Sebuah cangkir perak tergenggam erat di tangan seorang lelaki berpakaian perang lengkap. Riak air dalam cangkir itu terlihat bergerak cepat, tak teratur. Ada sebongkah amarah yang kapan saja siap meledak.
“Bagaimana bisa kedua cecunguk itu kabur?” tukas lelaki itu, galak.
“Sa—saya tidak tahu. Maafkan saya, Tuan.” Sambil berlutut, seorang prajurit yang sudah kepayahan dengan sederet luka di sekujur tubuhnya berkata dengan suara bergetar. Keringat dingin bercucuran. Batinnya jelas tengah dilanda ketakutan.
Lelaki itu mengeram. Kedua matanya membelalak. “Dasar bodoh!”
Bentakan itu tepat menghunjam ke sasaran. Prajurit itu semakin ketakutan. Buliran keringat kali ini meluncur deras, jatuh bebas ke tanah.
“Hanya membunuh kedua pengkhianat saja kalian tak sanggup! Kalian semua sungguh memalukan!” cangkir perak itu akhirnya diremas kuat-kuat. Isinya berhamburan keluar. Dan dalam sekejap, cangkir perak itu penyok, tak lagi berbentuk.
Dua utas tali berwarna merah menyala di atas meja tiba-tiba bergerak cepat. Melesat ke arah seorang prajurit yang masih berlutut ketakutan. Mulut prajurit itu menganga dengan sendirinya. Dan dengan kecepatan yang luar biasa, kedua utas tali itu masuk ke dalam rongga mulut dengan leluasa. Sebuah erangan keras terdengar. Darah segar menyembur keluar.
Hanya dalam hitungan detik, kedua tali itu keluar kembali, bersamaan dengan semburan darah yang mulai terhenti. Tubuh prajurit itu melunglai bagai daun layu. Dan sesaat kemudian, ia tergeletak pasrah, tak lagi bernyawa.
Beberapa lelaki yang menyaksikan kejadian itu tertawa terbahak-bahak. Menikmati pembantaian layaknya sebuah pertunjukan.
Dari arah pintu, seorang prajurit lainnya bergegas masuk ke dalam ruangan semi permanen berbahan dasar bambu. Kedua bola matanya langsung membelalak ketika ia dapati tubuh temannya telah terbujur lesu tak bernyawa. Darah berceceran di mana-mana. Getir, ia pun menandaskan ludahnya.
“Ada berita apa?” lelaki berpakaian perang lengkap itu bertanya.
Prajurit itu tersadar dari lamunan. Cepat-cepat ia memalingkan wajahnya, menghadap ke arah Tuannya. “Agni telah ditemukan, Tuan. Dia telah berhasil dibunuh."
“Bagaimana dengan Yama?”
Prajurit itu tak langsung menjawab. Ada jeda panjang yang kembali memicu amarah.
“Jawab!”
“Ma—maafkan saya, Tuan. Yama masih belum bisa kami temukan, tetapi kami masih terus berusaha untuk mencari. Seluruh prajurit saat ini sedang melakukan pencarian di setiap wilayah desa.”
“Cepat temukan dia! Aku tak mau ada yang tersisa. Jika sampai matahari terbit dan masih tak kudengar kabar kematian Yama, maka kau akan bernasib sama dengan temanmu itu.”
Ancaman itu meneror telak. Tubuh prajurit itu seketika basah kuyup terguyur peluh. Rasa takut yang teramat besar kini melahap satu per satu degup jantungnya. Menciutkan nyalinya.
"Tunggu apa lagi, Bodoh!" hardik lelaki itu.
"Ma—maafkan saya, Tuan. Saya pamit."
∆
Malam semakin gelap di luar sana. Namun tak sedetik pun penglihatannya terlepas dari jendela rumahnya. Tak ada bulan, bintang, atau penghias langit lainnya. Hanya mendung yang terus menghiasi, dan sesekali cahaya kilat menampakkan diri.
Seketika, seorang perempuan yang tengah menunggu kepulangan suaminya terkesiap dengan sesuatu yang mengusik penglihatannya. Dibukanya cepat pintu kayu bermotif ukiran bunga itu.
