Seorang gadis bertubuh tinggi, menatap dirinya di depan kaca besar. Helaan napas yang berat terdengar menyedihkan setiap kali bertemu dengan pantulan wajahnya di kaca. Tangannya bertumpu pada wastafel setelah membasuh wajah berkali-kali untuk menjernihkan pikirannya yang kalut. Gadis itu menunduk, dan membasuh lagi, sudah tidak terhitung berapa kali dia melakukan hal yang sama. Park Hye Jin, perempuan dengan warna kulit medium—pertengahan antara cokelat, warna kulit terang dan zaitun—itu berdiri di toilet sejak 15 menit yang lalu. Kedua matanya tak berpaling dari pantulan dirinya sendiri di depan kaca, di waktu yang sama otaknya pun masih bekerja keras. Berkali-kali ponselnya berdering keras, tetapi ia tak menghiraukannya. Aroma pengharum lantai terasa menyejukkan, toilet yang bersih dan nyaman. Namun, bukan hal tersebut yang membuat perempuan berdarah Korea Selatan-Indonesia itu berlama-lama di sana. Ia sedang menghindari seseorang yang sedari tadi menunggu dan meny
Hye Jin melempar ranselnya dengan santai ke atas meja, membuat beberapa benda di atas meja itu berjatuhan. Ia membanting tubuhnya di kursi tanpa menghiraukan beberapa lembar kertas hingga pulpen yang berserakan di lantai.Walau tubuhnya terasa lelah, pikiran gadis itu tetap tertuju pada pekerjaan yang menumpuk di depan mata.Setelah menempelkan dua lembar koyo di pinggangnya, Hye Jin kembali menghadapi realita kehidupan di hadapannya. Realita bahwa semua pekerjaan di hadapannya tidak bisa selesai begitu saja, jika ia hanya duduk termenung meratapi nasib. Layar laptop dengan cahaya yang menyorot langsung ke retina, memaksanya untuk menuliskan beberapa kata di lembar Microsoft Word yang masih kosong. Namun, konsentrasinya sudah terkuras habis tanpa sisa, karena insiden hari ini.“Park Hye Jin-Ssi[1]!” panggil seorang wanita dari jarak yang tidak terlalu jauh. Posisinya sekarang hanya terpisahkan oleh dua meja dari tempat Hye
Hye Jin menyangga dagunya sembari meratapi layar laptop dengan wallpaper gif hujan salju yang diberi efek slow motion turun dari langit. Dinginnya salju dan ketenangan yang ia rasakan, membangunkan harapannya untuk dapat melihat salju yang sebenarnya. Musim dingin telah tiba, tetapi salju pertama belum juga datang. Matanya berpindah ke dinding kaca di ruangannya, menunggu salju menghampiri menawarkan ketenangan.“Seonbae!” Dong Joon meletakkan secangkir kopi hangat di hadapan Hye Jin. Ia berdiri tegak, sambil menundukkan kepalanya. “Kau belum bicara denganku sejak kemarin,” keluhnya manja dengan bibir yang mengerucut. Usianya sudah 25 tahun, tetapi sikapnya seperti bocah 6 tahun.Hye Jin melirik sejenak secangkir kopi di hadapannya. Warna kecokelatan yang tenang dengan granul di atasnya, aromanya mulai mengambil alih konsentrasi gadis itu. Ia melirik pria yang memberikannya, sebelum memutuskan untuk menyeruput kopi
Musim panas, Seoul-Korea Selatan.Hye Jin duduk bersandar di Halte, sambil meneguk sebotol air mineral dingin. Di lehernya terdapat kamera Canon dengan resolusi cukup tinggi, serta tanda pengenal bertuliskan Trainee di depan dadanya. Setelah berkeliling kota mencari bahan berita untuk dilaporkan, gadis itu merehatkan diri sejenak sambil menselonjorkan kedua kakinya yang ingin melepaskan diri setelah disiksa berjalan jauh.“Ah … aku harap ada sebuah kejadian besar. Agar aku bisa kembali membawa berita yang spektakuler,” pintanya sambil menerawang ke langit yang terik karena cahaya matahari.Hye Jin memejamkan matanya sejenak yang terasa lengket seperti diberi perekat. Gadis yang baru menyelesaikan pendidikannya lima bulan lalu, dan memilih bergabung di salah satu perusahaan Pers terbesar harus kehilangan banyak waktu tidur. Tentu saja, tim kejahatan dan politik memang terkenal menyita waktu setiap anggotanya. Termasuk
