**
"Nggak disentuh sama sekali?"Kiran menatap dengan nanar piring-piring berisi masakan yang ia buat semalam. Tak secuil pun makanan itu tampak berkurang. Namun, yang menyakitkan adalah ia justru menemukan bungkus mie cup di dalam tempat sampah. Karan lebih memilih makan malam dengan mi instan daripada makan masakan buatannya. Menghela napas lelah, perempuan itu masih berusaha tersenyum saat mengeluarkan masakannya dari dalam lemari pendingin."Yah, untung aja aku masukin kulkas, jadi masih bisa diangetin dan dimakan lagi. Walaupun mungkin yang makan tetap aku sendiri."Masih berusaha berpikir positif, perempuan itu berniat membuatkan minuman untuk sang suami yang setelah ini mungkin akan berangkat ke kantor. Teringat kembali peristiwa semalam yang mana Karan marah-marah hanya karena secangkir kopi, kali ini Kiran akan mencoba menyiapkan segelas susu saja. Nah, setengah jam kemudian saat jarum jam menunjuk angka setengah delapan pagi, Karan keluar dari kamarnya dengan pakaian kerja yang sudah rapi. Rambutnya disisir ke belakang, menampakkan kening bersih dengan anak-anak rambut jatuh beberapa helai.Ya Tuhan. Dengan cara bagaimana Kau menciptakan dia, sehingga bisa terlihat setampan itu?Namun Karan hanya melewati dapur tanpa menoleh sama sekali."Mas?" tegur Kiran dengan nada suara penuh harap. "Mas udah mau berangkat kerja aja? Emang ambil cuti cuma berapa hari?"Karan tak mengindahkan pertanyaan itu. Ia berlalu menuju ruang kerja yang berada di seberang kamarnya sendiri. Namun, masih pula keras kepala, Kiran kini berinisiatif mengantarkan secangkir susu hangat yang sudah ia buat. Lantas bergegas mengayun langkah untuk menyusul sang suami yang tengah bersiap-siap untuk berangkat bekerja."Mas, serius nggak mau sarapan dulu? Kamu harus kerja seharian, masa berangkat dengan perut kosong? Mau minum susu, nggak? Sepertinya kamu nggak suka kopi."Lelaki itu beralih dari layar ponselnya. Menatap tajam kepada Kiran yang berdiri terpaku dengan cangkir susu masih di tangan."Ma-mau ya, Mas?""Nggak." Karan menjawab dengan tajam. "Catat ini dalam benakmu untuk pertanyaan yang selanjutnya biar nggak tanya-tanya lagi. Aku nggak mau. Aku nggak akan pernah mau dengan apapun yang kamu tawarkan. Jadi mulai detik ini, kamu nggak perlu sok cari perhatian dengan merepotkan diri menawarkan ini dan itu kepadaku, karena kamu sudah tau apa jawabannya."Tuhan!Kiran merasa nyeri lagi-lagi menyengat hatinya kala mendengar jawaban panjang yang menyakitkan itu. Ia tahu Karan tidak menyukainya. Ia juga tidak pernah berharap Karan menyukainya. Namun tidak bisakah jika ia berharap bisa berteman dengan pria rupawan itu? Hanya berteman, tidak perlu melibatkan rasa. Kiran hanya ingin Karan bersikap sedikit baik, itu saja. Tidak menjadi istri betulan pun tak mengapa."M-Mas, hati-hati di jalan." Sedikit terlambat, Kiran berseru saat suaminya berlalu dari kamar. Perempuan itu menengok dari jendela, menatap mobil hitam yang baru saja melintasi halaman, lalu keluar meninggalkan rumah."Mas, hati-hati di jalan." Kiran kembali berbisik lirih sementara menatap debu tipis yang beterbangan di antara jejak mobil itu. "Untuk sementara, mungkin aku harus bersabar sedikit sambil belajar, Mas. Mungkin besok atau lusa, kamu bisa mulai menerima kehadiranku di sini."Hari sudah lebih dari gelap saat Kiran mendongak dari tempat duduknya sebab mendengar suara deru mesin mobil memasuki garasi rumah. Reflek ia menoleh ke arah jam yang menggantung di dinding. Pukul