BAB 3
"Lalu, bagaimana jika saya melahirkan anak perempuan?" tanya Naura dengan suara serak akibat menangis. Dia memberanikan diri untuk bertanya.Ferdi mengepalkan kedua tangannya, lalu menghela napas sejenak sebelum menjawab, "Pernikahan ini hanya akan berakhir, hanya jika kamu memberi anak laki-laki kepada saya. Jika yang lahir anak perempuan, kamu boleh merawatnya sendiri. Tapi kamu tenang saja, karena saya akan memberikan biaya untuk hidup anak perempuan itu. Dengan catatan, dia hanya menjadi anak kamu saja, bukan anak saya."Naura semakin terisak, mengerjapkan air matanya yang semakin deras mengalir. Hatinya bagai teriris mendengar ucapan Ferdi yang begitu tega dan dingin. Dia merasa seolah menjadi pion dalam permainan kejam yang tak bisa dia hindari.“Ingat! Putrimu nanti tidak boleh tahu jika dia berasal dari benihku. Bahkan tidak ada seorang pun yang boleh tahu, kecuali keluarga kamu yang miskin itu!” tegas Ferdi.Naura diam, tidak berniat menanggapi ucapan suaminya.“Kamu tuli? Saya bicara dari tadi dan kamu hanya diam dan menangis. Dasar manusia gak berguna. Jika bukan karena saya ingin anak laki-laki, gak mungkin saya selera menyentuh wanita yang bukan istri saya,” ucap Ferdi sinis.“Bukankah saya juga istri Tuan?” cicit Naura.“Masih berani kamu menganggap dirimu istri saya?!” bentak Ferdi. Kini dia menghujamkan kuku-kuku tajamnya di wajah Naura.Naura ingin berbicara, tapi dia kesulitan untuk itu. Kedua pipinya terasa perih. Apa lagi ditambah dengan tetesan air mata yang meresap ke lukanya.‘Ya Allah, sakit sekali,’ batin Naura.Sesakit apa pun yang Naura rasakan, dia tidak akan menyesali langkah yang diambil. Dia ikhlas menjalani semua ini demi ayahnya. Naura banyak berdoa agar segera diberi keturunan laki-laki. Setelah itu dia bisa kembali ke pelukan orang tuanya.Ferdi melepaskan Naura dan menghempaskan ke kasur.“Hanya Zia yang saya akui sebagai istri. Jangan bermimpi jika saya akan menganggap kamu istri, dasar orang miskin!” hardik Ferdi.Setelah itu, Ferdi meninggalkan apartemen. Dia membanting setiap barang yang dia temui di depannya.Naura duduk di tepi tempat tidurnya, mengatur napasnya dan mengusap air mata yang menetes di pipinya. Langkah kakinya terasa berat saat dia menuju kamar mandi untuk membersihkan mandi junub dan melaksanakan sholat maghrib yang dijamak dengan isya.Cahaya lampu kamar mandi yang redup menciptakan suasana yang suram, mencerminkan perasaan Naura yang terluka. Setelah selesai sholat, dia menarik napas dalam-dalam.Dalam diam, Naura berjalan menuju meja makan. Di sana, hidangan makan malam telah tersaji dengan rapi, mencerminkan kepedulian Laila terhadap Naura meskipun situasinya yang sulit. Meja makan itu terbuat dari kayu jati yang kokoh, permukaannya dipenuhi dengan berbagai macam hidangan yang mengundang selera.Sejenak, Naura merasa sedikit lebih tenang, menyadari bahwa setidaknya ada seseorang yang masih peduli dan berada di sisinya."Mari makan, nona!" ajak Laila sambil meletakkan segelas jeruk hangat di samping piring Naura. "Ini jeruk hangatnya.""Terima kasih, La. Duduklah, kita makan sama-sama!" seru Naura.Laila mengangguk. Dia duduk di seberang meja Naura. Keduanya makan dalam diam. Hanya sesekali terdengar denting sendok yang beradu dengan piring.Selesai makan Naura berdiri, membantu membereskan piring