi, kau akan menjadi orang pertama yang akan tereliminasi,” sergah Marca, ketus. &
Seberantak potongan kayu berbentuk segitiga di dalam kuali berukuran besar terhampar di depan seorang pria tua. Mengenakan jubah hitam dengan bagian punggung tertoreh simbol lingkaran berwarna emas, dan delapan segitiga dengan warna serupa—yang mengitari lingkaran tersebut hingga menyerupai simbol matahari—pria tua itu secara perlahan mencoba mengambil satu potongan kayu. Janggut putih panjangnya seolah membelai halus kuali tanah liat yang memiliki retakan di beberapa sudut. Tremor di bagian tangannya seakan tak pernah berdamai dengan suasana hatinya. Meski sebuah potongan kayu sempat terjatuh di percobaan pertama, namun sesudahnya, semua berjalan sesuai rencana. Satu potongan kayu berbentuk segitiga berhasil ia genggam dengan sempurna. Dari tengah-tengah arena, Luca secepat kilat beringsut ke arah pria tua yang telah menggenggam satu potongan kayu bertuliskan angka. Tanpa ada kata “Permisi”,
Dengan nasib yang hampir serupa, kedua peserta berikutnya telah tumbang dengan mudah di tangan Wirotama. Dengan begitu, secara otomatis, Wirotama adalah peserta pertama yang memastikan diri mendapatkan gelar sebagai seorang Penjaga. Sambil berjalan keluar dari arena, Wirotama terus memandang sayu ke kedua telapak tangannya. Ada perasaan bersalah yang terus menggelayuti hati nuraninya. “Dia terlihat tangguh,” bisik Soma sembari melihat Wirotama yang kini telah duduk manis di atas kursi di sudut berbeda. Marca masih tercenung di tempatnya. Walau sedari tadi kedua bola matanya terus fokus mengamati pertarungan di tengah arena, tetapi pikirannya melayang entah ke mana. Berkelana tak tentu arah. Merasa gumamannya tak ditanggapi, Soma mengerling sinis ke arah Marca. “Walaupun kau tak pernah suka dengan semua pertarungan ini, sadarlah, jelas-jelas kau tak akan bisa berbuat apa-apa. Kau benar-benar harus sadar, Marca, bagaimanapun, saat ini kau tetap menjadi
Setengah berlari, Soma menuju ke tengah-tengah arena. Senyum semangat terlihat tak lepas dari wajahnya. “Dan lawan untuk peserta bernomor dua puluh tiga adalah peserta nomor … dua puluh delapan ….” sambung Luca. Sama seperti Soma, peserta bernomor dua puluh delapan dengan lincah bergegas ke tengah-tengah arena. Rambut jambulnya bergoyang-goyang lembut tertiup angin. Tubuhnya yang kurus sama sekali tak serasi dengan potongan rambutnya yang bervolume. Akan tetapi, otot-otot hasil latihan yang terlihat, menegaskan bahwa ia jelas bukanlah lawan yang mudah untuk dikalahkan. Seperti meletakkan cermin di tengah-tengah, jika diamati lebih teliti, keduanya seperti tak memiliki beda. Selain penampilan, kedua lelaki itu sama-sama memiliki semangat dan kepercayaan diri yang tinggi. “Hai, Kawan. Sebaiknya kau segera melambaikan tangan. Aku tak tega jika harus melihatmu terluka,” ser
Semburat jingga mulai tampak mengintip dari balik tembok batu. Terik mentari yang menyengat berangsur memudar. Dari arah selatan, tiupan angin berdesir pelan. Tenang, membawa kesejukan. Akan tetapi, suasana sejuk yang terasa di sore ini berubah menegangkan tatkala kompetisi pertarungan untuk menjadi seorang Penjaga masih terus dilangsungkan. Riuh pekik di sekitar arena semakin semarak. Di tengah-tengah lingkaran, dua orang pemuda kembali dipertemukan untuk saling mengalahkan. Tetesan peluh yang mulai bercampur dengan bulir darah tak henti-hentinya terjun bebas ke tanah. Napas seorang peserta yang masih bertahan di pertarungan keduanya sudah tak teratur sejak lonceng di pinggir arena kembali berbunyi. Kali ini Soma benar-benar dibuat kewalahan oleh lawannya. Peserta bernomor delapan itu dapat mengimbangi pergerakan Soma dengan ketenangan yang luar biasa. Bahkan, bisa dikatakan, bahwa kekuatan Soma saat ini sudah berada jauh di bawah lawannya. Orang