“Kenapa kau baru pulang? Bukankah kau bilang, kalau di pagi hari kau sudah akan sampai di rumah? Kenapa?” pertanyaan perempuan itu menggantung di udara. Kedua bola matanya membundar lebar. Ada kejanggalan mengerikan yang tak sengaja ia temukan. “Kenapa pakaianmu berlumuran darah?”
Seorang lelaki yang baru saja menapakkan kaki di lantai rumahnya hanya bisa terdiam ketika menerima sepaket pertanyaan. Mulutnya terasa kelu untuk mengucap kata. Ia terlalu enggan untuk bersuara. Nanar, lelaki itu hanya menatap lirih ke arah istrinya. Dibukanya segera kain penutup berwarna biru tua yang menutupi barang bawaannya.
Setelah melonggokkan kepala, sontak sang istri terperanjat ketika mendapati barang bawaan suaminya adalah seorang bayi yang masih berwarna merah muda. Tanpa tersadar, kedua kakinya pun bergerak mundur beberapa langkah ke belakang. “Ba—bayi siapa itu?” tanya sang istri, terbata.
Tak menghiraukan semua pertanyaan yang deras menghujaninya, lelaki itu segera beringsut pergi dari hadapan istrinya. Masuk ke dalam rumah.
“Apa yang sudah terjadi?” tanya sang istri kembali, sembari mengikuti langkah kaki suaminya.
“Semua tidak berjalan dengan semestinya. Kami telah dikhianati. Kami telah diperdaya dan diperalat.”
“Oleh siapa?”
“Empat Jenderal busuk, dan seluruh sekutunya.”
Kali ini sang istri terlonjak kaget, langkah kakinya sekejap terhenti. Baru semalam ia bermimpi menyambut kedatangan suaminya dengan barisan makanan kesukaan dan sepaket hangat topik pembicaraan menyenangkan. Ia akan bertutur tiada henti, membicarakan perkembangan buah hati yang amat mereka cintai. Mimpi itu begitu indah, sampai-sampai ia tak ingin bangun dari tidurnya. Tetapi di hari ini semuanya berbanding terbalik. Ia benar-benar mendapat kejutan yang sama sekali tidak menyenangkan.
“Kita harus bergegas.”
“Ke mana?”
Lelaki itu tampak berpikir keras. “Kembali ke tempat asalku. Cepat, bangunkan anak kita.”
∆
Desa Jamahitpa, dua puluh tahun lalu ….
Kedua mata perempuan itu tak beranjak dari sesosok bayi cantik yang baru beberapa hari dilahirkannya. Ia usap lembut rambut anaknya. Ia cium kening dan pipi malaikat kecilnya. Ada perasaan bahagia yang terpancar jelas di wajahnya.
“Putri kita sangat mirip denganmu,” seorang lelaki yang tengah berdiri di daun pintu berkata. Sudah sedari tadi ia berada dalam posisi yang sama, hanya mengamati. Tak lama ia pun memberanikan diri mendekati anak dan istrinya, yang tengah bergumul mesra dengan hangatnya mentari pagi di teras depan rumah mereka.
Perempuan itu termangu, memilih tak menanggapi perkataan suaminya. Suasana hatinya secepat kilat berubah. Amarah membuncah, dan kekesalan membeludak. Dari sekian banyaknya manusia di muka bumi, kehadiran sesosok lelaki yang kini telah berada di dekatnya adalah hal yang paling tak diinginkannya.
Sadar dengan situasi yang tak berpihak, lelaki itu menghela napas. “Maafkan aku,” ucapnya pelan. Terdengar penuh penyesalan.
Perempuan itu tetap dalam ekspresi yang sama. Terdiam membisu di tempatnya.
Merasa harus bertindak lebih jauh, lelaki itu memilih untuk berlutut di hadapan istrinya. “Aku sadar betul, aku telah berbuat salah kepadamu,” katanya. “Sudah hampir sembilan bulan lebih kau menaruh rasa benci terhadapku. Tak pernah sekalipun bibirmu mengucapkan kata kepadaku. Apa tak ada secelah saja pintu maafmu terbuka untukku?”
