Monika menjalankan kursi roda menuju teras lantai dua. Dia hendak menemui seseorang yang sudah menunggunya di sana.
“Ada perlu apa kau datang ke rumahku?”
Angga menoleh, dia mengulas senyum singkat.
“Aku hanya singgah untuk melihat keadaanmu alih-alih alasan pekerjaan!”
“Aku tahu bukan itu alasannya!” Monika menyanggah. Menatap lurus melihat hamparan hijau yang begitu luas terlihat dari atas sana.
“Ayahmu memiliki tanah yang luas kenapa tidak dia manfaatkan saja tanah yang luas itu untuk sesuatu yang menghasilkan uang?”
“Pemilihan topik yang bagus. Tidak usah bertele-tele. Katakan saja apa maksud kedatanganmu ke sini!”
Angga berdeham singkat. Menyingkap jas miliknya seraya merapatkan badan pada tembok pembatas.
“Apa semua ini rencanamu?”
Monika mengangkat sudut bibirnya. “Kau orang yang peka! Aku tidak akan berbohong, kau benar. Itu semua rencanaku, lebih tepatnya r
Angga menepikan mobilnya ketika sampai di salah satu restoran cepat saji. Dia mengambil langkah cepat masuk ke dalam. Belum sampai setengah jalan, tatapannya mengarah pada sebuah mobil yang sangat familiar terparkir tak jauh di pelataran restoran. Angga kembali melanjutkan langkah masuk ke dalam restoran. Pandangannya menyapu sekeliling mencari orang yang dia cari. Di sana, tepat di ujung arah jam sembilan orang itu tengah duduk berbincang dengan orang lain yang duduk di hadapannya. Ponsel Angga berdering. Angga melirik ke layar ponsel nama Monika tertera. “Ada apa? Kita bicara nanti, aku sedang sibuk!” “Kau belum menjawab pesanku!” “Nanti saja, aku harus menutup panggilan ini!” “Kau sudah tahu pelakunya kan? Katakan padaku!” “Aku tidak tahu! Aku lagi sibuk, kuhubungi lagi nanti!” Angga cepat-cepat memutuskan panggilan dan segera mendekat pada orang di ujung sana. Belum beb
Aldebaran menghentikan mobilnya tepat setelah mendengar informasi yang dia dapatkan dari kantor polisi. Saat ini Aldebaran dan Rara baru saja sampai.“Tenangkan dirimu, Pak! Aku yang akan mewakili kemarahanmu!”Aldebaran turun lebih dulu. Langkahnya mengarah cepat masuk ke dalam.“Selamat pagi, Pak Al!” sapa salah seorang petugas polisi.“Apa dia pelakunya?” Aldebaran memandang dingin melihat sosok pria yang tengah menundukkan wajahnya.Rara ikut menoleh. Raut wajahnya berubah, Aldebaran sangat terkejut melihat pria yang berbeda dengan yang dia lihat di restoran kemarin.Dia hanya orang suruhan! Aldebaran memberi isyarat pada Rara bahwa bukan dia pelakunya.“Dasar bedebah! Beraninya kau mau mencelakai aku?!” Aldebaran menarik kerah pakaian pria itu dengan penuh amarah. Beberapa petugas lantas melerai mencoba membuat Aldebaran
Rara baru saja tiba di restoran sesuai janjinya dengan Angga. Aldebaran sengaja meminta Angga untuk bertemu langsung di restoran karena tidak ingin Angga menjemputnya.Aldebaran menarik napas panjang sebelum melangkah masuk. Dari kejauhan Angga melambaikan tangan dengan senyum di wajahnya.Dia terlihat sesenang itu. Bahkan pakaiannya tampak rapi dari biasanya. Gaya rambutnya juga berubah. Apa jadinya jika dia tahu aku bukan Rara. Haruskah aku mengungkapkan identitasku?! Aldebaran tersenyum sendiri membayangkan hal itu jika saja terjadi. Entah seperti apa reaksi Angga nanti.“Kau tampak cantik mengenakan gaun itu, Jihan!” puji Angga merasa senang.Rara hanya membalas dengan senyuman.Tentu saja kau memang harus memuji. Aku sengaja memakai ini untukmu. Aldebaran mencibir dalam hati.Aldebaran memakai gaun pemberian Angga saat ulang tahun Rara sebelum kecelakaan