Soma tak berkutik. Pikirannya benar-benar buntu. Lawannya kali ini seakan tak memiliki titik lemah. Dengan napas satu-satu, Soma memindai lawannya dari ujung kepala sampai ke mata kaki. Kenapa dia bisa sebegitu tenangnya? Soma terkesiap. Ada hal penting yang baru saja ia sadari. Sesaat, kelopak mata Soma menutup. Ia lakukan meditasi singkat. Di dalam diamnya, lamunan Soma berputar kepada kisah pertemuannya dengan seorang pria tua yang hidup seorang diri jauh di dalam hutan. Yang dulu ia temui karena ketidaksengajaan. Dulu, setelah tak menemukan makanan apa pun di dalam rumah orang-orang desa, Soma kecil yang kelaparan selalu menjadikan hutan sebagai opsi kedua untuk memenuhi kebutuhannya. Maklum, penduduk desa sudah lebih waspada ketika terlalu seringan mendapati stok persediaan makanan mereka menghilang dengan sendirinya. Dan mereka semua sama-sama tahu, siapa dalang di balik itu semua. Soma. Sambil celingak-celinguk kelaparan Soma yang mal
Awan mendung kali ini merampas paksa pesona langit malam. Meredupkan cahaya bulan, dan menyembunyikan kerlipan bintang. Di sekitar arena pertarungan, pendar cahaya dari beberapa titik obor pun sedikit memberikan penerangan. Meski telah terseok-seok dengan tenaga yang tak lagi mencukupi, namun Soma masih terus berdiri. Menatap lurus ke arah depan. Menganalisis dengan saksama seorang lelaki yang tengah berdiri tepat di hadapannya. Berperawakan lebar, berhidung pesek, berkumis tebal, serta berambut ikal panjang yang dibiarkan terurai, lelaki itu terlihat menyeringai ke arah Soma. Soma menakar, dari penampilan yang tampak di pandangan, lelaki di hadapannya memiliki usia yang jauh lebih tua daripada dirinya. Menyaksikan kondisi Soma saat ini, lelaki itu seolah telah memenangkan lotre tanpa harus bertaruh. Ia tak perlu bersusah payah mengeluarkan seluruh tenaga. Hanya dengan beberapa pukulan dan sekilas tendangan, harusnya lawan di depannya sudah bisa dikalahkan de
Ada rasa tak percaya yang membayanginya sejak kali pertama ia melangkah masuk melewati pintu gerbang. Tak sedetik pun Marca terbayang akan berada di dalam Istana. Semua ini jelas bukanlah impiannya. Akan tetapi, menampakkan kaki di antah berantah yang disebut banyak orang sebagai tempat paling mewah, membuatnya serasa memeluk impiannya sendiri. Soma, kau lihat ini, aku berhasil sampai di Istana. Seutas senyum samar bersarang malu-malu di wajah Marca. Ia melihat persis segala hal yang dulu pernah dikatakan oleh Soma. Di tempat itu, segala hal memang tampak terbuat dari emas. Di area lapang beralaskan ribuan batu yang tak beraturan namun disusun sedemikian rupa sehingga nyaman untuk dipijak, Marca membaur bersama segerombolan lelaki berwajah lelah lainnya. Setelah sekilas menyapukan pandangan, Marca pun menyadari, bahwa dirinya, dan semua lelaki yang baru tiba di Istana, tengah ditontoni oleh ratusan manusia yang tersebar di segala penjuru. Wajah-wajah itu ter
