Ceritanya author lagi ikut lomba one day one chapter. Wkwkwk semoga istiqomah dan bisa upload setiap hari yak, hahha Enjoy your day, and enjoy dinamika keluarga Rustam yang ternyata gila juga. Sebelas dua belas sama keluarga Sastrowilogo. Bedanya yang ini beneran preman.
“Maaf aku nggak bisa temani kamu lagi hari ini, Princesss. Aku harus berangkat sekarang,” ujar Dipta seraya memakai sepatu pantofelnya yang sudah cukup lama tidak dipakai hampir tiga minggu belakangan semenjak malam terakhir bertugas menjaga Ela di malam pertunangan Ela dengan Dhanu kala itu.Dipta kembali mengenakan power suit-nya pagi ini.Bukan untuk kembali bekerja dengan Mas Sultan karena masa skorsingnya berakhir. Namun karena ini adalah hari pertama Dipta resmi menjadi kacung dari seorang Hakim Rustam.Ini adalah bayaran yang harus Dipta berikan setelah meminta tolong kepada papanya dan kakaknya untuk membereskan Hendra Dharmawan dan memastikan jika Dipta dan Ela akan menikah tanpa halangan dar
ELA“Ini putrinya Bu Resty Dharmawan?” Ela tersenyum dan mengangguk sopan saat bersalaman pertama kali dengan Ibu Dewi Sastrowilogo. “Iya, Bu. Saya Elaina. Putri kedua Pak Hendra dan Bu Resty, terima kasih sudah mengundang saya bertemu dengan Ibu Dewi dan Mbak Rengganis di sini,” balas Ela setelah mencium pipi kanan dan kiri sang sosialita anggun yang kini duduk di samping Mbak Rengganis. Ibu Dewi datang bersama Mbak Rengganis sepuluh menit setelah Ela sampai terlebih dahulu di restoran The Ambience, satu restoran yang dimiliki oleh keluarga Sastrowilogo. “Hmm…” Hanya itu tanggapan Bu Dewi saat dia sudah duduk di hadapan Ela. Ela meringis sungkan, namun dia tak menanggapi hal tersebut dan memasang senyum terbaiknya. ‘Ingat Ela, kamu di sini ingin menjelaskan yang terbaik agar bisa diterima bekerja di galeri seni milik konglomerat Sastrowilogo.’ Bolak-balik Ela merapal hal tersebut dalam hati agar dia bisa lebih rileks lagi saat berbincang kelak. “Ibu, kemarin aku sudah kirimkan
“Saya tahu jika kemampuan saya saat ini masih terbatas, karena saya baru memiliki pengalaman kerja sekitar dua tahun, Bu Dewi.” Ela menyadari kekurangan dan keterbatasannya, terutama yang berkaitan dengan karirnya yang masih seumur jagung dan pengalamannya yang masih bisa dihitung oleh jari. Tapi tak ada salahnya ‘menjual diri’ agar dia terlihat lebih bernilai di hadapan Bu Dewi Sastrowilogo yang sepertinya masih menjaga jarak kepadanya. “Namun sejak kuliah saya sudah ikut berbagai macam kegiatan volunteer di kampus maupun volunteer di luar kampus atau community. Saya juga beberapa kali mengikuti internship dalam satu semester di salah satu firma digital agency sebelum kembali ke Indonesia for good, Bu.” Ela menjelaskan sebaik mungkin kegiatannya selama ini agar tidak dianggap sebagai perempuan yang hidupnya slow living menghabiskan uang orang tua saja. Well, she enjoyed her life before, dengan uang keluarganya. Tapi bukan berarti dia tak bisa melakukannya sekarang meskipun tanpa d
