Dengan telaten, Shafita membersihkan tubuh Nita. Dari mulai ujung rambut sampai ujung kaki. Semua ia bersihkan tanpa ada rasa jijik sedikit pun. Air mata mengalir begitu saja dari kedua sudut mata Nita. Menantu yang selama ini ia zalimi, ternyata dialah yang peduli di saat dirinya sakit. Ingin rasanya ia berlutut di kaki menantunya itu, hanya saja semakin hari kesehatan tubuhnya semakin menurun. Jangankan untuk berjalan, sekedar duduk saja ia tak mampu.Shafira segera menghapus air mata sang ibu mertua. Wanita itu duduk di samping ranjang seraya menggenggam tangan Nita."Mengapa Bunda menangis? Apakah Sha terlalu kasar membersihkan tubuh Bunda?"Nita menggeleng singkat. "Maaf!" "Maaf? Maaf untuk apa, Bunda?"Ditanya seperti itu, air mata Nita semakin deras mengalir membasahi pipi. "Maaf, karena sudah banyak menyakiti!""Sha sudah memaafkan, sekalipun Bunda tidak memintanya. Semua salah Sha juga, tidak bisa menjadi menantu dan istri yang baik untuk kalian. Sudah, Bunda jangan berpiki
Yusuf mondar-mandir di ruang tamu dengan dipenuhi rasa khawatir. Lelaki itu mengutuk dirinya sendiri karena mengiyakan begitu saja saat Shafira menyuruhnya diam di rumah untuk menjaga sang bunda.Berulang kali, Yusuf melihat arlogi di tangannya. Tiga jam sudah, semenjak pamit ke pasar, Shafira belum juga kembali ke rumah. Rasa cemas dan takut menyatu menjadi satu rasa yang sulit untuk dihilangkan dari hati dan pikirannya.Yusuf menghampiri bundanya di kamar. Lelaki itu memastikan kalau segala sesuatu yang dibutuhkan bundanya sudah ada di sana. "Kamu mau ke mana, Yusuf?" tanya Nita dengan suara parau."Sudah tiga jam Shafira ke pasar. Sampai sekarang belum juga kembali. Aku akan menjemputnya ke pasar. Apa Bunda ada sesuatu yang dibutuhkan? Biar Yusuf siapkan didekat Bunda sebelum berangkat!" Nita menggeleng lemah. "Cepat jemput istrimu. Jangan sampai terjadi sesuatu padanya! Jangan pikirkan Bunda."Yusuf langsung mengambil kunci mobil. Tanpa berpikir panjang lagi, lelaki itu langsung
Hampir seharian Yusuf berkeliling mencari Shafira. Setiap alamat yang ditulis Almira dalam kertas, langsung ia datangi. Namun, tetap nihil. Tak ada tanda-tanda keberadaan mereka berdua di sana.Suara azan menggema. Yusuf menoleh ke arah mesjid yang tepat berada di belakangnya. Lelaki itu langsung mengambil wudu dan melaksanakan kewajibannya dengan khusyu.Selesai salat, Yusuf menengadah. Mengadukan semua kegundahan hatinya serta meminta ampun atas semua kelalaiannya selama ini."Ya Rabb, ampuni aku yang selama ini masih mementingkan nafsu dan ego. Aku sadar, telah menyia-nyiakan wanita salihah yang selama ini selalu setia mendampingi dalam setiap keadaan. Jika saja, ada hal untukku menebus semua khilafku pada Shafra. Maka akan kulakukan. Sekalipun harus mengorbankan nyawaku sendiri. Ya Rabb, saat ini aku tidak tahu di mana keberadaan istriku. Rasa khawatir dan takut memenuhi ruang hati dan pikiran. Lindungi di mana pun Shafira berada. Jika dia dalam bahaya, maka beri aku petunjuk untu
