Aldebaran menggeliatkan tubuh Rara kesana kemari. Rasa kantuk masih menyergap. Dia menguap, memaksa tubuh mungil itu untuk bangun. Rasanya sangat berat, mungkin karena beberapa hari dia tidak melakukan olahraga.
Dia mengedarkan pandangan melihat ke sekeliling, kamar dengan nuansa identik perempuan. Aldebaran berada di kamar Rara, kemarin dia diminta Nirmala untuk pulang ke rumah. Mau tidak mau, Aldebaran harus menerima itu.
“Apa begini bentuk kamar gadis lambat itu?”
Matanya masih mengedar menelisik tiap inci ruangan. Kamar yang hanya berukuran seperti kamar mandinya di rumah dan beberapa interior yang memiliki satu warna dengan tembok. Begitu juga seprei beserta bantal dan selimut. Semuanya berwarna biru muda.
Nirmala mengaturnya dengan sangat baik. Itu warna kesukaan Rara.
Suara ketukan terdengar. Nirmala menyembulkan kepala memeriksa Rara.
Seny
Rara saat ini bersama Angga tengah mengantre untuk membeli popcorn. Tepatnya, Aldebaran yang berada dalam tubuh Rara. Dia berdandan sangat cantik hingga membuat Angga bahkan tidak berkedip ketika menjemput Rara di rumah Nirmala. Rara yang biasa memakai kaos dan celana jeans, kini berubah menjadi gadis feminin dengan dress di bawah lutut dan flat shoes berwarna hitam dipadukan dengan sling bag berwarna peach. Rambutnya juga digerai dan memakai jepitan kecil di samping kiri. Benar-benar sangat berbeda dari sebelumnya. Senyum Angga terus terukir setiap kali memandanginya. Tentu saja, Aldebaran mengubah penampilan Rara untuk sesuatu yang sudah dia pikirkan sebelumnya. “Dasar kaum bedebah! Mereka bahkan tidak bisa melihat yang bening!” gerutu Aldebaran dengan sedikit memelankan suaranya. Angga menoleh. “Kenapa Jihan? Ada yang membuatmu tidak nyaman?” Rara menunjuk dengan dagunya. Angga melihat ke sekeliling, beberapa le
Rara baru saja sampai di rumah Aldebaran, dia sangat lelah dan mengantuk karena semalam harus begadang syuting sampai pagi. Dengan mulut yang terus menguap langkahnya perlahan masuk ke dalam mansion megah itu. Beberapa hari lalu, Rara bersiap untuk pindah karena dia merasa tidak nyaman jika tinggal di rumah sebesar itu apalagi Aldebaran yang memang sejak awal tidak memiliki hubungan baik dengan ayahnya. Entah alasan apa, pria arogan itu melarangnya untuk keluar dan tetap tinggal di situ sampai dia yang menyuruhnya pergi. Rara terus menguap sambil menaiki tangga. Ivanka yang memerhatikannya dari jauh menatap penuh arti. Pandangannya terus mengikuti langkah tubuh tegap Aldebaran hingga hilang dalam pandangannya. Ada sesuatu yang mengusik pikirannya sejak beberapa hari terakhir. Ivanka lalu berbalik pergi menuju arah dapur. Rara melempar tubuh kekar Aldebaran di atas kasur besar miliknya. Tubuh itu sangat lelah, ditambah mata yang mulai terasa berat memaksa kedua iris a
