Seorang anak perempuan berusia empat tahun menangis tanpa henti setelah terbangun dari tidurnya. Sudah dua hari orang tuanya kebingungan bagaimana cara menidurkannya. Mereka pikir wajar saja Renata kecil sering rewel seperti anak-anak seumurnya. Jadi mereka hanya membuatkan Renata kecil sebotol susu untuk menenangkannya. Tapi bukan, bukan itu. Baru saja Renata kecil kehilangan sahabatnya saat tidur. Ia menunggunya tapi tak kunjung kembali. Renata kecil sedih dan marah. Ia mencari anak itu hingga terjatuh beberapa kali. Tetapi anak itu tak membantunya berdiri. Jahat! Renata kecil mulai membencinya.
-------
“Renata, ayo kita main sekali lagi!” Teriak seorang anak laki-laki seumurnya.
“Aku capek, mau pulang!” Balas Renata.
Anak laki-laki itu tersenyum, “iya deh,” katanya mengalah. Sementara seorang anak perempuan lain sudah menunggunya di tepi taman.
“Itu, kakakmu kan?” tanya Renata sebelum anak laki-laki itu menjauh.
“Iya, dia sudah menungguku. Aku harus pulang.” jawabnya sambil tersenyum.
“Baiklah, sampai jumpa besok!” kata Renata setengah berteriak sambil melambaikan tangannya.
Renata kecil kembali menangis saat mengingat terkahir kali ia bertemu sahabat kecilnya itu. Ia kini tak tahu harus bermain bersama siapa. Ia tidak suka bermain dengan kakak laki-lakinya yang nakal.
“Ren, bisa kita bicara sebentar?” Haris membelai bahu Renata pelan.Setelah selesai memasukkan buku-bukunya kembali ke dalam tas, Renata mengangguk. Mereka berjalan keluar kelas.Sudah sepuluh menit sejak bel pulang berbunyi dan suasana sekolah semakin sepi. Mereka terus berjalan dalam diam melewati beberapa kelas, hingga akhirnya Haris berhenti di taman belakang sekolah.Disana ternyata sudah ada yang menunggu mereka, Siska, sahabat Renata. Ia berdiri gelisah, beberapa kali memainkan kakinya tak tenang.“Siska?” Panggil Renata heran.Siska mendongak, matanya menyiratkan kesedihan. Renata semakin tak mengerti apa yang terjadi disini.Haris menatap Renata beberapa saat. Ada yang salah, pikir Renata.Ia benar-benar mengenal Haris, ia sudah menjalin hubungan selama satu setengah tahun dan pandangan itu seperti ketika Haris telah melakukan kesalahan
-Kemampuan mengatur mimpi atau yang sering disebut sebagai Lucid Dream termasuk kedalam cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang mimpi (Oneriologi).Menjadi seorang oneironaut (pengendali mimpi) bukan sebuah hal yang mustahil. Banyak orang beranggapan bahwa orneironaut memiliki kemampuan sejak lahir, tetapi penelitian telah membuktikan dan beberapa orang telah berhasil melakukannya dengan latihan.Kunci dari lucid dream adalah konsentrasi dalam menjaga kesadaran saat tidur, sehingga mimpi dapat kita kendalikan sesuai alur yang kita kehendaki.Namun hanya sedikit orang yang berhasil saat mencobanya pertama kali, karena prosesnya sedikit menakutkan. Apalagi ketika sudah berada pada tahap sleep paralysis, yaitu keadaan dimana kita tidak bisa menggerakkan anggota tubuh.-Renata mengerjapkan matanya berulangkali, meski sulit dipercaya, tetapi lucid dream sudah berhasil menarik perhatiannya kali ini.
