"Tidak! Kalau Mas usir aku dari rumah ini, berarti Galang juga akan kuajak pergi dari sini! Dia anakku, jadi sudah seharusnya ikut ke mana pun aku pergi. Tidak akan ada yang bisa melarang dan menghalangi, toh aku ibunya."Yusuf tertawa getir. "Silakan kalau bisa, aku sudah mengajukan hak asuh Galang ke pengadilan. Kamu ibunya, itu memang benar. Hanya saja kamu lupa, kalau selama ini sudah sering menyakiti dan menyia-nyiakannya. Satu hal lagi, aku punya beberapa rekaman tentang kamu dan Galang, sepertinya itu cukup kuat untuk dijadikan bukti ke pihak yang berwajib.""Aku tidak bodoh, Mas! Tentu saja pengadilan akan menjatuhkan hak asuh Galang padaku, karena aku ibu kandungnya! Perihal rekamanmu, aku bisa saja bilang kalau itu hasil editan. Gampang kan? Dengan modal kecantikan yang kumiliki, mereka akan mudah memercayainya!" ucap Almira dengan penuh percaya diri."Oh iya, tak kumungkiri, kamu memang ibu kandungnya Galang, tetapi sayangnya aku tidak pernah melihat ketulusanmu dalam mengu
Yusuf bergeming. Ia tidak tahu harus menjelaskan apa pada putra sambungnya itu. Tidak mungkin, bila harus menceritakan semua secara detail. Walaupun Galang anak pintar dan sudah hapal situasi di rumahnya, tetapi baginya ia tetaplah anak kecil yang tak harus mengetahui masalah orang dewasa.Yusuf berlutut di hadapan Galang. Ia menatap lekat putra sambungnya itu. "Mama sedang ingin menyendiri. Galang sama Abi di sini, ya. Besok, setelah urusan Abi selesai. Kita jemput Umi.""Jemput Umi, Bi? Horeee!" teriak Galang seraya joged-joged khas anak kecil. Yusuf mengembuskan napas perlahan, seperti ada kepuasan tersendiri untuknya, saat melihat senyum Galang yang tercetak indah dari kedua sudut bibirnya."Senangnya anak Abi," ucap Yusuf seraya mengacak puncak kepala Galang. "Senang banget, Abi. Soalnya Galang kangen banget sama Umi.""Ya sudah, ayo kita masuk. Tahun ini kamu masuk sekolah, ya, Nak? Nanti Galang akan belajar dan memiliki teman yang banyak.""Sekolah? Teman?"Yusuf menuntun Gala
"Kenapa Umi berubah sama Abi?" tanya Yusuf tanpa melepaskan tatapannya sedikit pun dari sang istri. Lelaki itu menatap Shafira dengan tatapan sendu. Ia merasa akhir-akhir ini istrinya sudah banyak berubah. Terbukti dari sikapnya yang sering kali cuek dan tak lagi sehangat dulu."Siapa yang berubah, Bi? Umi masih sama kok seperti dulu. Tak pernah ada yang berubah sedikit pun, baik sikap maupun rasa.""Tapi Abi merasa Umi itu tak lagi hangat seperti dulu. Umi juga tak pernah bermanja dan tak pernah lagi berucap rindu. Tadi saja, Abi peluk, Umi langsung pergi!""Umi itu tidak suka dengan sikap Abi pada mereka. Sebentar-bentar mengancam, marah, bahkan kalau memberi perintah seenaknya saja. Umi tahu ... Abi itu pemimpin mereka, tetapi setinggi-tingginya jabatan janganlah angkuh seperti itu! Karena harta dan jabatan itu hanyalah bersifat sementara. Kapan saatnya, Allah akan mengambilnya. Bahkan, dalam hitungan detik pun, Allah bisa saja menjatuhkannya.""Mereka kan bukan orang lain, Umi! M
Dengan telaten, Shafita membersihkan tubuh Nita. Dari mulai ujung rambut sampai ujung kaki. Semua ia bersihkan tanpa ada rasa jijik sedikit pun. Air mata mengalir begitu saja dari kedua sudut mata Nita. Menantu yang selama ini ia zalimi, ternyata dialah yang peduli di saat dirinya sakit. Ingin rasanya ia berlutut di kaki menantunya itu, hanya saja semakin hari kesehatan tubuhnya semakin menurun. Jangankan untuk berjalan, sekedar duduk saja ia tak mampu.Shafira segera menghapus air mata sang ibu mertua. Wanita itu duduk di samping ranjang seraya menggenggam tangan Nita."Mengapa Bunda menangis? Apakah Sha terlalu kasar membersihkan tubuh Bunda?"Nita menggeleng singkat. "Maaf!" "Maaf? Maaf untuk apa, Bunda?"Ditanya seperti itu, air mata Nita semakin deras mengalir membasahi pipi. "Maaf, karena sudah banyak menyakiti!""Sha sudah memaafkan, sekalipun Bunda tidak memintanya. Semua salah Sha juga, tidak bisa menjadi menantu dan istri yang baik untuk kalian. Sudah, Bunda jangan berpiki
