Malam di desa terasa lebih dingin dari biasanya. Kabut mulai merayap dari hutan, menutupi jalanan dan bangunan yang sudah rusak. Api unggun di tengah alun-alun tetap menyala, tetapi penduduk desa berkumpul lebih dekat, merasakan kehadiran sesuatu yang tak terlihat namun mematikan. Rafael berdiri di tepi lingkaran cahaya, matanya memandang ke arah hutan. Suara gemerisik dari pepohonan terdengar semakin keras, dan kemudian, suara itu datang—nyanyian lembut yang melodius, tetapi menyeramkan. Suara itu merayap ke dalam pikiran, membangkitkan rasa takut dan kesedihan yang mendalam. “Itu mereka,” bisik seorang wanita tua, matanya membelalak karena ketakutan. “Makhluk-makhluk itu... mereka kembali.” Penduduk desa mulai gelisah. Beberapa di antara mereka memegang kepala mereka, seolah-olah suara itu menusuk pikiran mereka. Seorang pria muda berdiri, matanya kosong. “Aku harus pergi,” gumamnya, langkahnya mulai mengarah ke hutan. “Tidak!” teriak seorang wanita, mencoba menariknya kembal
Angin malam membawa keheningan yang aneh setelah bayangan makhluk kegelapan sirna, namun Rafael tahu bahwa ancaman sesungguhnya belum berakhir. Di kejauhan, suara nyanyian Sirene Malam bergema lagi, jauh lebih kuat daripada sebelumnya. Suara itu merayap ke dalam pikiran seperti racun, meruntuhkan pertahanan mental dan menciptakan rasa takut yang mencekam. Penduduk desa berkumpul di sekitar api unggun, memeluk satu sama lain dengan tubuh gemetar. Nyanyian itu membuat mereka menangis, memunculkan kenangan pahit yang terkubur dalam hati mereka. “Kami tidak bisa melawan ini,” bisik seorang wanita. “Suara itu... terlalu kuat.” Rafael berdiri di depan mereka, tongkatnya bersinar lembut. “Kalian tidak harus melawan sendirian,” katanya dengan nada tegas. “Fokuslah pada cahaya. Jangan biarkan suara itu menguasai kalian.” Rafael tahu bahwa ia harus menemukan sumber nyanyian itu sebelum semuanya menjadi lebih buruk. Ia memandang ke arah hutan gelap di pinggir desa. “Aku akan pergi ke sana
Pagi menyingsing di desa kecil itu, menyapu kabut malam yang sebelumnya melingkupi. Matahari pertama kali muncul seperti embusan napas setelah berhari-hari tenggelam dalam kegelapan. Api unggun di tengah alun-alun masih menyala, simbol bahwa harapan mereka belum sepenuhnya padam. Penduduk desa mulai keluar dari rumah-rumah mereka, memandang sekitar dengan mata yang masih dipenuhi rasa tidak percaya. Beberapa dari mereka tampak ragu untuk melangkah, sementara yang lain hanya berdiri diam, mengamati sisa-sisa kegelapan yang ditinggalkan oleh Sirene Malam. Rafael berdiri di tengah alun-alun, tongkatnya tergantung di sisinya. Luka kecil menghiasi lengannya, tetapi ia tidak menunjukkan rasa sakit. Matanya menatap penduduk desa dengan lembut, mencoba membaca keraguan dan ketakutan yang masih membayangi hati mereka. “Kita telah mengusir kegelapan malam ini,” kata Rafael, suaranya memecah keheningan. “Tetapi perjuangan kita belum selesai. Kita harus membangun kembali desa ini—dan juga ha