Berita buruk, mimpinya semalam ternyata benar-benar hampir terjadi. Tadi sore kakaknya menelepon Renata untuk memberitahu firasat adiknya itu ternyata benar. Rendy, teman satu kos Tian yang kemarin mengajaknya pergi jalan-jalan menikmati suasana malam di Bogor ternyata saat ini sedang berada di rumah sakit, kondisinya cukup parah. Setelah motornya mengalami kecelakaan dengan mobil yang melaju dari arah berlawanan kemarin malam. Renata bergidik ngeri. - Percobaan ketiga dimulai, Renata memejamkan matanya, tubuhnya mencapai relaksasi maksimal, dengan bantuan musik instrumen. Ia semakin mengantuk tetapi telinganya masih fokus. Pikirannya masih aktif, tetapi tubuhnya mulai lemas. Renata tidak bisa merasakan tubuhnya bergerak, dan kemudian cahaya terang memenuhi pandangannya. Perlahan-lahan semuanya jelas. Satu-persatu objek mulai bermunculan. Lemari kusam berada di depannya. Tempat tidur yang sedang ia tempati, pintu keluar di samping lema
Renata memperhatikan laki-laki itu dari atas sampai bawah. Ia manis dan tidak begitu asing.“Kamu siapa?” Tanya Renata bingung.Penampilan laki-laki itu begitu sederhana, ia hanya memakai kaos polos, celana pendek, serta sandal jepit di kakinya.Bukannya menjawab pertanyaannya, laki-laki itu malah duduk di sampingnya, kemudian tersenyum sambil memandang laut biru yang terbentang luas di depan mereka.“Udah puas nangisnya?” Tanyanya."Ya. Kamu siapa?” Ulangnya.“Entahlah, aku juga nggak tahu,” jawabnya kini memandan Renata teduh.Renata memandang laki-laki itu lama sebelum ia kembali
“Renata?”“Ya,” jawab Renata sambil tersenyum.“Sudah lama disini?” Tanya laki-laki itu dengan pakaian yang sama seperti kemarin.“Lumayan,” balas Renata mengalihkan pandangannya pada lautan lepas.Malam ini Renata kembali mengatur mimpinya agar bisa bertemu laki-laki itu. Masih di tempat yang sama. Dermaga yang pernah ia lihat di tayangan televisi, entah di negara bagian mana, yang jelas ia suka sekali tempat ini.“Bagaimana keadaanmu hari ini?”“Sedikit lebih baik dari hari-hari sebelumnya. Aku terlalu penasaran denganmu, jadi aku lupa meladeni celaan Desty dan sikap menyebalkan romeo-juliet di kelasku.&rdqu
“Pandu?” Bisik Renata. Laki-laki itu sedang dalam posisi tiarap seperti dirinya, mereka sama-sama bersembunyi di kolong tempat tidur. Langkah kaki terdengar semakin jauh, Renata kini bisa dengan bebas berbicara walaupun masih dengan suara pelan. “Kamu darimana?” Renata bersungut kesal. Bisa-bisanya laki-laki itu meninggalkannya dalam keadaan seperti ini. “Maaf,” kata Pandu menyesal. “Tapi Renata, semuanya baik-baik saja, kamu bisa melakukan apapun disini. Termasuk melawan para Jepang itu.” Kata Pandu yakin. Renata mengangkat kedua alisnya, masih kurang yakin terhadap kemampuannya. “Coba lihat kursi di sebelah sana,” tunjuk Pandu pada sebuah kursi kayu yang bersandar pada din
Pagi minggu yang cerah gagal menarik perhatian Renata dari layar laptopnya. Gadis itu berencana menghabiskan hari ini dengan mencari lebih banyak tentang kemampuan Oneronaut yang sedang ia pelajari.Sudah dua jam berlalu, Renata sengaja mandi lebih pagi seperti hari-hari biasa ia berangkat sekolah. Padahal khusus hari minggu, gadis itu selalu menetapkan jadwal mandi paginya menjadi diatas jam sebelas.Suara ketukan pintu menghentikan pencarian yang dilakukannya.“Dek?” Panggil Tian dari luar kamar Renata.Renata bergegas membuka pintu kamarnya sedikit, “ya, kak?”“Lagi ngapain?” Tanya Tian penasaran sambil menengok ke dalam kamar adiknya.&ldquo
Pandu duduk di kursi taman, melipat kakinya. Matanya terpejam menikmati terpaan sinar matahari pagi dan angin yang begitu sejuk.“Apa yang terjadi?” Tanya Pandu tiba-tiba.Renata mengerjap kaget setelah menatap Pandu cukup lama, “apa?”Pandu memajukan tubuhnya untuk mengamati wajah Renata dengan jarak dekat, “kamu sedang sedih Renata, terlihat jelas,” gadis itu menarik tubuhnya sedikit ke belakang karena merasa jengah.Renata diam, ia masih harus mempertimbangkan cerita Haris-Siska. Ia tidak ingin Pandu berpikir bahwa ia masih menyukai Haris, ya walupun masih, sedikit.“Ceritakan saja padaku.”Renata akhirnya bercerita mengenai segal