Yusuf mondar-mandir di ruang tamu dengan dipenuhi rasa khawatir. Lelaki itu mengutuk dirinya sendiri karena mengiyakan begitu saja saat Shafira menyuruhnya diam di rumah untuk menjaga sang bunda.Berulang kali, Yusuf melihat arlogi di tangannya. Tiga jam sudah, semenjak pamit ke pasar, Shafira belum juga kembali ke rumah. Rasa cemas dan takut menyatu menjadi satu rasa yang sulit untuk dihilangkan dari hati dan pikirannya.Yusuf menghampiri bundanya di kamar. Lelaki itu memastikan kalau segala sesuatu yang dibutuhkan bundanya sudah ada di sana. "Kamu mau ke mana, Yusuf?" tanya Nita dengan suara parau."Sudah tiga jam Shafira ke pasar. Sampai sekarang belum juga kembali. Aku akan menjemputnya ke pasar. Apa Bunda ada sesuatu yang dibutuhkan? Biar Yusuf siapkan didekat Bunda sebelum berangkat!" Nita menggeleng lemah. "Cepat jemput istrimu. Jangan sampai terjadi sesuatu padanya! Jangan pikirkan Bunda."Yusuf langsung mengambil kunci mobil. Tanpa berpikir panjang lagi, lelaki itu langsung
Hampir seharian Yusuf berkeliling mencari Shafira. Setiap alamat yang ditulis Almira dalam kertas, langsung ia datangi. Namun, tetap nihil. Tak ada tanda-tanda keberadaan mereka berdua di sana.Suara azan menggema. Yusuf menoleh ke arah mesjid yang tepat berada di belakangnya. Lelaki itu langsung mengambil wudu dan melaksanakan kewajibannya dengan khusyu.Selesai salat, Yusuf menengadah. Mengadukan semua kegundahan hatinya serta meminta ampun atas semua kelalaiannya selama ini."Ya Rabb, ampuni aku yang selama ini masih mementingkan nafsu dan ego. Aku sadar, telah menyia-nyiakan wanita salihah yang selama ini selalu setia mendampingi dalam setiap keadaan. Jika saja, ada hal untukku menebus semua khilafku pada Shafra. Maka akan kulakukan. Sekalipun harus mengorbankan nyawaku sendiri. Ya Rabb, saat ini aku tidak tahu di mana keberadaan istriku. Rasa khawatir dan takut memenuhi ruang hati dan pikiran. Lindungi di mana pun Shafira berada. Jika dia dalam bahaya, maka beri aku petunjuk untu
"Mas Yusuuf!" teriak Almira histeris.Mendengar nama suaminya disebut oleh Almira, Shafira langsung membuka mata. Betapa terkejutnya wanita itu, saat di hadapannya banyak darah bercucuran dari tubuh lelaki yang dicintainya. "Abiiii ...!" teriak Shafira tak kalah histeris dari Almira. Almira langsung menengadahkan kedua tangannya. "Mas Yusuf tewas di tanganku! Tidak!"Kemudian, Almira langsung berlari mendekati Yusuf. "Kenapa kamu harus berkorban seperti ini, Mas? Apa istimewanya wanita itu, hah? Namun, tak apa. Setidaknya antara aku dan wanita itu sama-sama tidak akan bisa memilikimu."Almira tertawa terbahak-bahak. Lalu, wanita itu mengacak rambutnya frustrasi. Kedua tangannya dipenuhi darah segar. "Seharusnya kamu pilih aku, Mas. Bukan dia. Tentu kamu tidak akan terluka dan kesakitan seperti ini.""Aku bahagia bisa menyelamatkan wanitaku dari wanita bejat sepertimu. Aku juga tidak menyesal, sudah memutuskan untuk menjadikannya satu-satunya ratu di hatiku. Kini yang kusesalkan hany
"Kenapa dengan Mas Yusuf, Dok?" tanya Shafira panik."Maaf, kami sudah semaksimal mungkin untuk menyelamatkan Pak Yusuf, tetapi takdir ....""Dokter! Pak Yusuf ...." teriak salah satu perawat dari dalam ruangan. Tanpa menunggu waktu lagi, dokter langsung masuk ke ruangan. Shafira semakin panik, entah apa yang sedang terjadi pada suaminya di dalam sana."Ya Rabb, tolong selamatkan Mas Yusuf. Aku mohon!"Hampir setengah jam, Shafira menunggu dengan penuh kecemasan. Tak ada satu pun dokter atau perawat yang keluar dari ruangan. Hanya bait-bait doa yang tak henti Shafira panjatkan pada Sang Pencipta."Tenanglah, Bu! Jangan stress! Lebih baik Ibu pulang dulu. Biar kami yang akan menjaga Pak Yusuf.""Tidak, Aldo! Aku harus terus stay di sini. Mas Yusuf sedang kritis, aku tidak akan mungkin meninggalkannya."Aldo dan Bimo saling bersitatap. Mereka cukup tahu dan mengerti dengan apa yang tengah dirasakan Shafira. Mereka juga sama merasakan sedih dan khawatir dengan keadaan Yusuf saat ini. Aka