"Mas Yusuuf!" teriak Almira histeris.Mendengar nama suaminya disebut oleh Almira, Shafira langsung membuka mata. Betapa terkejutnya wanita itu, saat di hadapannya banyak darah bercucuran dari tubuh lelaki yang dicintainya. "Abiiii ...!" teriak Shafira tak kalah histeris dari Almira. Almira langsung menengadahkan kedua tangannya. "Mas Yusuf tewas di tanganku! Tidak!"Kemudian, Almira langsung berlari mendekati Yusuf. "Kenapa kamu harus berkorban seperti ini, Mas? Apa istimewanya wanita itu, hah? Namun, tak apa. Setidaknya antara aku dan wanita itu sama-sama tidak akan bisa memilikimu."Almira tertawa terbahak-bahak. Lalu, wanita itu mengacak rambutnya frustrasi. Kedua tangannya dipenuhi darah segar. "Seharusnya kamu pilih aku, Mas. Bukan dia. Tentu kamu tidak akan terluka dan kesakitan seperti ini.""Aku bahagia bisa menyelamatkan wanitaku dari wanita bejat sepertimu. Aku juga tidak menyesal, sudah memutuskan untuk menjadikannya satu-satunya ratu di hatiku. Kini yang kusesalkan hany
"Kenapa dengan Mas Yusuf, Dok?" tanya Shafira panik."Maaf, kami sudah semaksimal mungkin untuk menyelamatkan Pak Yusuf, tetapi takdir ....""Dokter! Pak Yusuf ...." teriak salah satu perawat dari dalam ruangan. Tanpa menunggu waktu lagi, dokter langsung masuk ke ruangan. Shafira semakin panik, entah apa yang sedang terjadi pada suaminya di dalam sana."Ya Rabb, tolong selamatkan Mas Yusuf. Aku mohon!"Hampir setengah jam, Shafira menunggu dengan penuh kecemasan. Tak ada satu pun dokter atau perawat yang keluar dari ruangan. Hanya bait-bait doa yang tak henti Shafira panjatkan pada Sang Pencipta."Tenanglah, Bu! Jangan stress! Lebih baik Ibu pulang dulu. Biar kami yang akan menjaga Pak Yusuf.""Tidak, Aldo! Aku harus terus stay di sini. Mas Yusuf sedang kritis, aku tidak akan mungkin meninggalkannya."Aldo dan Bimo saling bersitatap. Mereka cukup tahu dan mengerti dengan apa yang tengah dirasakan Shafira. Mereka juga sama merasakan sedih dan khawatir dengan keadaan Yusuf saat ini. Aka
Shafira keluar dari ruangan. Entah siapa seseorang yang tengah menunggunya di luar sana. Perasaan dia tidak ada janji dengan siapa pun hari ini. "Rini! Dari mana kamu tahu, kalau aku ada di sini?" tanya Shafira saat melihat sosok Rini yang tengah duduk di kursi tunggu.Rini tak menjawab pertanyaan Shafira. Wanita itu langsung berjalan menghampiri sahabatnya itu, lalu memeluknya dengan erat."Kamu baik-baik saja, kan? Apakah kamu terluka?" tanya Rini seraya memeriksa tubuh Shafira dari ujung kaki sampai ujung kepala."Aku baik-baik saja, Rin. Hanya saja Mas Yusuf ....""Aku tidak peduli dengan dia! Biar saja dia mati. Toh, semua ini dia sendiri yang memulai. Berani memulai, harus berani juga bertanggung jawab. Kesakitan yang dia rasakan sekarang, tidak setimpal dengan rasa sakit yang ditorehkannya padamu!""Rini ...."Rini kembali duduk. Tak dimungkiri, wanita itu sangat kesal pada Yusuf. Andai saja, lelaki itu tidak memutuskan untuk menikahi Almira. Tentu, semua ini tidak akan terjad
Bu Almira, ada yang ingin menjenguk!" kata salah petugas yang berjaga di sana. Almira langsung berjalan menuju tempat penerima tamu. Ada kaca penyekat yang menghalangi antara penjenguk dan tahanan. Shafira masuk ke ruangan. Melempar senyum, lalu duduk berhadapan dengan Almira. Shafira maupun Almira sama-sama mendekatkan telepon ke telinga mereka."Hai, Almira! Bagaimana kabarmu?" tanya Shafira."Jangan basa-basi denganku! Apa maksudmu datang kemari?""Tentu saja karena aku merindukanmu!"Almira tersenyum kecut. "Aku tahu maksud kedatanganmu ke sini. Pasti ingin menertawakanku, kan? Tertawalah sepuasmu! Sebelum nanti, tawamu itu menjadi sebuah tangis yang mungkin saja akan menjadi akhir hidupmu. Ingat, aku tidak akan pernah menyerah, apalagi sampai berhenti untuk menghancurkan hidupmu.""Jangan suuzan seperti itu, Almira! Aku datang ke sini semata-mata hanya untuk menjengukmu. Bertaubatlah, Al. Meminta ampun pada Allah dengan apa yang telah kamu perbuat selama ini. Jadilah wanita sek
