"Kiri di depan, Pak!" Shafira menghentikan laju taksi yang ditumpanginya. "Dua ratus ribu ongkosnya, Neng. Soalnya jauh!" "Tidak apa-apa, Pak. Ini ongkosnya! Terima kasih, ya, sudah mengantarkan sampai ke tempat tujuan," ucap Shafira ramah."Sama-sama, Neng."Shafira langsung membuka pagar yang terbuat dari bambu. Pekarangannya dipenuhi dengan sayur dan buah-buahan. Matanya menatap sekeliling, sudah lama ia merindukan suasana rumah seperti ini."Tempat seperti ini yang kucari untuk tempat menyepi dan mencari inspirasi!" batinnya.Shafira masuk ke rumah. Ukurannya memang tak seluas rumah yang ditempati sebelumnya. Bahkan mungkin, cukup sederhana dan jauh dari kata 'wah'. Shafira mengelilingi setiap sudut rumah. Bibir wanita itu tersungging. Sangat puas dengan nuansa rumah dan sekitar yang berhasil membuatnya jatuh cinta pada pandangan pertama. "Subhanallah!" gumam Shafira saat membuka pintu belakang. Tak jauh dari halaman belakang rumah, tampak pemandangan alam yang sangat menakjub
Dengan hati yang dipenuhi rasa takut, Shafira memutar kunci. Namun, tidak langsung membukanya. Ia bersembunyi di balik pintu dan bersiap untuk melayangkan sapunya pada seseorang yang tengah berada di luar sana. Setelah memukulnya nanti, Shafira berniat untuk langsung berlari meminta pertolongan pada warga sekitar.Pintu terbuka. Dengan membabi buta, Shafira langsung memukulkan sapu yang dipegangnya, pada sosok lelaki bertopi yang baru saja melangkahkan kaki ke dalam rumah. Lelaki itu mencoba menangkis setiap serangan Shafira dengan kedua tangannya. Shafira terus memukulkan sapu itu tanpa ampun, tak ada yang dipikirkannya saat ini selain membuat lelaki itu babak belur. Semakin lama, pukulan Shafira semakin melemah. Wanita itu melempar sapu, lalu berlari ke luar rumah dengan teriakan meminta tolong pada warga sekitar. Namun, lelaki tadi langsung mengejar dan membekap mulutnya. Shafira meronta, berusaha untuk melepaskan diri dari lelaki itu."Hei, ini Abi! Tenanglah! Kalau Umi terus ber
Shafira tersenyum getir. Siapa lagi yang berani mengiriminya pesan seperti itu selain Almira. Wanita itu memang sangatlah picik, rela melakukan berbagai macam cara untuk bisa mencapai semua yang dia inginkan. Shafira mengembuskan napas kasar. Semenjak kehadiran Almira, hidupnya jauh dari kata tenang. Wanita itu selalu mengusik dan mencari cara untuk menjatuhkannya di depan Yusuf."Kamu sudah salah memilihkan madu untukku, Mas! Seharusnya bila ingin berpoligami, biar aku saja yang memilihkannya untukmu. Jika sudah telanjur seperti ini, bukan kebahagiaan yang kamu ciptakan. Melainkan bencana besar yang bisa kapan saja menghancurkan rumah tangga kita! Hanya karena menuruti hawa nafsu, kamu sudah gegabah dalam mengambil keputusan. Ini tak adil, Mas. Kamu sudah menciptakan kerugian yang begitu besar dalam rumah tangga kita. Sampai kapan aku harus bertahan dalam luka ini, Mas? Aku benar-benar sudah berada di titik lelah, bahkan rasanya sudah hampir menyerah!" lirih Shafira.Air mata lolos
"Apa? Bunda menyuruh aku membersihkannya? No! Itu sangat menjijikan! Di sini statusku sebagai istrinya Mas Yusuf, bukan pembantu. Ingat, Bunda. Aku bukan pembantumu yang bisa seenaknya kamu suruh ini dan itu.""Tolong, Bunda. Bersihkan tubuh Bunda dan ranjang ini. Bunda gak suka bau pesing! Saat ini, hanya kamu yang bisa Bunda mintai tolong.""Aku bilang tidak, ya, tidak! Lagipula, Mas Yusuf itu pengusaha sukses lho. Kenapa di rumah ini gak pakai pembantu saja? Aku tahu, sih, pasti kamu penyebabnya, ya, Bun. Biar si Shafira itu yang jadi babu di rumah ini! Terkadang mertua sepertimu itu wajib kuacungi jempol, tetapi itu tidak akan berlaku kalau menantunya aku!""Apa maksud kamu, Al? Mengapa kamu jadi berani seperti ini kepada Bunda?"Almira tertawa keras. "Aku sebenarnya tidak menyukai ibu mertua sepertimu. Hanya saja kemarin itu, aku butuh kerja sama denganmu untuk menyingkirkan wanita itu! Sekarang, wanita itu sudah pergi. Tinggal Bunda yang harus kusingkirkan dari hidup Mas Yusuf.