Aldebaran merebahkan tubuh mungil Rara di tempat tidur. Harinya terasa lelah setelah pulang kencan dengan Angga. Selama mereka jalan berdua tadi, Aldebaran belum mendapat celah untuk mencari tahu soal dalang kejadian yang menimpa Monika. Angga selalu saja bisa menghindari dan terus saja mengalihkan topik pembicaraan.Aldebaran mengembuskan napas panjang sebelum tangannya menggapai ponsel yang sejak tadi bergetar tanpa dihiraukannya. Aldebaran melirik nama kontak yang tengah memanggil di layar.Tanpa waktu lama, Aldebaran menggeser tombol hijau.“Ada apa?”“Aku menemukan petunjuk mengenai pria yang tempo hari berbicara dengan Angga. Mau kukirim alamatnya?”“Kirimkan padaku!”Dion menutup panggilan lalu disusul bunyi notifikasi di ponsel Aldebaran.Aldebaran segera bangkit, dia menyambar cardigan yang dilempar begitu saja di atas sofa, lalu beranjak k
Rara baru saja turun menuju ruang makan. Di sana, keluarga Aldebaran sudah duduk berkumpul untuk sarapan.“Pagi, Al!” sapa Ivanka ramah.Kening Aldebaran berkerut samar. Dia merasa terkejut dengan keramahan Ivanka yang terhitung hanya menyapanya beberapa kali selama Rara tinggal sebagai Aldebaran.Rara tidak menjawab, dia kembali melanjutkan langkah dengan acuh.“Kau baik-baik saja ‘kan, Al?”Aldebaran menghentikan langkah, menoleh ke arah Mahesa dengan tatapan dingin.Seperti yang Ayah lihat. Aku baik-baik saja!”“Ayah sudah dengar dari Angga, kau hampir saja tertabrak dan pelakunya juga sudah tertangkap!”Aldebaran berjalan mendekat, satu tangan ia masukkan ke dalam saku celana.“Kenapa dia berusaha mencelakai dirimu?” tanya Mahesa lagi.“Dari pengakuan pria itu, dia pernah bekerja di sini dan aku sendi
Angga terus saja mondar-mandir sejak tadi. Dia merasa tidak tenang setelah mendengar perkataan Aldebaran. Angga tidak bisa fokus bekerja. Dia harus memikirkan cara untuk mendapatkan bukti itu. Ponsel Angga berdering. Nomor yang sangat ia kenal memanggil. “Kau sudah menemukannya?” “Mereka sudah membawanya!” kata pria itu di seberang sana. “Apa maksudmu? Bukankah sudah kukatakan bawakan padaku apa pun caranya!” Angga meninggikan suara. Dia tampak gelisah merasa kesal setengah mati. “Maafkan aku, aku tidak tahu mereka bisa mendapatkan lebih dulu. Aku tidak menyadari jika selama ini bukti itu ada di sana. Kata petugas yang menemukannya dia memberikan langsung pada pemilik mobil itu!” “Apa? Kapan dia memberikannya?” Angga makin terlihat frustasi. “Dua minggu setelah kecelakaan itu terjadi.” “Dua minggu?!” Raut bingung kembali menyelimuti wajah tampannya. “Baiklah, aku ak