delapan, nyaris setengah sembilan malam sekarang. Perempuan bersurai sepanjang bahu itu lantas meletakkan di atas meja laptop yang sedang ia pegang. Tadinya Kiran sedang bekerja juga. Ia adalah seorang graphic designer freelance. Jadi jam kerjanya bisa fleksibel, tak melulu harus di kantor.Kiran berdiri menyambut kala sang suami membuka pintu. Meski tak memiliki ilmu dalam hal perumahtanggaan sama sekali, tapi ia tahu, jika suami pulang kerja sebaiknya disambut dengan senyuman."Mas? Baru pulang? Capek, ya?" Kiran menampakkan senyum terbaik yang ia miliki. Berharap lelah Karan sedikit terobati setelah seharian bekerja. Namun seperti yang bisa ditebak, lelaki itu membuang muka dengan kesal."Mas, mau langsung makan malam apa mandi dulu? Apa setiap hari selalu pulang selarut ini?" Tak terpengaruh dengan tanggapan dingin itu, Kiran kembali mengejar. "Mau aku bikinin minuman hangat? Teh, atau wedang jahe?"Tak ada jawaban yang Kiran dapatkan selain desis kesal. Karan bergegas masuk ke dalam kamarnya dan mengunci pintu dari dalam. Meninggalkan sang istri yang masih diam terpaku di tempat. Seharusnya Kiran sudah menduga ini bakal terjadi, namun entah mengapa rasanya masih sakit pula saat lagi-lagi sikap dingin Karan yang ia terima."Mas?"Akhirnya berbicara dengan tubuh merapat ke pintu kamar sang suami. Kiran sedikit mengeraskan suaranya, berharap Karan mendengar dari balik pintu ini."Mas, makan malamnya aku taruh kulkas, ya? Nanti kamu bisa panggil aku kalau mau makan. Biar aku siapin."Percuma saja, manusia di dalam ruangan yang berada di balik pintu itu hanya bergeming, tak akan menyuarakan apapun. Kiran setelahnya melangkah pergi kembali ke laptopnya di ruang tengah dengan wajah masam.Tak mengapa, ini baru beberapa hari selepas pernikahan. Kiran pikir nanti setelah satu atau dua minggu waktu berlalu, Karan mungkin akan terbiasa dan mau membuka diri.Pemikiran yang ternyata sungguh salah."Harus aku katakan berapa kali, sih? Berhenti mengurusi urusanku!"Kiran menelan saliva. Hanya mampu menunduk diam kala sang suami membentak dengan suara lantang saat pagi ini ia terpaksa mengetuk pintu kamar dengan agak keras."M-Mas, ini hampir jam setengah delapan. Aku takut kamu terlambat ke kantor.""Dan apa urusanmu kalau aku terlambat? Sudah aku bilang, Kiran, aku sama sekali nggak perlu bantuanmu dalam hal apapun.""Maaf. Aku hanya nggak ingin kamu terlambat kerja, Mas. Aku nggak ada maksud yang lain.""Sekarang aku bener-bener terlambat karena kelakuanmu!"Terperangah, Kiran menatap lelaki di hadapannya dengan putus asa. Namun sebelum ia sempat menyuarakan pembelaan apapun, Karan sudah berkata lagi."Pergi, nggak? Mau sampai kapan berdiri di situ? Nunggu apa?"Sadar dirinya masih berada di ambang pintu kamar sang suami, Kiran lantas mundur. Lagi-lagi harus tersentak keras saat pintu terbanting di depan wajahnya."Maaf, Mas."Kiran berbalik, menjauhi pintu yang bukan hanya mengurung Karan di dalamnya, tapi juga seluruh harapan Kiran untuk bisa menjalin rumah tangga yang normal seperti orang lain. Seraya menjauh, perempuan dua puluh empat tahun itu mendesis."Aku bahkan nggak tau kenapa harus terus minta maaf kepadamu. Apakah menurutmu semua ini salahku, ha?"Hampir dua minggu menjalani hidup seperti ini, benar-benar membuat Kiran nyaris gila. Ia tidak tahu berapa lama lagi semua ini bisa ia pertahankan."Masih haruskah aku pertahankan, Mas? Kenapa aku yang selalu harus berjuang sendirian?"