Shafira tersenyum getir. Siapa lagi yang berani mengiriminya pesan seperti itu selain Almira. Wanita itu memang sangatlah picik, rela melakukan berbagai macam cara untuk bisa mencapai semua yang dia inginkan. Shafira mengembuskan napas kasar. Semenjak kehadiran Almira, hidupnya jauh dari kata tenang. Wanita itu selalu mengusik dan mencari cara untuk menjatuhkannya di depan Yusuf."Kamu sudah salah memilihkan madu untukku, Mas! Seharusnya bila ingin berpoligami, biar aku saja yang memilihkannya untukmu. Jika sudah telanjur seperti ini, bukan kebahagiaan yang kamu ciptakan. Melainkan bencana besar yang bisa kapan saja menghancurkan rumah tangga kita! Hanya karena menuruti hawa nafsu, kamu sudah gegabah dalam mengambil keputusan. Ini tak adil, Mas. Kamu sudah menciptakan kerugian yang begitu besar dalam rumah tangga kita. Sampai kapan aku harus bertahan dalam luka ini, Mas? Aku benar-benar sudah berada di titik lelah, bahkan rasanya sudah hampir menyerah!" lirih Shafira.Air mata lolos
"Apa? Bunda menyuruh aku membersihkannya? No! Itu sangat menjijikan! Di sini statusku sebagai istrinya Mas Yusuf, bukan pembantu. Ingat, Bunda. Aku bukan pembantumu yang bisa seenaknya kamu suruh ini dan itu.""Tolong, Bunda. Bersihkan tubuh Bunda dan ranjang ini. Bunda gak suka bau pesing! Saat ini, hanya kamu yang bisa Bunda mintai tolong.""Aku bilang tidak, ya, tidak! Lagipula, Mas Yusuf itu pengusaha sukses lho. Kenapa di rumah ini gak pakai pembantu saja? Aku tahu, sih, pasti kamu penyebabnya, ya, Bun. Biar si Shafira itu yang jadi babu di rumah ini! Terkadang mertua sepertimu itu wajib kuacungi jempol, tetapi itu tidak akan berlaku kalau menantunya aku!""Apa maksud kamu, Al? Mengapa kamu jadi berani seperti ini kepada Bunda?"Almira tertawa keras. "Aku sebenarnya tidak menyukai ibu mertua sepertimu. Hanya saja kemarin itu, aku butuh kerja sama denganmu untuk menyingkirkan wanita itu! Sekarang, wanita itu sudah pergi. Tinggal Bunda yang harus kusingkirkan dari hidup Mas Yusuf.
"Tidak! Kalau Mas usir aku dari rumah ini, berarti Galang juga akan kuajak pergi dari sini! Dia anakku, jadi sudah seharusnya ikut ke mana pun aku pergi. Tidak akan ada yang bisa melarang dan menghalangi, toh aku ibunya."Yusuf tertawa getir. "Silakan kalau bisa, aku sudah mengajukan hak asuh Galang ke pengadilan. Kamu ibunya, itu memang benar. Hanya saja kamu lupa, kalau selama ini sudah sering menyakiti dan menyia-nyiakannya. Satu hal lagi, aku punya beberapa rekaman tentang kamu dan Galang, sepertinya itu cukup kuat untuk dijadikan bukti ke pihak yang berwajib.""Aku tidak bodoh, Mas! Tentu saja pengadilan akan menjatuhkan hak asuh Galang padaku, karena aku ibu kandungnya! Perihal rekamanmu, aku bisa saja bilang kalau itu hasil editan. Gampang kan? Dengan modal kecantikan yang kumiliki, mereka akan mudah memercayainya!" ucap Almira dengan penuh percaya diri."Oh iya, tak kumungkiri, kamu memang ibu kandungnya Galang, tetapi sayangnya aku tidak pernah melihat ketulusanmu dalam mengu
Yusuf bergeming. Ia tidak tahu harus menjelaskan apa pada putra sambungnya itu. Tidak mungkin, bila harus menceritakan semua secara detail. Walaupun Galang anak pintar dan sudah hapal situasi di rumahnya, tetapi baginya ia tetaplah anak kecil yang tak harus mengetahui masalah orang dewasa.Yusuf berlutut di hadapan Galang. Ia menatap lekat putra sambungnya itu. "Mama sedang ingin menyendiri. Galang sama Abi di sini, ya. Besok, setelah urusan Abi selesai. Kita jemput Umi.""Jemput Umi, Bi? Horeee!" teriak Galang seraya joged-joged khas anak kecil. Yusuf mengembuskan napas perlahan, seperti ada kepuasan tersendiri untuknya, saat melihat senyum Galang yang tercetak indah dari kedua sudut bibirnya."Senangnya anak Abi," ucap Yusuf seraya mengacak puncak kepala Galang. "Senang banget, Abi. Soalnya Galang kangen banget sama Umi.""Ya sudah, ayo kita masuk. Tahun ini kamu masuk sekolah, ya, Nak? Nanti Galang akan belajar dan memiliki teman yang banyak.""Sekolah? Teman?"Yusuf menuntun Gala