Shafira mengernyit. Siapa yang di maksud oleh wanita itu? Sementara lelaki yang selalu bersamanya setiap hari itu tak lain suaminya sendiri. Apakah memang Yusuf, lelaki yang di maksud oleh wanita di depannya."Siapa lelaki yang Anda maksud? Apakah beliau?" tanya Shafira seraya menunjuk pada Yusuf yang baru saja keluar dari garasi.Wanita di depannya terkekeh. Lalu, membuka masker yang menutupi sebagian wajahnya. "Jika lelaki itu yang saya minta, apakah boleh?""Rini!" ucap Shafira terkejut. "Dari kapan kamu memakai hijab?""Alhamdulillah baru sebulan, Sha. Jawab pertanyaanku, Ibu Shafira. Apakah boleh aku taaruf dengan suamimu?""Tentu saja tidak boleh! Sekalipun istriku memintanya, aku tidak akan pernah melakukan kesalahan untuk yang kedua kalinya.""Kamu serius, Rin?" tanya Shafira tanpa menghiraukan ucapan Yusuf. "Kamu serius ingin menjadi maduku?""Kalau iya, apakah kamu mau menerimaku menjadi madumu?" tanya Rini kembali."Kalau yang memintanya kamu, mana bisa aku menolaknya!" jaw
Yusuf diselimuti kekhawatiran. Pasalnya, Shafira langsung tak sadarkan diri. Wanita itu juga sempat kejang-kejang, sehingga untuk satu minggu ke depan dokter tidak mengizinkan Shafira pulang."Apa yang menyebabkan istri saya kejang-kejang seperti tadi, Dok?" tanya Yusuf saat dipanggil ke ruangan dokter."Ada banyak kondisi yang bisa berbahaya bagi ibu pasca melahirkan. Salah satunya preeklamsia atau tekanan darah tinggi pasca melahirkan. Hal ini bisa terjadi ketika ibu memiliki kelebihan protein dalam urine!" jawab dokter seraya membenarkan letak kaca mata yang dipakainya!" jawab dokter seraya membetulkan letak kaca mata yang dipakainya. "Preklamsia juga kondisi serupa yang terjadi pada kehamilan dan biasanya sembuh dengan kelahiran bayi. Sebagian besar kasus preeklamsia terjadu dalam waktu 48 jam setelah melahirkan. Saat tekanan darah begitu tinggi, ibu bisa mengalami kejang yang bisa berdampak buruk pada kondisi kesehatan secara keseluruhan. Kejang yang muncul berulang jika tak dita
Galang menarik-narik tangan Bimo. Lelaki itu tak bisa menolak ajakan Galang. Semenjak mengambilnya dari kampung. Galang memang paling akrab dengannya."Om Bimo mau diajak ke mana, Lang? Ajak yang jauh, ya, soalnya kasihan dia sendiri gak punya pasangan!" goda Aldo.Galang tak memedulikan teriakan Aldo. Ia terus menarik tangan Bimo menuju kamarnya."Katanya mau ajak Om ke taman belakang. Kenapa menarik ke kamar?" tanya Bimo."Temeni Galang main mobil-mobilan saja, Om!" balas Galang seraya menurunkan beberapa mobil-mobilan kecil dari lemari mainan.Tanpa sengaja, Bimo melirik ke luar kamar. Pandangannya jatuh tepat pada sosok gadis yang tengah asyik mengobrol dengan Shafira. Beberapa detik, tatapannya tak beralih. Sepertinya lelaki itu tak berniat sedikit pun untuk mengalihkan pandangannya dari sana.Berulang kali, Galang memanggil dan mengajak ngobrol Bimo. Akan tetapi, tak ada tanggapan sama sekali dari sosok lelaki di depannya.Galang menatap mata Bimo. Lalu, mengikuti pandangan lela