6 Hari yang Lalu.... “Apa kau mengajukan kerja sama dengan perusahaan Mahesa?” tanya David yang melihat Monika menghampirinya. Suara David terdengar marah. Dia baru saja menerima telepon dari sekretarisnya. Monika mengulum bibir lalu mengangguk pelan. David menggebrak meja. “Apa yang kau pikirkan dengan melakukan itu?” “Aku harus mengambil langka untuk perusahaan Ayah!” “Tapi bukan berarti kau mengajukan kerja sama dengan Mahesa!” David meninggikan suaranya. Dia lantas beranjak menuju pintu depan. “Ayah dengarkan aku dulu. Aku melakukannya dengan bermaksud baik!” “Batalkan perjanjian itu! Tidak ada lagi perdebatan!” David membungkam Monika dengan tatapan tajam. “Kau harus menerima perjanjian itu, Ayah!” Monika menghadang jalan David saat hendak masuk ke dalam mobil. “Sampai kapan pun ayah tidak akan menjalin kerja sama d
Saat ini lokasi syuting sangat ramai. Ini merupakan sesi terakhir sebelum akhirnya pembuatan film selesai. Rara dari shubuh sudah tiba di lokasi syuting. Dia sudah terbiasa sejak mulai berada di tubuh Aldebaran. Rara bahkan rajin melakukan olahraga agar menjaga tubuh Aldebaran tetap bugar. Hal yang sangat bertolak belakang dengannya. Jam tidurnya juga sangat sedikit. Dalam sehari dia hanya punya waktu istirahat dua jam. Saat tahu syuting ini akan selesai, Rara sangat bersemangat untuk melakukan yang terbaik agar dia bisa beristirahat panjang di rumah. Rara berencana beristirahat di apartemen Aldebaran agar tidak ada yang mengganggunya. Dia tidak tenang tiap kali pulang ke rumah besar itu, seperti ada CCTV yang selalu mengawasi gerak-geriknya.“Al, ada telepon untukmu!” Firman berseru saat memberikan ponsel miliknya.“Dari siapa?”“Entahlah! Tidak ada namanya.” Firman mengangkat bahu.Rara menatap layar
Rara tengah bersiap setelah selesai berpakaian. Dia memakai baju casual yang nyaman baginya. Rara menghela napas sejenak sebelum keluar dari kamar.Pandangannya memperhatikan sekeliling. Penataan ruangan bergaya kontemporer membuatnya sedikit takjub, dari pemilihan warna dan furnitur yang tertata rapi begitu menunjukkan setiap anggota Aldebaran memiliki selera yang berbeda-beda.“Selamat pagi, Al!” Monika menyapa dengan ramah.Rara menoleh sekilas sebelum melanjutkan langkah. Mood nya di pagi hari mendadak buruk. Rara melewati pintu kamar Lusy yang masih tertutup rapat. Apa mungkin pria arogan itu belum bangun? Pikir Rara.Monika mengulum senyum mengikuti langkah Aldebaran menuju ruang makan. Di sana Angga dan Nicole sudah duduk lebih dulu. Diana tengah mempersiapkan sarapan. Begitu sampai, Rara sontak membantu Diana memanggang roti.Semua orang yang berada di situ memandang Aldebaran dengan raut terkejut.“Sejak k
Nicole baru saja menjelaskan program kerja yang akan mereka lakukan. Monika terlihat antusias ingin segera memulai pekerjaan. “Pak, apa setelah ini kita bisa jalan-jalan? Aku merasa bosan. Tidak bisakah kita pergi berdua saja?” Rara berbisik pelan. Aldebaran tidak menanggapi. Dia sejak tadi sibuk berselancar dengan ponselnya. Angga beranjak dari kursi dan menghampiri Rara. “Mau aku ajak jalan-jalan, Jihan?” Rara hendak bersorak, menahan diri. Dia berada dalam tubuh Aldebaran. “Aku juga ingin pergi!” Rara menegaskan ucapannya. “Aku ingin mengajak Jihan berdua, tidak bisakah kau biarkan dia sedikit lebih leluasa? Kau terus membuatnya bekerja!” tanggap Angga sedikit kesal. “Wajar saja, dia asistenku. Sudah sepantasnya dia mengikuti perintahku!” “I gotta head out.” Rara beranjak dari kursi dan melangkah keluar lebih dulu. Lagi-lagi Angga dibuat kagum. Dia memandang punggung Rara dengan senyum manis di wajahnya.
