Dalam bus kota yang melaju cepat membawanya menuju kafe Jasmine. Anita tak henti tersenyum memikirkan tentang tanda tangan kontrak yang tadi ia lakukan. Sampai detik ini, dirinya masih tak menduga, bahwa dirinya akan kembali ke meja asisten maneger. Rasanya begitu senang dan melegakan. Namun, di balik rasa senang yang besar itu. Perasaan cemas dan tak enak perlahan mulai menghampiri. Bagai malam yang menelan siang secara perlahan, rasa cemas itu menelan senyumnya perlahan juga.
Masalah tanda tangan kontrak, memang sudah teratasi dengan baik. Namun, masih ada satu hal yang harus ia selesaikan terlebih dahulu sebelum ia bisa bernafas lega saat menduduki meja asisten manajer. Satu hal itu adalah bagaimana ia harus menghadapi pak Bena untuk mengatakan jika dirinya akan resign.
Meski malam kemarin Sagara sudah mengatakan jika dirinya sudah berbicara langsung dengan pak Bena perihal hal ini. Namun, tetap saja Anita merasa ragu dan sungkan
Kabar kembalinya dirinya ke perusahaan DA.crop dengan jabatan asisten manajer tak di simpannya sendiri. Anita memberitahukan kabar menggembirakan itu pada Cecilia saat keduanya bertemu di kafe Melati, tempat biasa bagi keduanya nongkrong bareng. Cecilia yang mendengar kabar itu langsung mendelik tak percaya. “Serius?!" tanyanya dengan nada terkejut. Anita mengangguk cepat sembari memasang senyum lebar. “Kok bisa sih? Cerita detailnya dong...” bujuk Cecilia. Hal yang paling di suka adalah, saat mereka membuka topik obrolan. Maka pertanyaan dari lawan bicaranya yang membuat semangat bercerita lebih panjang dan lebih lengkap menjadi pemicunya. Anita tersenyum lepas sebelum memulai cerita. “Ya malam itu Pak Sagara kan minta ketemuan. Katanya mau ngobrolin sesuatu. Aku sih awalnya menolak. Karena aku pikir pasti mau maksa aku bua
Dalam bathup besar yang berisi air hangat untuk berendam, Sagara menelepon pak Braham. Ditemani segelas anggur putih, ia menanti pak Braham mengangkat teleponnya.“Iya halo, Pak?” sahut pak Braham saat menerima panggilan telepon Sagara.“Sibuk Pak?” tanya Sagara. Ia bertanya karena pak Braham cukup lama untuk menerima panggilan telepon darinya.“Selesai makan malam, Pak. Ini baru masuk kamar. Di rumah saya ada peraturan tidak boleh bawa handphone atau gadget saat makan. Jadi handphone saya tinggal di kamar.”“Oh.”“Ada apa ya, Pak?”Sagara meminum seteguk anggur putihnya sebelum mulai menerangkan maksud dari dirinya menelepon.“Saya mau mengingatkan untuk jadwal Bapak besok.”“Jadwal menemui Pak Achmad maksud Bapak?”&n
Lantunan lagi Surat Cinta Untuk Starla berbunyi dan memecah lamunan Anita yang mendadak di penuhi ingatan soal Agra yang ia marahi beberapa waktu lalu. Suara lagu itu pertanda ada panggilan telepon yang masuk di handphone-nya.Anita segera mengangkatnya dan entah mengapa, terlintas di hatinya, ia berharap jika Agra yang menelepon. Namun ternyata bukan.Sedikit rasa kecewa terbesit tipis di hatinya saat dia tahu bahwa Cecilia yang menelepon.‘Sial, apa-apaan aku ini. Mantan adalah sampah. Tak ada yang perlu diharapkan dari sampah,’ sesal Anita dalam hati.“Iya ada apa, Cil?” tanya Anita usai ia menekan tombol terima.“Kamu lagi sibuk ya? Dari tadi aku kirim pesan tidak kau jawab.”Anita berdecak. Dia baru ingat bahwa ada 1 notifikasi yang belum ia buka.“Ah maaf, aku baru selesai
Di depan meja pantri, sambil tangannya sibuk meracik secangkir kopi hitam. Anita tak henti menggerutu soal ulah Sagara di lift tadi. Kejadian yang sangat memalukan dan menyebalkan itu sungguh membuat paginya menjadi sangat buruk. Seperti mengalami mimpi paling buruk di sepanjang sejarah mimpi buruknya.Masih sambil mengaduk kopi sampai gula dan kopinya tercampur rata dalam air panas. Anita berusaha berpikir keras agar dirinya segera terlepas dari jeratan Sagara. Ia tak ingin kejadian serupa kembali dialaminya.“Dia orang yang keras kepala dan selalu bertindak sesuka hatinya. Membujuknya agar tidak melakukan hal seperti tadi bukan cara terbaik. Hati dan kepalanya sama-sama sekeras batu. Dia pasti malah akan menjadi lebih parah jika aku sampai memohon padanya.”Anita terus berpikir untuk mencari cara terbaik hingga membuat wajahnya mengerut dan kepalanya penat. Cukup lama ia berpikir dan akhirnya terbe