Rini keluar dari kafe dengan perasaan penuh kecewa. Seharusnya kalau memang tidak suka, katakan saja dengan jujur. Jangan malah menganggap perasaannya hanya sebuah lelucon semata.Rini pun mengakui, kalau dirinya memang bodoh dan terkesan mengejar-ngejar. Seharusnya, dia bisa menahan diri untuk tidak terlalu to the point."Dulu, banyak pria yang mengejar-ngejar cintaku! Baru kali ini, aku benar-benar merasa menjadi wanita paling bodoh dan tidak punya harga diri sama sekali. Baru saja kenal, sudah mengatakan cinta terlebih dulu. Aku memang bodoh! Bahkan mungkin, wanita terbodoh di bumi!" gerutu Rini kesal.Sepanjang jalan, Rini tak henti merutuki kebodohannya. Sampai-sampai tak menyadari kalau dirinya hampir saja tertabrak sepeda motor saat akan menyeberang."Aaaaa ... tidak ingin mati! Aku belum nikah!""Makanya kalau jalan jangan melamun. Nanti kalau ditabrak, tetap saja pengendara sepeda motor yang disalahkan."Rini melirik pada sosok lelaki yang hampir saja menabraknya. Wanita itu
"Umi menyindir Abi?"Shafira menggeleng. "Itu namanya bukan nyindir, Bi.""Terus!""Sesuai fakta!" "Abi kan sudah meminta maaf, Um. Jangan menyimpan dendam seperti itu, tidak baik!"Shafira mengembuskan napas kasar. "Bukan menyimpan rasa dendam! Pada dasarnya wanita itu memang makhluk yang ingatannya paling kuat kalau mengingat tentang kesalahan yang dilakukan lelakinya.""Hmm, iya, deh. Wanita maha benar!""Pokoknya Abi harus bisa menyatukan Bimo sama Rini.""Kok jadi ke Abi? Terserah Bimo dong, dia mau pilih dan nikah dengan siapa!""Iya, setidaknya Abi kasih tahu dululah sama Bimo. Bagaimana karakter dan sikap Rini. Sedikit banyaknya, kan, Abi sudah tahu perempuan seperti apa dia. Umi setuju banget kalau seandainya Bimo berjodoh sama Rini.""Um, jodoh itu ada di tangan Allah, bukan di tangan manusia. Kalau menurut kita mereka cocok, belum tentu menurut Allah itu baik. Sebaiknya kita tidak perlu ikut campur dengan perasaan mereka. Kalau memang Rini serius, sampaikan padanya untuk t
"Umi tidak salah? Masa Umi yang ngidam, Abi yang harus minum jusnya.""Ya, gimana lagi, Bi! Itu kan bukan keinginan Umi. Dedek Utun yang minta kok, tetapi itu semua terserah Abi. Kalau ingin anaknya ngileran, ya, tidak usah dituruti."Yusuf menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Tidak apa-apa, sih! Hanya saja kalau bisa menawar, boleh tidak kalau pare pahitnya diganti sama buah mangga?""Yee, Abi tawar menawar kayak di pasar. Ngidam itu tidak bisa diganggu gugat Abi. Ya sudah kalau tidak mau, tidur lagi saja!" ucap Shafira seraya membaringkan tubuhnya membelakangi Yusuf."Iya, Abi buat sekarang. Apa, sih, yang enggak untuk anak Abi!" ucap Yusuf seraya mengelus perut buncit Shafira.Yusuf melangkah ke luar dari kamar. Sementara Shafira, tersenyum penuh kemenangan. Pelan-pelan, wanita itu mengikuti langkah sang suami menuju dapur."Jangan pakai gula, Bi! Soalnya kan Umi sudah manis. Nanti minum jusnya sambil ngeliatin Umi saja."Yusuf melirik ke arah Shafira, lalu melempar senyum yang
Shafira mengernyit. Siapa yang di maksud oleh wanita itu? Sementara lelaki yang selalu bersamanya setiap hari itu tak lain suaminya sendiri. Apakah memang Yusuf, lelaki yang di maksud oleh wanita di depannya."Siapa lelaki yang Anda maksud? Apakah beliau?" tanya Shafira seraya menunjuk pada Yusuf yang baru saja keluar dari garasi.Wanita di depannya terkekeh. Lalu, membuka masker yang menutupi sebagian wajahnya. "Jika lelaki itu yang saya minta, apakah boleh?""Rini!" ucap Shafira terkejut. "Dari kapan kamu memakai hijab?""Alhamdulillah baru sebulan, Sha. Jawab pertanyaanku, Ibu Shafira. Apakah boleh aku taaruf dengan suamimu?""Tentu saja tidak boleh! Sekalipun istriku memintanya, aku tidak akan pernah melakukan kesalahan untuk yang kedua kalinya.""Kamu serius, Rin?" tanya Shafira tanpa menghiraukan ucapan Yusuf. "Kamu serius ingin menjadi maduku?""Kalau iya, apakah kamu mau menerimaku menjadi madumu?" tanya Rini kembali."Kalau yang memintanya kamu, mana bisa aku menolaknya!" jaw