Buda menelengkan kepala ke arah belakang. Pandangannya sesaat mengamati sekitar.“Apa mereka masih mengejar kita?” tanya Marca. Perhatiannya ikut teralih.“Kurasa tidak. Tetapi kita tak boleh berhenti. Kita harus terus lari. Matahari sudah hampir tenggelam.”∆“Kenapa kalian kembali?” kedua mata Wakaru membundar lebar ketika melihat Muriel dan Mormo berjalan ke arah berlawanan. “Apa semua orang sudah kalian bunuh?”“Tinggal tersisa lima,” jawab Mormo.“Dua,” sela Muriel.“Iya. Dua maksudku. Dua orang.”“Lalu kenapa tak kalian habisi mereka sekalian?”“Kami tak mau Ayah marah. Tadi kami sudah terlalu dekat ke pintu gerbang.”“Paman tidak akan marah.”“Siapa yang bilang?” potong Mormo. “Jelas-jelas Ayah sudah melarang kami untuk tidak mendekati pintu Gerbang I
Napas Darangga kian memburu tatkala ia kembali harus mengelak dari sebuah sabetan pedang yang menyasar tepat ke bagian leher. Sebelum lawan di hadapannya kembali melancarkan serangan, ia memanfaatkan celah waktu sempit itu untuk menghirup napas dalam-dalam. Ia harus terus bertahan, walau tak tahu akan sampai kapan. Saat ini situasi jelas tak berpihak kepada dirinya. Satu-satunya senjata yang Darangga bawa dari desa Sikmatu sudah tak mungkin dipergunakan karena bilah pedangnya telah patah menjadi dua. Kini, yang bisa ia lakukan hannyalah terus menghindar dari serangan bertubi yang dilancarkan oleh seorang lelaki berkulit hitam di depannya. Sembari menarik napas panjang, pandangan Darangga sekilas beredar. Dari ujung penglihatannya, area di sekitar tempatnya berdiri tampak begitu sunyi. Sepi. Tak terlihat sedikit pun tanda-tanda akan datangnya pertolongan. Belum genap ia mengambil napas, sebuah serangan kembali menghampiri. Kaweni tak henti-hentinya terkikik ge
Darangga mesti memosisikan diri untuk berjalan merangkak jika tak ingin berpapasan dengan salah seorang Penjaga desa Dansu. Sekumpulan ilalang setinggi lutut sudah cukup menyamarkan tubuhnya agar dapat menyaru dengan alam sekitar.Beberapa kali suara riuh menghampiri pendengaran, tetapi Darangga sama sekali tak mengidahkan. Untuk mengisi kembali tenaga, Darangga pun menghentikan sejenak pergerakannya. Sekilas, kepalanya mendongak. Di atas langit sana, matahari sudah mulai turun ke arah barat. Hari beranjak gelap.Waktuku hampir habis, batin Darangga. Aku harus bergegas. Ia kembali melanjutkan pergerakan. Sekumpulan kerikil kecil yang menyebar hampir di setiap bagian sabana membuatnya meringis tatkala tubuhnya mesti tergores berulang kali oleh bebatuan mungil yang runcingnya bukan main.Akan tetapi, mendadak pergerakan Darangga kembali terhenti. Ekor matanya langsung mendarat ke sepasang kaki yang jaraknya kin
Menjadi seorang Muka Panto bukan berarti tak memiliki konsekuensi. Sedari kecil, hampir setiap kali terjadi gerhana bulan, ia akan selalu diasingkan jauh ke dalam hutan. Seorang diri. Menyepi.Di dalam ruangan sempit berbentuk kerucut dengan alas segi lima, kedua kaki dan tangannya akan selalu diikat kuat-kuat. Kepalanya akan selalu terbungkus rapat oleh kain hitam. Di dalam sana, ia akan mengerang kesakitan. Menjerit, lalu kemudian menangis histeris.Hawa panas yang teramat akan menjalar ke sekujur tubuhnya. Mengeluarkan seluruh peluh dari setiap sel-sel kulitnya. Berbarengan dengan itu, seluruh bagian tubuhnya akan terasa seperti tercabik-cabik. Dingin yang begitu dingin selalu datang sesudahnya. Dalam sekejap, tubuh kurusnya akan terasa beku bagai batu. Diselimuti rasa sakit yang tak mungkin terjabarkan, kesadarannya pun akan setia menghilang hingga pagi datang.Akan tetapi, semua penderitaan yang kerap ia rasakan, katanya belum seberapa jika dibandingkan den