Rara berjalan mengendap-endap keluar dari kamar. Dia menoleh sekeliling—tidak ada siapa pun. Rara berjalan cepat menuju kamar Lusy. “Pak? Kau ada di dalam?” Rara menajamkan telinga, berharap Aldebaran ada di dalam sana. “Pak! Jika kau di dalam, tolong keluar. Ada yang ingin aku bicarakan!” Rara berdecak kesal. Aldebaran tidak menyahut. Ponselnya juga tidak bisa dihubungi. Lima menit berlalu tidak ada jawaban. Rara menghela napas sebelum akhirnya kembali ke kamar tamu. Rara terus mondar-mandir di dalam kamar. Sejak makan siang tadi, Rara tidak bisa menemui Aldebaran. Angga dan Nicole membuatnya terjebak dengan pekerjaan—bahkan di rumah dia juga harus ikut berdiskusi dengan mereka bersama Roy. Rara tidak mengerti apa pun mengenai hal yang mereka diskusikan, dia hanya duduk diam dan mendengarkan. Rara kembali keluar dari kamar tamu dan memutuskan langsung masuk ke kamar Lusy. Rara menahan langkah—menatap sejenak pintu kamar yang tertutup
Aldebaran bangun lebih dulu. Dia terbiasa bangun pagi untuk berolahraga. Segera setelah mencuci muka, Aldebaran keluar dari kamar. Langkahnya berhenti saat melewati kamar Lusy. Tangan Rara hendak mengetuk, mengambang di udara. Rara sudah lebih dulu membuka pintu. “Pak Al? Apa yang kaulakukan di sini?” “Aku ingin menganjakmu jogging!” Aldebaran berdalih. Bukan itu alasannya, dia hanya ingin memastikan keadaan Rara. “Sepagi ini?” Pandangan Rara jatuh pada jam dinding yang menyentuh angka enam kurang lima belas menit. “Iya, ayo keluar! Sekalian ada yang ingin aku bicarakan.” Rara kembali menutup pintu, mempersiapkan diri. Setelah lima menit menunggu di halaman, Rara keluar dengan celana training dan kaos putih polos serta handuk kecil melingkar di leher. Aldebaran menghela napas melihat penampilan tubuhnya versi Rara. “Kau memang tidak tahu mode! Biasanya aku mengenakan celana pendek.” “Jangan
Rara telah bersiap dengan balutan gaun pengantin. Dia benar-benar tampak cantik dan anggun. Aldebaran melamarnya dengan cara tak terduga. Lamaran yang dilakukan Aldebaran sampai viral di berbagai media sosial. Akun i*******m milik Rara dan Aldebaran dibanjiri komentar positif dan ucapan selamat. Momen itu juga ditayangkan di TV nasional selama hampir seminggu. Bahkan beberapa pihak berbondong-bondong menawarkan endorse untuk pernikahan mereka. Hari pernikahan mereka juga sengaja ditayangkan secara langsung dari salah satu stasiun TV dengan rating tertinggi. Rara merasa gugup. Berkali-kali Rara menghela napas. Jantungnya seakan mencelos menunggu akad nikah mereka dimulai. "Kau sangat cantik, Ra!" Monika mendekat seraya memuji. Dia tersenyum tulus melihat dari pantulan cermin. "Terima kasih, Kak! Aku sangat gugup." "Al tidak kalah lebih gugup darimu. Dia masih terus berlatih mengucapkan ijab kabul agar tidak salah." Rara tersenyum h
Rara menggeliat, meregangkan otot-otot. Matanya mengerjap lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling. Di sinilah Rara, masih tidak percaya berada di kamar sendiri. Seperti mimpi yang panjang baginya.Rara menyibak selimut, merapikan tempat tidurnya. Rara bergegas keluar mendapati Nirmala dan Monika di ruang makan sedang mempersiapkan sarapan."Pagi adikku, Sayang!" Monika menyapa. Tidurmu nyenyak?"Rara mengangguk. "Sangat nyenyak. Bagaimana dengan Kak Monika?""Aku juga. Aku akan merasa nyaman jika tinggal lama di sini!""Tinggal lah selama mungkin. Aku sangat senang jika Kak Monika tinggal di sini!""Benarkah? Apa boleh, Bu?" Monika melirik ke arah Nirmala."Tentu saja. Kau tidak perlu meminta izin.""Kalau dengan ayah, juga boleh?" Monika melempar tatapan ke arah Rara.Nirmala diam sejenak. Rara dan Monika menunggu jawaban Nirmala. "Tergantung usahanya mendapatkan hati ibu kem