Rengganis menatap wajah Bu Dewi sekali lagi, menunggu aba-aba dari pengelola yayasan Sastrowilogo tersebut. Sebuah anggukan kecil dari Bu Dewi sukses membuat Rengganis terpekik senang dan langsung menepuk tangannya dengan bahagia. “Terima kasih Bu Dewi, Mbak Rengganis karena telah mempercayakan saya–” ujar Ela dengan ringan hati. “Ibu masih belum terlalu percaya, you need to prove yourself! Three months! Yes?” Bu Dewi memberikan tantangan kepada Ela. Sekali lagi, Ela menyanggupinya. Ini adalah batu pijakan yang harus Ela lewati demi mendapatkan kepercayaan penuh dari pengelola yayasan galeri seni yang digadang-gadang sebagai salah satu pusat seni yang menjadi rujukan seniman, kurator, hingga seluruh stakeholders yang berkaitan dengan seni dan budaya Indonesia. “Okay, Bu. Tiga bulan.” “Ya sudah kita makan dulu.” Sepertinya masa kritis telah dilewati karena kini Bu Dewi mempersilakan mereka untuk menikmati hidangan yang telah tersaji secara apik di depan meja mereka. “Jadi sekara
DIPTA Kacung kampret. Itu adalah kiasan peyoratif yang tepat menggambarkan keadaan Dipta saat ini ketika dia bekerja bersama abangnya seharian penuh. Setelah habis dibentak-bentak saat rapat tadi pagi, kini Bang Hakim mulai mengujinya dengan berbagai macam kegiatan receh seperti mencetak dan menyalin dokumen, membuat notulen rapat yang tentu saja hasilnya dibawah ekspektasi karena Dipta tak pernah melakukannya. Hampir dua puluh tahun pekerjaannya, sebagian besar dilakukan di lapangan sebagai pengawal. Pekerjaan di belakang meja yang sifatnya paperwork hanya sesekali dia lakukan, itu pun dengan penuh rasa keberatan dan protes besar kepada Mas Sultan atau atasannya sebelumnya. Dan yang terakhir adalah ke sana kemari antar divisi seperti setrikaan mengecek laporan yang akan dikirimkan kepada Bang Hakim. Dipta diminta untuk menyortir dokumen tersebut dari yang terpenting hingga tak terpenting. “Saya butuh bantuan–Pak, secara dasar untuk memastikan bagian mana yang menurutmu pent
Bang Hakim mengecek sebuah brief yang dibuat oleh tim PR yang dipekerjakan khusus untuk memoles citra keluarga Rustam di depan publik. Tim ini berhasil mengubah citra urakan dan kebal hukum Jeremy Rustam dan Hakim Rustam–yang secara negatif dipersepsikan oleh publik menjadi citra preman insyaf yang kini membantu penghidupan banyak orang lewat banyaknya usaha yang dikembangkan oleh perusahaan milik papanya. Apakah banyak yang terkecoh? Tentu saja! Persona Bang Hakim adalah persona penerus keluarga Rustam yang menyayangi keluarga dan kedua anaknya yang masih kecil. Istri dan anak bahagia, Hakim yang dermawan serta gemar membantu rakyat yang kesulitan. Banyak kasus viral yang dibantu oleh Bang Hakim penyelesaiannya sehingga citranya terangkat seperti seorang malaikat yang baik hati dan menggunakan uangnya dengan benar. Bahkan beberapa narasi yang mengatakan jika Bang Hakim layak masuk ke dalam bursa legislatif atau bahkan eksekutif yang lagi-lagi dilempar tim PR-nya, cukup berbuah m
Dipta menyipitkan matanya ketika mendapati rambut Mas Sultan yang berantakan, serta bagaimana terburu-burunya pria itu dalam memakai kembali kaus katunnya sesaat sebelum membuka pintu untuk Dipta. Jangan bilang jika Dipta mengganggu kegiatan dewasa Mas Sultan–Dia menggelengkan kepalanya, tak ingin memikirkan itu lebih jauh lagi. “Lo lagi sibuk, Mas?” tanya Dipta basa-basi. “Sibuk, tapi kayaknya lo waktu di telepon urgent banget,” balas Mas Sultan sambil membuka pintunya lebar-lebar. Mengindikasikan kesediaannya agar Dipta bisa masuk ke dalam ruang privatnya. “Kalau lo ngerasa keberatan gue ke sini, gue bisa datang lagi lain waktu–” Dipta berhenti dan mendadak ragu dengan jawaban atasannya–atau lebih tepatnya, mantan atasannya tersebut. “Masuk aja, kayak sama siapa aja sih, sungkan begitu,” balas Mas Sultan seraya mendorong bahunya agar masuk sepenuhnya ke dalam apartemen besar yang terletak di tengah jantung kota Jakarta. Dipta baru saja berjalan sebentar menuju island dapur un