Hye Jin menghempaskan tangan Polisi itu dengan kasar, kedua matanya menatap berani. Ia tidak terima. “Tadi Anda tidak menjawab pertanyaan saya, dan sekarang menarik tangan saya dengan kasar. Apakah Anda tidak keterlaluan memperlakukan masyarakat seperti itu? Apakah Anda tahu? Saya melakukan ini untuk bertahan hidup! Bertahan pada pekerjaan yang sangat sulit ini!” serunya lantang dengan kedua mata yang berkaca-kaca.Walau keringat membanjiri wajah gadis itu, dia tetap berdiri tegak melawan Polisi di hadapannya. “Seharusnya Anda menjawab pertanyaan saya tadi, jadi saya tidak perlu melangkah ke sini!” bentaknya sambil menyeka keringat yang mulai jatuh dari pelipisnya.Polisi itu terdiam, menatap gadis di hadapannya dengan tatapan kosong. “Terserah kau saja!” katanya, kemudian berlalu meninggalkan aroma Menthol yang menyengat.Deru napas Hye Jin menjadi tak karuan, perasaannya diporak-porandakan dalam hitungan menit. Wala
Semilir angin bergerak lamban, membuat beberapa helai rambut gadis itu menari-nari mengikuti arah angin. Sinar bintang yang terang, menjadi penunjuk jalan bagi jiwa yang kegelapan. Hye Jin menyandarkan tubuhnya di sebuah Halte yang sepi tanpa siapapun, hanya ada dirinya dan suara binatang malam yang menjadi melodi untuk kesendiriannya.Jemari kurusnya tidak berhenti memijat kedua kaki yang hampir kehilangan nyawa , setelah berjalan ke sana kemari mencari bahan berita. Seluruh anggota tubuhnya terasa ingin lepas satu persatu kemudian lari mencari tuan baru. Gadis itu menghela napas panjang saat mengetahui jadwal bus terakhir hari ini baru saja berangkat. Pantas saja tak ada satu pun orang yang menunggu bus lagi.Hye Jin melirik arloji berwarna hitam yang melingkar di pergelangan tangan kanannya, ia mendengus lelah. “Kalau jalan, bisa sampai jam sebelas. Kalau naik taksi, pasti mahal.” Dia menatap bintang malam sambil memikirkan cara untuk pulang. Waktu sudah
Hye Jin mendorong pintu restoran dengan nuansa klasik, gemerincing bel terdengar nyaring saat pintu yang terbuat dari kayu itu dibuka. Pencahayaan yang tidak terlalu terang, desain interior yang terkesan lampau, serta aroma daging yang khas, itulah kesan pertama yang didapatkan saat memasuki restoran yang telah menginjak usia 20 tahun tersebut. Gadis itu mengondisikan detak jantungnya yang berantakan, dengan kedua mata yang berkelana mencari sang kekasih di lantai satu. Entah dirinya yang terlalu gugup atau memang kekasihnya tidak ada di lantai satu, kedua matanya tak berhasil menangkap batang hidungnya sekali pun. Hye Jin menarik napas, dan mengembuskannya perlahan. Tangannya sibuk mengusap dada hingga terasa hangat, jantungnya sibuk berlarian tanpa henti. Ini bukan kali pertama baginya merayakan hari jadi bersama sang kekasih, tetapi setiap tahun rasanya seperti baru kali pertama. “Park Hye Jin-Ssi?” Seorang pelayan berseragam rapi menghampiri Hye
