***"Regan, Raiden, kita beli sesuatu buat aunty yaaaa!"Mendudukkan Raiden juga Regan di car seat, Aludra terlihat begitu antusias sore ini. Hari sabtu, Aludra mengajak Arka pergi ke Mall untuk membeli sesuatu setelah sang suami mengajaknya ke Jakarta hari minggu besok.Sampai detik ini—hari keenam Alula meninggal, Aludra masih belum tahu mengenai kenyataan pahit yang sebenarnya terjadi karena memang semua anggota keluarga sepakat untuk memberitahu semuanya besok.Tepat di hari ke tujuh Alula meninggal.Rencana yang disusun besok adalah; Amanda akan berangkat terpisah menuju Jakarta bersama Regan juga Raiden, sementara Arka akan membawa Aludra ke Sandiego hills untuk mengunjungi pusara Alula.Berat sebenarnya bagi Arka membawa Aludra ke tempat peristirahatan Alula, tapi apa boleh buat? Secepatnya Aludra harus tahu karena memang tak mungkin kepergian Alula terus dirahasiakan dari Aludra."Padahal kayanya kita enggak perlu beli sesuatu buat Alula, Ra," kata Arka saat Aludra masuk ke mo
"Sarapannya yang banyak, Mas. Kamu kan mau nyetir jauh."Sekali lagi, Aludra menyendokkan nasi goreng yang dia buat ke piring Arka—membuat pria itu mendesah karena nasi di piringnya pun masih banyak."Nanti enggak habis, Ra.""Harus habis," kata Aludra. "Supaya enggak capek di jalan nanti.""Kamu tuh."Minggu pagi ini Aludra terlihat bersemangat. Bangun pukul empat pagi, dia langsung menyiapkan semua baju yang akan dibawa menuju Jakarta karena memang rencananya Aludra ingin menginap di sana untuk beberapa hari.Aludra bersemangat, Arka justru sebaliknya. Rasa takut juga khawatir kini semakin merongrong hatinya. Sungguh, Arka belum siap melihat bagaimana hancurnya Aludra nanti ketika tahu yang sebenarnya terjadi."Nih aku udah makan banyak lagi," kata Aludra sambil menunjukkan nasi goreng di piring. "Kamu mau aku makan banyak, kan?""Iya, makan yang banyak. Biar cepat sembuh.""Terus ngasih asi lagi ke si kembar," kata Aludra. "Kalau bisa aku pengen makan sekaligus aja deh tuh obat su
***"Ini maksudnya apa?"Aludra memandang Arka penuh tanya. Pria itu terlihat menunduk sambil memandangi pusara Alula, sementara tangan kanannya mengusap hidung yang sedikit memerah karena cairan bening berlahan berkumpul di pelupuk mata."Mas, kok diem?" tanya Aludra dengan perasaan yang semakin tak menentu. "Aku tanya, ini maksudnya apa? Kenapa nama Kak Lula ada di nisan ini."Arka menghela napas lalu memberanikan diri untuk menoleh pada Aludra."Kok nangis?" tanya Aludra."Kamu mau ketemu sama Alula buat berterima kasih, kan?" tanya Arka. "Silakan berterima kasih sekarang.""Maksud kamu?""Alula," ucap Arka tercekat, seraya memperintens tatapannya pada Aludra. "Dia udah enggak ada, Ra. Alula—kakak kamu udah meninggal."Percaya? Tentu saja tidak. Tak langsung menangis, Aludra justru tersenyum—bahkan terkekeh setelah mendengar kabar dari sang suami yang menurutnya terlalu tak masuk akal."Bercandanya enggak lucu, Mas," kata Aludra. Dia kemudian mengedarkan pandangannya—mencari kamera
***"Akhirnya sampai juga."Berhasil menenangkan Aludra di pemakaman, Arka langsung mengajak istrinya itu untuk melanjutkan perjalanan ke Jakarta setelah sebelumnya Aludra kembali ke pusara Alula untuk memanjatkan doa lalu menyimpan dua buket bunga di dekat batu nisan sang Kakak."Kita sampai, Sayang," kata Arka pada Aludra yang sejak tadi memandang ke luar jendela. "Ra.""Sekarang kalau ke sini, aku enggak akan ketemu lagi sama Kak Lula," gumam Aludra. "Padahal halaman rumah ini jadi saksi aku sama dia tumbuh. Halaman ini tempat favorit aku sama dia main.""Nanti kamu bisa main lagi di sini kok kalau mau," kata Arka. "Mau main apa? Main bola? Basket, lompat tinggi atau apa?"Aludra menoleh. "Main sama siapa?" tanyanya."Sama aku.""Ck." Aludra mengukir senyuman miring sambil berdecak."Sekarang kita turun ya," kata Arka. "Mama Rora sama Papa Dewa pasti udah nungguin kamu banget.""Mama," gumam Aludra. "Aku takut.""Takut kenapa?""Aku takut Mama benci sama aku," kata Aludra. "Karena