Dua orang perawat sibuk memindahkan seorang pasien ke dalam ruang ICU. Dokter dan perawat lainnya dengan sigap menyiapkan alat pemicu detak jantung.“Detak jantungnya melemah, Dok!” kata seorang perawat.Sementara yang kini matanya terpejam tidak mendengar suara apa-apa.Kesadarannya hilang seutuhnya.***Renata merasakan badannya terasa lemas, perlahan ada suara yang konstan terdengar. Lalu diikuti suara orang-orang berbisik pelan.Matanya berat sekali untuk dibuka, tapi ia begitu ingin melihat pemilik banyak suara yang ia kenal.“Ren,” panggil Tian khawatir.Renata akhirnya berhasil membuka matanya pelan. Dibalik alat bantu pernafasan bibirnya tersenyum.“Syukurlah kamu sudah sadar.” Kata Dena lega.Sementara Ibunya hanya bisa menangis sambil mengucapkan syukur berulang kali dan Ayahnya menghela napas lega.Kondisi Renata stabil, namun sejak perawat melaporkan kalau ada tanda pergerakan dari jari tangannya. Seluruh keluarganya dan Dena langsung berkumpul di kamar Renata dengan harap
Renata menggenggam beberapa kerikil dalam tangan mungilnya, kemudian melempar satu per satu ke danau. Kerikil itu memantul beberapa kali di atas air sampai akhirnya tenggelam."Hei, kamu terlihat sangat kesepian!" Ucap Bian kecil dengan nada mengejek.Renata mendelik, "Kamu juga!""Kamu betah di sini?""Nggak, tempat ini aneh! Tapi aku malas di rumah, sepi banget.""Iya sih aneh, tapi di sini tenang.""Di rumah kamu berisik?""Iya, banyak yang berantem!"-Sepasang suami istri berdiri di samping tubuh anaknya yang kini sudah begitu dewasa. Mereka menatap pasrah, entah keputusan untuk ikhlas apakah keputusan yang tepat.Sementara pun jika anak mereka terbangun, ada kemungkinan psikologisnya tidak ikut bertumbuh seperti fisiknya.Bian dan Renata mengelilingi area rumah sakit menghabiskan waktu agar tidak terlalu bosan menatapi tu
"Aku nggak akan mau balik, kita disini aja ya main!" "Kakak kamu galak! Aku nggak mau dimarahin lagi!"Suara perempuan terdengar dari kejauhan."Aku mau pulang, aku takut sama kakak kamu.""Jangan tinggalin aku Ren!" "Nanti kan kita bisa main lagi." "Nggak akan bisa, aku mau pergi aja dari sini." * Renata bisa merasakan tubuhnya, tapi ia tidak memiliki tenaga untuk membuka mata. Ia bisa mendengar suara orang tuanya, ia juga bisa mendengar suara mesin dengan nada beraturan. Beberapa saat kemudian, terdengar suara pintu dibuka, seseorang melangkah semakin dekat dengannya. "Kondisinya stabil, kita masih harus melakukan pengecekan, semoga semuanya baik-baik saja ya Pak, Bu." Lalu terdengar langkah kaki menjauh, diiringi helaan nafas dari Ayahnya. Bagaimana caranya aku bangun? Renata berpikir begitu lama, sampai ia sendiri bosan. Ia tidak tau sudah berapa lama waktu berlalu, yang ia sadari adalah ia lelah dan mengantuk.Ada banyak suara di kepala Renata. Semuanya terdengar beris
Renata merapatkan jaketnya, sejak pagi hujan turun deras. Meski sudah reda sejak ia pulang sekolah tadi siang, namun hingga sore langit masih mendung dan udara terasa dingin.Ia menghentikan motornya di depan rumah Desty.Renata ragu beberapa saat sebelum menekan bel rumah Desty. Ia melihat garasi rumah yang sebelumnya kosong, saat ini sudah terparkir dua mobil disana."Renata?" Suara Desty terdengar memanggilnya.Renata mendongak ke asal suara, ternyata Desty memanggilnya dari balkon lantai dua rumahnya."Tunggu sebentar." Desty bergegas turun.Meski masih terasa sepi, namun setidaknya tidak seseram sebelumnya saat ia menyelinap ke rumah Desty tanpa raga."Minum Ren," Desty menawarkan dengan ramah.Renata diam beberapa saat, ia berusaha memahami situasi yang saat ini terjadi. Apa yang terjadi? Mengapa Desty tiba-tiba berubah ramah padanya?"Aku rasa, kamu sudah mendengar kabar dari Dena tentang Bian?"Renata mengangguk canggung."Aku nggak bisa menyalahkan kamu, kalaupun kamu lupa te