"Kenapa Umi berubah sama Abi?" tanya Yusuf tanpa melepaskan tatapannya sedikit pun dari sang istri. Lelaki itu menatap Shafira dengan tatapan sendu. Ia merasa akhir-akhir ini istrinya sudah banyak berubah. Terbukti dari sikapnya yang sering kali cuek dan tak lagi sehangat dulu."Siapa yang berubah, Bi? Umi masih sama kok seperti dulu. Tak pernah ada yang berubah sedikit pun, baik sikap maupun rasa.""Tapi Abi merasa Umi itu tak lagi hangat seperti dulu. Umi juga tak pernah bermanja dan tak pernah lagi berucap rindu. Tadi saja, Abi peluk, Umi langsung pergi!""Umi itu tidak suka dengan sikap Abi pada mereka. Sebentar-bentar mengancam, marah, bahkan kalau memberi perintah seenaknya saja. Umi tahu ... Abi itu pemimpin mereka, tetapi setinggi-tingginya jabatan janganlah angkuh seperti itu! Karena harta dan jabatan itu hanyalah bersifat sementara. Kapan saatnya, Allah akan mengambilnya. Bahkan, dalam hitungan detik pun, Allah bisa saja menjatuhkannya.""Mereka kan bukan orang lain, Umi! M
Dengan telaten, Shafita membersihkan tubuh Nita. Dari mulai ujung rambut sampai ujung kaki. Semua ia bersihkan tanpa ada rasa jijik sedikit pun. Air mata mengalir begitu saja dari kedua sudut mata Nita. Menantu yang selama ini ia zalimi, ternyata dialah yang peduli di saat dirinya sakit. Ingin rasanya ia berlutut di kaki menantunya itu, hanya saja semakin hari kesehatan tubuhnya semakin menurun. Jangankan untuk berjalan, sekedar duduk saja ia tak mampu.Shafira segera menghapus air mata sang ibu mertua. Wanita itu duduk di samping ranjang seraya menggenggam tangan Nita."Mengapa Bunda menangis? Apakah Sha terlalu kasar membersihkan tubuh Bunda?"Nita menggeleng singkat. "Maaf!" "Maaf? Maaf untuk apa, Bunda?"Ditanya seperti itu, air mata Nita semakin deras mengalir membasahi pipi. "Maaf, karena sudah banyak menyakiti!""Sha sudah memaafkan, sekalipun Bunda tidak memintanya. Semua salah Sha juga, tidak bisa menjadi menantu dan istri yang baik untuk kalian. Sudah, Bunda jangan berpiki
Yusuf mondar-mandir di ruang tamu dengan dipenuhi rasa khawatir. Lelaki itu mengutuk dirinya sendiri karena mengiyakan begitu saja saat Shafira menyuruhnya diam di rumah untuk menjaga sang bunda.Berulang kali, Yusuf melihat arlogi di tangannya. Tiga jam sudah, semenjak pamit ke pasar, Shafira belum juga kembali ke rumah. Rasa cemas dan takut menyatu menjadi satu rasa yang sulit untuk dihilangkan dari hati dan pikirannya.Yusuf menghampiri bundanya di kamar. Lelaki itu memastikan kalau segala sesuatu yang dibutuhkan bundanya sudah ada di sana. "Kamu mau ke mana, Yusuf?" tanya Nita dengan suara parau."Sudah tiga jam Shafira ke pasar. Sampai sekarang belum juga kembali. Aku akan menjemputnya ke pasar. Apa Bunda ada sesuatu yang dibutuhkan? Biar Yusuf siapkan didekat Bunda sebelum berangkat!" Nita menggeleng lemah. "Cepat jemput istrimu. Jangan sampai terjadi sesuatu padanya! Jangan pikirkan Bunda."Yusuf langsung mengambil kunci mobil. Tanpa berpikir panjang lagi, lelaki itu langsung
Hampir seharian Yusuf berkeliling mencari Shafira. Setiap alamat yang ditulis Almira dalam kertas, langsung ia datangi. Namun, tetap nihil. Tak ada tanda-tanda keberadaan mereka berdua di sana.Suara azan menggema. Yusuf menoleh ke arah mesjid yang tepat berada di belakangnya. Lelaki itu langsung mengambil wudu dan melaksanakan kewajibannya dengan khusyu.Selesai salat, Yusuf menengadah. Mengadukan semua kegundahan hatinya serta meminta ampun atas semua kelalaiannya selama ini."Ya Rabb, ampuni aku yang selama ini masih mementingkan nafsu dan ego. Aku sadar, telah menyia-nyiakan wanita salihah yang selama ini selalu setia mendampingi dalam setiap keadaan. Jika saja, ada hal untukku menebus semua khilafku pada Shafra. Maka akan kulakukan. Sekalipun harus mengorbankan nyawaku sendiri. Ya Rabb, saat ini aku tidak tahu di mana keberadaan istriku. Rasa khawatir dan takut memenuhi ruang hati dan pikiran. Lindungi di mana pun Shafira berada. Jika dia dalam bahaya, maka beri aku petunjuk untu