Hari yang ku tunggu-tunggu akhirnya tiba, dimana mas Abdullah beserta keluarganya akan kembali ke rumah ini guna untuk mengkhitbahku secara resmi dan menentukan tanggal sekaligus merencanakan acara pernikahan kami. Persiapan sudah siap sedari tadi. Tak lupa abah dan umi juga mengundang beberapa kerabat kami terdekat. Aku dan yang lainnya pun sudah siap menunggu kedatangannya. ***Sebuah mobil berwarna hitam telah memasuki halaman rumah. Dan ku tahu, itu adalah mobil salah satu dari rombongan mas Abdullah. Abah, umi dan kerabat yang lainnya menyabut kedatangan mereka ketika didapati kedua orang tua mas Abdullah turun dari mobil bersama Aisyah juga kedua calon anak sambungku. Sementara aku ditemani mbak Lita menunggu di dalam rumah. Cukup lama aku menunggu tapi rombongan keluarga mas Abdullah masih tetap berada di luar. Bahkan terdengar suasana di luar lumayan ramai. Karena penasaran aku mencoba melihat tanpa melewati pintu utama. Dari celah orang-orang yang menyambut kelaurga mas
#MPSPart 38 Kurang dari 72 JamBahkan persiapanku sudah benar-benar ku matangkan sejak dulu setalah keluarga pak Irwan datang mengutarakan niatnya untuk mengkhitbahkan anak lelakinya untukku. Karena bagiku itu bukan hal yang mudah, mengingat kegagalanku dalam membina rumah tangga yang masih berusia bulanan. Lalu, persiapan apa yang umi maksudkan? "Maksud Umi? " tanyaku kebingungan. Umi menghela nafas sembari mengusap setetes air mata yang sudah keluar dari sudut mata kirinya. Lalu beliau menyentuh kedua sisi bahuku dan tersenyum. "Bersiaplah, karena Abdullah akan segera datang, " katanya. "Semoga ini adalah jodohmu yang sesungguhnya, " katanya lagi. 'Ku harap begitu Mi,' batinku. Aku bernafas lega. Tak henti-hentinya pula aku berucap syukur dalam hati mendengar kabar dari umi. Itu artinya bahwa mas Abdullah masih baik-baik saja. Hal buruk yang sempat terlintas di pikiranku pun tidak benar adanya. Umi kembali ke depan. Sementara aku membenahi penampilanku juga make up yang diba
#MPSPart 38 Persiapan Akad"Loh, kamu ngapain? " tanya umi ketika beliau melihatku sedang memilih-milih pakaian gamisku. Netranya mengelilingi seluruh kamarku dimana beberapa gamis dan jilbab yang tak lagi berada di tempatnya. "Aku bingung Mi mau pakai yang mana. Stelan gamis warna putihku nggak ada yang cocok. Udah nggak kelihatan bagus," kataku pasrah. Umi tersenyum. Memajukan langkahnya lebih dekat denganku. Terpancar wajah bahagia diwajahnya. Dalam hati betapa bahagianya aku karena aku tahu ibu yang sudah mengandung, melahirkan dan membesarkanku dengan penuh kasih sayang kini berbahagia karena aku. Bahkan, bisa ku lihat bahagianya itu lebih dari seribu kali lipat ketika aku akan menikah dengan mas Arga dulu. Ya, acara khidmat janji suciku dengan mas Abdullah akan dilangsungkan nanti malam usai ba'da sholat mahgrib. Setelah kemarin siang aku resmi dikhitbahnya. Bahagia? Jangan ditanya. "Kenapa nggak beli baru atau sewa saja? " tanya mbak Lita yang tiba-tiba muncul. Ia berjala