Aldebaran dan Rara merencanakan janji untuk bertemu setelah Rara melakukan pekerjaan Aldebaran. Mereka akan bersama-sama mencari wanita tua itu. Sebelumnya, Rara dan Aldebaran sudah mencari tahu kue yang dibeli Firman. Dari ucapan Firman, dia tidak membeli di tempat yang Aldebaran maksud dan penjual kue itu bukan wanita tua melainkan wanita muda. Saat ini, Rara sibuk melakukan syuting iklan terakhir sebelum akhirnya dia mengambil libur panjang untuk beberapa bulan ke depan. Aldebaran meminta Rara untuk tidak menerima tawaran karena dia ingin mengajak Rara berlibur membawa Nirmala yang sejak dulu ingin sekali pergi ke Korea. Nirmala sangat gemar menonton drama dari Negeri Gingseng itu. Aldebaran ingin memberikan kejutan sebagai Rara dengan mengajaknya ke sana. "Bu, apa yang bisa Rara bantu?" tanya Aldebaran setelah membereskan kamar Rara. Dia sudah memutuskan tinggal bersama Nirmala. "Rara bantu ibu pergi ke pasar. Ada beberapa bahan masakan yang harus dibeli.
Mahesa marah besar begitu mengetahui Ivanka adalah pelaku utama dari kecelakaan yang menimpa Aldebaran. Ivanka sudah dibekuk polisi seminggu yang lalu. Angga sendiri yang melaporkan ibunya setelah semua usaha Angga meminta ibunya menyerahkan diri diabaikan Ivanka. Angga tidak punya pilihan dan terpaksa membuat bukti untuk menjerat Ivanka.Pemberitaan mengenai kasus kecelakaan Aldebaran mengudara selama berhari-hari, para media terus saja membahas motif dan alasan Ivanka melakukan semua itu. Bahkan fans setia Aldebaran merutuki Ivanka dan meminta pihak kepolisian untuk menjatuhkan hukuman mati sebagai efek jera agar tidak ada lagi orang seperti Ivanka yang tega merencanakan pembunuhan pada anak dari suaminya sendiri.Saat ini Ivanka telah duduk di meja persidangan. Sementara Angga duduk di meja saksi memberikan pernyataan. Ivanka tidak bisa mengelak, semua barang bukti mengarah padanya. Kaki tangan Ivanka juga sudah mengakui perbuatan mereka.Ivanka akhirny
"Akhirnya kau datang juga, Al!" Aldebaran menatap tajam. “Berani sekali kau datang ke rumah ini! Bukankah aku sudah melarangmu untuk tidak menginjakkan kaki di sini?!” “Aku kemari karena mengambil barangku yang tertinggal!” Ivanka berjalan ke arah sofa panjang yang ukiran gagangnya terbuat dari kayu jati. Ivanka menjuntaikan sebuah liontin seraya tersenyum. “Kenapa itu ada padamu?!" suara Aldebaran merendah, terdengar penuh penekanan. "Duduklah! Setidaknya berbincanglah denganku. Kau selalu saja bersikap dingin dari semenjak pertama kali kita bertemu!" Ivanka berujar. Dia memberi isyarat menunjuk dengan dagu ke arah secangkir kopi yang sudah dia siapkan. Ivanka mengangkat cangkir menyeruput kopinya dengan nikmat. "Aku tidak meracunimu. Aku hanya ingin kita berbaikan dan bisa duduk bersama, berbincang hangat layaknya ibu dan anak." Aldebaran meneguk setengah kopi miliknya. "Kau puas? Sekarang kembalikan! Sejak