"Tidak! Kalau Mas usir aku dari rumah ini, berarti Galang juga akan kuajak pergi dari sini! Dia anakku, jadi sudah seharusnya ikut ke mana pun aku pergi. Tidak akan ada yang bisa melarang dan menghalangi, toh aku ibunya."Yusuf tertawa getir. "Silakan kalau bisa, aku sudah mengajukan hak asuh Galang ke pengadilan. Kamu ibunya, itu memang benar. Hanya saja kamu lupa, kalau selama ini sudah sering menyakiti dan menyia-nyiakannya. Satu hal lagi, aku punya beberapa rekaman tentang kamu dan Galang, sepertinya itu cukup kuat untuk dijadikan bukti ke pihak yang berwajib.""Aku tidak bodoh, Mas! Tentu saja pengadilan akan menjatuhkan hak asuh Galang padaku, karena aku ibu kandungnya! Perihal rekamanmu, aku bisa saja bilang kalau itu hasil editan. Gampang kan? Dengan modal kecantikan yang kumiliki, mereka akan mudah memercayainya!" ucap Almira dengan penuh percaya diri."Oh iya, tak kumungkiri, kamu memang ibu kandungnya Galang, tetapi sayangnya aku tidak pernah melihat ketulusanmu dalam mengu
Yusuf bergeming. Ia tidak tahu harus menjelaskan apa pada putra sambungnya itu. Tidak mungkin, bila harus menceritakan semua secara detail. Walaupun Galang anak pintar dan sudah hapal situasi di rumahnya, tetapi baginya ia tetaplah anak kecil yang tak harus mengetahui masalah orang dewasa.Yusuf berlutut di hadapan Galang. Ia menatap lekat putra sambungnya itu. "Mama sedang ingin menyendiri. Galang sama Abi di sini, ya. Besok, setelah urusan Abi selesai. Kita jemput Umi.""Jemput Umi, Bi? Horeee!" teriak Galang seraya joged-joged khas anak kecil. Yusuf mengembuskan napas perlahan, seperti ada kepuasan tersendiri untuknya, saat melihat senyum Galang yang tercetak indah dari kedua sudut bibirnya."Senangnya anak Abi," ucap Yusuf seraya mengacak puncak kepala Galang. "Senang banget, Abi. Soalnya Galang kangen banget sama Umi.""Ya sudah, ayo kita masuk. Tahun ini kamu masuk sekolah, ya, Nak? Nanti Galang akan belajar dan memiliki teman yang banyak.""Sekolah? Teman?"Yusuf menuntun Gala
"Kenapa Umi berubah sama Abi?" tanya Yusuf tanpa melepaskan tatapannya sedikit pun dari sang istri. Lelaki itu menatap Shafira dengan tatapan sendu. Ia merasa akhir-akhir ini istrinya sudah banyak berubah. Terbukti dari sikapnya yang sering kali cuek dan tak lagi sehangat dulu."Siapa yang berubah, Bi? Umi masih sama kok seperti dulu. Tak pernah ada yang berubah sedikit pun, baik sikap maupun rasa.""Tapi Abi merasa Umi itu tak lagi hangat seperti dulu. Umi juga tak pernah bermanja dan tak pernah lagi berucap rindu. Tadi saja, Abi peluk, Umi langsung pergi!""Umi itu tidak suka dengan sikap Abi pada mereka. Sebentar-bentar mengancam, marah, bahkan kalau memberi perintah seenaknya saja. Umi tahu ... Abi itu pemimpin mereka, tetapi setinggi-tingginya jabatan janganlah angkuh seperti itu! Karena harta dan jabatan itu hanyalah bersifat sementara. Kapan saatnya, Allah akan mengambilnya. Bahkan, dalam hitungan detik pun, Allah bisa saja menjatuhkannya.""Mereka kan bukan orang lain, Umi! M
