Clara baru saja bangun dari tidurnya. Ia merenggangkan tubuhnya yang terasa pegal. Ia melihat Devan yang masih terlelap. Sepertinya tidur anak itu begitu lelap, sampai-sampai ia tidak menyadari pergerakannya sedikitpun. Bahkan, posisi anak itu masih sama seperti sebelumnya.
Clara bangkit. Ia, tidak nyaman dengan rasa lengket do tubuhnya. Ia ingin segera membersihkan tubuhnya. Ia harus mencari seseorang. Ya, siapa lagi kalau Nathaniel? Orang itu yang telah membawanya ke tempat ini. Jadi, ia harus bertanggung jawab atas semuanya.
Clara memfokuskan pandangannya pada seseorang. Sepertinya itu Nathan. Benar, dugaan Clara tidak salah. Ia adalah Nathan. Ia sedang memfokuskan pandangannya pada sebuah laptop di depannya.
"Pak Nathan?" Panggil Clara ragu.
Nathan sedikit terlonjak. Hampir s
Clara keluar dari kamar mandi dengan sebuah mantel yang entah milik siapa. Ia melihat sebuah totebag yang entah apa isinya. Dengan segera ia membukanya. Ternyata berisi beberapa pakaian perempuan. Ia yakin, ini yang dibelikan Nathan untuknya. Dengan segera, Clara mengganti pakaiannya. Clara menatap pantulannya di cermin. Sepertinya, Nathan memiliki selera yang sama dengannya. Pasalnya, pakaian yang ia kenanan begitu pas dan sesuai dengan seleranya. Ia harus mengucapkan terimakasih kepada Nathan segera. Belum sempat menghampiri Nathan, tiba-tiba saja ponsel Clara berbunyi. Dengan segera, ia mengambil dan mengangkatnya. Barangkali penting."Halo." Ucap Clara."Clara, kamu tidak pulang?" Tanya orang diseberang sana, Audrey."Tidak, Kak. Bukankah Pak Nathan sudah memberitahu kalian?"
Dimas baru saja melakukan kegiatannya pada hari libur. Ia terlihat begitu bugar sehabis olahraga. Walaupun wajahnya sudah menegeriut, namun jiwa mudanya masih sama dengan dulu. Ia mengusap wajahnya dengan handuk kecil yang disampirkan pada bahunya. Saat memasuki rumah, ia bisa melihat Nathan dan Clara sedang membicarakan sesuatu yang serius. Dimas jadi penasaran, apa yang sedang mereka bicarakan? Oh, apakah soal cinta? Dimas jadi senyum-senyum sendiri memikirkannya. Dengan segera, Dimas menghampiri mereka berdua."Kalian membicarakan apa sih? Kelihatan serius sekali. Ayah jadi ingin ikut bergabung." Ucap Dimas sembari mendudukkan dirinya sendiri dekat Nathan dan Clara."Tidak membicarakan apa-apa. Kami hanya membicarakan apa yang seharusnya Ayah tidak ketahui." Jawab Nathan."Apakah tentang cinta?" Tanya Devan lagi.&nb
Devan baru saja bangun dari tidurnya. Ia meraba-raba tempat tidurnya yang kosong. Pasti Clara telah bangun terlebih dahulu. Oa mengusap matanya berberapa kali. Berusaha menetralkan pandangannya yang masih sedikit rabun. Setelah itu, Devan merenggangkan tubuhnya yang masih terasa pegal. Devan segera bangkit dari tempat tidurnya. Tidak lupa, ia merapikan kamarnya terlebih dahulu. Biasanya, ia tidak pernah merapikannya. Namun, karena ada Clara, Devan harus terlihat seperti anak rajin dan disiplin. Ia mau membuat Clara bangga terhadapnya. Devan mengelus perutnya yang mulai lapar. Suara kemeruyuk terdengar jelas dari perut kecilnya. Ia lapar. Ia membutuhkan sesuatu yang bisa membuat cacing-cacing di perutnya berhenti berteriak. Sepertinya meminta makanan pada Clara merupakan ide bagus. Ia begitu rindu masakan mama. &nb
Hari menjelang sore. Suara gaduh terdengar dari lantai atas. Disana Clara sedang tergesa-gesa menyiapkan diri. Pasalnya, ia harus segera menyusul Audrey dan Alvin. Sedangkan dia baru saja bangun dari tidur siangnya. Jadi seperti inilah akhirnya. Clara memarahi siapapun yang ada di depannya. Bahkan ia tidak segan untuk memarahi Dimas. Clara fikir, ini salah mereka. Karena mereka tidak membangunkan Clara lebih awal. Padahal salah Clara sendiri, yang tidur melebihi beruang. Lelap sekali. Nathan dan Dimas hanya terkekeh melihat Clara. Mereka melihat Clara yang terus berjalan kesana kemari entah melakukan apa. Padahal, ia bisa melakukannya dengan tenang. Tidak terburu-buru. Mereka masih memiliki waktu satu jam untuk menuju bandara. Sedangkan bandara tidak terlalu jauh dari rumah Nathan."Clara, bisakah kamu sedikit tenang? Kita masih memiliki banyak waktu? Saya takut jika
