“Ma, aku mau pamitan sama Om dulu,” seru Artemis langsung menghambur menuju pintu. Miss Harisson yang baru masuk hampir saja diseruduk oleh Artemis.
“Hati-hati, Sayang, kau bisa menjatuhkan seekor banteng dengan kecepatanmu itu.”
“Maafkan aku, Miss Harisson.” Gadis itu menghilang secepat kilat.
“Dia sangat bersemangat. Kecepatan penyembuhan anak-anak memang mengagumkan.” Miss Harisson mendatangi Nadhima yang sedang berkemas, bersiap-siap untuk pulang. “Mau pergi ke mana dia bersemangat sekali begitu?”
“Dia mau ke kamar sebelas, Miss Harisson. Mereka jadi akrab sejak tadi pagi.” Anak-anak memang sangat mudah akrab. Ditambah lagi kalau orang tersebut adalah penyelamatnya yang ramah dan menyenangkan.
Miss Harisson menatap penuh rasa ingin tahu. “Apa dia seperti yang kupikirkan?”
“Seperti yang kau pikirkan apa?” Nadhima masih sibuk memilah-milih pakai
Sejak kembali dari rumah sakit Artemis terus bertanya kapan mereka akan menjenguk Diras. Semalam Nadhima bisa beralasan jangan menggangu orang yang sedang beristirahat. Namun hari ini ia tak bisa. Apalagi mengingat percakapan antara Artemis dan Diras semalam.“Jadi Om mau pulang besok? Yah... cepat banget sih?” Wajah Artemis menekuk lucu. Bibirnya mencebik.Terdengar suara tawa dari panggilan yang di-loudspeaker. Nadhima sengaja menyuruh begitu. Agar ia bisa memantau isi percakapan anaknya dan pria itu. Pria yang telah membuatnya tak bisa tidur akhir-akhir ini.“Kamu kok gak senang Om sudah sembuh? Malah berharap Om di rumah sakit terus.”“Bukan gitu, Om. Aku senang banget Om udah sembuh. Tapi nanti aku gak bisa ketemu Om lagi dong. Aku kan pengin main bareng Om lagi.” Suara Artemis terdengar agak manja. Dan sukses membuat Apollo jijik mendengarnya.“Gak tahu malu. Jangan manja-manja sama orang asi
“Hati-hati kalau jalan,” peringat seorang bocah laki-laki yang menabrak Apollo.“Kau yang sengaja menabrakku. Berhati-hatilah kalau bertindak.” Apollo lewat begitu saja.Bocah laki-laki tadi menghentikan Apollo. “Sengaja? Ini baru namanya sengaja.” Didorongnya Apollo sampai terjatuh. Mereka bertiga tertawa.“Ayo, adukan kami ke ayahmu!” ucap bocah kurus dengan gigi depan yang baru tanggal.Anak lain yang berambut keriting menambahi, “Kau tak punya ayah, hm?”“Kasihan. Bagaimana bisa seorang anak tak punya ayah?” Anak yang mendorong Apollo tadi mengajak teman-temannya pergi.Apollo menatap mereka satu per satu. Entah siapa lagi mereka. Banyak sekali orang yang ingin mencari gara-gara dengannya. Hanya karena dia adalah si genius yang tidak punya ayah. Rasa iri anak-anak lain disalurkan dengan mengejek kekurangan yang dimiliki Apollo.“Kau tidak apa-apa?”