di meja."Biar saya saja, Nona!" seru Laila."La, aku bosan. Biarkan aku yang melakukannya. Kamu tolong bereskan kamarku saja!" sahut Naura. Naura malas membereskan kamar usai berhubungan dengan suaminya. Membuat dia merasa jijik dengan dirinya sendiri.Laila mengangguk. "Baik, Nona."Dia meninggalkan Naura beserta piring kotornya. Dan menuju kamar Naura.Dengan langkah pasti, Laila mulai mengumpulkan pakaian yang berserakan di lantai. Ia merasa cemburu saat memikirkan bagaimana sepasang suami istri itu menikmati keintiman yang tak pernah ia rasakan."Kapan ya, aku ngerasain gituan sama suami?" gumam Laila sambil memunguti pakaian satu persatu."Lagian mana ada yang mau sama wanita jelek kayak aku," keluh Laila sambil menggelengkan kepala. "Nona Naura cantik, makanya Tuan Ferdi mau menikah dengannya. Lha, aku? Hahaha."Laila mengganti sprei dan selimut dengan mengambilnya di lemari. Kemudian membawa pakaian serta sprei kotor ke luar. Besok akan dia cuci."Sudah, La?" tanya Naura yang melihat Laila keluar dari kamarnya."Sudah, nona. Silakan beristirahat!" sahut Laila ramah."Terima kasih, ya."Naura melangkah masuk ke kamarnya yang terlihat sangat rapi. Dengan hati-hati, ia melepas pakaiannya yang telah usang dan menggantinya dengan busana yang lebih nyaman. Setelah itu, dia membaringkan tubuhnya yang lelah di atas ranjang empuknya, menikmati sejenak kedamaian sebelum kembali larut dalam kegelisahan hatinya.Sambil menatap langit-langit kamarnya, pikiran Naura kembali melayang ke keputusan yang telah mengubah hidupnya. Dia tidak pernah membayangkan akan menikah begitu cepat, terutama dengan Ferdi. Bagaimana mungkin, sementara dirinya masih berusia sangat muda dan sebentar lagi akan menyelesaikan pendidikannya? Namun, keadaan memaksa, dan Ferdi tidak memberinya kesempatan untuk melanjutkan sekolahnya yang tinggal enam bulan lagi untuk lulus."Pernikahan apa ini? Apa bedanya aku sama wanita malam? Haha," gumam Naura sambil tertawa pahit. "Iya, sama saja. Aku pun tak lebih dari itu." Air mata perlahan mengalir di pipinya, mencampurkan rasa sakit dan kekecewaan yang terpendam dalam hati."Kenapa? Tidak suka? Ya sudah, pergi saja dari sini! Saya juga gak butuh wanita yang suka mengeluh," ucap Ferdi yang tiba-tiba saja sudah ada di dalam kamar Naura."Tu-Tuan," ucap Naura gugup.“Kemasi pakaian kamu dan pergilah!” bentak Ferdi. “Setelah ini, saya akan mengirim ayah kamu ke neraka!”Naura ketakutan, tubuhnya berkeringat dingin. Dia tidak tahu jika suaminya akan kembali lagi."Ma-maaf, Tuan. Tolong ampuni saya. Saya janji gak akan berkata seperti itu lagi," pinta Naura dengan lelehan air mata di kedua pipi mulusnya. Meski dia hidup dengan pas-pasan, tapi kulit wajahnya putih bersih, tanpa skincare apa pun.Tiba-tiba saja, Ferdi mengambil air di nakas dan menyiramkan ke wajah Naura."Astaghfirullah," ucap Naura kaget dengan apa yang dilakukan suaminya.BAB 4 Naura terbangun. Dia mendapati wajahnya sedikit basah dan melihat ada Laila di hadapannya, bukan Ferdi."Laila? Kamu ngapain di sini? Mana Tuan Ferdi?" tanya Naura heran."Maaf, Nona, tadi saya menyiram sedikit air ke wajah Nona. Karena Nona Naura sulit dibangunkan," ucap Laila dengan wajah merasa bersalah. "Ini, Tuan Ferdi mencari Nona!"Laila memberikan ponsel miliknya kepada Naura. Kemudian dia meninggalkan majikannya