*****Kiran memandang gedung besar di seberang jalan dengan sedikit takjub. Tidak mengira bahwa suaminya bekerja di tempat seperti ini."Ini bener kan alamatnya? Ibu nggak salah kasih alamat kan, ya?" Perempuan itu bergumam kepada dirinya sendiri sementara memandang sekali lagi layar ponselnya untuk memastikan. "Ah, kayaknya sih bener yang ini kantornya Mas Karan. Oke, mungkin aku harus tanya aja sama sekuriti yang jaga."Pada titik ini, Kiran merasa benar-benar tidak mengenal suaminya sendiri. Bagaimana mungkin ia bisa menjalin pernikahan dengan lelaki itu, sementara di mana ia bekerja saja tidak pernah tahu. Sedikit ragu, akhirnya ia tetap melajukan motor matic-nya menyeberang jalan dan berniat memasuki pintu gerbang yang dijaga petugas sekuriti."Ada yang bisa saya bantu, Mbak?" Lelaki berseragam berusia separuh baya itu bertanya dengan ramah ketika Kiran tiba di sana."Oh ... saya bisa ketemu sama Mas Karan nggak, Pak?" Kiran menjawab dengan mengulas senyum tipis."Mas Karan?" Sekuri
**Masih seperti kemarin, Kiran memandang mobil hitam yang berlalu meninggalkan halaman melalui kaca jendela lantai dua. Setelah semalam Karan marah-marah dan membanting pintu di depan wajah Kiran, pagi ini berlalu tanpa drama apapun. Benar, Kiran memilih keluar kamar setelah lelaki itu selesai bersiap-siap dan pergi bekerja. Ia memilih tidak menampakkan diri sedikitpun demi menjaga pagi hari yang tetap damai.Perempuan itu hendak masuk ke kamar mandi saat suara dering ponsel menghentikan langkahnya."Halo, Ibu?" Ternyata Soraya yang menelepon. "Tumben nelepon pagi-pagi? Ada apa?""Nggak apa-apa, Ki." Suara Soraya menyambut dari seberang sana. "Kamu lagi sibuk, kah?""Ah, enggak. Aku lagi mau mandi, Bu.""Karan udah berangkat, ya?""Udah, baru aja berangkat." kiran menelan saliva. Berharap ibu mertuanya tidak bertanya yang aneh-aneh perihal kehidupan rumah tangganya yang tragis."Ibu pengen main ke sana, dong.""Ah? Main ke sini?""Iya, Nak. Ibu kan sama sekali belum pernah nengokin k
**Mungkin sekarang sudah tengah malam. Entahlah, Kiran tidak tahu. Ia tidak membawa ponselnya. Perempuan itu hanya merasa telah duduk di halaman belakang rumahnya sejak berjam-jam yang lalu. Berkali-kali membersit air matanya yang terus-terusan luruh tanpa bisa ia cegah.Jadi ternyata Karan sudah memiliki kekasih sebelum ini? Pantaslah mengapa sikapnya sangat dingin kepada Kiran. Sedikitpun tak bisa disentuh bagaimanapun Kiran berusaha."Dan kamu biarin aku membadut selama beberapa waktu belakangan ini, Mas?" Kiran berbisik lirih kepada dirinya sendiri. Tersenyum pahit, merasakan sengatan nyeri lagi-lagi meremas hatinya kala ia mengingat kembali perempuan cantik yang dibawa pulang suaminya. Ah, siapa namanya tadi?"Kalau sudah tau begini, lantas apalagi yang harus kita pertahankan? Kalau alasanmu nggak bisa mencintaiku adalah karena belum terbiasa, mungkin aku bisa menunggu. Tapi ternyata alasanmu adalah ini, jadi apalagi yang bisa menahanku?" Kiran menghela napas dalam-dalam sebelum
**"Tolong maafkan kalau Kiran memilih berhenti. Karena ini terlalu sakit."Kembali terbayang raut tampan itu. Teringat saat pertama kali ayahanda Kiran mengenalkannya kepada putra sahabat karibnya. Kiran terkesima. Dialah Karan, yang memiliki nama hampir mirip dengan dirinya. Yang memiliki paras mempesona, yang mulai dari detik itu juga, sama sekali tidak bisa Kiran usir bayangannya dari dalam benak.Ya, ya. Nevia benar. Kiran mengakui bahwa dirinya sudah jatuh cinta diam-diam kepada lelaki itu, jauh-jauh sebelum kisah