“Aku gak peduli!” Vanilla menyapu semua barang-barang di meja riasnya, membuatnya jatuh berhamburan ke lantai. “Masa gitu aja gak bisa sih?” “Diras gak mau, jadi kita bisa apa,” jelas Valentino pada adiknya. “Ya, Kakak bujuk dong. Dia kan teman Kakak. Papa juga gampang banget nyerahnya. Jangan-jangan Papa ngomong sesuatu yang buat Kak Diras marah, makanya dia nolak.” Vanilla memegangi tangan kakak laki-lakinya. “Ayo dong, Kak, bilang sama Kak Diras lagi. Dia pasti mau. Aku udah sabar banget nunggu dia selama ini. Aku gak bisa nunggu lagi. Dan—“ Kata-kata Vanilla terhenti. “Ini gak mungkin karena pelacur itu. Mereka gak ada hubungan apa pun kan? Kakak udah cari tahu kan?” Valentino sudah menyelediki tentang Nadhima. Sejauh ini yang dia dapat hanya ibunyalah yang membuat wanita itu bisa berada di Singapura. Mengenai ayah dari kedua anak Nadhima, Valentino belum mendapat hal apa pun. Dan yang pasti, Nadhima tak dekat dengan seorang pria pun selama tujuh tahun in
“Mama ada yang mau membeli lukisanku,” jerit Artemis begitu masuk. Gadis itu menubruk tubuh Nadhima lalu memeluknya erat.“Lukisan dari pameran itu?”“Iya.” Artemis melepas pelukannya, lalu duduk di kursi meja makan. “Mrs. Leong bilang orang itu sudah tertarik sejak pertama kali melihatnya. Tapi karena aku tak ikut lagi, dia berpikir lukisannya sudah terjual.” Ia tersenyum senang. “Kukira tak ada yang ingat.”Bukankah orang yang tertarik dengan lukisan Artemis adalah Diras?“Siapa yang mau membelinya? Apa Om Diras?” tanya Nadhima.“Bukan. Pembelinya ingin dirahasiakan. Dia hanya menyuruh orang suruhannya datang. Besok aku akan menemui Mrs. Leong untuk proses transaksi. Mama juga ikut kan?”“Tentu saja. Tapi kenapa Mrs. Leong tak memberi tahu apa pun pada Mama?”“Nanti katanya Mrs. Leong akan menelepon Mama.” Wajah Artemis beruba
“Hei, kiddo, kamu gak apa-apa?” “Jangan panggil aku kayak gitu,” Apollo kembali menjerit. “Oke.” Bocah itu sedang marah, Diras tak ingin mengganggunya. “Kenapa Om terus ngikutin saya?” tanya Apollo setelah beberapa menit. “Om kan ke sini buat nemuin kamu. Makanya Om ngikutin kamu.” Apollo masih cemberut sambil memandangi Diras. “Om ke sini buat tanding sama aku kan? Ayo kita lakuin.” Ia ingin semuanya lekas selesai. “Benar, tapi sebelum itu kamu ikut Om ke suatu tempat dulu.” “Ke mana?” tanya bocah itu curiga. “Kamu ikut saja.” “Aku gak mau.” Diras merasa geli. “Gak akan aneh-aneh. Kamu juga gak akan nyesal ikut Om.” “Percaya diri banget. Aku gak yakin bakal suka tuh.” Apollo menyombongkan diri. “Kalau gitu kamu harus ikut dulu, baru tahu suka atau enggak kan.” Apollo sadar dirinya sudah kalah. Kalau masih tetap menolak, dia akan tampak payah. “Kamu bisa pasang sabuknya?”
Setelah minuman datang dan diam beberapa waktu, Valentino mulai buka suara."Saya tahu tentang malam itu.""Malam apa?" tanya Nadhima dengan suara tenang. Namun tidak begitu di dalam."Soal liburan kamu ke Landon tujuh tahun yang lalu."Jantung Nadhima semakin bertalu-talu. Ia belum tahu arah pembicaraan Valentino, tapi firasatnya buruk mengenai hal ini."Diras gak ada cerita apa-apa, jadi saya gak tahu sekarang apa yang bakal kalian lakukan." Pria itu memijat pelipisnya frustrasi. Awalnya ia memang tak mendapat informasi apa pun tentang hubungan Diras dan Nadhima, baru beberapa hari yang lalu ia mendapat laporan Nadhima sempat liburan ke Landon di waktu yang bersamaan dengan Diras. Diras jelas menginap di hotel Kiram. Namun tak ada yang tahu Nadhima berada di mana malam itu. Baru saat Kiram mabuk dan membeberkan tentang gadis asing yang menghabiskan malam dengan Diras tujuh tahun lalu, ia
