Clara terbangun dari tidurnya. Ini baru pukul sepuluh malam. Ia merasakan tenggorokannya yang terasa kering. Ia harus segera membasahi tenggorokannya. Dengan segera, ia bangkit dari tempat tidurnya yang terasa nyaman. Ia melirik Devan yang masih terlelap dari tidurnya. Sepertinya anak itu tidur sangat nyenyak.
Clara menguap lebar. Ia berusaha menahan kantuknya. Ia menelusuri tangga dengan begitu pelan. Sesekali ia menggelengkan kepalanya ribut guna menetralisir rasa kantuknya.
Clara bisa bernafas lega saat menyadari sebuah kulkas sudah berada di depan matanya. Ia segera mengambil sebuah botol mineral kemudian menengguk isinya dengan brutal. Akhirnya, tenggorokan yang awalnya kering kini telah basah.
Clara harus kembali ke tempat tidurnya. Ia ingin segera melanjutkan mimpinya yang telah terputus akibat rasa haus. Namun,
Clara merebahkan tubuhnya sendiri di ranjang empuknya. Ia mengingat-ingat apa saja yang keluar dari mulut Nathan. Ia seperti memiliki sosok kakak yang bijaksana dan pekerja keras. Namun, dibanding terlihat sebagai seorang kakak, Nathan lebih terlihat sebagai sosok pendamping yang selalu mengerti akan pasangannya. Clara menatap Devan yang masih tertidur lelap. Ia ingat saat Devan menceritakan semuanya. Tentang Devan yang sudah mengetahui tentang kepergian ibunya sampai Nathan yang terus menerus membohongi Devan akan fakta yang sebenarnya. Clara berfikir, ternyata Nathan memiliki masalah yang bisa dibilang cukup rumit. Entahlah. Clara tidak mau pusing-pusing memikirkannya. Memikirkan hidupnya saja telah membuat kepalanya pening, apalagi ditambah memikirkan orang lain. Clara yakin, pasti kepalanya akan pening tujuh keliling. Clara jadi ingat tentang Alvin
Nathan baru saja terbangun dari lelapnya. Ia melirik jam di nakas tempat tidurnya. Pukul enam pagi. Sepertinya ia harus cepat. Ia terlambat bangun kali ini. Mungkin karena tidur terlalu malam. Nathan harus membersihkan diri, ia belum menyiapkan semua keperluan Devan. Sesibuk apapun, Nathan selalu menyiapkan segala keperluan Devan. Walaupun ada Bi Inah, Nathan ingin selalu menjadi yang pertama untuk Nathan. Ia melangkahkan kakinya ke kamar mandi. Tidak lupa, ia membawa handuk kesayangannya. Bersiap untuk mandi. Nathan bergedik sejenak saat air dingin mengaliri tubuhnya. Ia menyesal karena lupa menyalakan air hangat pada showernya. Cuaca pagi ini begitu dingin. Walaupun malam tadi begitu cerah, namun pagi ini sepertinya akan berbalikan. Nathan belum melihat matahari muncul dari permukaannya. Matahari itu terlihat malu-malu untuk muncul ke per
Devan mengelus perutnya pelan. Ia kenyang sekali. Ia makan terlalu banyak pagi ini. Ia jadi khawatir, jika ia akan mengantuk di kelas nanti. Tidak apa, jika mengantuk Devan hanya perlu membasuh wajah bukan. Tidak mungkin jika ia dimarahi ibu guru hanya karena menahan kantuk. Nathan pun sama. Tak biasanya ia makan sebanyak ini. Biasanya ia makan seperlunya saja. Tidak sampai merasakan kenyang. Entah kenapa, saat melihat Devan makan terlalu lahap membuat nafsu makannya ikut naik."Selesai. Papa ayo berangkat. Devan mau berangkat pagi. Devan piket hari ini. Devan tidak mau membuat Lala menunggu." Ucap Devan semangat."Piket? Tidak biasanya kamu melaksanakan piket." Tanya Nathan."Itu karena Devan selalu berangkat terlambat. Jadi, Devan tidak pernah piket. Devan jadi kasian dengan Lala. Devan harus meminta maaf.""Bai
Edgar menghembuskan asap rokoknya. Ia tidak perduli jika petikan api mengenai ranjang mewahnya. Ia melirik seorang wanita yang masih dalam posisi telanjang di sampingnya. Mereka baru saja melewati malam panas yang begitu menggairahkan. Edgar merupakan pria rakus akan segalanya. Ia rakus akan harta dan juga wanita. Bahkan, ia tak segan untuk melakukan apapun agar membuatnya cepat kaya. Walaupun seburuk apapun itu. Yang penting semua keinginannya tercapai. Ia tidak perduli cara yang dilakukan olehnya. Ia hanya perduli terhadap hasil yang telah diperoleh. Selain suka sekali dengan karta. Edgar juga haus dengan wanita. Tak jarang ia harus menyewa wanita mahal hanya untuk menuntaskan hasratnya. Terkadang, ia bermain bersama dengan dua atau tiga wanita sekaligus. Bejat bukan? Itulah Edgar. Edgar kesal. Setelah beberapa hari, perusahaan miliknya tak kunjung memb