#MPSPart 39 Sah"Alhamdulillah .... " Ucap serentak para tamu undangan yang hadir usai ijab qobul dilakukan.Resmi sudah status jandaku hilang. Dan kini aku sah menjadi istri dari mas Abdullah. Meskipun baru istri secara agama. Namun setelah ini, aku dan mas Abdullah akan bersegera mengurus syarat-syarat guna meresmikan pernikahan kami secara negara. Tentunya dengan bantuan dari abah. Dari acara akad hingga sekarang pada akhir acara, semua berjalan lancar. Kekhawatiranku tentang apa yang bu Joko katakan sebelumnya sirnalah sudah. Aku pun bisa bernafas lega. "Kok aneh ya? " Kata bu Joko sedikit merapatkan tempat duduknya di dekatku. Posisinya yang berada di belakangku kini semakin dekat, bahkan setiap hembusan nafas bu Joko aku bisa mendegarnya. Ah, walaupun agak risih dibuatnya. Ya, sejak tadi sore bu Joko sudah sibuk ikut membantu di rumah ini bersama ibu-ibu yang lain. Entah apa tujuannya, karena mengingat bu Joko bukan termasuk kerabat atau pun tetangga dekat. Tapi apapun itu,
t#MPS Part 40 Penyesalan mas Arga "Maksud kamu apa, sih? " Preti semakin terlihat sewot dengan perkataanku barusan. Bagus. Umi pun akhirnya kembali dengan membawa dua kantong plastik bening yang berisikan beberapa nasi kotak sama persis dengan yang dibagikan kepada para tamu undangan yang hadir tadi. Umi menyerahkan kantong plastik tersebut pada mas Arga. "Bawa ini. Bagikan juga pada Tama dan keluargamu yang lainnya," pesan umi."Terima kasih, Mi," ucap mas Arga lirih. "Terima kasih ya Bu Hamdan, " kata bu Darmi yang hendak berpamitan untuk pulang disertai senyum sumringahnya setelah mendapat apa yang mereka inginkan. Preti pun beranjak dari duduknya, mengikuti bu Darmi yang berjalan kearah pulang. Tanpa basa-basi berucap terima kasih, yang sebenarnya membuatku hatiku semakin gedeg. Huh, terbuat dari apa hati wanita itu. Namun tidak dengan mas Arga. Ia hanya diam mematung di posisinya, tidak mengikuti langkah ibunya yang sudah beberapa langkah mendahuluinya. "Mas?" Preti meman
#MPS Part 41 Rumah Sakit Tiga bulan berlalu. Dan benar, selama tiga bulan ini aku tak pernah mendengar diriku ataupun keluargaku menjadi bahan gosip dari ibu-ibu kampung. Begitu juga dengan mas Arga, ia tak lagi mengusikku, bahkan sekedar mengirimiku sebuah pesan pun tidak. Ya, setelah menikah, aku dan mas Abdullah menempati rumah yang ku jadikan toko sebelumnya. Dan mas Abdullah juga merenovasinya dengan menambahkan ruang di bagian depan sebagai ganti toko tempatku berjualan. Tak hanya itu, banyak bagian dalam rumah yang ia perbaiki, termasuk ruang keluarga yang di tambah ukurannya dengan cara membongkar dinding ke samping rumah dan merenovasi bagian atap untuk dijadikan salah satunya ruang tidur Sofia dan Yusuf. Pada akhirnya, rumahku menjadi dua lantai. Yusuf sendiri sudah berani tidur sendiri, tapi tidak dengan adiknya, Sofia. Karena usianya masih balita ia sering tidur bersamaku. Tokk!! Tokk!! Tokk!!"Mbak Fira, Assalamualaikum, Mbak!"Sebuah ketukan pintu disertai salam d
#MPS Part 42 Operasi CaesarKu hampiri Preti yang terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Dengan usaha yang keras, Preti mencoba membuka suaranya kembali untuk berbicara padaku. Mungkin efek dari sejak kemarin yang memaksanya harus mengeluarkan banyak tenaga hingga membuat keadaannya seperti ini sekarang. "Maafkan aku," ucap Preti lemah. Ku raih tangannya. Ku usap lembut bagian punggung telapak tangannya dan ku dekatkan wajahku ke wajahnya. "Aku maafkan kamu, Pret. Kamu harus kuat, harus," kataku setengah berbisik padanya. Entahlah perasaan apa yang ada dalam hatiku saat ini, yang jelas aku dan Preti seakan seperti sahabat yang sangat dekat. Preti tersenyum padaku. "Terima kasih," katanya lagi. Sore ini adalah jadwal Preti operasi caesar. Aku dan mas Abdullah memutuskan untuk ikut menungguinya. Kata suamiku, Preti akan membutuhkanku tetap di dekatnya. Meski bagiku perkataan mas Abdullah tak masuk akal, karena mengingat permasalahan diantara kami dimasa lalu. "Dia akan me