Dengan telaten, Shafita membersihkan tubuh Nita. Dari mulai ujung rambut sampai ujung kaki. Semua ia bersihkan tanpa ada rasa jijik sedikit pun. Air mata mengalir begitu saja dari kedua sudut mata Nita. Menantu yang selama ini ia zalimi, ternyata dialah yang peduli di saat dirinya sakit. Ingin rasanya ia berlutut di kaki menantunya itu, hanya saja semakin hari kesehatan tubuhnya semakin menurun. Jangankan untuk berjalan, sekedar duduk saja ia tak mampu.Shafira segera menghapus air mata sang ibu mertua. Wanita itu duduk di samping ranjang seraya menggenggam tangan Nita."Mengapa Bunda menangis? Apakah Sha terlalu kasar membersihkan tubuh Bunda?"Nita menggeleng singkat. "Maaf!" "Maaf? Maaf untuk apa, Bunda?"Ditanya seperti itu, air mata Nita semakin deras mengalir membasahi pipi. "Maaf, karena sudah banyak menyakiti!""Sha sudah memaafkan, sekalipun Bunda tidak memintanya. Semua salah Sha juga, tidak bisa menjadi menantu dan istri yang baik untuk kalian. Sudah, Bunda jangan berpiki
Yusuf diselimuti kekhawatiran. Pasalnya, Shafira langsung tak sadarkan diri. Wanita itu juga sempat kejang-kejang, sehingga untuk satu minggu ke depan dokter tidak mengizinkan Shafira pulang."Apa yang menyebabkan istri saya kejang-kejang seperti tadi, Dok?" tanya Yusuf saat dipanggil ke ruangan dokter."Ada banyak kondisi yang bisa berbahaya bagi ibu pasca melahirkan. Salah satunya preeklamsia atau tekanan darah tinggi pasca melahirkan. Hal ini bisa terjadi ketika ibu memiliki kelebihan protein dalam urine!" jawab dokter seraya membenarkan letak kaca mata yang dipakainya!" jawab dokter seraya membetulkan letak kaca mata yang dipakainya. "Preklamsia juga kondisi serupa yang terjadi pada kehamilan dan biasanya sembuh dengan kelahiran bayi. Sebagian besar kasus preeklamsia terjadu dalam waktu 48 jam setelah melahirkan. Saat tekanan darah begitu tinggi, ibu bisa mengalami kejang yang bisa berdampak buruk pada kondisi kesehatan secara keseluruhan. Kejang yang muncul berulang jika tak dita
Galang menarik-narik tangan Bimo. Lelaki itu tak bisa menolak ajakan Galang. Semenjak mengambilnya dari kampung. Galang memang paling akrab dengannya."Om Bimo mau diajak ke mana, Lang? Ajak yang jauh, ya, soalnya kasihan dia sendiri gak punya pasangan!" goda Aldo.Galang tak memedulikan teriakan Aldo. Ia terus menarik tangan Bimo menuju kamarnya."Katanya mau ajak Om ke taman belakang. Kenapa menarik ke kamar?" tanya Bimo."Temeni Galang main mobil-mobilan saja, Om!" balas Galang seraya menurunkan beberapa mobil-mobilan kecil dari lemari mainan.Tanpa sengaja, Bimo melirik ke luar kamar. Pandangannya jatuh tepat pada sosok gadis yang tengah asyik mengobrol dengan Shafira. Beberapa detik, tatapannya tak beralih. Sepertinya lelaki itu tak berniat sedikit pun untuk mengalihkan pandangannya dari sana.Berulang kali, Galang memanggil dan mengajak ngobrol Bimo. Akan tetapi, tak ada tanggapan sama sekali dari sosok lelaki di depannya.Galang menatap mata Bimo. Lalu, mengikuti pandangan lela
Rini keluar dari kafe dengan perasaan penuh kecewa. Seharusnya kalau memang tidak suka, katakan saja dengan jujur. Jangan malah menganggap perasaannya hanya sebuah lelucon semata.Rini pun mengakui, kalau dirinya memang bodoh dan terkesan mengejar-ngejar. Seharusnya, dia bisa menahan diri untuk tidak terlalu to the point."Dulu, banyak pria yang mengejar-ngejar cintaku! Baru kali ini, aku benar-benar merasa menjadi wanita paling bodoh dan tidak punya harga diri sama sekali. Baru saja kenal, sudah