"Arnold, aku ingin menawari pekerjaan untuk istrimu." Suara di seberang telepon terdengar tenang, tapi bagi Arnold itu seperti nada gangguan yang tak diinginkan. Raut wajahnya langsung berubah, rahangnya mengeras. "Cari orang lain saja! Kami tidak perlu pekerjaan!" tukas Arnold cepat dan tajam, nyaris tanpa jeda. Ia langsung menutup telepon tanpa memberi kesempatan lawan bicaranya membalas. Dengan ekspresi muram, ia melempar handphonenya ke atas kasur dengan gerakan kasar. Emily yang tengah mengenakan anting kecil di dekat cermin, menoleh cepat. Dia melihat sorot mata Arnold yang masih menyala oleh amarah tertahan. "Siapa yang memberinya nomor handphone kamu, Sayang?" tanya Arnold dengan nada yang berusaha ditenangkan, mencoba memaksa dirinya untuk tidak berpikir negatif. "Yang pasti bukan aku," jawab Emily cepat. Tatapannya lurus, jujur, dan tanpa ragu. Emily tidak ingin Arnold kembali salah paham dengannya. Belakangan, mereka memang kerap berselisih karena hal-hal kecil. Kini,
Pertanyaan tiba-tiba dari Arnold membuat langkah kaki Emily terhenti. Suasana yang semula hangat berubah seketika menjadi penuh ketegangan. Langit senja menggantungkan warna jingga di cakrawala, tetapi tatapan di antara mereka jauh dari tenang. Keduanya saling menatap untuk beberapa saat, seakan saling mencari jawaban dalam sorot mata masing-masing. "Kenapa kau bertanya seperti itu?" suara Emily pelan, namun terdengar jelas. Nadanya tidak marah, lebih ke bingung dan waspada. "Tidak. Tidak ada apa-apa. Aku hanya ingin memastikan karena..." Arnold menggantungkan ucapannya, suaranya sedikit bergetar. "Karena apa?" kejar Emily, nadanya meninggi setengah tak sabar. Sebuah firasat buruk mulai merayap dalam benaknya. Jangan-jangan dia melihatnya. Obat itu, batin Emily, seketika tubuhnya menegang. "Tidak ada apa-apa, lupakan saja." Arnold kembali melangkahkan kakinya menyusuri jalan setapak menuju resort. Suaranya terdengar datar, tapi langkahnya cepat. Ia mencoba menutupi kegelisahan di
Pesawat komersial yang ditumpangi Emily dan Arnold mendarat mulus di Bandar Udara Heathrow, London. Setelah seminggu menikmati kebersamaan di Dubai, mereka terpaksa membatalkan rencana melanjutkan bulan madu ke negara lain karena mendengar kabar bahwa Nyonya Ruby jatuh sakit. Di ruang kedatangan, Emily menoleh ke arah suaminya. "Apa kita langsung ke rumah Mama?" tanyanya saat mereka menunggu Robert menjemput. Arnold mengangguk dengan ekspresi cemas. "Iya, kita langsung ke rumah Mama saja. Aku tidak tenang sebelum memastikan bahwa sakitnya tidak parah." Emily mengusap lembut pundak Arnold, mencoba menenangkan kegelisahan yang terpancar dari wajahnya. Tak lama kemudian, Robert datang dengan langkah tergesa. "Maaf saya terlambat, Tuan. Tadi saya mengantarkan Gwen terlebih dahulu," ujarnya sambil mengambil alih koper dari tangan Arnold. Mereka bertiga segera menuju mobil. Dalam perjalanan, Arnold akhirnya berbicara setelah sekian lama membisu. "Robert, bagaimana kabar Maurer?"
