Rasanya cepat sekali Renata melesat dari kediamannya menuju rumah Desty. Rumah mewah itu masih sepi seperti hari-hari sebelumnya saat ia berkunjung ke tempat ini.
Renata mencari Desty di kamarnya, tidak ada, di kamar milik Bian tetapi hasilnya tetap sama. Ia tak bisa menemukan Desty dimanapun.
Rumah ini terlalu sepi, pikirnya. Kemana semua orang?
Renata memandang pias tali panjang yang terulur dari tubuhnya. Satu-satunya penghubungnya dengan kehidupan. Renata bergidik ngeri membayangkan apa yang akan terjadi dengan hidupnya jika tali itu sampai putus.
Ia akhirnya kembali memutuskan untuk mengamati kamar Desty lebih detail. "Dimana ya..." Bisik Renata pelan. Berusaha memecah kesunyian yang sedikit menyeramkan.
Renata mengamati
Suara sirine ambulans terdengar bergantian datang dan pergi. Dena menghembuskan napas berat memandang ke sekeliling rumah sakit. Jauh sekali perjalanannya menuju kesini. Tapi mau bagaimana lagi, ia harus meluruskan sesuatu.Meskipun ia beberapa kali pernah ke tempat ini, tapi ia masih merasa asing. Seorang laki-laki melambai padanya dari depan rumah sakit, ia berjalan menghampiri Dena yang baru saja tiba."Hai sayang," Miko memeluk Dena mengusap punggungnya pelan.Dena mendongak lalu tersenyum."Gimana perjalanannya lancar? Kenapa nggak mau aku jemput sih?""Aku tau jalan kesini kok. Kamu gimana kerjaannya? Hari ini cuti emang?" tanya Dena.Miko, pacarnya, meski harus menjaga adiknya yang terbaring koma di rumah sakit selama bertahun-tahun tetapi ia masih melakukan aktivitas yang padat. Selain kuliah ia juga bekerja di sebuah perusahaan. Memang bukan perusahaan besar, Miko bekerja di sebuah perusahaan rintisan yang fleksibel dan tidak mengha
Dena merapikan pakaiannya dari koper ke lemari pakaian yang tersedia di kamar tamu. Ia akan menghabiskan sisa libur sekolahnya di Singapura bersama keluarga Miko.Suara ketukan menghentikannya, "Dena," suara Miko terdengar dari luar kamarnya."Kenapa?" Tanya Dena."Aku boleh minta tolong nggak?""Jangan yang aneh-aneh!" Dena mendelik.Miko meringis, "enggak.""Minta tolong apa?"Miko menatap Dena ragu, "kamu bisa bujuk Desty biar keluar kamar nggak?"Beberapa menit berlalu, Dena berdiri di depan pintu kamar Desty. Baru saja tangannya terangkat ingin mengetuk kamar kakak kelasnya itu."Masuk!"Suara Desty terdengar dari kamarnya.Dena memberanikan diri masuk ke kamar Desty, "kak.""Ngapain berdiri di depan kamarku?" Tanya Desty datar."Gimana kabar Kak Desty?"Desty menghembuskan napas berat, "itu aja? Kamu cuman mau nanya itu?""Sebenarnya aku mau tau cerita Bian," Dena menurunka
Bel sekolah berbunyi.Hari ketiga sejak Renata resmi sebagai anak kelas tiga. Semangatnya masih terasa, ia begitu riang karena Desty sudah lulus. Ia bebas. Meskipun ia masih belum bertemu Dena selama dua hari sebelumnya usai libur panjang.-"Kamu yakin berangkat tengah malam gini sendirian? Mau aku temenin nggak?" Tanya Miko cemas."Aman. Aku udah biasa juga, kamu jaga Bian aja dulu disini. Nanti kapan-kapan aku main kesini lagi.""Kapan-kapan itu kapan?" Tanya Miko jahil.Dena mendelik sambil mendirikan kopernya, usai membereskan seluruh pakaiannya."Udah ah, aku mau berangkat sekarang ke bandara, ditemenin nggak nih?""Siap bu bos, siap." Miko menarik koper Dena menuju mobil."Sempat kan ya?" Tanya Dena khawatir."Lagian kenapa nggak izin aja sih. Maksa banget mau sekolah.""Aku udah izin dua hariiii," pekik Dena gemas.Miko mengangkat tangannya menyerah sebelum perdebatan terjadi."Aku bol
