VIOLAEntah semerah apa mukaku saat ini. Ucapan itu disampaikan dengan ringan tetapi sangat menyentil.Belum aku merespon, Kenzio sudah kembali mencecarku."Kamu tahu aku sangat menyukai rambut panjang dan hitammu itu, Vio. Tapi kamu sengaja mengubahnya untuk melupakan aku dan semua kenangan tentang kita. Kamu pergi tanpa kata, tanpa bicara dan menghilangkan jejak biar aku nggak bisa mencari kamu. Bertahun-tahun ini aku menderita. Aku mencari kamu ke mana-mana sampai nyaris gila. Kamu nggak akan ngerti gimana rasanya nggak bisa tidur bermalam-malam. Sekalinya bisa memejamkan mata harus kebangun karena mimpi buruk. Tapi mimpi burukku itu nggak ada apa-apnya ketimbang mengetahui kenyataan bahwa kamu nggak ada lagi di sisiku, Vio."Ucapan yang disampaikan dengan panjang lebar itu memang membuatku termangu untuk beberapa saat. Namun kemudian realita menyadarkanku. Jangan lupakan profesinya. Dia seorang pengacara yang begitu lihai bersilat lidah. Jadi lip service baginya ada hal yang sudah
VIOLASetelah Kenzio pergi aku langsung masuk ke kamar. Putri kecilku masih pulas dalam tidurnya. Posisinya nggak berubah sejak saat kutinggal tadi. Aku naik ke tempat tidur lalu duduk di sebelahnya. Percakapan dengan Kenzio tadi serta ekspresi wajahnya melintas dengan jelas seperti adegan yang diputar ulang.Bukannya aku nggak menghargai dia, tapi sebagai bundanya Kei semestinya kamu mengerti perasaan Kei. Soal kedatanganku besok ke sekolahnya nggak akan mengubah apa pun. Ayah kandungnya tetap bukan aku. Iya kan?Bukan aku nggak mengerti perasaan Kei, sebagai ibunya aku sangat amat mengerti. Bertahun-tahun aku memahaminya sambil menahan perasaan sendiri.Mungkin nggak ada salahnya kalau aku memberinya kesempatan untuk datang ke sekolah Kei. Agar perasaan kecewa Kei pada Ben terobati.Memandangi wajah Kei aku nggak menemukan muka Kenzio di sana karena secara fisik mereka memang nggak mirip. Hanya saja mereka sangat mirip dari segi gestur. Gerakan bibirnya saat bicara, caranya tersenyu
KENZIO “Yanda nggak kerja ya hari ini?" Pertanyaan itu memaksaku menggerakkan kepala untuk memandang ke arah Lakeizia yang duduk di sebelahku. Saat ini kami berada di mobil dalam perjalanan ke sekolahnya."Nggak, Yanda lagi libur.""Memang Yanda kerjanya apa?" Lakeizia menatapku penasaran."Pengacara," jawabku singkat."Pengacara? Yang suka bantuin orang baik yang dijahatin orang jahat ya, Yanda?"Aku tertawa sambil mengiakan. Anak ini semakin membuatku takjub."Berarti Yanda kerjanya sama dengan ayahnya Kei. Yanda kenal nggak sama ayahnya Kei?" ujarnya antusias.Perkataan Lakeizia membuatku kaget. Viola belum bercerita mengenai detail pekerjaan suaminya."Maaf, Sayang, Yanda nggak kenal. Soalnya pengacara itu banyak."Lakeizia tampak kecewa mendengar jawabanku."Tapi nanti Yanda coba tanya sama Bunda ya, siapa tahu Yanda kenal."Lakeizia menganggukkan kepala sambil mengibas rambut panjangnya ke belakang lalu memandang ke arah jendela mobil. Di saat itulah aku melihat bordir kecil di