Langit pagi cerah ketika Rafael meninggalkan desa. Kabut yang sebelumnya melingkupi jalan setapak telah memudar, tetapi hawa dingin tetap bertahan, seolah mengingatkan bahwa kegelapan belum sepenuhnya pergi. Dengan tongkat kayunya tergantung di tangan, ia berjalan perlahan, pikirannya dipenuhi dengan berbagai kemungkinan tentang langkah Azariel selanjutnya. “Dia tidak akan tinggal diam setelah ini,” gumamnya pada dirinya sendiri. Ia tahu bahwa kekalahan Sirene Malam hanyalah gangguan kecil bagi Azariel. Ada sesuatu yang lebih besar sedang direncanakan. Saat ia melangkah lebih jauh ke dalam hutan, suara angin yang berdesir terdengar seperti bisikan samar. Rafael berhenti, memperhatikan sekeliling dengan waspada. Udara di sekitarnya tiba-tiba terasa berat, dan hawa dingin semakin menusuk. “Dia mengawasiku,” pikir Rafael, matanya menyipit. Langkah Rafael terhenti di sebuah sungai kecil di hutan. Di sana, bayangan aneh bergerak di antara pepohonan, seolah mengikuti setiap gerakanny
Udara menjadi semakin berat saat Rafael, Elena, dan Liam melangkah mendekati batas wilayah kegelapan. Di depan mereka, sebuah portal besar berdiri dengan bentuk menyerupai pusaran hitam yang terus bergerak, memancarkan energi dingin yang membuat bulu kuduk berdiri. Cahaya dari tongkat Rafael tampak lebih redup daripada biasanya, seolah tertelan oleh aura gelap di sekitarnya. “Jadi, ini wilayah Azariel,” gumam Elena, mencoba menutupi kegelisahannya. “Kenapa rasanya seperti kita sudah kalah sebelum masuk?” “Itu yang dia inginkan,” jawab Rafael sambil menggenggam tongkatnya lebih erat. “Kegelapan ini adalah bagian dari kekuatannya. Tapi kita tidak bisa berhenti di sini.” Liam, yang berjalan di belakang mereka, memegang tangan Elena dengan kuat. Anak itu tidak berbicara, tetapi wajahnya menunjukkan ketakutan yang tak bisa ia sembunyikan. “Aku bisa merasakan sesuatu... di dalam sana,” katanya pelan. “Seperti suara yang memanggilku.” Elena menoleh, berlutut di sampingnya. “Suara apa,
Liam berdiri di tengah padang yang tampak seperti dunia nyata, tetapi sesuatu terasa salah. Langit gelap, dan udara terasa berat seperti dihantam oleh ribuan bisikan yang mengelilinginya. Bayangan sosok yang menyerupai dirinya masih ada, bergerak perlahan, memandangnya dengan senyum dingin.“Kau tahu, Liam,” kata sosok itu, nadanya seperti seorang teman lama. “Kau tidak pernah benar-benar penting. Rafael? Elena? Mereka hanya melindungimu karena kau adalah kunci dari misi mereka.”“Itu tidak benar!” balas Liam, meskipun tubuhnya bergetar. “Mereka peduli padaku.”“Benarkah?” balas sosok itu, menunduk hingga wajah mereka hampir bersentuhan. “Kalau begitu, kenapa mereka membiarkanmu jatuh ke tempat ini? Kau sendirian sekarang, Liam. Tidak ada yang bisa menyelamatkanmu.”Liam menundukkan kepala, tetapi sesuatu dalam dirinya mencoba melawan. Ia memikirkan Rafael yang selalu berdiri di depannya, melindunginya dari bahaya. Ia memikirkan Elena yang selalu memastikan ia aman, bahkan ketika dia
Rafael, Elena, dan Liam berdiri di tengah reruntuhan jalan setapak yang kini berubah menjadi labirin memusingkan. Dinding-dinding bayangan yang menjulang tinggi bergerak perlahan, seolah-olah hidup dan mengawasi setiap langkah mereka. Energi gelap memenuhi udara, menciptakan tekanan yang hampir membuat mereka sulit bernapas.“Kita tidak bisa terus diam di sini,” kata Rafael, matanya menyapu ke segala arah. “Labirin ini adalah cara Azariel untuk memisahkan kita. Kalau kita terpisah, kita kalah.”“Aku tidak suka tempat ini,” gumam Elena, memeluk tubuhnya sendiri untuk mengusir rasa dingin. “Rasanya seperti setiap langkah membawa kita lebih dekat ke perangkap.”Liam berdiri di tengah mereka, matanya menatap lantai gelap yang tampak berdenyut seperti jantung. “Aku mendengar sesuatu,” katanya tiba-tiba.Rafael menoleh cepat. “Apa yang kau dengar?”Liam tidak menjawab, hanya mengangkat tangannya untuk meminta mereka diam. Suara bisikan lembut terdengar samar, datang dari arah depan. Bisikan