***"Bismillah."Duduk di pinggir kasur bersama Aurora, dengan sangat hati-hati Aludra membuka lipatan kertas berisi surat yang dituliskan Alula untuknya, lalu di detik itu dia dan Aurora mulai membaca tulisan tersebut dengan sangat pelan.Teruntuk adik kesayangan aku, Aludra:))Hai, Ra. How are you?Kalau seandainya surat yang Kakak tulis malam ini akhirnya sampai ke tangan kamu, itu berarti Kakak udah enggak ada di samping kamu ya, cantik.Pertama-tama, Kakak mungkin mau mengucapkan maaf sama kamu karena kepergian Kakak pasti bikin kamu sama yang lainnya kecewa.Maaf ya, Ra. Kakak enggak sekuat yang kamu kira. Padahal, Kakak udah janji buat ada di samping kamu waktu kamu sembuh—bahkan Kakak janji buat keliling duni sama kamu.Ra, kamu tahu? Bisa menjadi donor buat kamu itu sebuah kebahagiaan tersendiri buat Kakak karena dengan begitu Kakak bisa menebus setidaknya secuil kesalahan Kakak sama kamu.Selama ini Kakak bukan Kakak yang baik buat kamu. Kakak bisa dibilang saudara yang palin
***"Mas, bantuin dulu dong! Ini Regannya enggak bisa diem!"Arka yang baru saja memanaskan mobil bergegas menuju kamar ketika teriakan Aludra terdengar dari sana.Membuka pintu, dia tersenyum melihat kedua tangan sang istri sibuk memegang kedua putranya. Tangan kanan memegang Regan yang berniat pergi, sementara tangan kiri menahan tubuh Raiden agar tidak terbalik ketika Aludra sedang memasangkan tuxedo.Dua bulan berlalu, semuanya mulai kembali baik-baik saja. Ikhlas dengan kepergian Alula, Aludra mulai menatap kembali hidupnya bersama Arka dan keluarganya yang lain.Tak lagi tinggal di Bandung, Aludra dan Arka sepakat tinggal di Jakarta bersama Aurora dan Dewa agar sang mama tak merasa kesepian setelah kepergian putri sulungnya."Bantu apa?" tanya Arka setelah dia berdiri di samping Aludra."Ini pegangin Regannya, aku bajuin dulu Raiden," kata Aludra. "Enggak bisa diem banget dia tuh. Kaya kamu.""Lho kok kaya aku?" tanya Arka."Karena emang kaya kamu," ucap Aludra."Ck." Arka berd
***"Kok tegang ya, Ar?"Arka yang duduk tak jauh dari Damar mengukir senyuman tipis ketika ungkapan itu kembali terlontar dari mulut sahabat istrinya tersebut.Menempuh perjalanan dua jam, rombongan keluarga mempelai pria sampai di lokasi pernikahan. Tak mau membuang-buang waktu, akad nikah akan segera dilaksanakan sebelum hari menjelang siang."Bismillah," kata Arka mengingatkan."Udah, tapi tetap aja tegang," kata Damar."Tarik napas, hembuskan napas terakhir," celetuk Arka asal."Oh ok ... eh apa barusan? Hembuskan napas terakhir? Mati dong, Ar.""Bercanda.""Lagi tegang malah dibercandain.""Ya udah sih, rileks aja.""Mempelai perempuan memasuki area akad nikah."Arka dan Damar menghentikan obrolan mereka setelah suara sang pembawa acara terdengar dari pengeras suara—disusul suara gamelan yang mengiring kedatangan Arsya bersama Aludra juga Anindira.Memakai adat sunda, perempuan berwajah blasteran itu nampak cantik dengan siger juga kebaya putih yang dia pakai.Manglingi. Begitu
***"Akhirnya selesai juga.""Capek ya?"Damar yang baru saja menghempaskan tubuhnya ke kasur seketika menoleh—memandang Arsya yang sudah santai dengan celana joger juga sweater rajut.Rangkaian acara pernikahan—mulai dari akad hingga resepsi yang digelar hari ini akhirnya selesai, keluarga Damar dan Arsya memang menginap di salah satu vila mewah di Bandung agar privasi mereka terjaga.Rencananya besok, Damar dan Arsya pulang dari Bandung menuju bandara Soekarno hatta untuk langsung pergi berbulan madu menuju Maldives selama seminggu."Banget," kata Damar. "Gempor rasanya kaki aku berdiri berjam-jam nyalamin tamu."Arsya tersenyum lalu duduk di samping Damar. Tanpa aba-aba, dia langsung meraih lengan suaminya itu untuk memberikan sebuah pijatan."Kamu ngapain?" tanya Damar speecles. Menikahi Arsya memang rasanya seperti mimpi bagi dirinya.Selain umur Arsya yang tiga tahun lebih tua dari Damar, selama masa pacaran keduanya pun tak jarang terlibat cekcok karena perbedaan pendapat yang