KENZIOMuka Viola merah padam. Dia marah padaku karena nggak terima aku tuding menyewa pria bayaran untuk diakuinya sebagai suami.Karena nggak ingin membuatnya semakin emosi yang akan mengganggu suasana hatinya dan tentu akan berpengaruh pada pekerjaannya, aku terpaksa mengalah. Aku pergi meninggalkan kantor Viola.Lalu di sinilah aku sekarang. Berada di sekolah Lakeizia. Sudah satu jam aku duduk di sini. Aku membuktikan janjiku pada Lakeizia. Aku akan datang sebelum jam dua belas."Yandaaa!" Suara yang mulai familier denganku itu terdengar memanggil. Ketika memandang ke arah tersebut aku melihat Lakeizia berjalan cepat ke arahku. Aku bangkit dari duduk lalu menyongsongnya."Udah pulang, Nak?""Udah, Yanda.""Terus kita ke mana sekarang?"Lakeizia diam tidak menjawab pertanyaanku, tapi matanya berbahasa."Oh iya, Yanda ingat sekarang. Kita beli crayon yang warna lila kan?"Lakeizia mengangguk cepat penuh semangat. Aku jadi tahu sekarang. Lakeizia sangat menginginkannya, tapi bundany
VIOLA"Aku nggak suka cara kamu, Zio.""Yang bagian mana yang kamu nggak suka?" Dia menimpali, kali ini sambil mengelap sisi bak wastafel yang basah oleh percikan air."Semuanya," jawabku. "Kei itu anakku. Aku punya aturan untuk dia. Apa maksud kamu membelikan dia mainan, pakaian, sepeda dan entah apa lagi?!"Kenzio mengeringkan tangannya dengan lap kepala Hello Kitty lalu memutar tubuh dan bergerak mendekatiku hingga kami berdiri dengan jarak nggak kurang dari satu meter."Apa salah kalau aku membelikan untuk anakku sendiri?" balasnya enteng."Anak kamu?" ucapku sinis."Ya. Kei memang anakku. Anak kita berdua lebih tepatnya. Selama ini kamu pergi dan menyembunyikan dia dariku padahal aku berhak tahu tentang fakta itu."Aku mengibaskan tangan. Sudah sejak tadi siang kami bertengkar. Aku sudah terlalu lelah."Zio, aku capek. Pulanglah. Aku pengen istirahat," usirku."Nggak akan sebelum kamu akui semua," jawabnya nggak mau pergi."Apa lagi yang harus aku akui? Tentang Lakeizia? Nope! Sh
VIOLAAku sedang bersiap-siap untuk menjemput Ben ke bandara sambil mendengar cerita Lakeizia mengenai keseruannya main sepeda dengan Kenzio. Nggak ada habisnya pujian terlontar dari mulutnya mengenai Yanda-nya itu."Nda, tau nggak, hari Minggu Yanda mau ngajak Kei lagi.""Main sepeda?""Bukan, Nda, tapi Yanda mau ngajak Kei ke pantai. Kata Yanda Kei mau diajarin surfing.""Apa?" Aku terbeliak mendengar penuturan Lakeizia."Kok Bunda kaget?" Lakeizia menatapku heran."Gimana Bunda nggak kaget, Nak. Kei tau nggak surfing itu apa?" Aku menatap Lakeizia selekat mungkin."Ya taulah, Nda. Tadi Yanda udah ngeliatin sama Kei papan surf-nya. Terus Yanda juga ngeliatin foto-foto saat Yanda surfing di pantai.""Kei nggak takut memangnya? Surfing itu bukan main-main biasa, Nak. Ombaknya besar, Kei juga bisa jatuh kalau nggak hati-hati. Kalau udah jatuh Kei bisa tenggelam."Lakeizia menggelengkan kepalanya yang membuatku kehilangan kata. "Kan ada Yanda. Kei nggak sendiri. Yanda bakal ngelindungin
KENZIOViola dan Ben kompak termangu setelah kutagih buku nikah pada mereka. Namun kemudian Viola mengambil alih situasi.“Duh, Zio, kebetulan buku nikah kami hilang dan kebetulannya lagi aku nggak punya kopiannya,” ucapnya dengan wajah sangat menyesal memohon pengertian dariku.Aku kesulitan menahan diri untuk tidak tertawa kala mendengar ucapan Viola. Agaknya dia benar-benar lupa sedang berbicara dengan siapa. Dan aku rasa dia juga lupa atau tidak memperhitungkan kemungkinan yang satu ini.“Jadi bukunya hilang?” tanyaku mengonfirmasi.Dia memberi jawaban anggukan kepala.“Nggak apa-apa kalau memang nggak ada kopiannya. Kita masih bisa telusuri datanya.”“Maksudnya?” Viola mengerutkan dahi.“Kita bisa tracking data kamu dan Ben secara online. Di sana semuanya lengkap. Mulai dari hari dan tanggal menikah sampai KUA tempat pernikahan kalian terdaftar. Sesimpel itu. Jadi nanti hasil print out-nya bisa digunakan sebagai bukti yang sah bahwa kalian benar suami istri. Kata Pak RT nggak apa