Clara masih kacau. Setelah menangis tadi, ia juga harus menanggung malu karena memeluk Nathan dengan tiba-tiba. Sekarang, Clara hanya bisa menundukkan kepalanya sembari menutup mulutnya. Ia harus menanggung malu sekaligus sedih dalam waktu bersamaan. Ia tidak tahu bagaimana mendeskripsikannya. Ia terus terdiam sampai tak terasa ia sudah kembali ke rumah Nathan. Bukan ke apartemen tempat ia dan kedua kakaknya tinggal."Lho, kok ke rumah Pak Nathan?" Tanya Clara."Saya tidak mungkin meninggalkan kamu disana sendirian. Saya khawatir jika terjadi sesuatu terhadapmu." Jawab Nathan."Tidak apa-apa,Pak. Saya bisa mengatasi emosinya sendiri.""Melihat kondisi kamu yang seperti tadi, saya tidak yakin jika kamu bisa mengatasinya sendiri. Untuk sementara waktu, kamu tinggal disini terlebih dahulu. Jika kondisimu sudah
Clara menghembuskan nafasnya pelan. Ia tidak menyangka jika ia kembali sendiri. Walaupun nasibnya tidak setragis dulu, namun tetap saja Clara masih belum menerimanya. Clara jadi befikir, apakah sebelumnya Clara pernah melalukan kesalahan yang begitu fatal? Sampai Tuhan menghukumnya seperti ini? Ia menatap langit dari balkon kamarnya. Ah, lebih tepatnya kamar tamu Nathan. Ia diberikan kamar oleh Nathan untuk beberapa hari kedepan. Ia sangat bersyukur setidaknya masih ada orang yang memperdulikannya. Ia tidak perlu hidup kembali di jalanan. Beruntung, Alvin menitipkannya pada Nathan. Pria baik hati yang mengerti dirinya. Padahal mereka salinh mengenal kurang dari satu bulan. Clara melihat dua bintang yang bersinar begitu terang. Lagi-lagi kedua orang tuanya menemaninya saat ia sedang berfikir. Seandainya mereka masih ada, mungkin hidup Clara tidak ak
Clara terbangun dari tidurnya. Ini baru pukul sepuluh malam. Ia merasakan tenggorokannya yang terasa kering. Ia harus segera membasahi tenggorokannya. Dengan segera, ia bangkit dari tempat tidurnya yang terasa nyaman. Ia melirik Devan yang masih terlelap dari tidurnya. Sepertinya anak itu tidur sangat nyenyak. Clara menguap lebar. Ia berusaha menahan kantuknya. Ia menelusuri tangga dengan begitu pelan. Sesekali ia menggelengkan kepalanya ribut guna menetralisir rasa kantuknya. Clara bisa bernafas lega saat menyadari sebuah kulkas sudah berada di depan matanya. Ia segera mengambil sebuah botol mineral kemudian menengguk isinya dengan brutal. Akhirnya, tenggorokan yang awalnya kering kini telah basah. Clara harus kembali ke tempat tidurnya. Ia ingin segera melanjutkan mimpinya yang telah terputus akibat rasa haus. Namun,
Clara merebahkan tubuhnya sendiri di ranjang empuknya. Ia mengingat-ingat apa saja yang keluar dari mulut Nathan. Ia seperti memiliki sosok kakak yang bijaksana dan pekerja keras. Namun, dibanding terlihat sebagai seorang kakak, Nathan lebih terlihat sebagai sosok pendamping yang selalu mengerti akan pasangannya. Clara menatap Devan yang masih tertidur lelap. Ia ingat saat Devan menceritakan semuanya. Tentang Devan yang sudah mengetahui tentang kepergian ibunya sampai Nathan yang terus menerus membohongi Devan akan fakta yang sebenarnya. Clara berfikir, ternyata Nathan memiliki masalah yang bisa dibilang cukup rumit. Entahlah. Clara tidak mau pusing-pusing memikirkannya. Memikirkan hidupnya saja telah membuat kepalanya pening, apalagi ditambah memikirkan orang lain. Clara yakin, pasti kepalanya akan pening tujuh keliling. Clara jadi ingat tentang Alvin