ini dimulai. Walau pada akhirnya harus bertepuk sebelah tangan."Kita memang nggak jodoh." Kiran berkata pelan kepada dirinya sendiri. "Gimanapun dipaksa untuk bersama, kalau kita nggak jodoh, ya nggak akan bisa bersama."Semalaman Kiran terjaga, menunggu pagi datang. Selama itu pula air matanya tidak bisa berhenti. Merasa demikian naif karena berani-beraninya sempat bermimpi bisa membangun rumah tangga yang indah bersama Karan, dan mungkin anak-anak mereka nanti. Saat
**"Karan, apa-apaan kamu? Bilang sama Ibu, apa maksudmu?"Soraya menunjuk muka putra semata wayangnya yang saat itu masih terpaku di ambang pintu. Belum sempat masuk apalagi mendudukkan diri di atas sofa, ia sudah disambut oleh hawa-hawa kemarahan dari ibunya."Jadi ini yang bikin Kiran sampai minta berpisah sama kamu, ha? Ibu nggak nyangka, Kar! Bisa-bisanya!"Karan menyipitkan mata. Atensinya melayang dan jatuh kepada Kiran yang seketika gemetar karena situasi tidak kondusif itu."Apa aja yang udah diceritain perempuan itu sama Ibu?" Ia berucap dengan nada suara sedingin es kutub."Apa maksudmu?""Apa aja yang udah dia aduin? Dia udah kasih pengaruh buruk ke Ayah sama Ibu dengan sandiwaranya? Berlagak seakan dirinya yang paling teraniaya?"Demi Tuhan! Kiran sampai terhenyak kaget mendengar tuduhan tak berdasar yang barusan dialamatkan kepadanya. Ia menggeleng kuat-kuat."Mas, aku nggak–""Apa? Nggak apa? Masih mau mengelak? Hal buruk apa aja yang udah kamu ceritain sama Ibu tentang
**"Silakan kamu bawa pergi pacarmu!"Karan merasa emosi menggelegak naik hingga mencapai puncak kepalanya saat mendengar ibunya berkata demikian. Soraya benar-benar lebih berat kepada Kiran. Kiran yang notabene bukanlah siapa-siapanya, daripada kepada dirinya yang adalah putra kandung satu-satunya."Karan yakin, Ibu akan menyesali hari ini." Lelaki rupawan itu berkata pelan dengan tajam sebelum menggandeng kekasihnya untuk menjauh dari ruang tamu."Nggak akan.""Karan nggak akan lagi menemui ibu untuk alasan apapun.""Ibu, Ibu nggak ingin ini terjadi, kan?" Sementara itu Kiran masih mencoba membujuk. Siapa tahu saja Soraya berubah pikiran dan mau menarik kembali kata-katanya. "Mas Karan tenang aja. Ini cuma emosi sesaat. Nanti kalau Ibu udah tenang, Mas Karan balik aja ke sini. Kita omongin lagi semuanya baik-baik.""Kiran, berhenti belain dia!" timpal Soraya, masih dengan emosi. "Dia udah jelas-jelas jahat sama kamu, kenapa kamu masih terus belain dia begitu?"Kiran hanya menggeleng
**"Mas Karan, Ya Tuhan, Mas!"Kedua netra Kiran membulat sempurna. Tubuhnya terasa ringan seperti akan oleng dan ambruk, namun ia buru-buru berusaha menguasai diri. Kepalanya terasa pening, terlebih lagi sebab kerumunan orang-orang yang kini menjatuhkan perhatian kepadanya."Mbaknya kenal sama korban?""Keluarganya, ya?""Oh, syukurlah ada yang kenal.""Mbak, kasihan banget itu. Kayaknya parah."Kata-kata itu seperti mendengung di telinga Kiran. Ia benar-benar nyaris pingsan menyaksikan lengan pucat yang teronggok di bawah himpitan rongsokan baja serta kaca yang berserakan itu."Kenapa nggak ada yang nolong?" Kiran mendengar dirinya sendiri menjerit keras. "Kenapa nggak ada yang bantu? Tolong suami saya, tolong!"Air mata jatuh berhamburan. Rasa panik dan ketakutan menyebar seperti racun dalam pembuluh darah. Kiran seperti hilang akal. Ia terus menjerit, berteriak meminta pertolongan untuk suaminya. Walau nyatanya tak seorangpun berani mendekat. Wajar saja, butuh petugas dengan alat
**"Ini adalah kecelakaan