itu agar bebas berbicara dengan suaminya."Assalamu'alaikum, Tuan," ucap Naura yang hingga kini masih memanggil suaminya dengan panggilan itu."Saya akan liburan dengan istri dan anak-anak ke luar negeri selama 2 minggu," ucap Tuan Ferdi, tanpa menjawab salam."Ba–."Tut... Tut...Panggilan dimatikan sepihak."Kalau cuma mau ngomong gitu, kenapa gak nitip ke Laila aja? Gangguin orang tidur aja," gerutu Naura.Dia meletakkan ponsel Naura. Lalu senyumnya mengembang. Dia yakin jika di kamar tidak ada cctv.Naura mengunci pintu kamarnya agar Laila tidak bisa masuk
Bab 5 "Sayang!" seru Ferdi saat ia melihat Zia yang baru saja tiba. Wajahnya terlihat kaget mengetahui kehadiran istrinya itu."Ngapain tadi Kevin ke sini?" tanya Zia dengan nada ketus, kedua alisnya mengerut menunjukkan rasa curiga."Oh, itu, ada sedikit masalah di kantor. Tapi sudah diatasi, tenang saja!" balas Ferdi sambil tersenyum mencoba meredakan kecurigaan Zia. Ia meraih tangan istrinya dan mengelusnya lembut."Duduklah! Sebentar lagi kita terbang," ujar Ferdi sambil menunjukkan kursi di sampingnya.Zia mengangguk, wajahnya masih menampakkan kebingungan. Namun, ia memutuskan untuk duduk di samping suaminya, menaruh tas kecilnya di pangkuannya. Keduanya kemudian bersiap untuk penerbangan yang akan segera dimulai, meskipun Zia masih merasa ada sesuatu yang disembunyikan oleh suaminya.Zia merasa jika suaminya lebih banyak melamun selama perjalanan. Diajak bicara pun sering tidak fokus."Papa!" seru Zia kesal, menghentakkan kakinya di lantai. Ia merasa frustrasi karena untuk kes
Bab 6Naura terbangun mendadak, sebuah tamparan keras mendarat di pipinya. Tubuhnya lemas dan terasa sakit di mana-mana. Ia menyadari bahwa dirinya terikat erat di kedua tangan dan kaki. Ruangan sempit dan gelap membuatnya merasa sesak. Sudah beberapa hari ia berada di sini, menjadi tawanan Ferdi dan anak buahnya yang kejam."Tu-tuan..." rintih Naura kesakitan. Wajahnya tampak pucat dan lesu."Berani kamu melanggar larangan yang saya berikan?" hardik Ferdi dengan tatapan yang menyeramkan."Maaf Tuan, saya hanya..." ucap Naura dengan suara lirih dan ketakutan."Hanya apa?" potong Ferdi dengan nada sinis.Naura menunduk, tak berani menatap wajah Ferdi yang penuh kemarahan. Hatinya bergetar kencang, takut akan ancaman yang akan dihadapinya."Apa perlu saya bunuh orang tua kamu, agar kamu tidak kabur dari apartemen?" tanya Ferdi dengan nada dingin dan mengancam.Mendengar ancaman itu, Naura merasa nafasnya tercekat. Airmatanya mengalir deras, memohon agar orang tuanya tidak menjadi korban
Naura terpojok di sudut kamar dengan wajah pucat ketakutan, kedua tangannya berusaha menutupi tubuh mungilnya yang merasa rentan. Ferdi memandangnya dengan tatapan sinis, membuat Naura semakin merasa ketakutan."Ampun, Tuan," ucap Naura dengan suara yang bergetar. "Maafkan saya. Saya gak akan nolak lagi."Mendengar ucapan istrinya, Ferdi kembali tertawa dengan nada mengejek. Dia menatap Naura seolah mempermainkan perasaan istrinya yang ketakutan itu. Hatinya bahkan seakan menikmati pemandangan tersebut.Ferdi mengepalkan tangan yang memegang ikat pinggang dan kemudian mengangkatnya. Namun, melihat ekspresi ketakutan yang begitu jelas pada wajah Naura, ia akhirnya mengurungkan niatnya untuk mencambuk istrinya. Ferdi tersenyum sinis sambil meletakkan ikat pinggang itu kembali di tempat semula.Seakan mengetahui bahwa bahayanya telah berlalu, Naura mencoba mengatur napasnya yang terengah-engah. Air mata yang sempat menumpuk di sudut matanya perlahan menetes, menggambarkan perasaan terluk