Renata merapatkan jaketnya, sejak pagi hujan turun deras. Meski sudah reda sejak ia pulang sekolah tadi siang, namun hingga sore langit masih mendung dan udara terasa dingin.Ia menghentikan motornya di depan rumah Desty.Renata ragu beberapa saat sebelum menekan bel rumah Desty. Ia melihat garasi rumah yang sebelumnya kosong, saat ini sudah terparkir dua mobil disana."Renata?" Suara Desty terdengar memanggilnya.Renata mendongak ke asal suara, ternyata Desty memanggilnya dari balkon lantai dua rumahnya."Tunggu sebentar." Desty bergegas turun.Meski masih terasa sepi, namun setidaknya tidak seseram sebelumnya saat ia menyelinap ke rumah Desty tanpa raga."Minum Ren," Desty menawarkan dengan ramah.Renata diam beberapa saat, ia berusaha memahami situasi yang saat ini terjadi. Apa yang terjadi? Mengapa Desty tiba-tiba berubah ramah padanya?"Aku rasa, kamu sudah mendengar kabar dari Dena tentang Bian?"Renata mengangguk canggung."Aku nggak bisa menyalahkan kamu, kalaupun kamu lupa te
"Aku nggak akan mau balik, kita disini aja ya main!" "Kakak kamu galak! Aku nggak mau dimarahin lagi!"Suara perempuan terdengar dari kejauhan."Aku mau pulang, aku takut sama kakak kamu.""Jangan tinggalin aku Ren!" "Nanti kan kita bisa main lagi." "Nggak akan bisa, aku mau pergi aja dari sini." * Renata bisa merasakan tubuhnya, tapi ia tidak memiliki tenaga untuk membuka mata. Ia bisa mendengar suara orang tuanya, ia juga bisa mendengar suara mesin dengan nada beraturan. Beberapa saat kemudian, terdengar suara pintu dibuka, seseorang melangkah semakin dekat dengannya. "Kondisinya stabil, kita masih harus melakukan pengecekan, semoga semuanya baik-baik saja ya Pak, Bu." Lalu terdengar langkah kaki menjauh, diiringi helaan nafas dari Ayahnya. Bagaimana caranya aku bangun? Renata berpikir begitu lama, sampai ia sendiri bosan. Ia tidak tau sudah berapa lama waktu berlalu, yang ia sadari adalah ia lelah dan mengantuk.Ada banyak suara di kepala Renata. Semuanya terdengar beris
Renata menggenggam beberapa kerikil dalam tangan mungilnya, kemudian melempar satu per satu ke danau. Kerikil itu memantul beberapa kali di atas air sampai akhirnya tenggelam."Hei, kamu terlihat sangat kesepian!" Ucap Bian kecil dengan nada mengejek.Renata mendelik, "Kamu juga!""Kamu betah di sini?""Nggak, tempat ini aneh! Tapi aku malas di rumah, sepi banget.""Iya sih aneh, tapi di sini tenang.""Di rumah kamu berisik?""Iya, banyak yang berantem!"-Sepasang suami istri berdiri di samping tubuh anaknya yang kini sudah begitu dewasa. Mereka menatap pasrah, entah keputusan untuk ikhlas apakah keputusan yang tepat.Sementara pun jika anak mereka terbangun, ada kemungkinan psikologisnya tidak ikut bertumbuh seperti fisiknya.Bian dan Renata mengelilingi area rumah sakit menghabiskan waktu agar tidak terlalu bosan menatapi tu