Keheningan masih setia menggantung di bibir mungil perempuan itu. Rasa benci memang masih tertanam kuat di hatinya. Entah sampai kapan rasa benci itu menetap, ia masih tak tahu.
Sudah sembilan bulan lamanya lelaki di hadapannya mengurus dirinya dengan kasih sayang yang luar biasa, namun ia tak pernah meminta. Jika bukan karena lelaki itu menghamili paksa dirinya, sudah pasti tak mungkin ia mau tinggal bersama.
“Tolong. Beritahu aku. Beritahu aku bagaimana cara menebus dosaku,” kata lelaki itu, lirih. Kepalanya tertunduk lesu. “Aku tahu kau tak pernah mencintaiku. Bahkan, kau mungkin sangat membenciku. Tapi asalkan kau tahu, aku sangat menyayangimu. Begitu menyayangimu. Aku bahkan siap mati demi—”
Perempuan itu membelalakkan mata, memekik histeris. Semburan darah dari mulut suaminya menodai sebagian wajahnya.
Seorang pria separuh baya yang mendengar langsung suara jeritan itu bergegas mencari sumber suara. Sontak, ia ikut membelalakkan mata. Di ujung penglihatan, ia dapati sebuah anak panah menembus punggung menantunya.
Bersimbah darah, tubuh lelaki malang itu terkulai ke arah depan. Terlihat seolah tengah memeluk istri dan anaknya.
“Siapa yang melakukan ini?” pria itu berseru. Ia lalu beringsut cepat mendekat ke arah tubuh menantunya. Sorot matanya memindai sebuah anak panah yang serasa tak asing di ingatannya. “Ini … anak panah ini ….” tangan pria itu terjulur, meraih secarik kertas yang menempel di anak panah yang telah berlumuran darah. Dibukanya hati-hati kertas itu. “Biadab!” makinya. “Kita harus berlindung segera,” pria itu berseru kalap kepada anak perempuannya.
Tak ada seorang pun tahu bagaimana perasaannya di hari ini. Jiwanya terkekang oleh rasa yang tak sama, yang terus bersemayam di dalam dirinya. Seakan saling tak sejalan, dan saling menikam tanpa belas kasihan. Di dalam kamarnya, sembari memandangi cermin berbentuk persegi panjang besar miliknya—yang terpasang dengan kokoh di dinding kamarnya—Marcapada terus bertanya kepada sisi lain di dalam dirinya. Apakah aku harus mengikuti takdir yang telah digariskan? Atau aku harus mengikuti kata hatiku yang tak sejalan? Pintu kamar yang sedikit terbuka tiba-tiba diketuk dari luar. Suara ketukan itu memecah kesunyian yang sedari tadi menyelimuti. Membuyarkan lamunan. “Apa kau akan berdiam di sana seharian?” tanpa pernah diundang, Rea datang ke kamar anaknya. Mendapati tingkah laku anak sulungnya yang terus menatap cermin dan tak lekas beranjak dari sana. “Sudah saatnya, Marca. Semua orang telah berkump
Sebuah kotak kayu berukuran mungil berwarna cokelat mengkilap, dengan berbagai ukiran menghiasi di setiap sisinya—berisikan potongan-potongan kayu berbentuk segitiga bertuliskan angka—mulai diputar ke seluruh peserta. Satu per satu peserta mendapatkan angka berbeda. Marca menjulurkan tangan, ikut mengambil satu potongan kayu. “Hai, Marca, kau mendapat angka berapa?” salah seorang peserta bertanya. Seorang lelaki bertubuh kurus mengenakan ikat kepala berwarna biru tua, berdiri tepat di samping Marca. Lelaki itu adalah Soma. Di dunia ini, Soma adalah satu-satunya sahabat yang Marca miliki. Dulu di desa, ketika masih berusia tiga belas tahun, Marca dan Soma sering dikenal dengan julukan: Dua Bandit Kecil. Oleh kebanyakan orang, mereka berdua dianggap hama. Sama sekali tak berguna. Tak pernah sekalipun diinginkan. Selalu merusak dan membuat onar. Berulang kali sudah Marca dan Soma terlibat perkelahian se