Devan senang sekali pagi ini. Selain tidur bersama Mama tadi malam, ia juga disiapkan segalanya oleh Mama. Jika setiap hari seperti ini, pasti Devan akan senang sekali. Ia akan terus tersenyum sepanjang hari. Raka, teman Devan mengernyit heran. Tidak biasanya, Devan seceria ini. Memang Devan merupakan anak yang ceria,namun kali ini ia terlihat lebih bersemangat. Bahkan, Devan terus saja menyunggingkan senyumannya saat bertemu dengan teman-temannya. Melihat tingkah Devan yang tidak seperti biasanya membuat Raka semakin penasaran. Kaki kecilnya berjalan mendekati Devan. Ia menyentuh bahu Devan, sedangkan yang disentuh berjengit kaget saat merasakan seseorang menyentuh bahunya. Devan melirik tidak suka saat menyadari siapa si pelaku. Raka adalah anak yang suka sekali mencari masalah dengan Devan."Kamu kenapa kagetin aku?" Tanya Devan."Aku nggak berniat buat ngage
Clara memasuki rumah dengan menggendong Devan. Entah kenapa Devan jadi manja sekali. Clara tidak menyangka jika ia menjadi seorang ibu di usianya yang masih sangat muda. Walaupun bukan sebagai seorang ibu dalam artian yang sebenarnya, tetap saja Clara masih tidak menyangka. Dimas yang melihat Clara sedikit kesusahan sedikit jadi merasa bersalah. Devan adalah cucu kandungnya sendiri. Seharusnya ia sendiri yang menjemput Devan , bukan orang lain yang bahkan bersama mereka selama kurang dari satu minggu. Dimas jadi merutuki dirinya sendiri yang terlalu pulas jika tertidur. "Devan kamu sudah pulang,Nak? Maaf kakek tidak sempat menjemputmu. Kakek menyesal sekali." Ucap sang kakek. "Memangnya Kakek sering menjemput Devan? Tidak tuh. Kakek pernah menjemput Devan satu kali saja selama Devan sekolah. Kakek selalu beralasan tidak sempat. Padahal, kakek selalu tidur dari pagi sa
Clara menghela nafas pelan. Kejadian tadi benar-benar membuatnya senam jantung. Ia tidak bisa berlama-lama dengan Nathan. Ia bisa mati mendadak karena terkena serangan jantung. Ia tidak mau itu terjadi. Untung saja, ia cepat-cepat bisa pergi dari Nathan. Ia bisa mencari alasan yang tepat untuk menjauh dari Nathan. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana kalau ia masih berada di dekat Nathan. Pasti tubuhnya sudah membiru karena mati. Clara mengelus dadanya pelan. Berusahalah menetralkan detak jantungnya yang terlalu cepat. Ia bisa saja terserang penyakit jantung jika sering bersama Nathan. Daripada memikirkan itu, lebih baik ia memikirkan hal lain. Ini tidak baik untuk kesehatan jiwa dan raganya. Ia harus melakukan sesuatu yang bisa membuat fikirannya teralih dari Nathan. Sepertinya membuka sosial medianya yang sudah lama dibuka adalah hal yang bagus. Ia su
Wilda segera bersiap menemui Edgar. Ia sudah mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk menemuinya. Walaupun tidak seperti saat ia menemui Nathan. Tapi, setidaknya ia sudah menyiapkannya sebaik mungkin. Ia tetap terlihat cantik walaupun tanpa melakukan perawatan sedikitpun. Terimakasih kepada make up karena telah menyelamatkan wajahnya. Ia harus mensyukuri karena ia terlahir jadi wanita wanita cantik. Jika ia tidak cantik, apa yang bisa diandalkan? Sepertinya tidak ada. Ia menunggu kedatangan Edgar yang telah berjanji akan menjemputnya. Ia sungguh tak sabaran untuk menunggu lebih lama lagi. Pasalnya, ia telah menunggu lebih dari setengah jam. Wilda heran, kenapa Edgar lama sekali? Apakah ia menyelesaikan urusannya terlebih dahulu? Jika iya, seharusnya ia membatalkan saja perjanjian mereka. Sudah ia katakan , bahwa ia malas sekali menunggu. Wilda berulang kali