Air mata mulai menggenang di sudut matanya, sementara hatinya merasa retak. Zia mencoba menahan tangisnya, berusaha keras untuk tidak menangis di telepon. Pikirannya langsung terbawa pada kemungkinan buruk yang sedang terjadi pada suaminya.Dengan tangan gemetar, Zia akhirnya memutuskan sambungan telepon itu. Dia menundukkan kepalanya, meneteskan air mata yang tak mampu ditahan lagi. Hatinya terasa begitu sakit, seolah teriris oleh pisau tajam yang mencoba membelah dadanya. Rasa tidak pasti itu melukai hatinya lebih dalam, membuatnya merasa hampa dan kehilangan arah.Zia menarik nafas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Dia tidak tahu apakah suaminya, Ferdi, telah berselingkuh di belakangnya atau mungkin dia hanya menjadi korban suatu keadaan yang tidak menguntungkan. Namun, kebenaran harus segera terungkap agar dia bisa menemukan ketenangan dalam kehidupan rumah tangga mereka.Tak tahan dengan rasa penasarannya, Zia memutuskan untuk mencari jawaban langsung dari orang yang paling
Tak disangka, ketika Laila baru saja membuka pintu apartemen yang ditempati oleh istri muda Ferdi, tiba-tiba Zia, istri Ferdi yang sah, muncul dengan wajah marah."Nyonya!" pekik Laila kaget, matanya membulat sempurna, detak jantungnya berpacu cepat. Ia merasa seakan dunia runtuh karena ketahuan oleh majikannya sendiri."Laila!" sahut Zia balik, tak kalah terkejut melihat pelayannya itu berada di apartemen suaminya. Keduanya saling menatap dengan penuh emosi, berkecamuk dalam diri masing-masing."Jadi, kamu selingkuhan suamiku? Aku gak nyangka. Dasar wanita murahan!" bentak Zia, kemarahan memuncak. Dengan gerakan cepat, dia menarik rambut Laila dan menyeretnya masuk ke dalam apartemen, pintu ditutup keras di belakang mereka."Nyonya salah paham!" rintih Laila sambil menahan rambutnya, mencoba mengurangi rasa sakit yang menyergap akibat ditarik dengan kasar oleh Zia. Wajahnya memerah, matanya berkaca-kaca karena takut.Namun, Zia tak mendengarkan penjelasan Laila. Dia terus menyeret La
Naura merasa bingung dan ketakutan ketika tiba-tiba Ratih menarik rambutnya dengan keras hingga beberapa helai terlepas. Rasa sakit yang luar biasa membuat air matanya menetes. "Mbak Ratih?" teriak Naura dengan suara parau."Aku salah apa, Mbak?" tanya Naura di sela rasa sakit yang menghinggapinya, mencoba untuk tetap tenang meski takut akan sikap Ratih yang tiba-tiba berubah.Ratih hanya menatap Naura dengan tatapan tajam yang membuat Naura semakin merasa takut. "Kau pikir kau bisa mendapatkan simpati Ferdi hanya dengan berpura-pura lemah seperti ini?" ucap Ratih dengan nada sinis dan penuh kebencian.Naura terkejut dengan ucapan Ratih. Ia tidak mengerti mengapa Ratih tiba-tiba berbicara seperti itu. Padahal sebelumnya, pelayannya itu bersikap baik dan ramah kepadanya, terutama ketika Ferdi ada di rumah ini. Namun begitu Ferdi pergi, Ratih berubah menjadi kasar dan penuh kebencian.Merasa takut dan bingung, Naura berusaha untuk berbicara dengan lembut. "Mbak, aku tidak mengerti kenap