tunggal. Kemungkinan besar disebabkan oleh pengemudi mobil yang sedang mengantuk. Kendaraannya menabrak beton pembatas jalan dalam kecepatan tinggi. Tidak ada penumpang lain di dalam mobil selain pengemudi sendiri. Beruntung, saat itu lalu lintas sedang sepi, jadi tidak menyebabkan tabrakan beruntun."Kiran duduk termenung di sisi ranjang rawat. Menatap lekat Karan yang terbaring diam di atasnya. Tiga hari berlalu dalam keadaan yang stagnan seperti ini. Belum ada gerakan apapun, meski beberapa alat penyambung kehidupan yang menempel pada tubuh lelaki itu sudah dilepas.Awang perempuan berusia dua puluh empat tahun itu berkelana, mengingat kembali kata-kata petugas olah TKP.Mereka bilang, Karan sedang sendirian di dalam mobil itu saat kecelakaan terjadi. Tidak bersama dengan Nevia.Berarti, gadis cantik itu belum mengetahui perihal kecelakaan ini hingga sekarang."Selamat pagi, Ibu."Kiran terhenyak dari lamunan. Menoleh dan mendapati seorang dokter laki-laki
**Musim Panas, South Carolina.Emily menekan tombol bel apartemen Reita. Menunggu beberapa saat hingga si empunya apartemen membukakan pintu untuknya. “Hai, Rei,” sapa gadis itu sembari memamerkan senyum manisnya yang biasa.“Em?”“Sibuk?”“Tidak, aku sedang berkemas. Masuklah.”Raut wajah Emily seketika berbeda setelah mendengar kata-kata terakhir Reita. Ia melangkah masuk, dan mendapati sebuah koper besar yang terbuka di atas lantai.“Reita, kau berkemas?”“Yup. Aku akan pulang ke Jepang liburan musim panas ini.” Reita menjawab ringan dengan masih sibuk memilah ini itu. Tidak memperhatikan sama sekali wajah si gadis yang mendadak saja berubah menjadi mendung.“Kau sendiri akan ke mana, Em? Apakah sudah ada rencana?”Emily diam-diam memasukkan lagi dua lembar kertas yang tadinya akan ia tunjukkan kepada lelaki itu. Ia beranjak mendudukkan diri di sofa dan memilih memperhatikan Reita dari kejauhan saja.“Aku? Aku tidak pernah liburan ke mana-mana. Aku akan bekerja part time saja unt
**Musim dingin, South Carolina.Lebih dari satu musim Reita Lee meninggalkan Kyoto yang tenteram dan damai untuk mengasingkan diri ke negeri Paman Sam yang justru sebenarnya bukan tujuan tepat. Seratus delapan puluh derajat berbeda dengan tempat asalnya, negeri matahari terbit yang penuh sopan santun. Beruntungnya, Reita memilih negara bagian Carolina selatan yang cukup ramah dan tenang jika dibanding dengan negara lain Amerika.Lebih dari satu musim berlalu, dan bahkan pria itu sudah menyingkir ke belahan bumi yang lain, namun ia belum juga bisa menghapus bayangan perempuan dari Indonesia itu. Kiran Cahya Rengganis, yang begitu ia kagumi sebab ketangguhannya menghadapi hidup.Reita merapatkan coat yang ia kenakan. Awal November datang, mengirim awan-awan kelabu yang sehari-hari bakal menumpahkan berjuta-juta kubik air langit dari pagi hingga malam. Hawa dingin dan muram memenuhi sudut kota indah itu.“I hate winter,” gerutu pria itu seraya mengamankan diri ke sebuah factory outlet s
**“Pingsan lagi?”Karan sedang berada di kantor tempatnya bekerja saat mendapat telepon dari Mila. Tantenya itu mengatakan bahwa sang istri pingsan lagi di kafe, namun menolak dibawa ke rumah sakit.“Sekarang gimana, Tan?”“Nggak bisakah kamu pulang aja, begitu?”Karan menengok arloji yang melingkari pergelangan tangannya. Mendapati bahwa jam kantor memang segera berakhir.“Aku akan minta izin pulang cepet, deh. Bilang sama Kiran, tunggu sebentar, gitu, ya?”