Clara pusing. Ia mengelus perutnya yang membesar. Ia terus mengomeli anak-anaknya yang berlari kesana kemari tak tentu arah. Rey dan Raka, si kembar berusia lima tahun yang masih Nakal-nakalnya. Clara sampai tidak tahu bagaimana mengatasi mereka. Bi Inah sedang pulang kampung, jadi tidak ada seorang pun yang menjaga Clara untuk menjaga anak-anaknya."Rey. Jangan lari-lari. Nanti terjatuh.""Raka. Jangan sentuh benda itu! Itu berbahaya, nanti pecah!""Rey! Mama bilang jangan lari-lari. Ya Tuhan, kenapa mereka bandel sekali." Nathan mendudukkan dirinya sendiri pada sofa miliknya. Ia terlanjur kesal dengan kedua putranya. Entah aoa kesalahannya sampai ia memiliki anak senakal ini. Padahal seingatnya, ia adalah seorang anak yang penurut saat kecil. Ia jadi berfikir, apa Nathan sewaktu kecil memang senakal ini?"Istirahatlah. Kamu pasti l
Tiga bulan sudah berlalu. Perut Clara mulai menyembul di balik bajunya. Tubuh Clara juga semakin berisi. Pipinya yang bulat semakin bulat karena ia banyak sekali makan. Nathan jadi sering mencubit pipinya sampai memerah saking gemasnya. Hal itu membuat Clara jadi kesal sendiri. Devan menatap Clara yang masih menikmati camilannya. Ia melihat banyak sekali bungkus yang berserakan di depan Clara. Itu merupakan cemilannya. Tega sekali dia memakan milik Devan. Akan tetapi, Devan berusaha menerima. Ia harus mengingat perkataaUcapathan. Bahwa ia harus menuruti perkataan Clara. Kata Nathan, ini adalah salah satu cara untuk belajar menjadi kakak yang baik. Devan mendekati Clara kemudian duduk di sebelah Clara. Ia menatap Clara yang masih tidak memperdulikan keberadaan Devan. Clara masih terlalu fokus dengan makanannya. Lama menatap Clara makan, membuat Devan ikin mencicipinya juga. Namu
Clara memasuki rumahnya dengan lesu. Ia masih belum menerima sepenuhnya bayi yang di kandungannya. Clara sudah berusaha, namun apalah daya. Hatinya belum ikhlas sepenuhnya. Bahkan ia melewati Devan begitu saja ketika anak itu hendak menyapanya. Ia tidak menggubris sama sekali akan keberadaan Devan. Devan merasa ada yang janggal. Ia menatap sang ayah guna meminta penjelasan. Sang ayah hanya tersenyum kemudian mengelus rambut Devan lembut. "Mama sedang capek. Makanya tidak sempat menyapa Devan. Devan tidak apa-apa kan?" Ucap Nathan berusaha menghibur Devan. "Tidak apa-apa, Papa. Devan hanya bingung saja. Tidak biasanya Mama seperti itu. Apa Mama capek sekali sampau tidak memperdulikan Devan sama sekali?" "Iya. Mama capek sekali. Apalagi sekarang ada dedek bayi." "Dedek bayi? Dedek bayi siapa? Aku tidak melihat dedek ba
Clara menatap Wilda tidak suka. Sebenarnya siapa yang salah di sini? Kenapa dia malah menatapnya seperti itu? Bukankah seharusnya Clara yang merasa kesal karena suaminya telah di ganggu olehnya? Ia merutuki wanita yang tidak tahu diri itu. Kenapa dia masih bisa berkeliaran bebas di sini? Seharusnya ia sudah membusuk di penjara."Kenapa menatapku seperti itu? Kamu tidak suka? Aku tidak perduli. Kamu yang salah kenapa kamu yang kesal?" Ucap Clara kesal."Kamu yang salah! Kamu yang telah memasuki ke kehidupan kami tiba-tiba. Seandainya kamu tidak datang mungkin semuanya akan baik-baik saja. Karena kamu, hidupku menjadi hancur." Jawab Clara."Baik-baik saja? Maksudmu, kamu akan tetap mengejar-ngejar Nathan kemudian mengincar harta yang dimiliki oleh Nathan kan?""Tutup mulutmu bocah!""Kenapa? Apa yang aku katakan benar. Ah iya. Pentindak kriminal sepertimi sehar
Clara ikut dengan Nathan ke kantor. Tiap tahu kenapa, ia selalu menempel dengan Nathan. Ia tidak mau berpisah sedetik pum dengan Nathan. Ia harus mengikuti kemanapun Nathan pergi. Nathan terheran-heran. Ada apa dengan istri kecilnya ini? Kenapa jadi manja sekali? Bahkan, tingkat kemanjaannya melebihi Devan. Ia tidak bisa berbuat apa-apa saat Clara merengek supaya bisa ikut dengannya. Nathan hanya bisa mengelus dadanya sabar saat tingkah Clara semakin menjadi-jadi. Seperti sekarang. Clara mengusir siapapun wanita yang ingin menemui Nathan. Sekalipun itu hanya karyawan maupun cleaning service. Clara akan mengusir mereka dengan cepat. Nathan hanya memijit pelipisnya pelan. Ia pening memikirkan tingkah sang istri. Istrinya ini terlihat begitu aneh. Clara yang biasanya tenang kini menjadi Clara yang yang emosional. Berubah seratus delapan puluh derajat.
