***"Dulu waktu kuliah, Reyhan itu pernah nyatain cintanya ke Kakak. Sebelum nyatain cinta, dia emang udah jadi secret admirer gitu—bahkan kakak pikir dia udah keterlaluan karena selalu nguntit. Pas siang-siang, waktu itu ada acara kampus, Reyhan tiba-tiba aja naik ke panggung terus nyatain cinta lagi di sana di depan dosen dan mahasiswa lain. Kakak kesal dong? Kakak marahin aja dia di depan umum sekalian. Kakak juga enggak sengaja maki dia.""Demi apapun, Kakak enggak tahu kalau dia punya mental illness sampe depresi karena perlakuan kakak itu. Dua minggu kemudian, Kakak dengar kalau dia bunuh diri karena overdosis obat."Aludra hanya terdiam memandangi jalanan siang kota Bandung dari balik kaca besar restoran tempatnya berada sekarang.Sambil menunggu Damar yang lagi-lagi terlambat, Aludra memesan jus stroberi dan selama jus tersebut mengalir ke tenggorokkan, Aludra terus memikirkan lagi penjelasan Alula beberapa menit lalu di telepon.Semuanya jelas sekarang. Masalah yang terjadi t
***"Morning, Sayang. Aku bawa sarapan!"Alula yang sejak tadi duduk sambil menonton siaran televisi hanya menoleh malas pada Marvel yang pagi ini datang ke apartemennya."Hey," sapa Alula dengan nada bicara yang lemas—bahkan cenderung malas.Memiliki perbedaan waktu enam jam dengan indonesia, waktu menelepon Aludra tadi, di London memang masih pukul lima pagi dan sekarang—satu jam berlalu setelah sambungan telepon dengan sang adik terputus, Alula tak bisa tenang.Dia khawatir pada Aludra. Mendengar cerita dari sang adik, Alula cukup merasa bersalah karena Aludra hampir kehilangan nyawa gara-gara dirinya, bahkan kini Arka tak bisa berjalan juga karena dirinya."Kamu kenapa?"Menghampiri Alula tanpa diminta, Marvel duduk di samping kekasihnya itu setelah menyimpan kresek putih di tangannya."Enggak apa-apa, aku lagi males ngapa-ngapain aja," kata Alula. Dia kemudian kembali fokus dengan siaran berita yang sedang ditontonnya, hingga tak lama suara Marvel kembali membuat Alula menoleh."
***"Makan yang banyak. Belakangan ini hidup kamu pasti enggak tenang."Setelah obrolan keduanya sempat memanas, Aludra dan Damar akhirnya makan siang bersama dan di kegiatan makan itu, keduanya memilih untuk tak banyak bicara.Aludra fokus menghabiskan makanannya, sementara Damar menyantap tempura miliknya sambil memutar pikiran—mencari cara secepat mungkin untuk melindungi Aludra dari Raina, karena setelah kejadian malam tadi, dia yakin Raina akan melakukan sesuatu yang lain untuk menyakiti Aludra yang dia sangka Alula."Apa sih?" tanya Aludra sambil mengunyah nasi juga tempuranya. "Kok apa? Omongan aku bener, kan?" tanya Damar. "Lagian ngenes banget hidup kamu, punya saudara kembar seegois Alula. Maunya enak sendiri. Enggak peduli orang susah, yang penting dia enak.""Gak usah usil," celetuk Aludra. "Hobi banget kamu jelekkin Kak Lula. Gitu-gitu dia saudara kembar aku.""Saudara kembar yang hobi banget nyusahin saudara kembarnya sendiri ya," sarkas Damar. "Terkadang aku bersyukur
***"Lu ... enggak Lu, Lulu awas, Lu. Alula awas Alula, lari Alula!"Arka terbangun paksa dari tidurnya yang nyenyak ketika mimpi buruk tiba-tiba saja menghampirinya di siang bolong.Melirik kanan dan kiri, dia mencari keberadaan Aludra di ruangannya. Namun, tak ada. Beringsut, Arka mengubah posisinya menjadi duduk dan lagi, dia mencari Aludra."Lu? Kamu udah ke sini, Lu?" panggil Arka. Namun, ruangannya sepi. Tak ada siapa-siapa di sana karena memang Arka benar-benar sendiri. "Alula, kamu udah ke si-"Arka menghentikan ucapannya ketika pintu ruangan tiba-tiba saja dibuka dari luar—menampakkan seorang pria bermanik abu yang terlihat formal dengan kemeja navynya."Bangun?""Kak Aksa," panggil Arka. Aksa berjalan mendekat lalu menyimpan kresek putih kecil berisi obat di atas meja di samping ranjang."Kalau kamu nyariin Mama sama Papa, mereka lagi makan siang di kantin rumah sakit," ungkap Aksa setelah dirinya duduk di kursi yang biasa diduduki Aludra."Lulu udah ke sini?" tanya Arka.