Sambil mengunyah bakso dalam mulutnya Anita membuka handphone-nya untuk melihat percakapan yang ada di grup chat alumninya.Di sana ia mencari informasi soal di mana reuni akan di gelar. Namun belum terlihat kabar itu. Percakapan yang terlihat malah membahas soal makanan yang lagi booming dan merek pakaian yang lagi hits. Membuat Anita menghela nafas.Anita lalu membuka daftar alumni yang ada di grup. Di dalam daftar yang berisi hampir 100 orang itu ia mencari nomor Soni. Ia bermaksud untuk bertanya langsung padanya.Tak lama, nomor yang di cari berhasil ditemukan. Anita langsung menghubungi nomor itu. Perasaannya jadi berdebar kala menanti Soni menanggapi panggilan teleponnya. Sudah lama tidak pernah ada komunikasi membuat Anita gugup dan malu. Seakan sedang menelepon orang asing. Padahal dulu, mereka cukup dekat. Malahan pernah sama-sama menjadi bagian dari OSIS.“Halo? Anit
Sesampainya di hotel, Sagara langsung memesan dua kamar untuknya dan Anita. Dan langsung memilih istirahat untuk menghilangkan rasa letih usai perjalanan yang cukup jauh. Terlebih hari sudah gelap di luar sana.Anita, tanpa mendapat perintah untuk beristirahat dari Sagara, langsung beranjak menuju kamarnya usai mendapatkan kunci kamar. Ia bahkan berjalan terlebih dahulu dan meninggalkan Sagara tanpa sepatah kata pun. Sagara tak komen atau memanggilnya. Ia hanya membiarkan Anita berlalu.Hari yang melelahkan bagi Anita dan juga Sagara. Dalam kamarnya yang luas Anita akhirnya bisa merasakan kebebasan. Ia berceloteh tak jelas untuk memuaskan mulutnya berbicara. 7 jam perjalanan tanpa bicara sama sekali membuat otot di tahannya terasa kaku.Sedang Sagara, begitu ia masuk dalam kamarnya yang letaknya berhadapan dengan kamar Anita. Langsung menanggalkan semua pakaian lalu masuk dalam kamar mandi. Entah itu di rumah atau
Anita sudah bisa menghirup nafas lega usai keluar dari restoran hotel. Tadi hampir saja ia ketahuan oleh teman-teman SMA nya.Angin pantai berembus kuat menerpa tubuh ramping Anita. Menyibakkan rambutnya yang hitam legam dengan kuat. Membuat tatanan rambutnya yang rapi jadi sedikit terurai berantakan. Anita memegangi rambut kepalanya agar saat angin kembali berembus kencang, rambutnya tidak bertambah berantakan. Ia tak ingin penampilannya yang elegan jadi berkurang karena rambutnya berantakan.Sagara yang berjalan di samping Anita dengan memasang jarak 50 cm, memberikan topi yang ia pantai pada Anita.“Nih, biar rambut indahmu tetap terjaga cantik.” Kata Sagara.Anita hanya diam. Dirinya tidak menolak topi yang di berikan Sagara. Dia malah merapikan topi itu agar pas di kepalany
Anita sudah bisa menghirup nafas lega usai keluar dari restoran hotel. Tadi hampir saja ia ketahuan oleh teman-teman SMA nya.Angin pantai berembus kuat menerpa tubuh ramping Anita. Menyibakkan rambutnya yang hitam legam dengan kuat. Membuat tatanan rambutnya yang rapi jadi sedikit terurai berantakan. Anita memegangi rambut kepalanya agar saat angin kembali berembus kencang, rambutnya tidak bertambah berantakan. Ia tak ingin penampilannya yang elegan jadi berkurang karena rambutnya berantakan.Sagara yang berjalan di samping Anita dengan memasang jarak 50 cm, memberikan topi yang ia pantai pada Anita.“Nih, biar rambut indahmu tetap terjaga cantik.” Kata Sagara.Anita hanya diam. Dirinya tidak menolak topi yang di berikan Sagara. Dia malah merapikan topi itu agar pas di kepalanya yang ukurannya lebih kecil dari ukuran topi Sagara.Mereka berdua berjalan-jalan di tepi