Jovian kesal bukan main. Setelah ia menuntaskan semuanya, ia tidak menerima kabar dari Nathan sama sekali. Untung saja ia berhasil menuntaskannya tanpa jejak. Ia mensyukuri otak cerdasnya yang bisa di andalkan. Seandainya tindakannya di ketahui oleh aparat kepolisian, bisa habis ia karena telah menembak seseorang tanpa izin. Memangnya dia harus izin kemana? Jovian hanya mengirimkan Edgar ke luar negeri saat dirinya belum sadar. Ia menyuruh bawahannya untuk menemani raga Edgar sampai sana. Ia juga memerintahkan bawahannya, supaya Edgar di operasi untuk menghilangkan ingatannya. Ia tidak mau membunuh makhluk itu. Walaupun ia pria berdarah dingin, ia tidak mau mengotori tangan sucinya akibat membunuh Edgar. Jovian memasuki rumahnya dengan lesu. Ia lelah sekali karena mengurus semuanya sendirian. Ia tidak menyangka jika Nathan tega membiarkannya mengurus semuanya sendirian. Mentang-men
Clara dan Nathan memasuki rumah mereka dengan pelan. Mereka khawatir jika ada yang terganggu oleh kedatangan mereka. Clara menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. Suasananya tampak begitu sepi. Mungkin penghuni rumahnya sudah memasuki ke alam mimpinya masing-masing. Clara menghela nafas berat. Ia harus segera mengistirahatkan tubuhnya yang masih terlalu lemas. Ia ingin segera meraih mimpinya seperti yang lain. Namun, impiannya sirna saat mendapati gundukan selimut yang memenuhi tempat tidurnya dan Nathan. Clara tahu siapa sang pelaku. Biasanya, ia akan merasa biasa saja melihat tingkah Devan yang seperti ini. Entah kenapa hari ini Clara merasa sedikit kesal. Mungkin karena ia kelelahan. Ia membalikkan badan Nathan kemudian menatapnya tajam."Kak, pindahkan Devan dari dari kamar kita. Aku tidak mau jika kita harus berbagi ranjang dengan dia." Uc
Nathan memasuki ruangan Clara dengan hati-hati. Takut jika sang penghuni sedang tertidur. Namun, ia bisa melihat sosok laki-laki yang sedang berada di samping Clara. Ia tahu siapa laki-laki itu. Dia adalah Rafa. Nathan segera menyingkirkan Rafa dari tempat duduknya. Sontak, Rafa langsung jatuh tersungkur jatuh ke lantai akibat tenaga Nathan yang tidak main-main. Rafa menatap Nathan sengit. Baru saja ia memuji Nathan di depan Clara. Sekarang malah mempermalukannya begitu saja."Aduh, Pak. Jika ingin duduk tinggal katakan saja. Jangan seenaknya menyingkirkan saya begitu saja. Memangnya saja barang yang bisa di lempar begitu saja!" Ucap Rafa kesal."Itu memang pantas untukmu. Lagipula wajahmu itu mirip dengan sempak milik Kak Nathan. Ah, bahkan lebih bagusan milik Kak Nathan." Bukan Nathan yang menjawab, tapi Clara."Sudahlah. Lebih baik aku pergi daripada
Clara mendengus kesal saat mendapati wajah suaminya di mana-mana. Kemanapun ia mengalihkan channel, maka wajah suaminya akan terpampang begitu saja. Ia heran, kenapa Nathan bisa seterkenal itu? Setelah ini, ia akan terpampang di televisi. Ia tidak sabar untuk menjadi terkenal. Ah tidak. Jika di fikir-fikir. Menjadi terkenal bukanlah hal yang mudah. Privasinya akan menjadi konsumsi publik. Seperti sekarang, hubungannya dengan Nathan harus menjadi konsumsi semua orang. Clara bosan. Jika setiap channel berisi tentang suaminya, untuk apa dia menonton televisi. Lebih baik ia mematikannya sekarang juga. Ia lebih suka menatap sang suami di dunia nyata bukan dalam layar kaca. Clara mendengus pelan. Kenapa tak seorang pum yang mengunjunginya. Apakah mereka tidak tahu jika Clara bisa saja mati kebosanan sekarang. Kenapa mereka tidak peka sama sekali sih? &