***"Berhenti dulu, Pak.""Siap, Non."Mobil yang dia tumpangi berhenti persis di depan gerbang komplek, Aludra segera meminta Pak Maman untuk berhenti lalu setelahnya dia turun untuk menghampiri seorang Pria yang sejak tado terus mengikuti dengan sedan hitamnya."Aku udah sampe, kamu bisa pulang," kata Aludra pada Damar yang juga turun dari mobilnya.Pasca kejadian di depan restoran lalu setelah selesai mengobati luka di sikut dan betis Aludra menggunakan obat merah, Damar memang ngotot untuk mengantar sahabatnya itu pulang—setidaknya sampai depan komplek untuk memastikan Aludra pulang dengan selamat, sampai rumah.Karena jika sudah memasuki perumahan, Damar tak akan terlalu khawatir—mengingat betapa ketatnya pengamanan di sana."Ngusir?" tanya Damar. "Bukannya bilang makasih karena udah dianterin, malah ngusir. Sahabat macam apa kamu?""Enggak ikhlas?" tanya Aludra tak mau kalah. "Kan aku enggak maksa juga buat dianter ke sini.""Dih ambekkan," celetuk Damar sambil mencubit pipi Alu
***"Aman."Setelah menelepon Arka, nyatanya Aludra tak langsung mandi karena yang dia lakukan justru tidur selama satu jam penuh, hingga pukul setengah empat sore, Aludra terbangun.Tak mau membuat Arka menunggu terlalu lama, Aludra langsung pergi mandi lalu setelahnya dia bersiap-siap untuk kembali menemui Arka di rumah sakit sambil membawa pakaian dalam ganti untuk pria itu karena untuk pakaian luar, ditanggung jawab pihak rumah sakit."Semoga Mas Arka enggak lihat," kata Aludra sambil mengusap lengannya yang kini dibalut cardigan rajut berwarna peach agar melindungi luka yang sudah dibalut dengan perban.Tak hanya lengan, dia juga melindungi betisnya dengan memakai celana panjang agar Arka tak bisa melihatnya. Meskipun, sudah menyiapkan jawaban bohong, sepertinya Arka tak tahu itu akan lebih baik.Selesai dengan penampilannya, Aludra mengambil tas jinjing berukuran sedang untuk dibawa ke rumah sakit. Arka masih memerlukan perawatan selama beberapa hari ke depan, Aludra membawa pa
***"Seriusan langsung pulang?"Aludra mengerutkan kening—memandang wajah Arka yang nampak begitu serius, sementara Aksa yang duduk di sofa hanya memperhatikan keduanya."Iya," jawab Aludra. Mensejajarkan diri, dia sengaja berjongkok di depan Arka agar posisinya sama dengan pria itu yang masih duduk di kursi roda. "Kenapa emangnya?""Kamu masih ingat enggak ucapan aku?" tanya Arka."Yang mana?""Waktu kita jogging," jawab Arka. "Kamu tanya ke aku kan, kesalahan apa yang paling buat aku enggak suka? Aku jawab kalau kesalahan yang paling enggak aku suka itu berbohong. Aku enggak suka dibohongin.""Iya, lalu?" tanya Aludra yang masih tak sadar dengan kesalahan apa yang dia lakukan."Ini apa maksudnya?" tanya Arka. Dia kemudian menunjukkan layar ponsel yang berisi foto Aludra juga Damar tadi siang di restoran.Tak bisa dibohongi lagi, Arka langsung tahu karena baju yang dipakai Aludra sama dengan baju tadi pagi sebelum pulang."Mas ... anu itu, kamu dapat dari mana? Coba aku lihat," kata
***"Kakak pulang dulu, kamu sama Arka hati-hati di sini. Kalau ada apa-apa telepon aja. Mama sama Papa kayanya enggak akan nginep, kondisi Mama belum baik.""Iya, Kak. Kakak juga hati-hati di jalan.""Iya, kalau si kembar enggak rewel, malam nanti Kakak ke sini lagi.""Iya, Kak."Beranjak, Aksa berpamitan pada Aludra lalu pergi meninggalkan perempuan itu sendiri di ruangan Arka.Pukul enam sore Aksa memang harus pulang karena di rumah pun Ananta membutuhkan bantuannya untuk merawat si kembar juga Aileen yang nyatanya tak cukup dijaga hanya oleh dua orang."Mas Arka belum ke sini lagi," gumam Aludra sambil melirik jam tangan yang dia pakai. Terhitung sudah satu jam Arka pergi pasca marah dan sampai sekarang tak kunjung kembali.Padahal, Arka harus segera makan malam lalu minum obat sebentar lagi."Aku susulin deh, enggak enak juga dibiarin lama-lama pergi," kata Aludra yang akhirnya beranjak dari sofa lalu berjalan menuju pintu. Namun, tepat ketika dia berniat keluar, Arka sudah berad