Rafael berdiri teguh, tongkatnya bersinar terang, menciptakan penghalang cahaya tepat sebelum bayangan besar itu menghantamnya. Namun, kekuatan dari serangan tersebut membuatnya mundur beberapa langkah, menyadari bahwa musuh di depannya jauh lebih kuat daripada yang pernah ia hadapi sebelumnya. “Siapa kau sebenarnya?” tanya Rafael, matanya menyipit memandang makhluk itu. Makhluk itu tertawa dingin, suara gemuruhnya menggema di udara. “Aku adalah salah satu bagian dari Azariel. Tidak peduli berapa kali kau mencoba, Rafael, cahaya tidak bisa menembus kegelapan ini.” “Tapi aku di sini untuk menghancurkan kegelapan,” balas Rafael, mengangkat tongkatnya. Sosok itu melangkah maju, tubuhnya berubah menjadi kabut yang mengepung Rafael dari segala arah. “Kalau begitu, mari kita lihat berapa lama kau bisa bertahan.” **** Sementara itu, Rafael memusatkan energinya untuk melepaskan diri dari kabut tersebut. Ia melancarkan serangan cahaya yang berhasil memecah kabut itu untuk sementara, memb
Liam berdiri sendirian di tengah kegelapan. Tidak ada cahaya, tidak ada suara selain detak jantungnya yang terdengar begitu keras di telinganya. Ia merasa terisolasi, seolah-olah dunia telah meninggalkannya. Tubuhnya gemetar, tidak karena dingin, tetapi karena rasa takut yang merayap di dalam dirinya.“Liam...” sebuah suara berbisik, dingin dan tajam. Suara itu datang dari mana-mana, seakan-akan kegelapan itu sendiri berbicara padanya.“Kau tidak cukup kuat.”****Liam mencoba melangkah maju, tetapi kakinya terasa berat, seperti terjebak dalam lumpur yang tidak terlihat. “Aku... aku tidak akan menyerah,” katanya pelan, meskipun suaranya bergetar.Suara itu tertawa kecil. “Kau hanya seorang anak kecil. Apa yang bisa kau lakukan melawan kegelapan? Kau bahkan tidak bisa melindungi dirimu sendiri.”Tiba-tiba, kegelapan di sekitarnya berubah. Liam menemukan dirinya berada di tengah sebuah desa yang hancur, tempat yang ia kenal sebagai kampung halamannya. Rumah-rumah terbakar, dan penduduk
Elena berdiri di tengah desa yang tampak seperti desanya dulu—tempat ia dilahirkan dan dibesarkan. Tetapi desa itu kini hancur, hanya tersisa puing-puing dan abu yang tertiup angin. Udara di sekitar terasa berat, membawa aroma hangus yang menusuk hidung. Suara tangisan dan jeritan samar terdengar, meskipun tidak ada siapa pun di sekitarnya. “Elena...” sebuah suara memanggil, lembut tetapi penuh duka. Elena menoleh, matanya membelalak saat melihat sosok seorang wanita tua berjalan ke arahnya. Itu adalah ibunya, dengan pakaian yang pernah ia kenakan di hari terakhir mereka bersama. Wajahnya penuh luka, tetapi matanya dipenuhi rasa kecewa. “Kenapa kau meninggalkan kami?” tanya ibunya, suaranya gemetar. “Kau pergi dan kami semua hancur.” **** Elena terdiam, tubuhnya membeku. Kata-kata ibunya terasa seperti belati yang menusuk jantungnya. “Aku... aku tidak punya pilihan,” katanya pelan, mencoba menahan air matanya. “Aku harus pergi untuk mengejar kehidupan yang lebih baik.” “Dan deng