KENZIO"Dia bukan istri gue. Kami nggak pernah menikah,” ucap Ben padaku.Seketika seperti ada aliran air membasahi tenggorokanku yang kering mendengar pengakuan lugas lelaki di hadapanku ini. Sejak mendengar cerita Lakeizia yang dituturkan dengan lugu aku memang sudah menduganya. Keyakinanku bertambah kuat oleh sikap Viola yang aneh seakan sedang menutupi sesuatu dariku. Dan ternyata semua terbukti. Ben sendiri yang mengakuinya tanpa aku perlu berepot-repot mencari tahu."Really? Terus kenapa lo ngaku sebagai suaminya?" Aku mencoba untuk bersikap seolah-olah terkejut dan cukup sulit untuk melakukan itu karena nyatanya aku sudah tahu."Viola yang minta gue buat pura-pura jadi suaminya. Karena katanya ada cowok usil yang suka menggoda dia, yaitu lo.”Aku tak kuasa menahan senyum. Ternyata aku membuatnya sebegitu kesal hingga Viola benar-benar sebal padaku."Memang suaminya ke mana? Kenapa dia minta lo? Kenapa bukan suaminya aja yang ke sini?"Ben menyesap Americano-nya sesaat sebelum m
REMBULANSudah empat hari Romeo pulang ke Bali. Dia bilang ada urusan menangani klien di sana sekalian mengantar Tante Viola.Sudah empat hari juga Romeo nggak menghubungiku sekadar untuk menanyakan kabar. Padahal biasanya dia paling bawel mengingatkanku agar jangan lupa makan dan minum obat.Rasanya hidupku ada yang kurang tanpa adanya kabar dari Romeo.Apa itu artinya aku mulai ketergantungan dengannya? Sejak pembicaraanku dengan Tante Viola malam itu aku berhasil mencerna. Kemungkinan besar akulah orang yang dimaksud, ditambah lagi ucapan Romeo yang meminta menikah dengannya sebelum menemui klien, semakin memperkuat dugaanku ke arah tersebut.Aku berjalan mondar-mandir di dalam apartemen dengan ponsel berada di dalam genggaman. Jujur saja hidupku kurang tanpa Romeo. Aku merindukannya.Eh, apa tadi?Rindu?Benarkah aku merindukan Romeo? Tapi bagaimana bisa? Aku terus bersikap denial melawan perasaan itu. Yang kualami bukanlah perasaan rindu. Hanya perasaan kesepian karena biasanya
REMBULAN Di dalam mobil aku masih dihantui keraguan. Akan menginap di mana malam ini?Setelah lama berpikir kuputuskan untuk menginap di hotel, sisanya akan kupikirkan lagi nanti. Yang penting sekarang aku harus pulang dulu ke apartemen Romeo untuk mengambil pakaian. Semoga Romeo belum pulang. Nanti akan kutelepon dia dan mengatakan menginap di rumah Windy. Karena Mecca nggak bisa lagi kugunakan sebagai alasan. Dia pasti akan mengadu.Harapanku gagal jadi kenyataan. Sesampainya di apartemen aku melihat Romeo sudah pulang. Dan dia nggak sendiri. Ada Tante Viola juga. "Selamat malam, Tante," sapaku canggung."Malam, Bulan. baru pulang?" ujar Tante Viola ramah."Iya, Tante. Tante udah lama?""Paling baru lima belas menit.""Tante, saya permisi mau ke kamar sebentar.""Silakan, Lan."Aku langsung masuk ke kamar. Kehadiran Tante Viola di sini sudah cukup menjadi alasan yang kuat agar aku segera pergi. Setelah memasukkan pakaian ke dalam ransel aku keluar dari kamar. Kutemukan Tante Viola