Kedua tangan Ferdi mengepal erat saat ia mendengar suara yang terdengar samar dari teleponnya. Dia sangat hafal suara itu, suara istrinya, Zia, yang sedang berbicara dengan nada manja. Kecurigaan akan adanya perselingkuhan antara Zia dan sopirnya membuat wajah Ferdi tampak menyeramkan, penuh kemarahan dan kekecewaan.Ferdi berusaha menahan amarahnya, namun ia tak bisa menutupi rasa sakit yang mulai menghantui hatinya. Dalam kesedihan dan kemarahan, ia berteriak, "Kirimi nomor Brian, saya akan mengecek keberadaannya!"Selama ini memang Ferdi tidak mempunyai kontak para pekerjanya, kecuali Kevin dan Surti yang merupakan asisten rumah tangganya. Namun, kali ini ia merasa perlu untuk mengetahui kebenaran tentang hubungan antara istrinya dan sopir pribadinya.Tak lama kemudian, Ferdi menerima pesan dengan nomor telepon Brian, sopir yang menjadi sumber kecurigaannya. Tanpa ragu, ia langsung menelusuri nomor tersebut untuk mengetahui keberadaan Brian dan Zia, berharap ia akan menemukan kebena
Fira berdiri dengan gemetar di depan Ratih dan Ferdi. Tubuhnya lemah, namun ia tahu harus berani mengungkapkan apa yang telah terjadi."Mbak Ratih yang–," ucap Fira dengan suara lirih dan gugup."Fira!" Ratih membentak, wajahnya memerah karena marah. "Jangan banyak membual kamu!"Fira merasa tubuhnya semakin gemetar. Ia menggenggam tangan temannya di sampingnya, mencari dukungan untuk menghadapi situasi yang sangat menegangkan ini."Diam, Ratih!" Ferdi tak bisa menahan emosinya, kesal melihat Ratih memotong ucapan Fira. Matanya menatap tajam ke arah Ratih, yang tampak terkejut dengan reaksi Ferdi."Fira, katakan! Jangan takut kepada orang lain. Saya akan melindungi kamu, jika yang kamu katakan adalah sebuah kebenaran. Tapi, jika kamu berbohong, ruang bawah tanah menantimu," ucap Ferdi dengan nada ancaman yang membuat Fira semakin ketakutan.Fira menelan ludah, mengumpulkan keberanian yang tersisa. Ia berbicara dengan suara lirih namun jelas, mengungkapkan rahasia yang selama ini disem
Kevin melamun, teringat pembicaraannya dengan Ferdi tadi. Ancaman yang menakutkan tapi dia tidak akan mengatakan kejujurannya karena itu sama saja dengan dia bunuh diri.Ferdi menatap tajam ke arah Kevin, mencoba membaca ekspresi wajahnya. "Kamu tidak bocor kan? Karena hanya kamu yang mengetahui tentang semua rahasia saya." Ia menatap mata Kevin, mencari tanda-tanda pengkhianatan. Kevin menggenggam tangannya dengan kuat, merasakan jantungnya berdebar kencang. "Iya, Tuan. Rahasia Tuan aman," sahut Kevin dengan kecemasan yang luar biasa, berusaha meyakinkan bosnya bahwa dirinya tidak akan berkhianat. Bosnya menghela napas, masih belum sepenuhnya yakin dengan jawaban Kevin. "Jika kamu berkhianat, kamu sudah pasti akan tahu apa konsekuensinya,"ucapnya dengan suara yang dingin dan mengancam. Kevin menelan ludah, merasa tekanan yang begitu besar dari tatapan sang bos. "Saya tidak akan berkhianat, Tuan. Saya akan melindungi rahasia Anda sampai akhir," ucapnya dengan penuh keteguhan, berhara