Tanpa pernah diduga oleh siapa pun, gada besi besar milik Kaskar ternyata meleset dari sasaran. Senjata andalan Kaskar itu telah gagal menjalankan tugasnya. Keajaiban. Keberuntungan ternyata masih berpihak kepada Soma. Belum sempat gada besi besar itu menghantam bagian wajah, Kaskar sudah tersungkur jatuh lebih dulu. Mengerang kesakitan sambil memegangi satu bagian telinga. Soma kebingungan. Segera, ia tebarkan pandangan. Di ujung penglihatan, satu-satunya sahabat yang ia miliki, Marca, telah berdiri tak jauh dari tempatnya berada. Berdiri dengan gagah sambil memegangi katapel kayu. Melihat sesosok manusia yang begitu dikenalinya, selengkung senyum seketika tergambar jelas di wajah Soma. “Kenapa lama sekali?” tanya Soma. Ia tengah berusaha untuk bangkit berdiri. Bukannya lekas-lekas membatu, Marca justru melirik sahabatnya itu d
"Tujuh,” jawab Marca sekenanya. “Aku rasa hari ini akan menjadi hari kemenangan untuk kita,” gumam Soma sembari menebarkan pandangan, melihat beberapa peserta lain di sebelahnya. “Mereka sepertinya bukan lawan yang sulit. Kalau begini, kita pasti bisa menang dengan mudah,” lanjutnya dengan dada membusung. Marca terdiam. Malas meladeni kesombongan Soma. “Tapi tunggu,” perhatian Soma beralih ke arah Marca. “Perlu kau ingat, Marcapada yang terlalu hobi menyendiri. Di pertandingan ini, hanya akan ada satu pemenang,” bisiknya tepat di bagian telinga. Ia menghidu. Mencium aroma semerbak yang memanjakan. “Kenapa rambutmu bisa wangi sekali?” gumam Soma dengan mata terpejam. Penuh penghayatan . Merasa risi, Marca spontan mendorong tubuh Soma. “Di pertarungan ini, jika kau melakukan hal bodoh ini lagi, kau akan menjadi orang pertama yang akan tereliminasi,” sergah Marca, ketus. &
Seberantak potongan kayu berbentuk segitiga di dalam kuali berukuran besar terhampar di depan seorang pria tua. Mengenakan jubah hitam dengan bagian punggung tertoreh simbol lingkaran berwarna emas, dan delapan segitiga dengan warna serupa—yang mengitari lingkaran tersebut hingga menyerupai simbol matahari—pria tua itu secara perlahan mencoba mengambil satu potongan kayu. Janggut putih panjangnya seolah membelai halus kuali tanah liat yang memiliki retakan di beberapa sudut. Tremor di bagian tangannya seakan tak pernah berdamai dengan suasana hatinya. Meski sebuah potongan kayu sempat terjatuh di percobaan pertama, namun sesudahnya, semua berjalan sesuai rencana. Satu potongan kayu berbentuk segitiga berhasil ia genggam dengan sempurna. Dari tengah-tengah arena, Luca secepat kilat beringsut ke arah pria tua yang telah menggenggam satu potongan kayu bertuliskan angka. Tanpa ada kata “Permisi”,
Dengan nasib yang hampir serupa, kedua peserta berikutnya telah tumbang dengan mudah di tangan Wirotama. Dengan begitu, secara otomatis, Wirotama adalah peserta pertama yang memastikan diri mendapatkan gelar sebagai seorang Penjaga. Sambil berjalan keluar dari arena, Wirotama terus memandang sayu ke kedua telapak tangannya. Ada perasaan bersalah yang terus menggelayuti hati nuraninya. “Dia terlihat tangguh,” bisik Soma sembari melihat Wirotama yang kini telah duduk manis di atas kursi di sudut berbeda. Marca masih tercenung di tempatnya. Walau sedari tadi kedua bola matanya terus fokus mengamati pertarungan di tengah arena, tetapi pikirannya melayang entah ke mana. Berkelana tak tentu arah. Merasa gumamannya tak ditanggapi, Soma mengerling sinis ke arah Marca. “Walaupun kau tak pernah suka dengan semua pertarungan ini, sadarlah, jelas-jelas kau tak akan bisa berbuat apa-apa. Kau benar-benar harus sadar, Marca, bagaimanapun, saat ini kau tetap menjadi