Suara mesin fax dan mesin foto kopi terletak dengan jarak yang tipis, saling bersahutan melakukan tugasnya. Cahaya pagi yang cerah, menerangi setiap sudut ruangan yang menampung dua puluh orang di dalamnya. Para manusia yang berada di balik rentetan kata berita-berita panas para aktor, aktris dan idol, di sanalah mereka bernaung.Denting jam besar yang terpasang di dinding ruangan tersebut, mengantarkan suara yang nyaring. Waktu baru menunjukkan pukul sepuluh pagi dan semua orang tertunduk menatap pekerjaan di hadapan wajah. Kening yang mengkerut, menautkan dua alis yang semula saling berjauhan, wajah yang terlipat-lipat metampakkan kesulitan.Konsentrasi penuh mereka dedikasikan untuk membuat berita panas, yang mampu mengaduk-aduk emosi pembacanya. Wajah serius mereka metampakkan perintah ‘Jangan ganggu!’ yang terlukis jelas.Ada yang sepenuhnya mendedikasikan diri untuk menciptakan hal yang terbaik, ada pula yang setengah hati dalam menjalani peker
Kedua mata Hye Jin terpaku pada situasi di luar hotel yang tersuguh di hadapannya, ketika ia bersandar di dinding dekat jendela kaca yang besar. Beberapa petugas kepolisian masih berjaga dengan posisi yang agak santai. Dong Joon yang berdiri di hadapan gadis itu, ikut menjatuhkan pandangannya pada posisi yang sama. Hening, keduanya tidak bertukar komentar akan situasi yang masih kacau.Kedua kaki Hye Jin tidak berhenti digesekkan ke lantai, sudah 30 menit dan rasa bosan mulai menggerogoti tubuhnya. Dia tidak berhenti melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangan kanannya, perkiraannya sudah berkali-kali salah. “Apa dia melakukan pekerjaan tambahan?” tanyanya heran.Terang bulan akan segera meredup, Hye Jin bertekad akan menyelesaikan berita hari ini sebelum matahari terbit. Waktunya hanya tinggal lima jam sebelum bertegur sapa dengan fajar. Gadis itu menundukkan kepalanya, menahan kantuk yang menusuk kedua mata. Hingga netranya menangkap langkah kaki yang mendekat, seketika kepa
Musim semi diawali dengan insiden-insiden para aktris muda yang sedang menginjak popularitas di atas namanya. Semua orang sibuk mencari fakta di balik insiden seorang artis muda yang menyetir ketika mabuk, hingga menabrak pembatas jalan. Perusahaan pers manapun berlomba-lomba agar dapat memberitakan insiden itu secara eksklusif. Ketika yang lain sibuk dengan panggilan telepon dengan narasumber, atau sibuk merangkai kata untuk artikel yang akan dirilis, Hye Jin tetap terlihat tenang di tempatnya sambil mencuri pandang ke arah ponsel lewat ekor matanya.Sesekali gadis itu melihat ke arah pimpinannya yang tetap tenang mengurus berita-berita yang memanas tentang para artis dan kehidupan penuh dramanya. Keresahan membuat tangannya tidak bisa diam, ia terus mengetuk-ngetuk meja dengan pulpen di tangannya. Hye Jin dengan keresahannya menunggu, sedangkan Dong Joon terdiam di balik mejanya sambil membaca asal artikel-artikel karya seniornya yang masih dimuat di media.Ketika ketukan pulpen yan
BibimTen sebuah restoran bergaya klasik di pingguran jalan kota metropolitan tidak pernah sepi dari para pelanggan yang mayoritas adalah pekerja kantoran. Diapit dua perusahaan besar – perusahaan ponsel dan F&B – menjadikan tempat tersebut persinggahan di kala tubuh membutuhkan asupan energi untuk bekerja hingga larut malam, dan makanan di penghujung hari untuk melepas penat setelah seharian bekerja. Setelah diwariskan kepada generasi ketiga, bibimbab dengan bumbu hingga saus yang khas tidak pernah kehilangan cita rasa aslinya. Setelah disapa oleh dua orang pelayan yang berada di bar depan, Hye Jin dan Won Seok menjatuhkan tubuh pada kursi yang dekat dengan dinding kaca, sehingga mereka bisa menikmati hiruk-pikuk kehidupan kota yang sibuk. Memandangi manusia-manusia yang berlalu-lalang di sepanjang trotoar itu, adalah hal yang paling menyenangkan bagi Hye Jin, dan Won Seok menyadari itu. Hye Jin menyangga dagunya, memusatkan sepasang netranya pada setiap langkah manusia di luar sana.