ELAKecupan lembut di dahinya membuat Ela terbangun singkat dari tidurnya. “Kok nggak tidur di kamar? Sakit nanti punggungnya.” Suara dalam yang Ela dan dia rindukan membuatnya terjaga dan sedikit disorientasi karena terbangun tiba-tiba. “Mas Dipta?” Ela memastikan sekali lagi. “Iya, aku baru saja pulang. Maaf ya membangunkanmu seperti ini. Tapi kita pindah dulu yuk ke kamar,” ujar Dipta menanggapi seraya merengkuh tubuh Ela dalam pelukannya dan membopongnya menaiki tangga menuju kamar Ela. “Kok baru pulang, Mas? Malem banget lho!” tanya Ela dengan suaranya yang serak. Harum tubuh Dipta membuat Ela refleks melekatkan kepalanya di dada Dipta sekaligus tanpa tahu malu menghidu aroma khas Dipta yang kini semakin familiar bagi indra penciumannya. “Iya, maaf ya ada hal penting yang harus kubereskan dulu tadi,” balas Dipta sambil terkekeh pelan. Sepertinya menyadari tingkah konyol setengah sadar Ela tadi. “Aku keterima kerja lho!” Maka, untuk menutupi rasa malunya, Ela membagikan
Kemarahan yang tak dapat Dipta tahan akhirnya meledak juga tatkala dirinya mendapati keadaan Ela di dalam ruang meeting bersama Hakim dan Dhanu. Hakim dengan santai memperhatikan Dhanu dan Ela yang bertengkar hebat ketika Dipta dan kedua rekannya menjejakkan kaki di dalam ruangan tersebut. Tanpa basa-basi, Dipta langsung menghambur menghampiri Ela. Prioritas utamanya, untuk memastikan istri tercintanya tak kurang satu apapun. Rambut Ela berantakan, lengannya yang halus berubah menjadi kemerahan. Sontak semuanya membuat Dipta gelap mata dan dia paham siapa yang menyebabkan keadaan Ela seperti sekarang. Dhanu, manusia brengsek yang terguling memegang selangkangannya sambil mencicit kesakitan seperti hama tikus. Tanpa pikir panjang, Dipta menarik kerah baju Dhanu dan mulai menghajarnya. Kegeramannya tak bisa ditahan-tahan lagi, dan Dhanu memang layak mendapatkan bogem mentah setelah semua hal gila yang dia lakukan kepada Ela. Even killing him in one go was still not enough for Dipta
Pagi hari dirinya dan Ela berpisah tujuan, sang istri ke galeri memulai kegiatannya dan Dipta berkumpul bersama Mas Sultan untuk pergi ke basecamp yang disewa Reza demi mengecek hasil buzzing mereka semalam. Turned out it went exceptionally well. Apalagi ketika muncul beberapa bukti tentang betapa bejatnya seorang Dhanu. Pria itu menggunakan kekuasaan ayahnya dengan serampangan, dan betapa mudah mengangkangi hukum. Terutama ketika narasi pria itu pernah mabuk sambil membawa mobil dan menabrak seseorang hingga meninggal dunia. Kasusnya sempat ramai beberapa tahun lalu, sebelum akhirnya hilang terkubur begitu saja tanpa bekas. Tentu karena kekuasaan seorang Rahmat Trihadi yang berhasil membungkam semuanya dan membersihkan informasi tersebut, ditambah lagi Dhanu diungsikan ke luar negeri dengan dalih bersekolah di luar. Ketika berita lama itu kembali muncul ke permukaan, perbincangan dunia maya lambat laun beralih pada kapabilitas Rahmat Trihadi dalam bursa pemilihan presiden. Tagar k