"Ma, Arnold dan Emily istirahat dahulu, kami baru saja kembali dari Dubai," ujar Arnold dengan suara lelah, matanya sembab karena perjalanan panjang dan beban pikiran yang menumpuk. "Beristirahatlah, Mama juga ingin tidur," balas Nyonya Ruby pelan. Suaranya terdengar serak, tubuhnya begitu ringkih di balik selimut tebal yang menyelimuti tubuh kurusnya. Beberapa hari terakhir, ia menolak makan karena kondisi hati yang gundah, dan kini tubuhnya melemah, tak berdaya, seolah menolak untuk bertahan. Tanpa menunggu lama, Nyonya Ruby memejamkan matanya. Hembusan napasnya terdengar pelan, ritmenya tidak stabil. Arnold memandangi ibunya sejenak, lalu menghela napas dalam. "Ayo kita istirahat sebentar," katanya kemudian. Ia meraih jemari Emily dan menggenggamnya erat, seolah hanya melalui sentuhan itu ia bisa tetap tenang. Mereka keluar dari kamar perlahan, dan Arnold bahkan tidak sedikit pun melirik ke arah Nicho dan Papa William yang berdiri di sisi lain lorong. Tak ada sapaan, tak ada an
"Arnold benar, dia ternyata sangat licik," batin Emily sambil perlahan mundur dari ambang ruang keluarga. Langkahnya ringan namun tergesa, berusaha menghindar sebelum Nicho dan Papa William menyadari keberadaannya. Ia bergegas menuju dapur, mencari tempat aman untuk menenangkan pikirannya yang kalut. Namun langkahnya terhenti ketika seseorang memanggil. "Nyonya Emily!" Emily menoleh refleks, terkejut namun segera tersenyum cerah. "Sally, kau di sini?" Wajahnya berseri, ada kelegaan yang sulit disembunyikan. "Iya, Nyonya. Tuan yang meminta saya untuk menginap di sini," jawab Sally ramah, berdiri di depan dengan dua koper besar yang tampak berat. Emily menghampirinya, ingin membantu. "Di mana kamar Nyonya?" tanya Sally. "Kamar kami di atas," jawab Emily lembut. Ketika tangannya hampir menyentuh salah satu koper, Sally cepat-cepat menahan. "Biar saya saja, Nyonya," katanya sambil tersenyum hormat. Emily mengangguk, lalu berjalan di samping Sally menuju arah tangga. Namun sebelum
Arnold mendorong tubuh Nicho dan berlari menuju kamar mamanya. Emily dan Nicho mengikutinya di belakang, langkah mereka tergesa, penuh kekhawatiran. "Mama!" Teriakan Arnold menggema di kamar super besar itu. Napasnya terengah, jantungnya berdebar tak karuan saat melihat beberapa orang petugas medis tengah memindahkan tubuh Nyonya Ruby ke atas brankar dengan gerakan hati-hati namun cepat. "Ada apa dengan ibuku? Kalian mau membawanya ke mana?" Suara Arnold meninggi, panik dan nyaris putus asa saat melihat wajah pucat sang ibu tercinta yang terbaring lemah, matanya terpejam, nafasnya terlihat berat. "Arnold, tenang dulu! Biarkan mereka membawa ibu!" Nicho segera menangkap tubuh Arnold, memeluknya dari samping dan membawanya mundur agar tidak menghalangi petugas medis yang bergegas membawa Nyonya Ruby keluar dari kamar menuju ambulans. Nyonya Ruby mendadak tidak sadarkan diri. Detak jantungnya melemah secara drastis, membuat para medis tak punya pilihan selain membawanya segera unt