ROMEOAda kekagetan yang nggak tersembunyikan dari wajahku setelah mendengar pertanyaan Bunda. Dari cara Bunda menatapku aku yakin dia berpikiran yang begitu jauh mengenai hubunganku dengan Bulan."Kok nggak dijawab sih, Rom? Jujur aja sih. Kita nggak bakal marah," ujar Kak Kei sambil tersenyum menggodaku."Nggak ada hubungan apa-apa, Kak, Nda. Aku dan Bulan cuma berteman.""Berteman?" ulang Bunda dengan alis bertaut."Iya, Nda.""Kalau memang berteman kenapa dia bisa tinggal di apartemen kamu?"Mampus aku. Kalau sudah begini satu-satunya cara yang bisa kulakukan adalah jujur pada Bunda dan juga Kak Kei."Nda, Kak ..."Keduanya tampak serius memperhatikanku. Pandangan lekat mereka yang jatuh di wajahku seakan bisa mendeteksi kebohongan atau kejujuran yang akan terungkap dari mulutku."Jujur sampai saat ini kami memang masih berteman. Tapi aku menyukai Bulan. Dia udah bikin aku jatuh cinta.""Terus?" ujar Bunda agar aku melanjutkan cerita."Bulan itu hidup sebatang kara. Dia tinggal se
REMBULANHari ini aku tinggal sendirian di apartemen lantaran kurang enak badan. Tadi Romeo menawarkan untuk mengantarku ke dokter. Tapi kutolak. Akhirnya dia membelikanku obat pereda panas.Setengah jam yang lalu Romeo meneleponku menanyakan keadaanku. Dia baru tenang setelah kukatakan panasku sudah turun.Aku akan ke kamar mandi ketika mendengar suara bel menggema.Siapa itu?Romeo punya akses sendiri. Dia nggak perlu membunyikan bel untuk masuk.Kuurungkan niat ke kamar mandi lalu kulangkahkan kakiku ke depan untuk membuka pintu.Setelah daun pintu terbuka tubuhku membeku menyaksikan dua wanita berbeda usia di hadapanku. Pun dengan keduanya.Tante Viola dan Lakeizia!"Lan, lo di sini?" ujar Lakeizia dengan keheranan yang begitu kentara.Ya Tuhan, apa yang harus kukatakan?Aku nggak mungkin bilang sedang bertamu dengan memakai piyama di tubuhku kan? Lagi pula nggak ada Romeo di sini."Iy-iya, silakan masuk, Kei, Tante," kataku menyilakan dengan gugup.Keduanya melangkahkan kaki mas
REMBULANJari-jemariku saling bertaut seolah ingin mencari kekuatan. Apa yang baru saja kudengar dari Romeo membuatku ingin pingsan detik ini juga.Seharusnya tadi aku nggak meminta dia meng-ACC lembar kontrolku. Dia pasti tahu penyakitku dari sana.Aku dan Lakeizia memang didiagnosa anxiety disorder dan PTSD. Hanya saja detail peristiwa yang membuatnya trauma aku nggak tahu. Pun sebaliknya. Dia nggak tahu apa yang terjadi di masa laluku. Kami sangat menghargai privasi masing-masing. Cukup kami tahu bahwa kami berdua mengidap penyakit yang sama."Please, Lan, bagi bebanmu itu denganku. Aku tahu semua itu berat dan kamu nggak bisa menanggungnya sendiri."Aku masih mematung ketika mendengar suara Romeo untuk ke sekian kalinya.Apa yang harus kulakukan? Selama ini aku menyimpan rapat-rapat rahasia terbesarku. Jangankan Romeo, bahkan sahabat dekatku juga nggak tahu apa-apa."Aku bisa dipercaya kalau itu yang kamu khawatirin," ucap Romeo lagi."Nanti ya, di apartemen." Akhirnya kalimat itu
REMBULAN "See? Orang-orang akan nganggap kamu nggak waras kalau kamu ada di sini. Reputasi kamu bakalan rusak, Rom," tawaku getir setelah Saskia pergi."Biarin. Kita nggak bisa ngendaliin pikiran orang lain, Lan. Yang bisa kita kendaliin ya pikiran kita sendiri," ucapnya bijak.Aku terdiam, nggak sanggup lagi membalasnya. Wajar dia jadi pengacara. Kemampuannya bersilat lidah nggak diragukan lagi. "Ibu Zivana Rembulan!" Seorang perawat membuka pintu ruangan psikiater, memanggil namaku agar masuk."Perlu ditemenin?" ujar Romeo."Nggak usah," tolakku. Aku bisa sendiri. Justru dengan ditemani Romeo masuk ke dalam akan membuat rahasiaku lain bisa terbongkar.Seperti biasa psikiater menanyakan keadaanku dan perkembangan sampai sejauh ini. Psikiaterku seorang perempuan. Dia begitu lembut dan sabar menghadapi pasiennya. Termasuk padaku."Gimana, Lan, masih sering mimpi buruk?" Psikiaterku mengawali dengan pertanyaan setelah aku duduk tepat di hadapannya.Aku masih ingat. Dulu di depan orang