“Cepetan ya, Kar.”Terburu-buru, Karan menghadap manajer sekaligus rekan kerjanya untuk meminta izin pulang beberapa menit lebih awal. Sebenarnya tidak perlu minta izin secara formal juga tak mengapa. Sebab kepala manajer tersebut adalah sahabat Karan sendiri.Jadi tempat pria itu bekerja sekarang adalah sebuah homestay sekaligus agen wisata yang ia kelola bersama kawannya, seorang pria berkebangsaan Inggris. Bisnis kecil yang belakangan prospeknya berkembang semakin bagus.“What’s going on?” Pria bule bernama Steve itu bertanya
**Kiran sebelumnya tidak pernah berani berekspektasi, apa yang terjadi saat sepasang pengantin baru berbulan madu. Pernikahan pertamanya dengan Karan dulu berjalan dengan amat suram, ingat?Jangankan bulan madu, tidur satu ranjang pun tidak terjadi. Meski pada akhirnya malam pertama itu tetaplah berlangsung, namun sudah lewat berbulan-bulan sejak hari pernikahan mereka. Tetaplah beda rasanya dengan yang sengaja melewatkan bulan madu dan malam pertama pada hari-hari pertama pernikahan.“Nikmati saja waktu kalian, nggak usah khawatir sama Axel. Tante yang akan jaga dia, meskipun kalian tinggal bulan madu satu bulan penuh,” goda Mila, beberapa hari setelah Kiran dan Karan sah sebagai sepasang suami istri.“Ah, Tante apa-apaan, sih.” Perempuan itu berusaha menyembunyikan rona wajahnya yang jelas tergambar di kedua pipi. Membuat Mila tergelak keras.“Aku sih gas aja mau berapa lama pun, Tan. Asal Kiran mau aja,” celetuk Karan, menambah panas suasana saja.“Kalian berdua emang pro banget k
**Kiran masih bisa mengingat dengan jelas, hari pernikahan pertamanya dengan Karan yang penuh dengan rasa sedih dan putus asa. Bagaimana pria itu tak henti melemparkan tatapan atau kata-kata yang sarat kebencian kepadanya. Bagaimana ia dengan sangat takut mencium tangan pria itu saat pak penghulu mengucap kata sah untuk pertama kalinya.Kemudian pada malam pertama, di mana ia harus tinggal satu kamar dengan Karan, kemudian hanya kata-kata menyakitkan hati yang ia terima alih-alih suasana hangat pengantin baru.Sekarang, pada pernikahan yang kedua, Kiran merasakan gugup pada skala yang sama, namun dengan suasana hati yang sangat amat berbeda. Gugup yang ini adalah … gugup yang menyenangkan. Ia takut sekali, namun juga tidak sabar.“Apa Mama takut? Mama takut apa?” Axel mendekat. Bocah kecil itu sudah berdandan dengan rapi. Nanti, Axel akan ikut ke kantor KBRI untuk mendapatkan surat pernyataan menikah dan beberapa prosedur lain yang harus dilakukan sebagaimana warga negara Indonesia y
**“Mas, jangan begini.” Kiran mendorong pelan bahu yang lebih tua. “Kita bukan lagi sepasang suami istri yang sah. Nggak enak kalau ada yang lihat nanti. Apalagi, ini udah tengah malam.”Membuat pelukan erat Karan terpaksa harus lepas meski ia menampakkan wajah yang sangat tidak rela.“Aku masih kangen,” gerutu pria itu pelan, “Apa nggak boleh kalau aku menginap di sini?”“Jangan sembarangan, Mas. Jangan kayak anak muda gitu, lah. Udah, sana pulang aja, kamu!”Karan mencebikkan bibir, membuat satu yang lain mau tak mau jadi gemas. Kiran bahkan sudah lupa kalau mantan suaminya ini pada suatu waktu yang lampau pernah memiliki sikap yang clingy begini.“Serius, aku nggak boleh menginap? Tetangganya pada jauh, kok. Nggak akan ada yang lihat.”“Mas, jangan macam-macam. Pulang sekarang, atau kamu nggak boleh datang lagi sama sekali?”Pria rupawan itu tertawa kecil. Ia raih kembali sang mantan istri ke dalam pelukan hangat serta mendaratkan kecupan singkat pada puncak kepala perempuan itu.