Spontan, Emily menarik tangannya dan menyembunyikannya di belakang tubuhnya. “Maaf, Kak, tapi suamiku tidak suka ada laki-laki lain yang memegangku,” ucapnya, pelan namun tegas. Kepalanya menunduk dalam, enggan menatap Nicho yang kini menatapnya seperti singa kelaparan, membuat suasana jadi terasa menyesakkan. “Maafkan aku,” sahut Nicho, suaranya pelan namun sarat penyesalan—atau pura-pura? “Tidak apa-apa. Emily, kembali ke kamar dulu,” lanjutnya, kali ini lebih datar. Nicho mengangguk, namun matanya tetap lekat memandangi punggung adik iparnya hingga menghilang di balik pintu kamar. Sebuah senyum miring muncul di wajahnya. Bagaimana bisa ia menyimpan rasa sebesar itu kepada istri dari adik tirinya sendiri? "Emily pulang sendirian, Arnold tidak ada? Kesempatan bagus!" pikirnya. Senyum khas devil terukir jelas di bibirnya. Dengan santai, Nicho melangkahkan kakinya menuju dapur. Rumah terasa sunyi, hanya ada dirinya seorang. Papa William sedang pergi ke luar kota untuk menghadiri
Prang!! Gelas yang ada di tangan Arnold tiba-tiba terlepas dan meluncur bebas ke lantai. Suara pecahan kaca memantul di seluruh ruangan, seiring dengan detak jantung Arnold yang mendadak berdetak tak beraturan. "Mama!" Arnold menoleh dengan panik ke arah ranjang rumah sakit. Sosok yang dicintainya, Nyonya Ruby, tampak meringis kesakitan, tubuhnya sedikit menggeliat di atas ranjang. Dengan langkah tergesa, Arnold menghampiri ibunya yang perlahan-lahan mulai siuman. "Mama," panggilnya lembut di sela rintihan lirih Nyonya Ruby yang masih memejamkan mata. Kelopak mata itu kemudian terbuka perlahan. Tatapan sayunya mengarah pada wajah Arnold yang tengah menggenggam jemarinya erat. Tangan itu masih pucat, namun terasa hangat. Kehangatan itulah yang membuat Arnold ingin terus bertahan di sampingnya. "Mama, syukurlah Mama sudah sadarkan diri!" ucap Arnold, hampir menangis. Rasa cemas yang sejak tadi menghimpit dadanya perlahan sirna, tergantikan dengan kelegaan yang menyejukkan. Namun
"Katakan apa itu?" Arnold tidak kalah antusias. Dia juga ikut tersenyum saat melihat Emily tersenyum lebar. Setelah apa yang terjadi pada Emily tadi malam—mimpi buruk, tangisan tertahan, dan tatapan kosong yang begitu dalam—senyum lebarnya membuat Arnold bisa sedikit melupakan kepedihannya. Seolah senyum itu adalah cahaya pertama setelah malam yang panjang. "Tutup matamu," pinta Emily sambil mengusap rahang tegas Arnold. Sentuhan lembut jarinya menyapu bulu-bulu halus yang tumbuh tidak teratur karena Arnold pasti tidak mencukurnya beberapa hari ini. Emily selalu menyukai sisi acak Arnold yang satu ini, tampak maskulin namun tetap tenang dan penuh kehangatan. "Baiklah, cepat beritahu aku kejutannya." Arnold menutup matanya dengan patuh, menarik napas panjang seolah ingin menyerap momen bahagia itu sedalam mungkin. Senyum manis masih terukir di bibirnya, begitu tulus dan penuh harapan. Emily menoleh sesaat ke arah Sally yang berdiri tidak jauh dari mereka. Sally, sahabat sekaligus
Emily menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Rasa mual yang datang tiba-tiba membuat tubuhnya melemas. Ia bergegas menuju wastafel dan memuntahkan seluruh isi perutnya tanpa bisa ditahan. Nafasnya tersengal-sengal, bahunya naik turun menahan ketidaknyamanan. Di sampingnya, Arnold yang sedari tadi menemaninya sigap mengusap punggung istrinya, mencoba memberikan ketenangan. "Apa buburnya tidak enak?" tanyanya lembut, meski wajahnya menyiratkan kekhawatiran. Emily menggeleng pelan. "Enak, mungkin aku masuk angin... atau karena tadi malam aku tidak sempat makan." Suaranya terdengar lemah. Setelah merasa lebih baik dan mualnya sedikit mereda, Emily kembali ke tempat tidur, wajahnya masih pucat. "Makan lagi ya, Sayang," bujuk Arnold, mengangkat sendok dengan penuh harap. Emily menggeleng lagi, lebih tegas kali ini. "Aku benar-benar tidak selera." Arnold tidak menyerah. "Apa mau makan yang lain?" Dia tidak ingin membiarkan Emily melewati waktu makan, terlebih sekarang ia tengah men