Bu Almira, ada yang ingin menjenguk!" kata salah petugas yang berjaga di sana. Almira langsung berjalan menuju tempat penerima tamu. Ada kaca penyekat yang menghalangi antara penjenguk dan tahanan. Shafira masuk ke ruangan. Melempar senyum, lalu duduk berhadapan dengan Almira. Shafira maupun Almira sama-sama mendekatkan telepon ke telinga mereka."Hai, Almira! Bagaimana kabarmu?" tanya Shafira."Jangan basa-basi denganku! Apa maksudmu datang kemari?""Tentu saja karena aku merindukanmu!"Almira tersenyum kecut. "Aku tahu maksud kedatanganmu ke sini. Pasti ingin menertawakanku, kan? Tertawalah sepuasmu! Sebelum nanti, tawamu itu menjadi sebuah tangis yang mungkin saja akan menjadi akhir hidupmu. Ingat, aku tidak akan pernah menyerah, apalagi sampai berhenti untuk menghancurkan hidupmu.""Jangan suuzan seperti itu, Almira! Aku datang ke sini semata-mata hanya untuk menjengukmu. Bertaubatlah, Al. Meminta ampun pada Allah dengan apa yang telah kamu perbuat selama ini. Jadilah wanita sek
Shafira keluar dari ruangan. Entah siapa seseorang yang tengah menunggunya di luar sana. Perasaan dia tidak ada janji dengan siapa pun hari ini. "Rini! Dari mana kamu tahu, kalau aku ada di sini?" tanya Shafira saat melihat sosok Rini yang tengah duduk di kursi tunggu.Rini tak menjawab pertanyaan Shafira. Wanita itu langsung berjalan menghampiri sahabatnya itu, lalu memeluknya dengan erat."Kamu baik-baik saja, kan? Apakah kamu terluka?" tanya Rini seraya memeriksa tubuh Shafira dari ujung kaki sampai ujung kepala."Aku baik-baik saja, Rin. Hanya saja Mas Yusuf ....""Aku tidak peduli dengan dia! Biar saja dia mati. Toh, semua ini dia sendiri yang memulai. Berani memulai, harus berani juga bertanggung jawab. Kesakitan yang dia rasakan sekarang, tidak setimpal dengan rasa sakit yang ditorehkannya padamu!""Rini ...."Rini kembali duduk. Tak dimungkiri, wanita itu sangat kesal pada Yusuf. Andai saja, lelaki itu tidak memutuskan untuk menikahi Almira. Tentu, semua ini tidak akan terjad
"Kenapa dengan Mas Yusuf, Dok?" tanya Shafira panik."Maaf, kami sudah semaksimal mungkin untuk menyelamatkan Pak Yusuf, tetapi takdir ....""Dokter! Pak Yusuf ...." teriak salah satu perawat dari dalam ruangan. Tanpa menunggu waktu lagi, dokter langsung masuk ke ruangan. Shafira semakin panik, entah apa yang sedang terjadi pada suaminya di dalam sana."Ya Rabb, tolong selamatkan Mas Yusuf. Aku mohon!"Hampir setengah jam, Shafira menunggu dengan penuh kecemasan. Tak ada satu pun dokter atau perawat yang keluar dari ruangan. Hanya bait-bait doa yang tak henti Shafira panjatkan pada Sang Pencipta."Tenanglah, Bu! Jangan stress! Lebih baik Ibu pulang dulu. Biar kami yang akan menjaga Pak Yusuf.""Tidak, Aldo! Aku harus terus stay di sini. Mas Yusuf sedang kritis, aku tidak akan mungkin meninggalkannya."Aldo dan Bimo saling bersitatap. Mereka cukup tahu dan mengerti dengan apa yang tengah dirasakan Shafira. Mereka juga sama merasakan sedih dan khawatir dengan keadaan Yusuf saat ini. Aka