Nadhima tak bisa lebih kaget lagi saat melihat Diras berada di rumah Miss Harisson dengan putranya. Jujur saja ia belum sempat mempersiapkan diri bertemu dengan pria itu. Alhasil saat mereka berpandangan Nadhima lekas membuang muka."Apa kalian sudah makan makan?" tanya Miss Harisson dengan sorot ramah seperti biasanya."Belum." Karena ajakan Valentino Nadhima bahkan belum makan sejak pagi. Hanya anak-anaknya saja yang ia pastikan sarapan dan makan siang."Bagus. Kalau begitu kita bisa makan malam bersama. Mr. Diras maukah Anda bergabung bersama kami?"Diras yang pipinya sedang di-unyel-unyel oleh Artemis mengangguk. "Tentu saja, Miss. Sebuah kehormatan bagi saya menerima undangan Anda."Makan malam berlangsung tenang. Obrolan-obrolan singkat dan ringan terjalin dengan baik. Tak ada yang menanyakan alasan kenapa pria itu kembali lagi kemari. Nadhima pun sempat berbincang sedikit d
"Saya minta maaf." Kepala Nadhima mendongak. Melihat pada sesosok laki-laki yang kini terlihat pilu. "Kenapa kamu minta maaf?" "Karena baru berhasil menemukan kamu sekarang." Jantung Nadhima bertalu cepat. Jadi benar Diras mencarinya selama tujuh tahun ini. Kata-kata maaf Diras malah membuat perasaan Nadhima makin kacau. Jika Diras bersikap acuh tak acuh atau malahan sombong, sekarang dia pasti bisa menyalahkan pria ini dan dapat dengan tegas menyuruhnya untuk tak mengganggu keluarganya lagi. "Apa kamu marah sama saya?" Diras memejamkan mata lalu memijat pelipisnya. "Kamu pasti kaget banget. Kalau belum siap cerita sekarang--" "Enggak. Saya siap kok." Jika harus menunggu Nadhima tak akan tenang. Selama apa pun menunggu dia tak akan pernah siap. Lebih baik masalah ini diselesaikan sesegera mungkin. "Saya cuma bingung harus gimana. Kamu... Sebenarnya
"Parah banget ya lo. Apa gue ini masih teman lo." Ucapan penuh drama itu keluar dari mulut Kiram yang baru saja menerobos masuk kantor Diras. "Bisa-bisanya lo nikah di Indonesia sampe bulan madu di sana tapi gue gak tahu apa-apa. Nikah loh, Ras, nikah. Lo nikah dan gue jangankan diundang, dikasi tau juga kagak." Wajah Kiram berubah semakin patah hati. "Lo manusia terparah. Kayaknya gue bukan benar-benar teman lo." Setelah berkata begitu pria itu berbalik dan bersiap meninggalkan Diras."Gue kan udah ngasi tahu elo," ucap Diras santai dari kursi kerjanya. Kiram berbalik lagi."Kapan lo ngasi tau gue, ha? Gak mungkin gue gak ingat kalo elo ngasi tahu gue informasi sepenting ini.""Lo gak ingat malam itu?"Kiram berusaha mengingat-ngingat sesuatu. Tapi malam yang paling ia ingat adalah malam-malam dia dengan gadis-gadis cantiknya. Dia tak ingat satu pun malam dengan Diras."Gak usah ngarang deh lo. Sementang udah kepojok. Malam apa emangnya?""