**Kiran menemukan Mila sedang berada di dapur rumah. Perempuan itu tidak peduli sang tante sedang apa, ia menabrak tubuhnya dan memeluknya dari belakang. Diam dengan posisi seperti itu sampai beberapa saat waktu berlalu. “Kiran, hei … kok tiba-tiba?”Kiran tenggelamkan wajahnya di punggung sang tante sembari mendengung tidak jelas. Entah apa yang ia katakan.“Apa, sih? Tante nggak dengar kamu ngomong apa. Sini, biar Tante balik badan dulu, eh!”Perempuan itu mundur perlahan, membiarkan Mila membalikkan tubuh dan menghadap ke arahnya. Menemukan wajah yang lebih muda terlihat membara seperti sedang terkena demam.“Kamu baik-baik saja? Kok wajahnya merah begitu? Apa jangan-jangan kamu kedinginan? Karan biarin kamu di luar ruangan terlalu lama?”Tadinya, Kiran kan berpamitan untuk bertemu dengan Karan sebentar. Ketika pulang, kenapa keadaannya seperti ini?“Tante ….”“Gimana, Ki?”“Aku nggak menemukan alasan untuk menolak dia lagi.”Nah, sampai di titik ini, Mila akhirnya mengerti walau
**“Axel sudah sembuh, Mama. Ayo kita pulang sekarang.”Bocah manis itu berujar dengan gembira setelah dua hari penuh berada di rumah sakit. Ia sudah kembali sehat dan ceria seperti biasa.“Mama, Axel mau sekolah. Axel boleh sekolah, kan?”“Jangan dulu.” Kiran mengusap surai hitamnya yang lembut. “Besok saja, ya. Kalau badannya sudah benar-benar enakan.”“Tapi sekarang nggak ada Rei-Sensei ya, Mama?” Axel bergumam, wajahnya mendadak murung saat menyebut nama Reita. “Nggak ada yang antar Axel dan ajakin Axel jalan-jalan beli taiyaki lagi.”“Kan bisa sama Mama,” hibur Kiran sembari memberikan senyuman manis lagi. Dua tahun dekat seperti ayah dan anak, tak pelak meninggalkan kenangan yang pasti sulit dilupakan oleh bocah itu.“Kenapa Rei-Sensei pergi ya, Mama?”“Kan Rei-Sensei sudah bilang kalau mau sekolah lagi, Nak. Beliau sedang mengejar cita-cita, jadi kita semua harus mendukung.”“Nggak ada yang ajak Axel jalan-jalan lagi.”“Siapa bilang? Kan bisa jalan-jalan sama Papa.”Sepasang ib
**Kiran sungguh tidak ingin. Ia tidak ingin mendengar suara mantan suaminya, terutama pada tengah malam seperti ini. Namun suara rengekan lemah dari sang putra membuatnya tidak memiliki pilihan lain.“Telepon aja,” desak Mila, “Nggak ada salahnya, pun. Ini demi anak kalian.”Anak kalian? Betapa anehnya istilah itu. Kiran yang susah payah membesarkan Axel sendirian rasanya tidak rela jika ada yang menyebut bocah manis itu anak orang lain.“Kiran, ayolah. Apa lagi yang kamu tunggu?”“Baiklah, baiklah.” Kesal, namun Kiran tidak bisa menolak. Ia kemudian menjauh sementara mendial nomor ponsel Karan yang sebelumnya sudah disimpan Mila di sana. Setengah berharap pria itu sudah jauh terlelap dan tidak akan mengangkat panggilannya. Namun apa yang terjadi, justru pada dengung nada sambung detik pertama, teleponnya seketika diangkat.“Kiran?” Suara husky itu terdengar dari seberang, membuat Kiran buru-buru berdehem untuk mengatasi gugup. “Ada apa, Kiran? Kenapa menelepon malam-malam?”“Sorry,