Hanso dan Ringga tampak terkejut ketika melihat dua orang yang tak mereka kenal berlari terbirit-birit. Melintas cepat di hadapan mereka. Tak lama kemudian, kini giliran dua orang yang mereka kenal, Arin dan Saga, juga terlihat tengah berlari mengejar dua orang sebelumnya.“Kalian urus tiga orang di belakang, kami akan mengejar mereka,” seru Arin kepada Hanso dan Ringga. Ia memberikan perintah tanpa menolehkan kepala.Sesaat setelah saling tatap, Hanso dan Ringga akhirnya mengerti dengan maksud dari perintah Arin. Tiga orang lelaki lainnya mendekat. Tak dikenal. Terlihat asing.Hanso lekas-lekas membentangkan kedua tangan. “Tunggu,” sergahnya.Mendadak, pergerakan Wrahaspati, Tumpak, dan Sukra kembali terhenti. Di tempatnya berdiri, Wrahaspati menelan ludah. Di hadapannya, kini telah berdiri dua orang lelaki berkulit hitam legam yang masing-masing terlihat membawa satu kepala manusia.“Siapa kalian?” tanya Ringga
Bodoh! Kenapa mereka bisa sebegitu nekatnya. Satu tangan Sukra meremas kuat-kuat daun kering yang tanpa sadar ia pungut. Sambil terus mengawasi pertarungan Marca dan Buda—melawan tiga orang yang diduga sebagai para Penjaga desa Dansu—kekesalannya kian membeludak seiring dengan detik yang terus berlalu.Dalam lamunan, Sukra teringat akan pesan kakeknya dulu, “Kau harus menjaga anak itu, Sukra. Apa pun taruhannya.”“Tapi itu tak adil, Kek,” protes Sukra. “Derajatku ini lebih tinggi. Tidak sepantasnya aku menjaga manusia yang derajatnya berada di bawahku.”“Ini bukan lagi soal derajat. Ini tentang misi penting yang harus kita jalankan. Misi ini sama sekali tidak boleh gagal. Kau harus ingat itu,” cetus kakeknya.Sambil termenung dengan kepala tertunduk dan mulut manyun, Sukra mengurut pelipisnya. Entah bagaimana bisa, namun mendadak kepalanya terasa begitu pusing.“Lag
Mengikuti pergerakan Darangga, Marca kembali mengintip dari balik batang pohon. Dari ekor matanya, walau hanya terlihat menghadapi satu orang lelaki berkulit hitam legam, sekelompok orang berpakaian serba hitam tampak kewalahan. Di sana, situasi mereka bagai sedang berada di ujung tanduk.“Kita harus menolong mereka,” gumam Marca, pandangannya terpaku ke arah pertarungan di depan.Sontak, perhatian semua orang tertuju ke arah yang sama. Marcapada tengah diamati lekat-lekat. Wajah-wajah itu tampak tak sependapat.“Untuk apa?” sahut Darangga. “Tujuan kita pergi ke Istana, bukan membantu mereka.”Marca mengedarkan pandangan. Mencari dukungan lain. Dalam sekelebat, tak ia jumpai satu pun orang yang memiliki pemikiran serupa, kecuali Buda. Meski samar, Buda terlihat menganggukkan kepala.∆Bertopang pada bilah pedang yang telah menancap kuat-kuat di tanah, Kausiki terus berusaha agar tubuhnya tak
Langkahnya mendadak gontai setelah sabetan pedang menyayat tepat di bagian pundak, sekepalan tangan lagi menuju leher. Darah bercucuran. Napasnya kian tersengal. Di ujung penglihatan yang mulai berbayang, Wipasa hanya dapat menyaksikan teman-temannya, masih terus berjuang melawan satu orang Penjaga desa Dansu.“Apa kubilang, Saga sudah pasti tak akan mau berlama-lama membiarkan mereka hidup,” kata Arin, tenang. Kedua tangannya masih terlipat di depan dada.“Itu tidak bisa dihitung sebagai serangan balik,” balas Rangjasa.“Bagaimana bisa tidak dihitung? Jelas-jelas tadi itu Saga melakukan serangan.”Terbungkam. Rangjasa tak lagi memiliki alibi kuat untuk membantah segala ucapan. Rahangnya mengencang. Ia tengah berusaha keras memendam kekesalan.Di tempatnya berdiri, Arin tersenyum penuh kemenangan. “Persiapkan senjatamu, kau tak ingin jika Saga memenggal semua kepala musuhnya, kan?”Rangjasa ter