Seharian ini sangat menyenangkan. Setelah melihat matahari terbit mereka pergi mencari sarapan, kemudian naik kapal untuk melihat lautan biru dan pulau-pulau di sekeliling. Waktu memang terasa begitu cepat berlalu saat kau merasa bahagia. Tiba-tiba hari sudah menjelang malam dan waktu untuk beristirahat pun tiba. Sama seperti hari sebelumnya Apollo dan Artemis pun susah sekali untuk diajak mengakhiri hari ini. Apa lagi saat tahu besok mereka tak akan ada di sini lagi. Setelah melakukan banyak bujukan sepasang anak kembar itu akhirnya tertidur di kamar mereka. Membuat Nadhima dan Diras bisa kembali ke kamar mereka sendiri juga.Begitu keduanya selesai mandi, Diras mengajak Nadhima duduk berdua di atas kasur.“Ada hal penting yang mau aku bicarain sama kamu,” mulai Diras. Membuat Nadhima diliputi rasa cemas yang aneh.“Apa itu?” sahutnya.“Kayaknya berita pernikahan kita udah tersebar di kalangan atas.”Sontak deba
Seperti janjinya kemarin Diras mengajak Nadhima dan anak-anaknya ke pantai untuk menyaksikan matahari terbit. Awalnya Apollo dan Artemis agak susah disuruh bangun. Namun begitu mendengar kata "sunrise" dan "pantai" mereka lekas bangun dan bersiap-siap."Papa-papa apa aku juga boleh punya kamera kayak Om itu?"Mereka berempat duduk di pinggir pantai. Tak jauh dari tempat mereka berada seorang pria sedang sibuk memasang kamera pada tripod-nya."Memangnya Artemis bisa pakai kamera?" tanya Diras.Wajah gadis itu berubah cemberut. Bibirnya mencebik menggemaskan. "Enggak bisa sih."Diras tersenyum. "Kalau Artemis mau nanti Papa belikan.""Benar?""Iya.""Tapi aku gak bisa pakainya." Gadis itu memasang tampang takut dan cemas."Kan Artemis bisa belajar. Nanti Papa yang ajari."Semangat gadis mungil itu yang sempat sirna kembali lagi. "Papa bisa pakai kamera?""Bisa dong. Nanti Papa ajarin semuanya.""Apa Papa udah punya kamera di rumah?""Punya. Tapi Papa bakal belikan kamera sendiri buat Ar
"Miss kami akan pergi ke Pulau Seribu!" teriak Artemis pada sebuah tablet yang dipegangnya. Miss Harisson yang berada dalam sambungan video call dengan mereka tertawa. "Oh, itu bagus sekali Sayang. Kau harus mengirimiku foto-foto liburan kalian nanti." Artemis tersenyum sangat lebar. "Tentu saja aku akan mengirimnya padamu. Sayang sekali kau tidak mau ikut dengan kami." Seperti kata Artemis hari ini mereka berempat pergi ke Pulau Seribu. Diras memutuskan untuk menyetir mobil seorang diri dengan alasan ini adalah liburan keluarga. Nadhima yang duduk di kursi penumpang depan melirik putrinya yang bersemangat di kursi belakang. "Wanita tua sepertiku tidak cocok berjalan-jalan jauh. Tulang-tulangku tak sekuat dulu lagi." Apollo yang duduk di samping Artemis di kursi belakang mendengus. "Semua orang tahu tulang-tulangmu masih sangat kuat, Miss. Kau selalu menggunakan alasan yang jelas diketahui semua orang bahwa itu adalah kebohongan." Miss Harisson tertawa. "Apollo tak seharusnya k
Nadhima tidak begitu yakin dengan semua yang telah terjadi beberapa hari ini. Semuanya terasa sangat tidak nyata. Tapi keributan yang dibuat oleh Miss Harisson menyadarkannya kalau semuanya memang terjadi."Sempurna. Kau harus memilih yang satu ini. Kurasa ini yang terbaik dari semua gaun sebelumnya." Dia tersenyum sangat lebar melihatku yang mengenakan sebuah gaun pengantin putih sederhana."Aku benar-benar tak membutuhkan ini, Miss. Kami hanya menikah di kantor urusan agama. Tak akan ada pesta. Tak akan ada tamu. Aku tak perlu mengenakan gaun seperti ini."Wanita tua itu melambaikan tangannya. "Omong kosong. Tentu saja kau membutuhkan gaun pengantin di acara pernikahanmu. Tak peduli kau menikah di mana, kau tetap membutuhkan pakaian yang layak. Kau hanya menikah sekali. Apa salahnya mempersiapkan sesuatu yang cantik untuk kau kenakan."Nadhima tahu jika perempuan biasanya menginginkan sesuatu yang spesial untuk hari pernikahannya, termasuk gaun. Mereka akan mempersiapkan segalanya d