Setengah berlari, Soma menuju ke tengah-tengah arena. Senyum semangat terlihat tak lepas dari wajahnya. “Dan lawan untuk peserta bernomor dua puluh tiga adalah peserta nomor … dua puluh delapan ….” sambung Luca. Sama seperti Soma, peserta bernomor dua puluh delapan dengan lincah bergegas ke tengah-tengah arena. Rambut jambulnya bergoyang-goyang lembut tertiup angin. Tubuhnya yang kurus sama sekali tak serasi dengan potongan rambutnya yang bervolume. Akan tetapi, otot-otot hasil latihan yang terlihat, menegaskan bahwa ia jelas bukanlah lawan yang mudah untuk dikalahkan. Seperti meletakkan cermin di tengah-tengah, jika diamati lebih teliti, keduanya seperti tak memiliki beda. Selain penampilan, kedua lelaki itu sama-sama memiliki semangat dan kepercayaan diri yang tinggi. “Hai, Kawan. Sebaiknya kau segera melambaikan tangan. Aku tak tega jika harus melihatmu terluka,” ser
Semburat jingga mulai tampak mengintip dari balik tembok batu. Terik mentari yang menyengat berangsur memudar. Dari arah selatan, tiupan angin berdesir pelan. Tenang, membawa kesejukan. Akan tetapi, suasana sejuk yang terasa di sore ini berubah menegangkan tatkala kompetisi pertarungan untuk menjadi seorang Penjaga masih terus dilangsungkan. Riuh pekik di sekitar arena semakin semarak. Di tengah-tengah lingkaran, dua orang pemuda kembali dipertemukan untuk saling mengalahkan. Tetesan peluh yang mulai bercampur dengan bulir darah tak henti-hentinya terjun bebas ke tanah. Napas seorang peserta yang masih bertahan di pertarungan keduanya sudah tak teratur sejak lonceng di pinggir arena kembali berbunyi. Kali ini Soma benar-benar dibuat kewalahan oleh lawannya. Peserta bernomor delapan itu dapat mengimbangi pergerakan Soma dengan ketenangan yang luar biasa. Bahkan, bisa dikatakan, bahwa kekuatan Soma saat ini sudah berada jauh di bawah lawannya. Orang
Ada rasa tak percaya yang membayanginya sejak kali pertama ia melangkah masuk melewati pintu gerbang. Tak sedetik pun Marca terbayang akan berada di dalam Istana. Semua ini jelas bukanlah impiannya. Akan tetapi, menampakkan kaki di antah berantah yang disebut banyak orang sebagai tempat paling mewah, membuatnya serasa memeluk impiannya sendiri. Soma, kau lihat ini, aku berhasil sampai di Istana. Seutas senyum samar bersarang malu-malu di wajah Marca. Ia melihat persis segala hal yang dulu pernah dikatakan oleh Soma. Di tempat itu, segala hal memang tampak terbuat dari emas. Di area lapang beralaskan ribuan batu yang tak beraturan namun disusun sedemikian rupa sehingga nyaman untuk dipijak, Marca membaur bersama segerombolan lelaki berwajah lelah lainnya. Setelah sekilas menyapukan pandangan, Marca pun menyadari, bahwa dirinya, dan semua lelaki yang baru tiba di Istana, tengah ditontoni oleh ratusan manusia yang tersebar di segala penjuru. Wajah-wajah itu ter
Buda menelengkan kepala ke arah belakang. Pandangannya sesaat mengamati sekitar.“Apa mereka masih mengejar kita?” tanya Marca. Perhatiannya ikut teralih.“Kurasa tidak. Tetapi kita tak boleh berhenti. Kita harus terus lari. Matahari sudah hampir tenggelam.”∆“Kenapa kalian kembali?” kedua mata Wakaru membundar lebar ketika melihat Muriel dan Mormo berjalan ke arah berlawanan. “Apa semua orang sudah kalian bunuh?”“Tinggal tersisa lima,” jawab Mormo.“Dua,” sela Muriel.“Iya. Dua maksudku. Dua orang.”“Lalu kenapa tak kalian habisi mereka sekalian?”“Kami tak mau Ayah marah. Tadi kami sudah terlalu dekat ke pintu gerbang.”“Paman tidak akan marah.”“Siapa yang bilang?” potong Mormo. “Jelas-jelas Ayah sudah melarang kami untuk tidak mendekati pintu Gerbang I