Clara pusing. Ia mengelus perutnya yang membesar. Ia terus mengomeli anak-anaknya yang berlari kesana kemari tak tentu arah. Rey dan Raka, si kembar berusia lima tahun yang masih Nakal-nakalnya. Clara sampai tidak tahu bagaimana mengatasi mereka. Bi Inah sedang pulang kampung, jadi tidak ada seorang pun yang menjaga Clara untuk menjaga anak-anaknya."Rey. Jangan lari-lari. Nanti terjatuh.""Raka. Jangan sentuh benda itu! Itu berbahaya, nanti pecah!""Rey! Mama bilang jangan lari-lari. Ya Tuhan, kenapa mereka bandel sekali." Nathan mendudukkan dirinya sendiri pada sofa miliknya. Ia terlanjur kesal dengan kedua putranya. Entah aoa kesalahannya sampai ia memiliki anak senakal ini. Padahal seingatnya, ia adalah seorang anak yang penurut saat kecil. Ia jadi berfikir, apa Nathan sewaktu kecil memang senakal ini?"Istirahatlah. Kamu pasti l
Tiga bulan sudah berlalu. Perut Clara mulai menyembul di balik bajunya. Tubuh Clara juga semakin berisi. Pipinya yang bulat semakin bulat karena ia banyak sekali makan. Nathan jadi sering mencubit pipinya sampai memerah saking gemasnya. Hal itu membuat Clara jadi kesal sendiri. Devan menatap Clara yang masih menikmati camilannya. Ia melihat banyak sekali bungkus yang berserakan di depan Clara. Itu merupakan cemilannya. Tega sekali dia memakan milik Devan. Akan tetapi, Devan berusaha menerima. Ia harus mengingat perkataaUcapathan. Bahwa ia harus menuruti perkataan Clara. Kata Nathan, ini adalah salah satu cara untuk belajar menjadi kakak yang baik. Devan mendekati Clara kemudian duduk di sebelah Clara. Ia menatap Clara yang masih tidak memperdulikan keberadaan Devan. Clara masih terlalu fokus dengan makanannya. Lama menatap Clara makan, membuat Devan ikin mencicipinya juga. Namu
Clara memasuki rumahnya dengan lesu. Ia masih belum menerima sepenuhnya bayi yang di kandungannya. Clara sudah berusaha, namun apalah daya. Hatinya belum ikhlas sepenuhnya. Bahkan ia melewati Devan begitu saja ketika anak itu hendak menyapanya. Ia tidak menggubris sama sekali akan keberadaan Devan. Devan merasa ada yang janggal. Ia menatap sang ayah guna meminta penjelasan. Sang ayah hanya tersenyum kemudian mengelus rambut Devan lembut. "Mama sedang capek. Makanya tidak sempat menyapa Devan. Devan tidak apa-apa kan?" Ucap Nathan berusaha menghibur Devan. "Tidak apa-apa, Papa. Devan hanya bingung saja. Tidak biasanya Mama seperti itu. Apa Mama capek sekali sampau tidak memperdulikan Devan sama sekali?" "Iya. Mama capek sekali. Apalagi sekarang ada dedek bayi." "Dedek bayi? Dedek bayi siapa? Aku tidak melihat dedek ba
Clara menatap Wilda tidak suka. Sebenarnya siapa yang salah di sini? Kenapa dia malah menatapnya seperti itu? Bukankah seharusnya Clara yang merasa kesal karena suaminya telah di ganggu olehnya? Ia merutuki wanita yang tidak tahu diri itu. Kenapa dia masih bisa berkeliaran bebas di sini? Seharusnya ia sudah membusuk di penjara."Kenapa menatapku seperti itu? Kamu tidak suka? Aku tidak perduli. Kamu yang salah kenapa kamu yang kesal?" Ucap Clara kesal."Kamu yang salah! Kamu yang telah memasuki ke kehidupan kami tiba-tiba. Seandainya kamu tidak datang mungkin semuanya akan baik-baik saja. Karena kamu, hidupku menjadi hancur." Jawab Clara."Baik-baik saja? Maksudmu, kamu akan tetap mengejar-ngejar Nathan kemudian mengincar harta yang dimiliki oleh Nathan kan?""Tutup mulutmu bocah!""Kenapa? Apa yang aku katakan benar. Ah iya. Pentindak kriminal sepertimi sehar
Clara ikut dengan Nathan ke kantor. Tiap tahu kenapa, ia selalu menempel dengan Nathan. Ia tidak mau berpisah sedetik pum dengan Nathan. Ia harus mengikuti kemanapun Nathan pergi. Nathan terheran-heran. Ada apa dengan istri kecilnya ini? Kenapa jadi manja sekali? Bahkan, tingkat kemanjaannya melebihi Devan. Ia tidak bisa berbuat apa-apa saat Clara merengek supaya bisa ikut dengannya. Nathan hanya bisa mengelus dadanya sabar saat tingkah Clara semakin menjadi-jadi. Seperti sekarang. Clara mengusir siapapun wanita yang ingin menemui Nathan. Sekalipun itu hanya karyawan maupun cleaning service. Clara akan mengusir mereka dengan cepat. Nathan hanya memijit pelipisnya pelan. Ia pening memikirkan tingkah sang istri. Istrinya ini terlihat begitu aneh. Clara yang biasanya tenang kini menjadi Clara yang yang emosional. Berubah seratus delapan puluh derajat.