REMBULANTanpa terasa sudah satu bulan aku tinggal di apartemen Romeo. Dalam rentang itu pula nggak ada satu pun dari para sahabatku yang tahu. Selain sibuk dengan dunia masing-masing paling hanya Mecca yang selalu berinteraksi denganku. Itu pun dia selalu menemuiku ke toko karena dari pagi sampai malam aku selalu menghabiskan waktu di sana. Otomatis pertemuanku dengan Romeo juga nggak terlalu sering. Kami hanya bertemu pada pagi hari ataupun malam di saat sudah pulang kerja. Sampai sejauh ini Romeo memegang kata-katanya. Dia murni hanya melindungiku. Nggak pernah ada kejadian aneh atau yang terulang pada kami berdua."Lan, besok jadwal kamu kontrol kan?" ujar Romeo malam itu. Kami baru sama-sama pulang kerja lalu duduk mengobrol sambil menikmati roti bakar yang dibeli Romeo.Aku sedikit kaget karena dia mengetahui jadwal kontrolku ke psikiater."Iya kan?" tanyanya meminta kepastian.Kuanggukkan kepala sebagai jawaban."Aku temenin ya?"Aku yang sedari tadi fokus menikmati roti bakar
REMBULAN Mungkin ini adalah hal paling gila yang pernah kulakukan. Bagaimana mungkin aku tinggal bersama dengan lelaki yang masih asing bagiku? Dan lelaki itu sama sekali nggak ada hubungannya denganku. Tapi entah mengapa satu sisi hatiku nggak mampu untuk menolak. Karena sejujurnya peristiwa tadi menambah trauma baru dalam hidupku.Hari itu juga aku pindah ke apartemen Romeo. Aku membawa seluruh pakaian dan barang-barang penting. Sisanya seperti furniture aku biarkan tetap ada di sana. Romeo mengusulkan padaku untuk menyewakan apartemen tersebut atau menjualnya. Dan aku setuju. Aku ingin menjualnya saja. Aku ingin mengenyahkan tempat yang sudah menimbulkan trauma."Welcome home, Rembulan. Semoga betah tinggal di sini," kata Romeo setelah kami tiba di apartemennya.Apartemen Romeo didominasi oleh warna putih sehingga memberi kesan luas. Ada dua kamar di sana. Satu kamar utama dan satu kamar tamu. Tapi ukurannya kurasa nggak jauh berbeda."Kamu bisa tempati kamar ini, Lan. Anggap aja
REMBULANPutra terkejut melihat apa yang terjadi. Pria itu berniat kabur. Namun tentu saja Romeo nggak akan melepaskannya dengan begitu saja."Sebentar, Lan, aku selesaikan dulu urusan sama bajingan itu," bisik Romeo padaku.Aku melepaskan diri dari dekapan Romeo dan membiarkan lelaki itu membuat perhitungan dengan Putra.Berdiri berhadapan dengan bajingan tengik itu, Romeo langsung mencekal krah kemejanya."Berani-beraninya lo ngeganggu cewek gue. Sekarang katakan hukuman apa yang pantas buat lo? Lo pengen mulai dari mana dulu? Di sini?" Romeo menekan perut Putra kuat-kuat dengan tangannya yang bebas. "Atau di sini?" sambungnya mengepalkan tinju ke wajah lelaki itu.Kilat mata Romeo yang terlihat begitu mengerikan tak pelak membuat Putra ketakutan."Ampun, Mas. Lepasin saya," cicitnya seperti tikus."Apa tadi waktu Bulan minta lepasin, lo langsung lepasin dia?"Putra nggak berani menjawab. Sedangkan Romeo semakin berkilat marah. Jujur, aku sangat takut melihat wajahnya."Ini hanya sa