Napas Darangga kian memburu tatkala ia kembali harus mengelak dari sebuah sabetan pedang yang menyasar tepat ke bagian leher. Sebelum lawan di hadapannya kembali melancarkan serangan, ia memanfaatkan celah waktu sempit itu untuk menghirup napas dalam-dalam. Ia harus terus bertahan, walau tak tahu akan sampai kapan. Saat ini situasi jelas tak berpihak kepada dirinya. Satu-satunya senjata yang Darangga bawa dari desa Sikmatu sudah tak mungkin dipergunakan karena bilah pedangnya telah patah menjadi dua. Kini, yang bisa ia lakukan hannyalah terus menghindar dari serangan bertubi yang dilancarkan oleh seorang lelaki berkulit hitam di depannya. Sembari menarik napas panjang, pandangan Darangga sekilas beredar. Dari ujung penglihatannya, area di sekitar tempatnya berdiri tampak begitu sunyi. Sepi. Tak terlihat sedikit pun tanda-tanda akan datangnya pertolongan. Belum genap ia mengambil napas, sebuah serangan kembali menghampiri. Kaweni tak henti-hentinya terkikik ge
Darangga mesti memosisikan diri untuk berjalan merangkak jika tak ingin berpapasan dengan salah seorang Penjaga desa Dansu. Sekumpulan ilalang setinggi lutut sudah cukup menyamarkan tubuhnya agar dapat menyaru dengan alam sekitar.Beberapa kali suara riuh menghampiri pendengaran, tetapi Darangga sama sekali tak mengidahkan. Untuk mengisi kembali tenaga, Darangga pun menghentikan sejenak pergerakannya. Sekilas, kepalanya mendongak. Di atas langit sana, matahari sudah mulai turun ke arah barat. Hari beranjak gelap.Waktuku hampir habis, batin Darangga. Aku harus bergegas. Ia kembali melanjutkan pergerakan. Sekumpulan kerikil kecil yang menyebar hampir di setiap bagian sabana membuatnya meringis tatkala tubuhnya mesti tergores berulang kali oleh bebatuan mungil yang runcingnya bukan main.Akan tetapi, mendadak pergerakan Darangga kembali terhenti. Ekor matanya langsung mendarat ke sepasang kaki yang jaraknya kin
Menjadi seorang Muka Panto bukan berarti tak memiliki konsekuensi. Sedari kecil, hampir setiap kali terjadi gerhana bulan, ia akan selalu diasingkan jauh ke dalam hutan. Seorang diri. Menyepi.Di dalam ruangan sempit berbentuk kerucut dengan alas segi lima, kedua kaki dan tangannya akan selalu diikat kuat-kuat. Kepalanya akan selalu terbungkus rapat oleh kain hitam. Di dalam sana, ia akan mengerang kesakitan. Menjerit, lalu kemudian menangis histeris.Hawa panas yang teramat akan menjalar ke sekujur tubuhnya. Mengeluarkan seluruh peluh dari setiap sel-sel kulitnya. Berbarengan dengan itu, seluruh bagian tubuhnya akan terasa seperti tercabik-cabik. Dingin yang begitu dingin selalu datang sesudahnya. Dalam sekejap, tubuh kurusnya akan terasa beku bagai batu. Diselimuti rasa sakit yang tak mungkin terjabarkan, kesadarannya pun akan setia menghilang hingga pagi datang.Akan tetapi, semua penderitaan yang kerap ia rasakan, katanya belum seberapa jika dibandingkan den