Dua orang perawat sibuk memindahkan seorang pasien ke dalam ruang ICU. Dokter dan perawat lainnya dengan sigap menyiapkan alat pemicu detak jantung.“Detak jantungnya melemah, Dok!” kata seorang perawat.Sementara yang kini matanya terpejam tidak mendengar suara apa-apa.Kesadarannya hilang seutuhnya.***Renata merasakan badannya terasa lemas, perlahan ada suara yang konstan terdengar. Lalu diikuti suara orang-orang berbisik pelan.Matanya berat sekali untuk dibuka, tapi ia begitu ingin melihat pemilik banyak suara yang ia kenal.“Ren,” panggil Tian khawatir.Renata akhirnya berhasil membuka matanya pelan. Dibalik alat bantu pernafasan bibirnya tersenyum.“Syukurlah kamu sudah sadar.” Kata Dena lega.Sementara Ibunya hanya bisa menangis sambil mengucapkan syukur berulang kali dan Ayahnya menghela napas lega.Kondisi Renata stabil, namun sejak perawat melaporkan kalau ada tanda pergerakan dari jari tangannya. Seluruh keluarganya dan Dena langsung berkumpul di kamar Renata dengan harap
Seorang anak perempuan berusia empat tahun menangis tanpa henti setelah terbangun dari tidurnya. Sudah dua hari orang tuanya kebingungan bagaimana cara menidurkannya. Mereka pikir wajar saja Renata kecil sering rewel seperti anak-anak seumurnya. Jadi mereka hanya membuatkan Renata kecil sebotol susu untuk menenangkannya. Tapi bukan, bukan itu. Baru saja Renata kecil kehilangan sahabatnya saat tidur. Ia menunggunya tapi tak kunjung kembali. Renata kecil sedih dan marah. Ia mencari anak itu hingga terjatuh beberapa kali. Tetapi anak itu tak membantunya berdiri. Jahat! Renata kecil mulai membencinya.-------“Renata, ayo kita main sekali lagi!” Teriak seorang anak laki-laki seumurnya.“Aku capek, mau pulang!” Balas Renata.Anak laki-laki itu tersenyum, “iya deh,” katanya mengalah. Sementara seorang anak perempuan lain sudah menunggunya di tepi taman.“Itu, kakakmu kan?” tan
Dua orang perawat sibuk memindahkan seorang pasien ke dalam ruang ICU. Dokter dan perawat lainnya dengan sigap menyiapkan alat pemicu detak jantung.“Detak jantungnya melemah, Dok!” kata seorang perawat.Sementara yang kini matanya terpejam tidak mendengar suara apa-apa.Kesadarannya hilang seutuhnya.***Renata merasakan badannya terasa lemas, perlahan ada suara yang konstan terdengar. Lalu diikuti suara orang-orang berbisik pelan.Matanya berat sekali untuk dibuka, tapi ia begitu ingin melihat pemilik banyak suara yang ia kenal.“Ren,” panggil Tian khawatir.Renata akhirnya berhasil membuka matanya pelan. Dibalik alat bantu pernafasan bibirnya tersenyum.“Syukurlah kamu sudah sadar.” Kata Dena lega.Sementara Ibunya hanya bisa menangis sambil mengucapkan syukur berulang kali dan Ayahnya menghela napas lega.Kondisi Renata stabil, namun sejak perawat melaporkan kalau ada tanda pergerakan dari jari tangannya. Seluruh keluarganya dan Dena langsung berkumpul di kamar Renata dengan harap
Renata menggenggam beberapa kerikil dalam tangan mungilnya, kemudian melempar satu per satu ke danau. Kerikil itu memantul beberapa kali di atas air sampai akhirnya tenggelam."Hei, kamu terlihat sangat kesepian!" Ucap Bian kecil dengan nada mengejek.Renata mendelik, "Kamu juga!""Kamu betah di sini?""Nggak, tempat ini aneh! Tapi aku malas di rumah, sepi banget.""Iya sih aneh, tapi di sini tenang.""Di rumah kamu berisik?""Iya, banyak yang berantem!"-Sepasang suami istri berdiri di samping tubuh anaknya yang kini sudah begitu dewasa. Mereka menatap pasrah, entah keputusan untuk ikhlas apakah keputusan yang tepat.Sementara pun jika anak mereka terbangun, ada kemungkinan psikologisnya tidak ikut bertumbuh seperti fisiknya.Bian dan Renata mengelilingi area rumah sakit menghabiskan waktu agar tidak terlalu bosan menatapi tu