Ferdi terduduk lemas di sofa ruang tamu, menghela nafas panjang sambil menatap layar ponsel yang terus menunjukkan lokasi istrinya yang sama. Rasa cemas dan frustasi bergulir di dadanya, membuat jantungnya berdebar kencang. Berkali-kali dia mengecek ponsel istrinya, berharap ada perubahan posisi atau setidaknya sebuah pesan singkat dari Zia. Namun, hasilnya tetap nihil.Kevin berdiri di dekat pintu dengan wajah cemas. Dia melihat keadaan tuannya yang benar-benar terpuruk. Dengan ragu, Kevin mencoba memberi nasihat, "Mungkin Nyonya butuh waktu untuk sendiri, Tuan."Ferdi mengangkat pandangan dari ponsel, menatap Kevin dengan mata berkaca-kaca. Kepalanya mengangguk perlahan, mencoba meyakinkan diri bahwa apa yang dikatakan Kevin mungkin benar. "Nanti jika sudah merasa lebih baik, pasti Nyonya Zia akan kembali," lanjut Kevin, berusaha memberi semangat pada tuannya.Ferdi menutup matanya sejenak, menghembuskan napas perlahan. Di dalam hatinya, dia berharap semoga Zia segera kembali dan me
"Aman Nyonya," ucap Hasna ketus sambil menatap tajam ke arah Zia. Wajahnya terlihat jelas menunjukkan ketidaksukaannya terhadap rencana yang tengah dijalankan. Namun, pikirannya segera teralihkan ketika ia teringat bayaran yang dijanjikan sepupunya itu. Bayaran yang cukup untuk membiayai kuliahnya dan perawatan di klinik kecantikan membuatnya enggan untuk menolak tawaran tersebut. Dengan berat hati, Hasna menyetujui untuk menjadi kekasih pura-pura Brian saat Ferdi ada di sekitar mereka.Sementara itu, Zia segera keluar dari tempat persembunyiannya yang terletak di apartemen sebelah milik Hasna. Ada pintu rahasia yang menghubungkan kedua ruangan tersebut, memudahkan Zia untuk mengawasi dan memastikan rencana tersebut berjalan lancar.Tadi, Brian baru menyadari bahwa yang menghubunginya adalah Surti. Brian menghentikan aktifitasnya bersama Zia dan memanggil Hasna untuk datang. Lalu menyembunyikan Zia di kamar Hasna. Karena Brian yakin jika Ferdi pasti akan mencarinya."Hasna, apakah kam
Kedua tangan Ferdi mengepal erat saat ia mendengar suara yang terdengar samar dari teleponnya. Dia sangat hafal suara itu, suara istrinya, Zia, yang sedang berbicara dengan nada manja. Kecurigaan akan adanya perselingkuhan antara Zia dan sopirnya membuat wajah Ferdi tampak menyeramkan, penuh kemarahan dan kekecewaan.Ferdi berusaha menahan amarahnya, namun ia tak bisa menutupi rasa sakit yang mulai menghantui hatinya. Dalam kesedihan dan kemarahan, ia berteriak, "Kirimi nomor Brian, saya akan mengecek keberadaannya!"Selama ini memang Ferdi tidak mempunyai kontak para pekerjanya, kecuali Kevin dan Surti yang merupakan asisten rumah tangganya. Namun, kali ini ia merasa perlu untuk mengetahui kebenaran tentang hubungan antara istrinya dan sopir pribadinya.Tak lama kemudian, Ferdi menerima pesan dengan nomor telepon Brian, sopir yang menjadi sumber kecurigaannya. Tanpa ragu, ia langsung menelusuri nomor tersebut untuk mengetahui keberadaan Brian dan Zia, berharap ia akan menemukan kebena
Naura merasa bingung dan ketakutan ketika tiba-tiba Ratih menarik rambutnya dengan keras hingga beberapa helai terlepas. Rasa sakit yang luar biasa membuat air matanya menetes. "Mbak Ratih?" teriak Naura dengan suara parau."Aku salah apa, Mbak?" tanya Naura di sela rasa sakit yang menghinggapinya, mencoba untuk tetap tenang meski takut akan sikap Ratih yang tiba-tiba berubah.Ratih hanya menatap Naura dengan tatapan tajam yang membuat Naura semakin merasa takut. "Kau pikir kau bisa mendapatkan simpati Ferdi hanya dengan berpura-pura lemah seperti ini?" ucap Ratih dengan nada sinis dan penuh kebencian.Naura terkejut dengan ucapan Ratih. Ia tidak mengerti mengapa Ratih tiba-tiba berbicara seperti itu. Padahal sebelumnya, pelayannya itu bersikap baik dan ramah kepadanya, terutama ketika Ferdi ada di rumah ini. Namun begitu Ferdi pergi, Ratih berubah menjadi kasar dan penuh kebencian.Merasa takut dan bingung, Naura berusaha untuk berbicara dengan lembut. "Mbak, aku tidak mengerti kenap