Mendengar perkataan Papa William, Arnold tersenyum miring. Senyum sinis yang tak menutupi betapa getir hatinya. Bisa-bisanya, pikir Arnold, Papa William masih saja bertindak semaunya. Walau dia kepala keluarga dan Arnold hanyalah anaknya, bukan berarti setiap kata-kata sang ayah adalah perintah mutlak yang harus dituruti. "Arnold tidak akan pernah kembali lagi ke Maurer!" ucapnya tegas, sorot matanya tak main-main. Dulu, dia mungkin akan menuruti apa pun—menikahi Emily karena permintaan orang tua, menjalankan perusahaan keluarga tanpa banyak tanya. Tapi sekarang, semua itu sudah berubah. "Papa sudah tua, Nak. Kalau bukan kamu, lantas siapa lagi yang akan menjalankannya?" suara Papa William pelan, lebih kepada nada memohon daripada perintah. Ada getar halus yang tertangkap di ujung kalimatnya—ketakutan akan kehilangan, atau mungkin penyesalan. "Maaf, Pa. Arnold benar-benar tidak bisa." Jawabannya tegas namun lembut. Bukan untuk melukai hati ayahnya, tapi karena dia tahu, sudah wa
Kilat kebencian jelas terlihat di mata Arnold. Tanpa ragu, dia langsung berdiri dari sisi ranjang Emily dan melangkah cepat ke arah dua sosok yang kini berdiri di ambang pintu. Setiap langkahnya penuh kemarahan yang tertahan sejak lama. "Untuk apa lagi kau kemari?" tanyanya dingin, suaranya penuh nada penghinaan. Tatapannya menusuk tajam pada Nicho, yang wajahnya masih dipenuhi bekas pukulan—bengkak, memar, dan sedikit mengering. Luka yang belum genap seminggu, dan masih terasa panas. Masih mending, pikir Arnold sinis. Masih mending dia tidak membunuh Nicho saat itu, atau menyeretnya ke kantor polisi. Hanya karena dia masih menghormati Papa William, pria tua itu, ayah mereka berdua, yang masih punya tempat di hatinya—meski hanya sedikit. "Kakakmu ingin meminta maaf, Arnold." Papa William melangkah maju, mencoba menjembatani dua anak lelakinya yang kini terpecah oleh sejarah kelam. Ia melihat kedua tangan Arnold yang terkepal kuat di sisi tubuhnya. Wajah Arnold mengeras seperti
Dokter itu tampak melirik sekilas ke arah kertas yang ada di depannya, lalu menarik napas dalam sebelum membuka mulutnya. "Kehamilannya masih sangat muda, kurang lebih satu minggu," ucapnya dengan suara yang terkontrol, "sehingga siklus bulanannya pun belum terlambat. Saya tidak tahu apa yang terjadi sebelumnya, tapi ada pembengkakan di perut dalam Nyonya Emily. Apa Nyonya Emily pernah mengalami semacam kecelakaan atau trauma di perut?" Arnold mengangguk pelan, tatapannya menerawang sejenak, seperti menggali ingatan yang sudah lama terkubur. "Dia pernah kecelakaan saat hamil dan mengalami keguguran... mungkin perutnya menghantam salah satu bagian mobil dengan keras." Suara Arnold terdengar berat. Kenangan itu menghantamnya seperti badai yang datang tiba-tiba. Saat itu, dia tidak memperdulikan kondisi Emily, bahkan menyalahkannya karena keguguran yang terjadi. Kesalahan itu terus menghantuinya, walau tak pernah ia akui dengan lantang. "Tapi itu sudah lama, Dokter. Setahun yang lal