Hye Jin berdiri di depan kantor kepolisian daerah Sangpo-Seoul yang terletak jauh dari kantornya. Hari ini ia sengaja pergi ke sana untuk makan malam bersama sang kekasih. Namun, saat waktu makan malam telah tiba, pria itu belum kembali dari patrolinya. Di bawah terang bulan yang menyinari pijakannya, Hye Jin bersandar pada dinding menunggu prianya datang. Kedua matanya terpaku menatap bunga Mugunghwa yang sedang mekar begitu indah. Ya, bulan Juli sampai Oktober memang waktu yang tepat bagi bunga tangguh itu untuk mekar dengan indah. Bunga dengan warna merah muda bercampur putih yang menawan, melambangkan kekuatan. Sempat terlintas dalam benaknya untuk tumbuh seperti bunga tersebut, tahan dari segala serangan penyakit dan serangga. Ia ingin tumbuh sebagai gadis yang kuat dan tahan dari segala serangan dan cobaan yang datang silih berganti dalam hidupnya. Bunga Mugunghwa penuh dengan sejarah, dan dicintai oleh masyarakat Korea Selatan. Walau Hye Jin bukan sepenuhnya berdarah Korea Sel
Hye Jin berkali-kali melirik jam digital yang terpampang di layar ponselnya, waktu terus berjalan cepat ketika dirinya harus terjebak pada kemacetan lalu lintas. Ketika dirinya mengkhawatirkan waktu yang terbuang, argo taksi pun terus berjalan, sehingga kegelisahan dalam dirinya bertengkar dan memaksanya untuk berlari saja. Gadis itu pun memilih untuk turun dari taksi yang dibayarnya dengan harga cukup mahal, walau jarak yang ditempuh belum terlalu jauh dari rumahnya. Dengan sepasang sandal jepit tipis, kedua kakinya berlari cepat menulusuri trotoar panjang ketika barisan mobil-mobil mewah beradu suara klakson. Aroma masam dari tubuhnya dibiarkan mengudara. Panggilan telepon dari rumah sakit memaksanya untuk bangkit dari tempat tidurnya tanpa mengkhawatirkan aroma tubuh, pakaian, bahkan sepasang sandal yang ternyata baru ia sadari berbeda warna ketika menjatuhkan tubuhnya di dalam taksi. Gadis itu menelusuri lorong rumah sakit dengan langkah yang cepat, mengabaikan tatapan orang yan
Hye Jin menggigiti kuku ibu jarinya sambil menatap layar ponsel yang menunjukkan artikel tentang basemen di Seoul dan sekitarnya. Setelah merasa tidak yakin dengan satu artikel, ia pergi ke artikel lain, dan kegiatan itu terus berulang hingga 20 menit. Tidak ada satu pun basemen yang ia yakini akan menjadi tempat pertemuan Jae Ha dan pria misterius itu. Gadis itu meletakkan kepalanya di atas setir, membayangkan hal-hal yang belum tentu terjadi. Tatapannya kosong, menatap jauh pada lorong basemen yang hening. Suara ban mobil berdecit di sekitarnya, satu persatu meninggalkan basemen tersebut, ia belum juga mendapatkan jawaban. Setelah membuang waktunya cukup lama, Hye Jin memutuskan untuk mengendarai mobilnya menuju basemen yang terlintas di otaknya. Dengan kecepatan penuh, ia melewati jalan yang lengang. Gadis itu berbelok di pertigaan akhir, hingga sampai di basemen Xyentertainment. Kedua matanya berkelana mencari mobil Ferrari merah milik Jae Ha, di antara puluhan mobil mewah lainn