Jovian kesal bukan main. Setelah ia menuntaskan semuanya, ia tidak menerima kabar dari Nathan sama sekali. Untung saja ia berhasil menuntaskannya tanpa jejak. Ia mensyukuri otak cerdasnya yang bisa di andalkan. Seandainya tindakannya di ketahui oleh aparat kepolisian, bisa habis ia karena telah menembak seseorang tanpa izin. Memangnya dia harus izin kemana? Jovian hanya mengirimkan Edgar ke luar negeri saat dirinya belum sadar. Ia menyuruh bawahannya untuk menemani raga Edgar sampai sana. Ia juga memerintahkan bawahannya, supaya Edgar di operasi untuk menghilangkan ingatannya. Ia tidak mau membunuh makhluk itu. Walaupun ia pria berdarah dingin, ia tidak mau mengotori tangan sucinya akibat membunuh Edgar. Jovian memasuki rumahnya dengan lesu. Ia lelah sekali karena mengurus semuanya sendirian. Ia tidak menyangka jika Nathan tega membiarkannya mengurus semuanya sendirian. Mentang-men
Clara dan Nathan memasuki rumah mereka dengan pelan. Mereka khawatir jika ada yang terganggu oleh kedatangan mereka. Clara menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. Suasananya tampak begitu sepi. Mungkin penghuni rumahnya sudah memasuki ke alam mimpinya masing-masing. Clara menghela nafas berat. Ia harus segera mengistirahatkan tubuhnya yang masih terlalu lemas. Ia ingin segera meraih mimpinya seperti yang lain. Namun, impiannya sirna saat mendapati gundukan selimut yang memenuhi tempat tidurnya dan Nathan. Clara tahu siapa sang pelaku. Biasanya, ia akan merasa biasa saja melihat tingkah Devan yang seperti ini. Entah kenapa hari ini Clara merasa sedikit kesal. Mungkin karena ia kelelahan. Ia membalikkan badan Nathan kemudian menatapnya tajam."Kak, pindahkan Devan dari dari kamar kita. Aku tidak mau jika kita harus berbagi ranjang dengan dia." Uc
Nathan memasuki ruangan Clara dengan hati-hati. Takut jika sang penghuni sedang tertidur. Namun, ia bisa melihat sosok laki-laki yang sedang berada di samping Clara. Ia tahu siapa laki-laki itu. Dia adalah Rafa. Nathan segera menyingkirkan Rafa dari tempat duduknya. Sontak, Rafa langsung jatuh tersungkur jatuh ke lantai akibat tenaga Nathan yang tidak main-main. Rafa menatap Nathan sengit. Baru saja ia memuji Nathan di depan Clara. Sekarang malah mempermalukannya begitu saja."Aduh, Pak. Jika ingin duduk tinggal katakan saja. Jangan seenaknya menyingkirkan saya begitu saja. Memangnya saja barang yang bisa di lempar begitu saja!" Ucap Rafa kesal."Itu memang pantas untukmu. Lagipula wajahmu itu mirip dengan sempak milik Kak Nathan. Ah, bahkan lebih bagusan milik Kak Nathan." Bukan Nathan yang menjawab, tapi Clara."Sudahlah. Lebih baik aku pergi daripada
Clara mendengus kesal saat mendapati wajah suaminya di mana-mana. Kemanapun ia mengalihkan channel, maka wajah suaminya akan terpampang begitu saja. Ia heran, kenapa Nathan bisa seterkenal itu? Setelah ini, ia akan terpampang di televisi. Ia tidak sabar untuk menjadi terkenal. Ah tidak. Jika di fikir-fikir. Menjadi terkenal bukanlah hal yang mudah. Privasinya akan menjadi konsumsi publik. Seperti sekarang, hubungannya dengan Nathan harus menjadi konsumsi semua orang. Clara bosan. Jika setiap channel berisi tentang suaminya, untuk apa dia menonton televisi. Lebih baik ia mematikannya sekarang juga. Ia lebih suka menatap sang suami di dunia nyata bukan dalam layar kaca. Clara mendengus pelan. Kenapa tak seorang pum yang mengunjunginya. Apakah mereka tidak tahu jika Clara bisa saja mati kebosanan sekarang. Kenapa mereka tidak peka sama sekali sih? &