Hanso dan Ringga tampak terkejut ketika melihat dua orang yang tak mereka kenal berlari terbirit-birit. Melintas cepat di hadapan mereka. Tak lama kemudian, kini giliran dua orang yang mereka kenal, Arin dan Saga, juga terlihat tengah berlari mengejar dua orang sebelumnya.“Kalian urus tiga orang di belakang, kami akan mengejar mereka,” seru Arin kepada Hanso dan Ringga. Ia memberikan perintah tanpa menolehkan kepala.Sesaat setelah saling tatap, Hanso dan Ringga akhirnya mengerti dengan maksud dari perintah Arin. Tiga orang lelaki lainnya mendekat. Tak dikenal. Terlihat asing.Hanso lekas-lekas membentangkan kedua tangan. “Tunggu,” sergahnya.Mendadak, pergerakan Wrahaspati, Tumpak, dan Sukra kembali terhenti. Di tempatnya berdiri, Wrahaspati menelan ludah. Di hadapannya, kini telah berdiri dua orang lelaki berkulit hitam legam yang masing-masing terlihat membawa satu kepala manusia.“Siapa kalian?” tanya Ringga
Bodoh! Kenapa mereka bisa sebegitu nekatnya. Satu tangan Sukra meremas kuat-kuat daun kering yang tanpa sadar ia pungut. Sambil terus mengawasi pertarungan Marca dan Buda—melawan tiga orang yang diduga sebagai para Penjaga desa Dansu—kekesalannya kian membeludak seiring dengan detik yang terus berlalu.Dalam lamunan, Sukra teringat akan pesan kakeknya dulu, “Kau harus menjaga anak itu, Sukra. Apa pun taruhannya.”“Tapi itu tak adil, Kek,” protes Sukra. “Derajatku ini lebih tinggi. Tidak sepantasnya aku menjaga manusia yang derajatnya berada di bawahku.”“Ini bukan lagi soal derajat. Ini tentang misi penting yang harus kita jalankan. Misi ini sama sekali tidak boleh gagal. Kau harus ingat itu,” cetus kakeknya.Sambil termenung dengan kepala tertunduk dan mulut manyun, Sukra mengurut pelipisnya. Entah bagaimana bisa, namun mendadak kepalanya terasa begitu pusing.“Lag
Mengikuti pergerakan Darangga, Marca kembali mengintip dari balik batang pohon. Dari ekor matanya, walau hanya terlihat menghadapi satu orang lelaki berkulit hitam legam, sekelompok orang berpakaian serba hitam tampak kewalahan. Di sana, situasi mereka bagai sedang berada di ujung tanduk.“Kita harus menolong mereka,” gumam Marca, pandangannya terpaku ke arah pertarungan di depan.Sontak, perhatian semua orang tertuju ke arah yang sama. Marcapada tengah diamati lekat-lekat. Wajah-wajah itu tampak tak sependapat.“Untuk apa?” sahut Darangga. “Tujuan kita pergi ke Istana, bukan membantu mereka.”Marca mengedarkan pandangan. Mencari dukungan lain. Dalam sekelebat, tak ia jumpai satu pun orang yang memiliki pemikiran serupa, kecuali Buda. Meski samar, Buda terlihat menganggukkan kepala.∆Bertopang pada bilah pedang yang telah menancap kuat-kuat di tanah, Kausiki terus berusaha agar tubuhnya tak
Langkahnya mendadak gontai setelah sabetan pedang menyayat tepat di bagian pundak, sekepalan tangan lagi menuju leher. Darah bercucuran. Napasnya kian tersengal. Di ujung penglihatan yang mulai berbayang, Wipasa hanya dapat menyaksikan teman-temannya, masih terus berjuang melawan satu orang Penjaga desa Dansu.“Apa kubilang, Saga sudah pasti tak akan mau berlama-lama membiarkan mereka hidup,” kata Arin, tenang. Kedua tangannya masih terlipat di depan dada.“Itu tidak bisa dihitung sebagai serangan balik,” balas Rangjasa.“Bagaimana bisa tidak dihitung? Jelas-jelas tadi itu Saga melakukan serangan.”Terbungkam. Rangjasa tak lagi memiliki alibi kuat untuk membantah segala ucapan. Rahangnya mengencang. Ia tengah berusaha keras memendam kekesalan.Di tempatnya berdiri, Arin tersenyum penuh kemenangan. “Persiapkan senjatamu, kau tak ingin jika Saga memenggal semua kepala musuhnya, kan?”Rangjasa ter