mengatakan cinta terlebih dulu. Aku memang bodoh! Bahkan mungkin, wanita terbodoh di bumi!" gerutu Rini kesal.Sepanjang jalan, Rini tak henti merutuki kebodohannya. Sampai-sampai tak menyadari kalau dirinya hampir saja tertabrak sepeda motor saat akan menyeberang."Aaaaa ... tidak ingin mati! Aku belum nikah!""Makanya kalau jalan jangan melamun. Nanti kalau ditabrak, tetap saja pengendara sepeda motor yang disalahkan."Rini melirik pada sosok lelaki yang hampir saja menabraknya. Wanita itu
"Umi menyindir Abi?"Shafira menggeleng. "Itu namanya bukan nyindir, Bi.""Terus!""Sesuai fakta!" "Abi kan sudah meminta maaf, Um. Jangan menyimpan dendam seperti itu, tidak baik!"Shafira mengembuskan napas kasar. "Bukan menyimpan rasa dendam! Pada dasarnya wanita itu memang makhluk yang ingatannya paling kuat kalau mengingat tentang kesalahan yang dilakukan lelakinya.""Hmm, iya, deh. Wanita maha benar!""Pokoknya Abi harus bisa menyatukan Bimo sama Rini.""Kok jadi ke Abi? Terserah Bimo dong, dia mau pilih dan nikah dengan siapa!""Iya, setidaknya Abi kasih tahu dululah sama Bimo. Bagaimana karakter dan sikap Rini. Sedikit banyaknya, kan, Abi sudah tahu perempuan seperti apa dia. Umi setuju banget kalau seandainya Bimo berjodoh sama Rini.""Um, jodoh itu ada di tangan Allah, bukan di tangan manusia. Kalau menurut kita mereka cocok, belum tentu menurut Allah itu baik. Sebaiknya kita tidak perlu ikut campur dengan perasaan mereka. Kalau memang Rini serius, sampaikan padanya untuk t
"Umi tidak salah? Masa Umi yang ngidam, Abi yang harus minum jusnya.""Ya, gimana lagi, Bi! Itu kan bukan keinginan Umi. Dedek Utun yang minta kok, tetapi itu semua terserah Abi. Kalau ingin anaknya ngileran, ya, tidak usah dituruti."Yusuf menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Tidak apa-apa, sih! Hanya saja kalau bisa menawar, boleh tidak kalau pare pahitnya diganti sama buah mangga?""Yee, Abi tawar menawar kayak di pasar. Ngidam itu tidak bisa diganggu gugat Abi. Ya sudah kalau tidak mau, tidur lagi saja!" ucap Shafira seraya membaringkan tubuhnya membelakangi Yusuf."Iya, Abi buat sekarang. Apa, sih, yang enggak untuk anak Abi!" ucap Yusuf seraya mengelus perut buncit Shafira.Yusuf melangkah ke luar dari kamar. Sementara Shafira, tersenyum penuh kemenangan. Pelan-pelan, wanita itu mengikuti langkah sang suami menuju dapur."Jangan pakai gula, Bi! Soalnya kan Umi sudah manis. Nanti minum jusnya sambil ngeliatin Umi saja."Yusuf melirik ke arah Shafira, lalu melempar senyum yang
Shafira mengernyit. Siapa yang di maksud oleh wanita itu? Sementara lelaki yang selalu bersamanya setiap hari itu tak lain suaminya sendiri. Apakah memang Yusuf, lelaki yang di maksud oleh wanita di depannya."Siapa lelaki yang Anda maksud? Apakah beliau?" tanya Shafira seraya menunjuk pada Yusuf yang baru saja keluar dari garasi.Wanita di depannya terkekeh. Lalu, membuka masker yang menutupi sebagian wajahnya. "Jika lelaki itu yang saya minta, apakah boleh?""Rini!" ucap Shafira terkejut. "Dari kapan kamu memakai hijab?""Alhamdulillah baru sebulan, Sha. Jawab pertanyaanku, Ibu Shafira. Apakah boleh aku taaruf dengan suamimu?""Tentu saja tidak boleh! Sekalipun istriku memintanya, aku tidak akan pernah melakukan kesalahan untuk yang kedua kalinya.""Kamu serius, Rin?" tanya Shafira tanpa menghiraukan ucapan Yusuf. "Kamu serius ingin menjadi maduku?""Kalau iya, apakah kamu mau menerimaku menjadi madumu?" tanya Rini kembali."Kalau yang memintanya kamu, mana bisa aku menolaknya!" jaw