Rafael berdiri di tengah medan perang yang pernah ia kenal dengan baik. Tanah di sekitarnya basah oleh darah, senjata patah berserakan, dan udara dipenuhi aroma logam serta asap. Suara teriakan para prajurit menggema, tetapi tidak ada seorang pun yang terlihat. Ia menggenggam tongkat patahnya, matanya menyapu sekeliling dengan waspada.“Ini... ini tidak mungkin,” gumam Rafael, tubuhnya tegang. “Aku sudah meninggalkan tempat ini bertahun-tahun lalu.”Namun, suara yang familiar menyambutnya dari belakang. “Kau tidak pernah benar-benar meninggalkan kami, Rafael.”Rafael berbalik dan menemukan sosok yang sangat dikenalnya—kaptennya dari masa lalu, seorang pria dengan baju zirah perak dan pedang yang kini berkarat. Wajahnya tampak lelah tetapi penuh amarah.“Kau meninggalkan kami,” katanya, matanya yang dulu bersinar penuh kepercayaan kini suram. “Kau lari ketika kami paling membutuhkamu.”****Rafael menatap kaptennya dengan perasaan bersalah yang tak bisa ia sembunyikan. “Aku tidak lari,
Rafael, Elena, dan Liam tersedot ke dalam pusaran energi yang diciptakan oleh Penjaga Nexus. Tubuh mereka terasa ringan, seolah melayang di udara, tetapi mereka tahu ini bukan perjalanan biasa. Udara dipenuhi cahaya putih yang berputar, bercampur dengan bayangan samar yang menyelimuti mereka.“Hanya mereka yang benar-benar memiliki hati murni yang bisa bertahan,” suara Penjaga bergema di sekitar mereka. “Tunjukkan bahwa kalian layak untuk menerima cahaya ini.”Ketika pusaran berhenti, mereka menemukan diri mereka berdiri di tempat yang berbeda. Sebuah dataran kosong membentang tanpa batas, diterangi oleh cahaya pucat dari atas. Namun, di kejauhan, mereka bisa melihat tiga pintu besar berdiri berjajar, masing-masing memancarkan aura yang berbeda.****Rafael melangkah maju, menatap ketiga pintu itu dengan penuh perhatian. Pintu pertama bercahaya lembut seperti sinar bulan, pintu kedua bersinar seperti matahari, dan pintu ketiga dikelilingi oleh bayangan yang bergerak pelan.“Kita harus
Langit malam penuh bintang, tetapi bagi Rafael, Elena, dan Liam, suasana tidak lagi terasa damai. Suara di benteng Azariel masih bergema di pikiran mereka, memperingatkan bahwa ancaman yang lebih besar tengah menunggu. Rafael tahu mereka tidak bisa melawan ancaman ini sendirian. “Kita butuh bantuan,” kata Rafael dengan nada tegas, memecah keheningan di sekitar perapian kecil yang mereka buat di tengah desa. “Bantuan dari siapa?” tanya Elena, duduk di samping Liam yang masih terdiam, memegang bunga dari penduduk desa. “Kita bahkan tidak tahu apa yang sedang kita hadapi.” Rafael memandang api yang berkedip-kedip di depannya. “Ada makhluk lain di dunia ini,” katanya pelan. “Makhluk yang pernah melayani cahaya, tetapi memilih menyembunyikan diri setelah kegelapan mulai menguasai segalanya.” “Penjaga Cahaya?” tanya Liam, mengangkat wajahnya dengan ekspresi penasaran. “Seperti di cerita-cerita itu?” Rafael mengangguk. “Mereka nyata. Dan kita harus menemukannya sebelum terlambat.” ****
Ruangan itu kini menjadi terang, tidak ada lagi bayangan yang mengintai di sudut. Altar di tengah ruangan memancarkan cahaya lembut yang membawa kehangatan, seolah-olah menyembuhkan luka yang ada. Rafael, Elena, dan Liam berdiri bersama, menatap altar itu dengan perasaan lega, meskipun rasa lelah masih tergambar di wajah mereka. “Apakah ini akhirnya?” tanya Elena, memecah keheningan. “Apa Azariel benar-benar sudah lenyap?” Rafael menghela napas panjang, menurunkan tongkat patahnya. “Untuk saat ini, dia sudah tidak ada. Tapi kegelapan tidak pernah benar-benar hilang. Akan selalu ada bagian darinya yang mencoba kembali.” “Tapi kita berhasil, kan?” Liam menatap mereka, tubuhnya masih memancarkan cahaya kecil yang perlahan memudar. “Kita menghentikannya.” Rafael menatap anak itu, lalu tersenyum kecil. “Kita berhasil, Liam. Kau melakukannya. Kau membawa harapan.” Rafael menatap Liam dengan penuh kebanggaan. “Kau tidak hanya membawa harapan, Liam. Kau juga membuktikan bahwa cahaya