"Kita ke rumah abah dulu, yuk." Bukannya menjawab mas Abdullah malah berlalu meninggalkanku. Membuatku jadi kepikiran saja. Ku lihat ponselku berharap ada petunjuk atau apapun dari hal yang dimaksudkan suamiku. Karena biasanya jika ada berita kematian atau apapun itu, di group keluarga pasti sudah ada pemberitahuan. Ku buka chat group keluarga yang sudah ada beberapa pesan di dalamnya, ternyata .... Tidak ada pesan yang menyangkut dengan apa yang dimaksudkan mas Abdullah. ***"Assalamualaikum. " Ku ucap salam ketika memasuki rumah abah dan umi yang masih terbuka. "Waalaikumussalam Warrohmatulloh, abah di dalam, ayo masuk," kata umi yang menyambut kedatangan kami. Aku, Yusuf dan mas Abdullah pun mengikuti langkah umi untuk ke ruang tengah. Ternyata sudah ada mas Sholeh beserta keluarga kecilnya yang sedang bermain dengan Sofia. "Sebenarnya ada apa, sih? Bikin penasaran aja, mana mas Abdullah nggak mau ngasih tahu lagi," kataku sembari duduk di sofa. Mas Abdullah ikut duduk di seb
#MPSPart 80 Last ChapterKu alihkan pandanganku pada kedua orang tuaku. "Abah dan umi yang menyarankan Rosi untuk masuk pondok ya?"Mendengar pertanyaanku abah dan umi malah saling melempar senyum dengan ekspresi wajah yang aku tak bisa memahaminya. Kalau pun memang mereka yang menyarankan Rosi untuk pergi ke pondok, mengapa hal itu harus disembunyikan dariku? Sebegitu besarkah mereka menginginkanku untuk benar-benar menjauhi Rosi? Atau adakah hal lain yang disembunyikan oleh kedua orang tuaku itu?"Abah dan umi gak cuman menyarankan, Mbak. Beliau juga yang memasukanku ke sana dan membiayai kebutuhanku selama di pondok," ujar Rosi lagi. "Tepatnya abah patungan sama Tama. Jadi Tama dan istrinya juga ada andil soal biaya pondok juga kebutuhan Rosi," sela abah yang membuatku menoleh kearahnya. "Terus kenapa selama ini abah gak bilang sama aku?" tanyaku penasaran. Di titik ini aku merasa sedikit kecewa dengan keputusan abah yang tidak memberitahukanku tentang Rosi. Malah yang ada beli
#MPSPart 79 Pertemuan Setelah Satu TahunKetakutanku semakin menjadi-jadi ketika mas Abdullah sudah turun dari mobilnya dan melihat keberadaan Tama dan Rumi yang sudah berdiri di dekatku. Jatungku mendadak berdegup kencang berharap semuanya baik-baik saja dan tidak ada keributan sama sekali. Dan saat mas Abdullah sudah berhadapan dengan Tama dan Rumi, hal yang tak ku sangka-sangka pun terjadi. Ya, aku melihat mas Abdullah yang tampak ramah dan biasa saja terhadap Rumi juga suaminya. Bukan di situ saja, aku juga dikejutkan dengan kedatangan abah yang tiba-tiba pulang padahal masih di jam kerja. "Sudah datang semua?" tanya abah yang juga tampak biasa saja. Aku semakin bingung melihat sikap mas Abdullah dan abah yang seperti ini. Meskipun dilain sisi aku juga merasa senang lantaran kedua orang yang ku sayangi itu seperti sudah tak ada lagi rasa benci terhadap anak dan menantu dari bu Darmi tersebut. "Abah? Mas?" ku lihat wajah abah dan suamiku secara bergantian. Mas Abdullah dan a