Hye Jin menjatuhkan tubuh di salah satu kursi empuk berwarna hijau, disusul dengan Dong Joon setelah sibuk mempersiapkan laptop dan kameranya. Di bagian belakang dari deretan kursi-kursi tersebut, para wartawan dengan kamera masing-masing sedang bersiap-siap mengarahkan kamera mereka ke setiap sudut dalam ruangan tersebut, hingga berpusat pada satu titik yaitu mimbar yang berada paling depan.Suara kamera ditemani cahaya lampu yang menyorot, saling bersahutan dengan nada dari jemari di atas keyboard laptop. Setiap gerakan tidak boleh terlepas dari lensa kamera para wartawan, sedangkan setiap kata yang keluar dari narasumber tidak boleh ketinggalan dari para incaran penulis berita. Di dalam aula besar dari hotel berbintang lima yang berdiri di pertengahan kota metropolitan Gangnam-Seoul. Hye Jin dan anggota pers lainnya bersatu untuk menyajikan berita bagi masyarakat.Setelah 15 menit acara dibuka oleh seorang pembawa acara berjas hitam, satu persatu para pemai
Sepasang sepatu Fila putih mengunci kedua mata Hye Jin selama beberapa menit, rasanya tidak sering ia mengenakan sepatu yang dibelinya dengan potongan harga itu, tetapi kakinya terasa sesak terjebak di sana.Detak jarum jam terdengar sayup-sayup, dengungan kecil mirip suara nyamuk mendominasi indra pendengarannya ketika cahaya pagi menyeruak masuk lewat jendela. Saat kedua kakinya terhimpit di dalam sepatu kecil, gadis itu lebih mengkhawatirkan kesehatan telinganya saat ini.Di atas lantai putih yang setiap hari disapu dan dipel oleh petugas kebersihan, Hye Jin membayangkan ribuan alphabet warna-warni jatuh satu persatu setelah tertolak oleh indra pendengarannya yang terlalu malas mendengar ocehan.Dia berdiri santai sambil melipat kedua tangannya di belakang punggung, telinganya memang terbuka lebar, tetapi bukan berarti setiap kalimat dapat diterima. Tidak masuk kuping kiri keluar di kuping kanan, setiap kalimat yang keluar bersama air liur itu bahkan
Sebuah pigura menggambarkan satu keluarga yang terlihat bahagia. Senyuman terukir di bibir kedua anak perempuan yang berdiri berdampingan dengan rambut panjang dikuncir dua. Di sisi kanan berdiri seorang pria bertubuh kekar dengan setelan jas hitam menutupi otot besarnya, serta di sisi kiri terdapat seorang wanita tinggi semampai dengan rambut pendek sebahu. Tidak tampak senyuman yang terukir di bibir dua orang dewasa tersebut. Hye Jin menghela napas panjang saat melangkah mendekati pigura yang tidak pernah dibersihkan olehnya hingga debu halus dan kasar memenuhi seluruh bagian pada bingkai tersebut. Ia meremas tali tas yang masih terselempang di bahunya, melampiaskan amarah, rindu, kesedihan yang berkecamuk dalam dirinya. Kata-kata rindu tersendat di tenggorokannya, terkalahkan oleh kata “kenapa?” yang memenuhi pikirannya. Merindukan seseorang memang menyiksa, tetapi ketika rindu dan benci menjadi satu, akan terasa lebih menyakitkan. Sebisa mungkin gadis itu menahan