Aldebaran terus melajukan mobilnya. Dia berharap Dion baik-baik saja.Dion kembali menelepon, kali ini Rara yang lebih dulu menjawab.“Kau baik-baik saja?”“Aku tidak apa-apa. Orang yang aku kejar bukan pria itu. Sepertinya dia menyuruh orang lain. Sejak tadi dia hanya membawaku berputar-putar.”“Apa maksudmu orang lain?” tanya Aldebaran.“Aku menyadari itu saat melihat caranya mengemudikan mobil. Dia tidak cekatan seperti pria itu, orang yang saat ini di dalam mobil pastilah orang lain!”“Ada satu hal lagi, dua mobil yang terus mengejarku memintaku menepikan mobil. Begitu aku menurunkan kaca, mereka menatapku heran lalu kembali melanjutkan perjalanan. Sepertinya mereka salah orang!” kata Dion lagi.Aldebaran menepikan mobilnya. Dia menghela napas.“Baiklah, aku mengerti!” Aldebaran menutup telepon.&ldquo
Kevin yang baru saja sampai di kediaman David berjalan memasuki ruang tamu. Di sana ia mendapati David tengah memandangi Monika yang meratap sedih. “Selamat Sore, Tuan!” sapa Kevin yang sudah berdiri di belakang David. Monika mengangkat muka, mengusap jejak air mata di pipinya. “Apa kau sudah tahu siapa yang mencoba mencelakai, Al? Al tidak tahu rencanaku ‘kan? Dia tidak sempat melihat rekaman kamera ‘kan? Al tidak mungkin curiga padaku ‘kan? Aku tidak melakukan apa pun, aku hanya ingin mencari perhatiannya. Sungguh aku—“ “Tenanglah! Everything will be fine!” David menyela. Mencoba menenangkan Monika yang tiba-tiba mengalami serangan panik. Monika menyentak tangan David yang memegang kedua bahunya. “This not fine, Dad!” Monika mondar-mandir menggigit kuku jari. “What the fuck was I even thinking!” David mengempas napas dengan lemah. Dia menatap iba melihat Monika merasa tid
Rara telah bersiap dengan balutan gaun pengantin. Dia benar-benar tampak cantik dan anggun. Aldebaran melamarnya dengan cara tak terduga. Lamaran yang dilakukan Aldebaran sampai viral di berbagai media sosial. Akun i*******m milik Rara dan Aldebaran dibanjiri komentar positif dan ucapan selamat. Momen itu juga ditayangkan di TV nasional selama hampir seminggu. Bahkan beberapa pihak berbondong-bondong menawarkan endorse untuk pernikahan mereka. Hari pernikahan mereka juga sengaja ditayangkan secara langsung dari salah satu stasiun TV dengan rating tertinggi. Rara merasa gugup. Berkali-kali Rara menghela napas. Jantungnya seakan mencelos menunggu akad nikah mereka dimulai. "Kau sangat cantik, Ra!" Monika mendekat seraya memuji. Dia tersenyum tulus melihat dari pantulan cermin. "Terima kasih, Kak! Aku sangat gugup." "Al tidak kalah lebih gugup darimu. Dia masih terus berlatih mengucapkan ijab kabul agar tidak salah." Rara tersenyum h
Rara menggeliat, meregangkan otot-otot. Matanya mengerjap lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling. Di sinilah Rara, masih tidak percaya berada di kamar sendiri. Seperti mimpi yang panjang baginya.Rara menyibak selimut, merapikan tempat tidurnya. Rara bergegas keluar mendapati Nirmala dan Monika di ruang makan sedang mempersiapkan sarapan."Pagi adikku, Sayang!" Monika menyapa. Tidurmu nyenyak?"Rara mengangguk. "Sangat nyenyak. Bagaimana dengan Kak Monika?""Aku juga. Aku akan merasa nyaman jika tinggal lama di sini!""Tinggal lah selama mungkin. Aku sangat senang jika Kak Monika tinggal di sini!""Benarkah? Apa boleh, Bu?" Monika melirik ke arah Nirmala."Tentu saja. Kau tidak perlu meminta izin.""Kalau dengan ayah, juga boleh?" Monika melempar tatapan ke arah Rara.Nirmala diam sejenak. Rara dan Monika menunggu jawaban Nirmala. "Tergantung usahanya mendapatkan hati ibu kem