#MPSPart 79 Bertemu KembaliKu lihat wajah umi yang sudah kembali normal. "Fira gak salah dengar 'kan?" tanyaku pada umi. "Selesai sarapan terus siap-siap. Ikut umi pergi," kata umi lalu melanjutkan lagi aktivitasnya. Seperti akan mendapatkan sebuah jawaban dari rasa penasaranku, aku pun dengan hati yang senang lantas mengikuti langkah umi dengan bersemangat. ***"Kenapa kita ke sini, Mi?" tanyaku keheranan. Sebab ternyata umi mengajakku ke rumah bu Darmi yang masih sepi. Entah apa alasan yang mendasari ibuku itu membawaku kembali ke tempat yang bagiku pernah memiliki kenangan pahit terhadapnya. "Sebentar, ya," kata umi. Umi pun mengetuk pintu utama rumah ini. Dan beberapa detik kemudian pintu pun terbuka. Aku cukup terkejut ketika mengetahui Rumi yang keluar dari rumah tersebut. Ia tampak masih seperti dulu dan keadaannya juga terlihat lebih baik. "Ya Allah, mbak Fira?" Rumi tampak terkejut ketika melihat diriku yang berdiri di hadapannya. "Kamu sehat, Mbak?" Rumi memelukk
#MPSPart 78 Satu Tahun BerlaluPanggilan telepon pun berakhir. Dan sayangnya sampai di detik terakhir panggilan tersebut aku belum sempat mendengar suara Rosi lantaran kata Rumi ia sudah tertidur setelah lelah menangis karena kepergianku tadi. Mendengar hal itu entah mengapa tiba-tiba kedua mataku berkaca-kaca. Sungguh, rasa bersalah mendadak menguncang batinku. "Rosi, semoga kamu selalu baik-baik saja ya," batinku dengan rasa sakit yang teramat dalam. ***Beberapa hari berlalu dan aku tak lagi mendengar kabar tentang keluarga bu Darmi termasuk bagaimana keadaan Rosi. Baik diriku ataupun Rumi pun sama sekali tak saling memberi kabar yang berkaitan dengan Rosi. Selain saran dari abah beberapa waktu yang lalu, mas Abdullah juga dengan tegas memintaku untuk benar-benar berhenti menghubungi Rosi. Bahkan sekedar bertanya pada tetangga atau mencari tahu melalui media sosial pun tak diperbolehkannya. Meski berat namun aku juga tak punya kuasa apa-apa. Aku hanya bisa menurut apa yang su
#MPSPart 76 Saran dari Abah"Kita gak perlu pengakuan, Mas!" sergah tama yang membuatku dan lainnya menoleh kearahnya. "Langsung laporkan saja!" tandasnya lagi. Mendengar hal itu spontan mataku menoleh kearah bu Darmi yang tercengang melihat sikap anaknya itu. Dalam hati aku berkata, "kalah sudah kamu, Bu!""Gak!" bu Darmi beranjak dari tempat duduknya. "Tama, jangan jadi anak durhaka kamu!" tunjuk bu Darmi pada anak keduanya itu dengan mata melotot yang amat menyeramkan. Lalu jari telunjuk bu Darmi berubah kearahku dan mas Abdullah. "Dan kalian, pergi dari rumahku sekarang! Pergi!" usir bu Darmi tanpa ampun untuk kami. Aku menoleh kearah wajah suamiku yang sepertinya memang sudah kehilangan rasa bersabarnya. "Kita pergi!" kata mas Abdullah seraya menarik tanganku lalu berjalan keluar rumah. "Mbak Saudah, tolong jangan pergi, Mbak!" teriak Rosi saat aku mulai berjalan meninggalkan ruangan. Ia hendak berlari guna mencegahku, namun dengan cepat ibunya menahan tubuhnya yang menyebab
#MPSPart 75 Kemunculan RosiDan di titik inilah aku bisa kembali tersenyum penuh bangga pada suamiku. Sebab, ku yakini sebentar lagi kebenaran antara bu Darmi atau Rosi akan terungkap. Beberapa detik setelah mas Abdullah berkata demikian, aku mendengar langkah kaki yang berjalan kearah kami. Rosi secara tiba-tiba muncul di hadapan kami semua dengan tatapan tajam yang mengarah ke ibunya sendiri. Melihat Rosi yang seperti itu sontak membuat suasana menjadi tegang kembali. Entah apa yang akan diperbuat Rosi sampai-sampai ia bisa memberanikan diri untuk keluar. Merasa suasana tidak kondusif aku pun berusaha memberikan senyuman manis kearah Rosi ketika ia melirikku. Meskipun sebenarnya dalam hati takut juga kalau anak itu tiba-tiba berbuat diluar dugaan. Namun di sisi lain aku juga berharap senyuman yang ku berikan bisa sedikit meredamkan amarahnya yang tampak sudah diujung kepala. Cukup lama Rosi membuat kami tertegung melihat kondisinya yang seperti itu. Dan benar saja, tiba-tiba ta