"Aku nggak akan mau balik, kita disini aja ya main!" "Kakak kamu galak! Aku nggak mau dimarahin lagi!"Suara perempuan terdengar dari kejauhan."Aku mau pulang, aku takut sama kakak kamu.""Jangan tinggalin aku Ren!" "Nanti kan kita bisa main lagi." "Nggak akan bisa, aku mau pergi aja dari sini." * Renata bisa merasakan tubuhnya, tapi ia tidak memiliki tenaga untuk membuka mata. Ia bisa mendengar suara orang tuanya, ia juga bisa mendengar suara mesin dengan nada beraturan. Beberapa saat kemudian, terdengar suara pintu dibuka, seseorang melangkah semakin dekat dengannya. "Kondisinya stabil, kita masih harus melakukan pengecekan, semoga semuanya baik-baik saja ya Pak, Bu." Lalu terdengar langkah kaki menjauh, diiringi helaan nafas dari Ayahnya. Bagaimana caranya aku bangun? Renata berpikir begitu lama, sampai ia sendiri bosan. Ia tidak tau sudah berapa lama waktu berlalu, yang ia sadari adalah ia lelah dan mengantuk.Ada banyak suara di kepala Renata. Semuanya terdengar beris
Renata merapatkan jaketnya, sejak pagi hujan turun deras. Meski sudah reda sejak ia pulang sekolah tadi siang, namun hingga sore langit masih mendung dan udara terasa dingin.Ia menghentikan motornya di depan rumah Desty.Renata ragu beberapa saat sebelum menekan bel rumah Desty. Ia melihat garasi rumah yang sebelumnya kosong, saat ini sudah terparkir dua mobil disana."Renata?" Suara Desty terdengar memanggilnya.Renata mendongak ke asal suara, ternyata Desty memanggilnya dari balkon lantai dua rumahnya."Tunggu sebentar." Desty bergegas turun.Meski masih terasa sepi, namun setidaknya tidak seseram sebelumnya saat ia menyelinap ke rumah Desty tanpa raga."Minum Ren," Desty menawarkan dengan ramah.Renata diam beberapa saat, ia berusaha memahami situasi yang saat ini terjadi. Apa yang terjadi? Mengapa Desty tiba-tiba berubah ramah padanya?"Aku rasa, kamu sudah mendengar kabar dari Dena tentang Bian?"Renata mengangguk canggung."Aku nggak bisa menyalahkan kamu, kalaupun kamu lupa te
Bel sekolah berbunyi.Hari ketiga sejak Renata resmi sebagai anak kelas tiga. Semangatnya masih terasa, ia begitu riang karena Desty sudah lulus. Ia bebas. Meskipun ia masih belum bertemu Dena selama dua hari sebelumnya usai libur panjang.-"Kamu yakin berangkat tengah malam gini sendirian? Mau aku temenin nggak?" Tanya Miko cemas."Aman. Aku udah biasa juga, kamu jaga Bian aja dulu disini. Nanti kapan-kapan aku main kesini lagi.""Kapan-kapan itu kapan?" Tanya Miko jahil.Dena mendelik sambil mendirikan kopernya, usai membereskan seluruh pakaiannya."Udah ah, aku mau berangkat sekarang ke bandara, ditemenin nggak nih?""Siap bu bos, siap." Miko menarik koper Dena menuju mobil."Sempat kan ya?" Tanya Dena khawatir."Lagian kenapa nggak izin aja sih. Maksa banget mau sekolah.""Aku udah izin dua hariiii," pekik Dena gemas.Miko mengangkat tangannya menyerah sebelum perdebatan terjadi."Aku bol