Sehari sebelum kecelakaan terjadi.... Ivanka mendatangi RAM Corp setelah berbelanja di butik langganannya. Jam makan siang sebentar lagi dan Ivanka ingin mengajak Mahesa makan di luar. Sudah lama dia tidak jalan berdua dengan Mahesa karena terlalu sibuk dengan bisnis. Ivanka mengumbar senyum pada beberapa karyawan yang berpapasan dengannya. Suara heels pigalle foliies 100 milik Ivanka mengetuk-ngetuk lantai marmer hingga terdengar menggema berirama. Ivanka menunjukkan keanggunan saat menaiki lift menuju lantai utama. Senyum Ivanka kembali terukir begitu sampai di depan meja sekretaris Mahesa. “Nindya, apa Pak Mahesa ada? Katakan aku ada di sini!” titah Ivanka membusungkan dada dengan elegan. “Ada, Bu! Pak Mahesa sedang berbincang dengan Pak Mudi.” “Aku ingin masuk!” “Maaf, Ibu! Pesan Pak Mahesa, dia tidak ingin di
Rara baru saja tiba di depan sebuah restoran. Rara meminta bertemu dengan David secara pribadi. Dia sengaja reservasi rooftop hotel agar pertemuan mereka tidak diganggu. David sudah datang lebih dulu. Rara mengeluarkan ponsel, membuka kotak masuk. Aldebaran : Tidak perlu mampir! Aku akan keluar dengan Angga. Rara : Aku akan bertemu dengan Pak David hari ini. Aldebaran : Kau sudah yakin dengan keputusanmu? Rara : Keputusanku sudah bulat! Rara menarik napas panjang, menguatkan batinnya, mengumpulkan keberanian untuk menanyakan langsung. Langkah Aldebaran beranjak masuk. Rara melihat David duduk memunggunginya. “Maaf membuat Anda lama menunggu!” ucap Aldebaran begitu duduk berseberangan di hadapan David. “Saya juga baru sampai!” jawabnya singkat. Aldebaran memanggil waitress mendekat. “Mau
Suara bel terdengar saat Aldebaran baru saja selesai sarapan. Aldebaran mendekat ke arah pintu, dia tahu itu pasti Rara. Rara sudah menelepon dan mengatakan akan mampir ke sana. Raut wajah Rara seketika berubah kaku saat mendapati Angga yang berdiri di hadapannya seraya mengulurkan buket bunga berukuran sedang. Aldebaran menerima dengan diam, detik selanjutnya dia menarik bibir membentuk senyum manis. “Kak Angga! Kenapa tidak mengabariku jika mau ke datang kemari?” “Aku ingin memberimu kejutan!” “Ayo, masuk!” Aldebaran menaruh bunga dalam vas. Kebetulan sekali dia baru membuang bunga yang sudah mengering beberapa saat lalu. “Hari ini aku mau mengajakmu kencan. Boleh luangkan waktumu seharian? Katakan pada Al untuk izin tidak bekerja!” “Kencan? Aku pikir besok.” “Aku tidak sabar melakukannya, kebetulan hari ini aku sengaja mengajukan libur bekerja sehari untuk mengaj
Malam sebelumnya.... “Pak!” sergah Rara saat mobil Aldebaran baru saja sampai di depan mansion Mahesa. “Ada apa?” “Pak David, boleh aku sendiri yang menemuinya?” Rara menoleh, ada duka dalam tatapannya. “Sebagai diriku?” Rara mengangguk. “Ucapan ibu tadi membuatku kembali berpikir....” “Apa yang kau pikirkan?” “Mengenai ayahku datang di hadapanku!” Suara Aldebaran bergetar, Rara menahan diri untuk tidak menangis. “Apa kau pikir dia ayahmu?” “Entahlah! Tapi aku yakin satu hal, ibu berbohong soal ayahku. Waktu itu, aku tidak sengaja mendengar ucapan ibu dengan bibi yang membicarakan soal ayahku. Aku hanya ingin memastikan!” Aldebaran menghela napas pelan. “Jika itu membuatmu tenang, lakukan saja. Aku tidak masalah.” “Terima kasih.” “Oh, ya, satu hal lagi. Aku ingin kau melakukan sesuatu!” “Melakukan apa?” Rara menahan pegangan pintu hendak ke