#MPSPart 74 Pembelaan Bu DarmiAku tahu, suamiku memang terlihat tak peduli dengan Rosi namun dibalik sikapnya itu aku yakin kalau suamiku juga memiliki rasa empati yang tinggi terhadap gadis remaja tersebut. Terbukti dengan ajakannya besok ke rumah bu Darmi pasti mas Abdullah akan membantu Rosi menemukan jalan keluarnya. ***Lagi-lagi aku dan mas Abdullah kembali ke rumah bu Darmi. Dan entah mengapa kali ini rasanya agak sesak aku menginjakan kaki di rumah ini. Mungkin karena tiba-tiba aku teringat akan masa-masa aku yang seakan dibod*hi oleh keluarga mantan suamiku waktu itu. Kedatangan kami kembali disambut dengan penuh hangat oleh bu Darmi. Mungkin memang ada benarnya perkataan Rosi kala itu tentang ibunya tersebut, yakni dari sikapnya yang sangat baik dimana aku belum pernah mendapatkannya selama aku menjadi menantunya dulu. Setelah dipersilakan, mas Abdullah pun tanpa banyak berbasa-basi lantas mengatakan tujuan kedatangan kami pada bu Darmi juga anak-anaknya yang kebetulan
#MPSPart 73 Keputusan Mas Abdullah Karena dilain sisi Rosi sendiri tak ingin melibatkan surat perjanjian antara dirinya dan ibunya jika kejahatan ibunya diketahui semua orang. Selain itu, ia juga memintaku untuk tidak mengatakannya lebih dulu tentang perubahan sikapnya ini terhadap ibunya. Ia takut jika ibunya akan berbuat yang tidak-tidak terhadapnya. "Rosi Rosi," kataku pelan sambil menggelengkan kepala saat melangkah keluar dari kamar Rosi. ***Sesampainya di rumah, ku jelaskan semuanya pada mas Abdullah tentang pembicaraanku pada Rosi tadi. Selain itu aku juga meminta nasihat pada suamiku itu untuk bagaimana aku harus bertindak selanjutnya. Mengingat permintaan Rosi yang amat membuatku bimbang. "Susah ini, sayang. Anak orang soalnya dan kita bener-bener gak ada hak buat bawa Rosi pergi," kata mas Abdullah. Mendengar respon suamiku itu mendadak membuatku lemas dan rasa pesimis kembali menyelimuti. Memang benar apa yang dikatakan mas Abdullah, tak mungkin kami membawa pergi an
#MPSPart 72 Pengakuan Rosi 2"Kenapa kamu gak bilang dari awal?" tanyaku. Karena menurutku jika bu Darmi memiliki tujuan demikian dan Rosi tahu itu bukankah seharusnya ia mengatakannya lebih awal? Kenapa harus berbelit-belit seperti ini. Ditambah lagi, jika bu Darmi menginginkanku mengapa setiap kali ia menemuiku untuk membicarakan masalah Rosi, Preti selalu ikut. Apa mungkin Preti tak tahu skenario yang dibuat ibu mertuanya? "Kenapa Ros?" desakku saat Rosi malah memilih membungkam mulutnya kembali. Rosi menatapku dengan raut wajah yang agak ragu. Meski begitu secara pelan-pelan ia pun mulai bercerita lagi. Rosi menjelaskan kalau sebenarnya ia ingin mengatakannya sejak awal. Tepatnya saat dimana kami bertemu di taman waktu itu. Tetapi ia ragu mengatakannya lantaran ia takut jika diriku tak mempercayai perkataannya.Apalagi hal tersebut berkaitan dengan keluarganya sendiri dimana selama ini keluarga bu Darmi dikenal sudah banyak melakukan perubahan lebih baik setelah bermasalah de