Tak disangka, ketika Laila baru saja membuka pintu apartemen yang ditempati oleh istri muda Ferdi, tiba-tiba Zia, istri Ferdi yang sah, muncul dengan wajah marah."Nyonya!" pekik Laila kaget, matanya membulat sempurna, detak jantungnya berpacu cepat. Ia merasa seakan dunia runtuh karena ketahuan oleh majikannya sendiri."Laila!" sahut Zia balik, tak kalah terkejut melihat pelayannya itu berada di apartemen suaminya. Keduanya saling menatap dengan penuh emosi, berkecamuk dalam diri masing-masing."Jadi, kamu selingkuhan suamiku? Aku gak nyangka. Dasar wanita murahan!" bentak Zia, kemarahan memuncak. Dengan gerakan cepat, dia menarik rambut Laila dan menyeretnya masuk ke dalam apartemen, pintu ditutup keras di belakang mereka."Nyonya salah paham!" rintih Laila sambil menahan rambutnya, mencoba mengurangi rasa sakit yang menyergap akibat ditarik dengan kasar oleh Zia. Wajahnya memerah, matanya berkaca-kaca karena takut.Namun, Zia tak mendengarkan penjelasan Laila. Dia terus menyeret La
Air mata mulai menggenang di sudut matanya, sementara hatinya merasa retak. Zia mencoba menahan tangisnya, berusaha keras untuk tidak menangis di telepon. Pikirannya langsung terbawa pada kemungkinan buruk yang sedang terjadi pada suaminya.Dengan tangan gemetar, Zia akhirnya memutuskan sambungan telepon itu. Dia menundukkan kepalanya, meneteskan air mata yang tak mampu ditahan lagi. Hatinya terasa begitu sakit, seolah teriris oleh pisau tajam yang mencoba membelah dadanya. Rasa tidak pasti itu melukai hatinya lebih dalam, membuatnya merasa hampa dan kehilangan arah.Zia menarik nafas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Dia tidak tahu apakah suaminya, Ferdi, telah berselingkuh di belakangnya atau mungkin dia hanya menjadi korban suatu keadaan yang tidak menguntungkan. Namun, kebenaran harus segera terungkap agar dia bisa menemukan ketenangan dalam kehidupan rumah tangga mereka.Tak tahan dengan rasa penasarannya, Zia memutuskan untuk mencari jawaban langsung dari orang yang paling
Naura terpojok di sudut kamar dengan wajah pucat ketakutan, kedua tangannya berusaha menutupi tubuh mungilnya yang merasa rentan. Ferdi memandangnya dengan tatapan sinis, membuat Naura semakin merasa ketakutan."Ampun, Tuan," ucap Naura dengan suara yang bergetar. "Maafkan saya. Saya gak akan nolak lagi."Mendengar ucapan istrinya, Ferdi kembali tertawa dengan nada mengejek. Dia menatap Naura seolah mempermainkan perasaan istrinya yang ketakutan itu. Hatinya bahkan seakan menikmati pemandangan tersebut.Ferdi mengepalkan tangan yang memegang ikat pinggang dan kemudian mengangkatnya. Namun, melihat ekspresi ketakutan yang begitu jelas pada wajah Naura, ia akhirnya mengurungkan niatnya untuk mencambuk istrinya. Ferdi tersenyum sinis sambil meletakkan ikat pinggang itu kembali di tempat semula.Seakan mengetahui bahwa bahayanya telah berlalu, Naura mencoba mengatur napasnya yang terengah-engah. Air mata yang sempat menumpuk di sudut matanya perlahan menetes, menggambarkan perasaan terluk