Dena merapikan pakaiannya dari koper ke lemari pakaian yang tersedia di kamar tamu. Ia akan menghabiskan sisa libur sekolahnya di Singapura bersama keluarga Miko.Suara ketukan menghentikannya, "Dena," suara Miko terdengar dari luar kamarnya."Kenapa?" Tanya Dena."Aku boleh minta tolong nggak?""Jangan yang aneh-aneh!" Dena mendelik.Miko meringis, "enggak.""Minta tolong apa?"Miko menatap Dena ragu, "kamu bisa bujuk Desty biar keluar kamar nggak?"Beberapa menit berlalu, Dena berdiri di depan pintu kamar Desty. Baru saja tangannya terangkat ingin mengetuk kamar kakak kelasnya itu."Masuk!"Suara Desty terdengar dari kamarnya.Dena memberanikan diri masuk ke kamar Desty, "kak.""Ngapain berdiri di depan kamarku?" Tanya Desty datar."Gimana kabar Kak Desty?"Desty menghembuskan napas berat, "itu aja? Kamu cuman mau nanya itu?""Sebenarnya aku mau tau cerita Bian," Dena menurunka
Suara sirine ambulans terdengar bergantian datang dan pergi. Dena menghembuskan napas berat memandang ke sekeliling rumah sakit. Jauh sekali perjalanannya menuju kesini. Tapi mau bagaimana lagi, ia harus meluruskan sesuatu.Meskipun ia beberapa kali pernah ke tempat ini, tapi ia masih merasa asing. Seorang laki-laki melambai padanya dari depan rumah sakit, ia berjalan menghampiri Dena yang baru saja tiba."Hai sayang," Miko memeluk Dena mengusap punggungnya pelan.Dena mendongak lalu tersenyum."Gimana perjalanannya lancar? Kenapa nggak mau aku jemput sih?""Aku tau jalan kesini kok. Kamu gimana kerjaannya? Hari ini cuti emang?" tanya Dena.Miko, pacarnya, meski harus menjaga adiknya yang terbaring koma di rumah sakit selama bertahun-tahun tetapi ia masih melakukan aktivitas yang padat. Selain kuliah ia juga bekerja di sebuah perusahaan. Memang bukan perusahaan besar, Miko bekerja di sebuah perusahaan rintisan yang fleksibel dan tidak mengha
Rasanya cepat sekali Renata melesat dari kediamannya menuju rumah Desty. Rumah mewah itu masih sepi seperti hari-hari sebelumnya saat ia berkunjung ke tempat ini.Renata mencari Desty di kamarnya, tidak ada, di kamar milik Bian tetapi hasilnya tetap sama. Ia tak bisa menemukan Desty dimanapun.Rumah ini terlalu sepi, pikirnya. Kemana semua orang?Renata memandang pias tali panjang yang terulur dari tubuhnya. Satu-satunya penghubungnya dengan kehidupan. Renata bergidik ngeri membayangkan apa yang akan terjadi dengan hidupnya jika tali itu sampai putus.Ia akhirnya kembali memutuskan untuk mengamati kamar Desty lebih detail. "Dimana ya..." Bisik Renata pelan. Berusaha memecah kesunyian yang sedikit menyeramkan.Renata mengamati
“Bian?”Kini dalam pikirannya bayangan begitu jelas terlintas.Renata kecil sedang berlari mengejar seorang anak laki-laki yang mengajaknya bercanda. Tiba-tiba sebuah batu membuat kakinya tersandung dan jatuh.ia menangis, anak laki-laki itu mengulurkan tangannya, Renata meraih tangannya agar bisa berdiri tegak, anak laki-laki itu mengusap kepala Renata kecil dengan gemas.Sesaat ia teringat Pandu. Sepertinya ia harus segera berbicara dengan Dena.“Dena?” Panggil Renata ketika nada sambung berhenti terdengar dari ponselnya.“Hmmm?” Gumam Dena dari sambungan telepon ditelinganya.“Jalan yuk!” Ajak Renata cepat