Aldebaran dan Rara merencanakan janji untuk bertemu setelah Rara melakukan pekerjaan Aldebaran. Mereka akan bersama-sama mencari wanita tua itu. Sebelumnya, Rara dan Aldebaran sudah mencari tahu kue yang dibeli Firman. Dari ucapan Firman, dia tidak membeli di tempat yang Aldebaran maksud dan penjual kue itu bukan wanita tua melainkan wanita muda. Saat ini, Rara sibuk melakukan syuting iklan terakhir sebelum akhirnya dia mengambil libur panjang untuk beberapa bulan ke depan. Aldebaran meminta Rara untuk tidak menerima tawaran karena dia ingin mengajak Rara berlibur membawa Nirmala yang sejak dulu ingin sekali pergi ke Korea. Nirmala sangat gemar menonton drama dari Negeri Gingseng itu. Aldebaran ingin memberikan kejutan sebagai Rara dengan mengajaknya ke sana. "Bu, apa yang bisa Rara bantu?" tanya Aldebaran setelah membereskan kamar Rara. Dia sudah memutuskan tinggal bersama Nirmala. "Rara bantu ibu pergi ke pasar. Ada beberapa bahan masakan yang harus dibeli.
Mahesa marah besar begitu mengetahui Ivanka adalah pelaku utama dari kecelakaan yang menimpa Aldebaran. Ivanka sudah dibekuk polisi seminggu yang lalu. Angga sendiri yang melaporkan ibunya setelah semua usaha Angga meminta ibunya menyerahkan diri diabaikan Ivanka. Angga tidak punya pilihan dan terpaksa membuat bukti untuk menjerat Ivanka.Pemberitaan mengenai kasus kecelakaan Aldebaran mengudara selama berhari-hari, para media terus saja membahas motif dan alasan Ivanka melakukan semua itu. Bahkan fans setia Aldebaran merutuki Ivanka dan meminta pihak kepolisian untuk menjatuhkan hukuman mati sebagai efek jera agar tidak ada lagi orang seperti Ivanka yang tega merencanakan pembunuhan pada anak dari suaminya sendiri.Saat ini Ivanka telah duduk di meja persidangan. Sementara Angga duduk di meja saksi memberikan pernyataan. Ivanka tidak bisa mengelak, semua barang bukti mengarah padanya. Kaki tangan Ivanka juga sudah mengakui perbuatan mereka.Ivanka akhirny
"Akhirnya kau datang juga, Al!" Aldebaran menatap tajam. “Berani sekali kau datang ke rumah ini! Bukankah aku sudah melarangmu untuk tidak menginjakkan kaki di sini?!” “Aku kemari karena mengambil barangku yang tertinggal!” Ivanka berjalan ke arah sofa panjang yang ukiran gagangnya terbuat dari kayu jati. Ivanka menjuntaikan sebuah liontin seraya tersenyum. “Kenapa itu ada padamu?!" suara Aldebaran merendah, terdengar penuh penekanan. "Duduklah! Setidaknya berbincanglah denganku. Kau selalu saja bersikap dingin dari semenjak pertama kali kita bertemu!" Ivanka berujar. Dia memberi isyarat menunjuk dengan dagu ke arah secangkir kopi yang sudah dia siapkan. Ivanka mengangkat cangkir menyeruput kopinya dengan nikmat. "Aku tidak meracunimu. Aku hanya ingin kita berbaikan dan bisa duduk bersama, berbincang hangat layaknya ibu dan anak." Aldebaran meneguk setengah kopi miliknya. "Kau puas? Sekarang kembalikan! Sejak