Bu Almira, ada yang ingin menjenguk!" kata salah petugas yang berjaga di sana. Almira langsung berjalan menuju tempat penerima tamu. Ada kaca penyekat yang menghalangi antara penjenguk dan tahanan. Shafira masuk ke ruangan. Melempar senyum, lalu duduk berhadapan dengan Almira. Shafira maupun Almira sama-sama mendekatkan telepon ke telinga mereka."Hai, Almira! Bagaimana kabarmu?" tanya Shafira."Jangan basa-basi denganku! Apa maksudmu datang kemari?""Tentu saja karena aku merindukanmu!"Almira tersenyum kecut. "Aku tahu maksud kedatanganmu ke sini. Pasti ingin menertawakanku, kan? Tertawalah sepuasmu! Sebelum nanti, tawamu itu menjadi sebuah tangis yang mungkin saja akan menjadi akhir hidupmu. Ingat, aku tidak akan pernah menyerah, apalagi sampai berhenti untuk menghancurkan hidupmu.""Jangan suuzan seperti itu, Almira! Aku datang ke sini semata-mata hanya untuk menjengukmu. Bertaubatlah, Al. Meminta ampun pada Allah dengan apa yang telah kamu perbuat selama ini. Jadilah wanita sek
Shafira keluar dari ruangan. Entah siapa seseorang yang tengah menunggunya di luar sana. Perasaan dia tidak ada janji dengan siapa pun hari ini. "Rini! Dari mana kamu tahu, kalau aku ada di sini?" tanya Shafira saat melihat sosok Rini yang tengah duduk di kursi tunggu.Rini tak menjawab pertanyaan Shafira. Wanita itu langsung berjalan menghampiri sahabatnya itu, lalu memeluknya dengan erat."Kamu baik-baik saja, kan? Apakah kamu terluka?" tanya Rini seraya memeriksa tubuh Shafira dari ujung kaki sampai ujung kepala."Aku baik-baik saja, Rin. Hanya saja Mas Yusuf ....""Aku tidak peduli dengan dia! Biar saja dia mati. Toh, semua ini dia sendiri yang memulai. Berani memulai, harus berani juga bertanggung jawab. Kesakitan yang dia rasakan sekarang, tidak setimpal dengan rasa sakit yang ditorehkannya padamu!""Rini ...."Rini kembali duduk. Tak dimungkiri, wanita itu sangat kesal pada Yusuf. Andai saja, lelaki itu tidak memutuskan untuk menikahi Almira. Tentu, semua ini tidak akan terjad
"Kenapa dengan Mas Yusuf, Dok?" tanya Shafira panik."Maaf, kami sudah semaksimal mungkin untuk menyelamatkan Pak Yusuf, tetapi takdir ....""Dokter! Pak Yusuf ...." teriak salah satu perawat dari dalam ruangan. Tanpa menunggu waktu lagi, dokter langsung masuk ke ruangan. Shafira semakin panik, entah apa yang sedang terjadi pada suaminya di dalam sana."Ya Rabb, tolong selamatkan Mas Yusuf. Aku mohon!"Hampir setengah jam, Shafira menunggu dengan penuh kecemasan. Tak ada satu pun dokter atau perawat yang keluar dari ruangan. Hanya bait-bait doa yang tak henti Shafira panjatkan pada Sang Pencipta."Tenanglah, Bu! Jangan stress! Lebih baik Ibu pulang dulu. Biar kami yang akan menjaga Pak Yusuf.""Tidak, Aldo! Aku harus terus stay di sini. Mas Yusuf sedang kritis, aku tidak akan mungkin meninggalkannya."Aldo dan Bimo saling bersitatap. Mereka cukup tahu dan mengerti dengan apa yang tengah dirasakan Shafira. Mereka juga sama merasakan sedih dan khawatir dengan keadaan Yusuf saat ini. Aka