Ketika Rafael membuka matanya, ia menemukan dirinya berada di tempat yang aneh—sebuah dataran gelap yang terasa tak berbatas, dengan langit yang dipenuhi kabut tebal. Cahaya tongkatnya redup, hampir padam, dan tubuhnya terasa berat seolah-olah setiap langkah menguras energi. “Elena? Liam?” panggil Rafael, suaranya menggema di kehampaan. Tidak ada jawaban. Ia melangkah maju, mencoba memahami tempat ini. Tanah di bawahnya terasa seperti bayangan padat, bergerak pelan setiap kali ia melangkah. Jauh di depan, ia bisa melihat cahaya samar, seperti obor yang berkedip di tengah kegelapan. “Semuanya tidak berakhir di sini,” gumamnya, memutuskan untuk mengikuti cahaya itu. **** Sementara itu, Elena terbangun di tempat yang berbeda. Ia dikelilingi oleh bayangan hidup yang bergerak mendekat, mata merah mereka menyala dalam kegelapan. Elena berusaha bangkit, tetapi tubuhnya terasa lemah, dan pikirannya dipenuhi suara bisikan yang mencoba menanamkan ketakutan. “Kau tidak bisa menyelama
Ruangan itu berubah menjadi arena pertempuran yang berbahaya. Dindingnya bergetar, dan bayangan gelap yang hidup bergerak seperti ular, melingkari Rafael, Elena, dan Liam. Di tengah ruangan, Azariel berdiri tegak, tubuhnya memancarkan aura kegelapan yang menekan udara hingga terasa sulit bernapas. “Kalian tidak bisa melawanku,” kata Azariel, suaranya bergema seperti ribuan bisikan. “Cahaya kalian lemah, sementara aku adalah kegelapan yang abadi.” Rafael, meskipun terluka, menggenggam tongkat patahnya lebih erat. Ia melangkah maju, berdiri di depan Elena dan Liam. “Kegelapanmu mungkin abadi,” katanya, suaranya tegas meskipun ada sedikit rasa lelah. “Tapi cahaya tidak pernah berhenti melawan.” Azariel mengangkat tongkatnya, menciptakan gelombang energi gelap yang meluncur langsung ke arah mereka. Rafael mengangkat tongkatnya untuk melindungi timnya, tetapi energi gelap itu terlalu kuat. Perisai cahaya yang ia ciptakan mulai retak. “Rafael, kita tidak bisa menahan ini lebih lama!” te
Rafael dan Liam berdiri di tengah aula besar yang dipenuhi bayangan hidup, bergerak seperti makhluk lapar yang mengawasi setiap langkah mereka. Di depan mereka, Azariel berdiri dengan tongkat hitamnya yang kini memancarkan aura kegelapan yang luar biasa. Di belakang Azariel, Elena terjebak dalam sangkar bayangan, tubuhnya tampak lemah tetapi matanya masih menyiratkan keberanian.“Kalian akhirnya sampai,” kata Azariel, suaranya dingin dan penuh ejekan. “Tapi sayangnya, perjalanan kalian berakhir di sini.”“Kembalikan Elena,” kata Rafael dengan tegas, meskipun tubuhnya masih terluka dari pertempuran sebelumnya. “Ini bukan tentang dia. Kau hanya ingin membuktikan bahwa kau lebih kuat dari cahaya.”Azariel tersenyum licik. “Lebih kuat dari cahaya? Aku adalah kegelapan itu sendiri, Rafael. Tidak ada yang bisa melawanku.”Azariel melancarkan serangan pertama, mengayunkan tongkatnya untuk menciptakan gelombang energi gelap yang meluncur ke arah Rafael dan Liam. Rafael mencoba melindungi mere