Bel sekolah berbunyi.Hari ketiga sejak Renata resmi sebagai anak kelas tiga. Semangatnya masih terasa, ia begitu riang karena Desty sudah lulus. Ia bebas. Meskipun ia masih belum bertemu Dena selama dua hari sebelumnya usai libur panjang.-"Kamu yakin berangkat tengah malam gini sendirian? Mau aku temenin nggak?" Tanya Miko cemas."Aman. Aku udah biasa juga, kamu jaga Bian aja dulu disini. Nanti kapan-kapan aku main kesini lagi.""Kapan-kapan itu kapan?" Tanya Miko jahil.Dena mendelik sambil mendirikan kopernya, usai membereskan seluruh pakaiannya."Udah ah, aku mau berangkat sekarang ke bandara, ditemenin nggak nih?""Siap bu bos, siap." Miko menarik koper Dena menuju mobil."Sempat kan ya?" Tanya Dena khawatir."Lagian kenapa nggak izin aja sih. Maksa banget mau sekolah.""Aku udah izin dua hariiii," pekik Dena gemas.Miko mengangkat tangannya menyerah sebelum perdebatan terjadi."Aku bol
Dena merapikan pakaiannya dari koper ke lemari pakaian yang tersedia di kamar tamu. Ia akan menghabiskan sisa libur sekolahnya di Singapura bersama keluarga Miko.Suara ketukan menghentikannya, "Dena," suara Miko terdengar dari luar kamarnya."Kenapa?" Tanya Dena."Aku boleh minta tolong nggak?""Jangan yang aneh-aneh!" Dena mendelik.Miko meringis, "enggak.""Minta tolong apa?"Miko menatap Dena ragu, "kamu bisa bujuk Desty biar keluar kamar nggak?"Beberapa menit berlalu, Dena berdiri di depan pintu kamar Desty. Baru saja tangannya terangkat ingin mengetuk kamar kakak kelasnya itu."Masuk!"Suara Desty terdengar dari kamarnya.Dena memberanikan diri masuk ke kamar Desty, "kak.""Ngapain berdiri di depan kamarku?" Tanya Desty datar."Gimana kabar Kak Desty?"Desty menghembuskan napas berat, "itu aja? Kamu cuman mau nanya itu?""Sebenarnya aku mau tau cerita Bian," Dena menurunka
Suara sirine ambulans terdengar bergantian datang dan pergi. Dena menghembuskan napas berat memandang ke sekeliling rumah sakit. Jauh sekali perjalanannya menuju kesini. Tapi mau bagaimana lagi, ia harus meluruskan sesuatu.Meskipun ia beberapa kali pernah ke tempat ini, tapi ia masih merasa asing. Seorang laki-laki melambai padanya dari depan rumah sakit, ia berjalan menghampiri Dena yang baru saja tiba."Hai sayang," Miko memeluk Dena mengusap punggungnya pelan.Dena mendongak lalu tersenyum."Gimana perjalanannya lancar? Kenapa nggak mau aku jemput sih?""Aku tau jalan kesini kok. Kamu gimana kerjaannya? Hari ini cuti emang?" tanya Dena.Miko, pacarnya, meski harus menjaga adiknya yang terbaring koma di rumah sakit selama bertahun-tahun tetapi ia masih melakukan aktivitas yang padat. Selain kuliah ia juga bekerja di sebuah perusahaan. Memang bukan perusahaan besar, Miko bekerja di sebuah perusahaan rintisan yang fleksibel dan tidak mengha
Rasanya cepat sekali Renata melesat dari kediamannya menuju rumah Desty. Rumah mewah itu masih sepi seperti hari-hari sebelumnya saat ia berkunjung ke tempat ini.Renata mencari Desty di kamarnya, tidak ada, di kamar milik Bian tetapi hasilnya tetap sama. Ia tak bisa menemukan Desty dimanapun.Rumah ini terlalu sepi, pikirnya. Kemana semua orang?Renata memandang pias tali panjang yang terulur dari tubuhnya. Satu-satunya penghubungnya dengan kehidupan. Renata bergidik ngeri membayangkan apa yang akan terjadi dengan hidupnya jika tali itu sampai putus.Ia akhirnya kembali memutuskan untuk mengamati kamar Desty lebih detail. "Dimana ya..." Bisik Renata pelan. Berusaha memecah kesunyian yang sedikit menyeramkan.Renata mengamati
“Bian?”Kini dalam pikirannya bayangan begitu jelas terlintas.Renata kecil sedang berlari mengejar seorang anak laki-laki yang mengajaknya bercanda. Tiba-tiba sebuah batu membuat kakinya tersandung dan jatuh.ia menangis, anak laki-laki itu mengulurkan tangannya, Renata meraih tangannya agar bisa berdiri tegak, anak laki-laki itu mengusap kepala Renata kecil dengan gemas.Sesaat ia teringat Pandu. Sepertinya ia harus segera berbicara dengan Dena.“Dena?” Panggil Renata ketika nada sambung berhenti terdengar dari ponselnya.“Hmmm?” Gumam Dena dari sambungan telepon ditelinganya.“Jalan yuk!” Ajak Renata cepat