Sejak kemarin malam, Dipta bersama Mas Sultan, Gala dan juga Reza–ketua tim elit Alfa yang dibentuk oleh Nero sibuk mengunjungi satu gedung perkantoran kecil dan tak mencolok yang rupanya dipakai sebagai salah satu basecamp kelompok buzzer yang berafiliasi dengan tim Alfa untuk operasi menjatuhkan reputasi Dhanu Trihadi. Suatu hal baru bagi Dipta berkecimpung di dunia abu-abu seperti ini. Namun, Dipta percaya kepada Mas Sultan dan Nero yang akan membantunya untuk melepaskan ikatan dirinya dengan Rustam serta memastikan keadilan untuk istrinya. Tentu saja buzzer yang dipakai oleh tim Reza adalah tim kualitas terbaik yang dibantu dengan teknologi mutakhir artificial intelligence dengan data set machine learning yang mumpuni. Jadi mereka tak perlu banyak orang dalam menggerakkan buzzer di dunia maya, karena akun-akun ternakan tersebut merupakan bot dengan kemampuan berbahasa yang lebih natural. Sehingga semua cuitan dan serangan online yang dilancarkan oleh tim buzzer ini berkualitas se
Ela ragu bagaimana dia harus bersikap di hadapan Hakim dan Dhanu sekarang untuk membalas ancaman dan juga ucapan mereka yang tak Ela mengerti satu pun. Yang bisa Ela tanggapi hanyalah tentang video privat dirinya dan Dipta yang sialnya… mungkin sudah jatuh ke tangan Hakim dan Dhanu. Badannya seketika menggigil. Ela merasa ditelanjangi dan dipermalukan oleh kedua pria kurang ajar ini. “Kalian cuma bisa mengancam perempuan untuk menyelesaikan masalah seperti ini? You? All of the people?” Ela mengejek dan memprovokasi mereka. Sikapnya yang seperti ini semata dilakukan untuk melindungi diri agar tak diinjak-injak lebih dalam lagi. “Siapa sih konsultan politik kalian? They can’t even navigate and cool down the negative news?” tambalnya dengan nada dingin. Kali ini Hakim yang terlihat jengkel, dan Dhanu geram karena diskak oleh Ela. “How was it, sleeping with Dipta? Better than Dhanu?” Tapi Hakim justru membalas ucapan Ela dengan remark yang merendahkan martabatnya sebagai perempuan.
Baru saja Ela keluar dari galeri, dia sudah dihadang oleh dua orang pria yang tidak Ela kenali. “Ibu Elaina? Pak Hakim sudah menyiapkan mobil,” ujar seorang pria yang kini beralih pindah ke sebelah Ela. Satu orang lagi bergerak di belakang Ela. “Saya bawa mobil sendiri.” Dia mencoba menghindar dan memperlebar jarak dari keduanya. Tapi sayang, mereka sudah mengepungnya dan memaksanya untuk ikut ke dalam mobil. “Pergi atau saya teriak–” ancam Ela dengan sungguh-sungguh. Kedua pria itu saling menatap, berkomunikasi tanpa kata hingga salah seorang pria menganggukkan kepalanya. “Saya ikut dalam mobil Anda. Rekan saya akan mengikuti dari belakang.”Itu bukanlah balasan yang Ela ingin dengar. Tetap saja berbahaya baginya. “Nggak bisa!” tolaknya dengan keras. “Jangan mempersulit, Bu. Kami tidak akan melukai Anda. Kami hanya butuh mengantar Anda sesuai tujuan. Lebih cepat lebih baik. Pak Hakim berkata jangan main-main,” ancamnya yang membuat Ela semakin frustasi dan ketakutan. Mereka