"Ah... Om!" Artemis berlari dan langsung menubruk tubuh Diras. Mereka berdua tertawa. Kemudian Diras menggendong Artemis. "Kalian udah makan?""Belum. Miss Harisson baru saja mau mengajak kami makan di luar.""Bagus. Om bawa makanan kesukaan Artemis.""Yey.""Dia bersemangat sekali. Ayo, masukklah," ucap Miss Harisson yang tadi membukakan pintu."Di mana Apollo?" tanya Nadhima."Sedang pergi ke kamarnya.""Mama sudah pulang?" Apollo baru saja muncul. "Oh, ada Om? Ada apa lagi ini?""Kami bawakan kalian roti. Kita akan makan bersama." Nadhima melirik Diras sambil tersenyum kaku.Selepas itu mereka makan bersama. Semua orang hanya berbicara seadanya. Cuma Artemis yang berceloteh ceria tentang ini dan itu.Saat berkumpul di ruang duduk, Miss Harisson duduk dengan Artemis dan Apollo. Sementara itu Nadhima dan
Nadhima dan Diras kembali bertemu di kafe hari itu.“Maaf saya merepotkan. Kamu pasti susah harus bolak-balik Jakarta-Singapura.”“Gak masalah. Ini kan urusan penting. Lagi pula kantor cabang kami ada di sini. Aku bisa ngurus semuanya dari sini.”“Aku?” cicit Nadhima.Air muka Diras tampak tak mengerti. “Kamu kenapa?”“Bukan. Bukan apa-apa,” jawab Nadhima cepat-cepat. Ini bukan saat yang tepat untuk mempermasalahkan cara menyebut diri sendiri di antara mereka berdua.“Jadi apa keputusan kamu? Maaf, kalau terkesan buru-buru. Jujur aku penasaran banget sama jawaban kamu selama beberapa hari ini.”Serangan gugup dialami Nadhima saat sadar cara bicara Diras benar-benar berubah lebih santai. Bukan hanya salah sebut semata.“Aku—“ Nadhima memejamkan mata. Merasa konyol sebab dirinya ikut-ikutan bicara lebih santai. Saat tawa geli
“Jadi apa yang dia katakan padamu?” tanya Miss Harisson begitu Nadhima kembali.“Seperti yang sudah kau tahu, Miss.”Wanita tua itu duduk di kursi, yang kemudian juga diikuti oleh Nadhima. “Maafkan aku. Aku tak bisa mendadak memberitahumu yang sebenarnya. Itu urusan kalian. Jadi pria itu juga tahu?”“Dia diam-diam mencari tahu tentang kami. Dan mendapat informasi Apollo melakukan tes DNA.”“Oh, Sayang. Aku benar-benar minta maaf. Entah apa yang ada di pikiran wanita tua ini sampai membantu anak itu melakukan hal ini.”“Tak perlu merasa bersalah, Miss. Jika kau tak mau, Apollo punya seribu satu cara untuk mencapai tujuannya. Jika tak ada kejadian ini, kebenaran pun tak akan terungkap. Tapi bukan berarti aku senang mendengar anakku yang mencari tahu sendiri.”“Jadi apa yang akan kalian lakukan selanjutnya?”“Dia... menawarkan pernikahan.”
"Saya minta maaf." Kepala Nadhima mendongak. Melihat pada sesosok laki-laki yang kini terlihat pilu. "Kenapa kamu minta maaf?" "Karena baru berhasil menemukan kamu sekarang." Jantung Nadhima bertalu cepat. Jadi benar Diras mencarinya selama tujuh tahun ini. Kata-kata maaf Diras malah membuat perasaan Nadhima makin kacau. Jika Diras bersikap acuh tak acuh atau malahan sombong, sekarang dia pasti bisa menyalahkan pria ini dan dapat dengan tegas menyuruhnya untuk tak mengganggu keluarganya lagi. "Apa kamu marah sama saya?" Diras memejamkan mata lalu memijat pelipisnya. "Kamu pasti kaget banget. Kalau belum siap cerita sekarang--" "Enggak. Saya siap kok." Jika harus menunggu Nadhima tak akan tenang. Selama apa pun menunggu dia tak akan pernah siap. Lebih baik masalah ini diselesaikan sesegera mungkin. "Saya cuma bingung harus gimana. Kamu... Sebenarnya