Sehari sebelum kecelakaan terjadi.... Ivanka mendatangi RAM Corp setelah berbelanja di butik langganannya. Jam makan siang sebentar lagi dan Ivanka ingin mengajak Mahesa makan di luar. Sudah lama dia tidak jalan berdua dengan Mahesa karena terlalu sibuk dengan bisnis. Ivanka mengumbar senyum pada beberapa karyawan yang berpapasan dengannya. Suara heels pigalle foliies 100 milik Ivanka mengetuk-ngetuk lantai marmer hingga terdengar menggema berirama. Ivanka menunjukkan keanggunan saat menaiki lift menuju lantai utama. Senyum Ivanka kembali terukir begitu sampai di depan meja sekretaris Mahesa. “Nindya, apa Pak Mahesa ada? Katakan aku ada di sini!” titah Ivanka membusungkan dada dengan elegan. “Ada, Bu! Pak Mahesa sedang berbincang dengan Pak Mudi.” “Aku ingin masuk!” “Maaf, Ibu! Pesan Pak Mahesa, dia tidak ingin di
Rara baru saja tiba di depan sebuah restoran. Rara meminta bertemu dengan David secara pribadi. Dia sengaja reservasi rooftop hotel agar pertemuan mereka tidak diganggu. David sudah datang lebih dulu. Rara mengeluarkan ponsel, membuka kotak masuk. Aldebaran : Tidak perlu mampir! Aku akan keluar dengan Angga. Rara : Aku akan bertemu dengan Pak David hari ini. Aldebaran : Kau sudah yakin dengan keputusanmu? Rara : Keputusanku sudah bulat! Rara menarik napas panjang, menguatkan batinnya, mengumpulkan keberanian untuk menanyakan langsung. Langkah Aldebaran beranjak masuk. Rara melihat David duduk memunggunginya. “Maaf membuat Anda lama menunggu!” ucap Aldebaran begitu duduk berseberangan di hadapan David. “Saya juga baru sampai!” jawabnya singkat. Aldebaran memanggil waitress mendekat. “Mau
Suara bel terdengar saat Aldebaran baru saja selesai sarapan. Aldebaran mendekat ke arah pintu, dia tahu itu pasti Rara. Rara sudah menelepon dan mengatakan akan mampir ke sana. Raut wajah Rara seketika berubah kaku saat mendapati Angga yang berdiri di hadapannya seraya mengulurkan buket bunga berukuran sedang. Aldebaran menerima dengan diam, detik selanjutnya dia menarik bibir membentuk senyum manis. “Kak Angga! Kenapa tidak mengabariku jika mau ke datang kemari?” “Aku ingin memberimu kejutan!” “Ayo, masuk!” Aldebaran menaruh bunga dalam vas. Kebetulan sekali dia baru membuang bunga yang sudah mengering beberapa saat lalu. “Hari ini aku mau mengajakmu kencan. Boleh luangkan waktumu seharian? Katakan pada Al untuk izin tidak bekerja!” “Kencan? Aku pikir besok.” “Aku tidak sabar melakukannya, kebetulan hari ini aku sengaja mengajukan libur bekerja sehari untuk mengaj
Malam sebelumnya.... “Pak!” sergah Rara saat mobil Aldebaran baru saja sampai di depan mansion Mahesa. “Ada apa?” “Pak David, boleh aku sendiri yang menemuinya?” Rara menoleh, ada duka dalam tatapannya. “Sebagai diriku?” Rara mengangguk. “Ucapan ibu tadi membuatku kembali berpikir....” “Apa yang kau pikirkan?” “Mengenai ayahku datang di hadapanku!” Suara Aldebaran bergetar, Rara menahan diri untuk tidak menangis. “Apa kau pikir dia ayahmu?” “Entahlah! Tapi aku yakin satu hal, ibu berbohong soal ayahku. Waktu itu, aku tidak sengaja mendengar ucapan ibu dengan bibi yang membicarakan soal ayahku. Aku hanya ingin memastikan!” Aldebaran menghela napas pelan. “Jika itu membuatmu tenang, lakukan saja. Aku tidak masalah.” “Terima kasih.” “Oh, ya, satu hal lagi. Aku ingin kau melakukan sesuatu!” “Melakukan apa?” Rara menahan pegangan pintu hendak ke