Perjalanan menuju rumah sakit terasa sangat lama, padahal jaraknya tidak lebih dari satu kilometer. Di dalam mobil yang melaju dengan cepat, suasana begitu tegang. Arnold tak henti-hentinya melirik ke arah Emily yang terbaring lemah di jok belakang. Napasnya terdengar pelan dan tidak stabil. Sesekali, Arnold mengusap kening perempuan itu yang terasa sedikit hangat. "Jangan sakit, sayang," gumamnya pelan, lebih kepada doa daripada ucapan. Suaranya nyaris tak terdengar, tenggelam dalam deru mesin mobil. Setelah beberapa menit yang terasa seperti jam, mobil berbelok tajam memasuki halaman ST. Thomas Hospital, rumah sakit yang sama di mana Nyonya Ruby, ibu mertua Arnold, tengah dirawat karena kondisi kritisnya. Pintu mobil nyaris belum terbuka sempurna ketika dua orang perawat yang berjaga di lobi langsung datang membawa brankar. Mereka bergerak cepat, profesional, namun tetap waspada melihat raut panik di wajah Arnold. Mereka hendak mengangkat tubuh Emily, namun tiba-tiba Arnold me
Ucapan menjijikkan itu membuat Emily bergidik ngeri. Sedangkan Arnold? Rahangnya sudah semakin mengetat. Otot-otot lengannya sampai menyembul dan bersiap memberi hantaman maksimal untuk pria tidak tahu diuntung itu, Nicho. “Tak akan!” seru Arnold mendekat hendak memberi pukulan lagi ke sosok di depannya. Namun Nicho kali ini sudah bersiap. Dia bisa menghindar lalu menendang perut Arnold. “Aaaa!” pekik Emily melihat suaminya terhuyung ke belakang. “Sabar, Emily. Kita akan melanjutkan aksi menyenangkan tadi setelah aku melumpuhkan pria pengganggu ini.” Nicho berucap dengan senyum Lucifer yang menyeramkan. Tidak bisa dibiarkan. Arnold kembali maju memberi pukulan. Hingga beberapa saat mereka saling menepis. Hal itu membuat Emily ketakutan. Bagaimana kalau Arnold tidak datang lalu dia menjadi santapan pria gila itu, Emily bisa bisa gila kalau sampai dirinya disentuh oleh laki laki lain. Sampai pada titik Arnold akhirnya menendang belakang lutut Nicho sampai rivalnya terjatuh
Emily melangkah mundur saat Nicho berjalan ke arahnya. "Diam di sana! Aku mohon lepaskan aku!" Emily mencoba membujuk kakak iparnya. "Kenapa kau menolakku? Aku kaya dan tampan. Tinggalkan saja suamimu yang tidak punya pekerjaan itu Emily." "Tidak!" Nicholas menghela nafasnya dalam, dia menghentikan langkahnya dan bersedekap. "Apa yang kau inginkan? Perhiasan? Uang? Katakan! Aku akan memberikannya kepadamu asalkan kau dengan sukarela menceraikan Arnold dan menikah denganku." Emily menggeleng, "aku hanya ingin Arnold! Dia jauh lebih berarti dibandingkan dengan uangmu Tuan Nicholas!" "Jangan munafik Emily, semua orang menyukai uang. Atau kau takut aku tidak bisa memuaskanmu, hmm?" Mendengar pertanyaan Nicho yang menjijikkan itu, Emily semakin geram, kedua tangannya terkepal di sisi tubuhnya. "Kau sungguh menjijikkannya!" "Oh suaramu sangat merdu saat mengumpat, aku yakin desahannya jauh lebih merdu." Nicho kembali melangkahkan kakinya mendekati Emily yang semakin
Prang!! Gelas yang ada di tangan Arnold tiba-tiba terlepas dan meluncur bebas ke lantai. Suara pecahan kaca memantul di seluruh ruangan, seiring dengan detak jantung Arnold yang mendadak berdetak tak beraturan. "Mama!" Arnold menoleh dengan panik ke arah ranjang rumah sakit. Sosok yang dicintainya, Nyonya Ruby, tampak meringis kesakitan, tubuhnya sedikit menggeliat di atas ranjang. Dengan langkah tergesa, Arnold menghampiri ibunya yang perlahan-lahan mulai siuman. "Mama," panggilnya lembut di sela rintihan lirih Nyonya Ruby yang masih memejamkan mata. Kelopak mata itu kemudian terbuka perlahan. Tatapan sayunya mengarah pada wajah Arnold yang tengah menggenggam jemarinya erat. Tangan itu masih pucat, namun terasa hangat. Kehangatan itulah yang membuat Arnold ingin terus bertahan di sampingnya. "Mama, syukurlah Mama sudah sadarkan diri!" ucap Arnold, hampir menangis. Rasa cemas yang sejak tadi menghimpit dadanya perlahan sirna, tergantikan dengan kelegaan yang menyejukkan. Namun