“Ela, semua bahan press udah naik tayang ya di beberapa media? Dari komunitas lelang, charity dan donor sendiri gimana? Apa feedback dari mereka? Dan untuk komunitas dari luar negeri sudah beres di handle? Perwakilan mereka sudah ada LO masing-masing, kan?” Mbak Rengganis memberikan daftar panjang checklist hal-hal yang harus Ela persiapkan menjelang pembukaan art exhibition yang sudah semakin dekat. “Aman, Mbak. Kita udah sebar juga ke komunitas, artists, dan art influencer di beberapa media sosial seperti Tiktok, i*******m, vlogger dan blogger. All good, dan hype di media juga cukup oke kalau saya pantau,” jawab Ela untuk satu pertanyaan Mbak Rengganis. Rengganis mengangguk mendengar penjelasannya. “Lalu untuk badan amal, charity sudah cukup banyak yang RSVP, dan beberapa donor pun sudah RSVP untuk acara pembukaan. Mereka sudah siap dengan bidding lot beberapa karya yang akan dilepas untuk lelang,” lanjutnya sambil mengecek buku agendanya. Mengecek secara detail pertanyaan dari
ELA“Kamu mau sampai kapan tiduran terus, Sayang? Memang nggak pusing?” Suara bariton khas suaminya membuat Ela semakin nyaman bergelung di dalam selimutnya. “Hmm,” protesnya tanpa membuka matanya yang masih terasa berat. “Nanti kamu malam malah nggak bisa tidur, lho. Kacau semua jadwal tidurmu nanti. Terus nanti kamu malah nenggak espresso dan makin jadi itu GERD-nya! Ayo bangun dulu!” Kini Dipta tak hanya memintanya bangun. namun tangan lelaki itu sudah sibuk menjawil pipinya dan menggelitiki perutnya dengan leluasa. “Mas!” Suara protesnya semakin membesar.Susah payah Ela menepis tangan Dipta yang sudah mulai usil mengganggu kesenangan tidurnya pagi ini. Eh, ini masih pagi, bukan? Astaga, Ela masih begitu ngantuk! A little more sleep couldn’t hurt, ‘kan?Acara soiree semalam sukses membuatnya seperti zombie hidup hingga lepas tengah malam. Mereka berdua baru bisa kembali ke rumah hingga jam tiga dini hari. Bahkan Ela tak ingat apa yang dia lakukan setelah melepaskan sepatu yan
“Gue udah dapat lead tentang video itu. Setelah pengembangan investigasi dari informasi Grace Hariman, kita bisa tracing di mana mereka menyimpan file tersebut. Kemungkinan besar ada di kediaman Dhanu.” Nero bergumam. “Gue udah coba trace sisa-sisa file dari device Grace dan komplotannya. Sejauh ini memang tidak ada, tapi memang gue sejujurnya masih khawatir kalau gue melewatkan hal krusial,” ujar Mas Sultan menimpali. “Double confirm. Gue juga udah nyuruh anak buah gue–Reza, untuk mengecek kembali seluruh device Grace dan anak buahnya. Sudah bersih. Gue hampir yakin master file ada di tangan Dhanu.” Nero mengangguk setuju. Dipta menoleh ke arah Nero yang bersedekap. “Kita bagi tugas, gimana?” celetuk Nero tiba-tiba. Mas Sultan menaikkan sebelah alisnya. “Tell us, I am all ears.” “Tugas pertama adalah tarik master file dari Dhanu. By all means necessary. Bahkan sampai harus pakai jalan hacking, bribery, and well, you know–” Dipta mengangguk, mengerti ke mana arah pembicaraan Ner
“Lho? Sudah selesai rapatnya toh?” Dewi Sastrowilogo terperangah ketika melihat gerombolan pria yang berdiri di depan lift dengan beragam ekspresi yang tercipta di wajah mereka masing-masing. Raka yang kepalang kesal, Darius dan Nero yang getol ngecengin Raka, serta dirinya dan Mas Sultan yang kebingungan di tengah internal joke yang saling dilemparkan tiga serangkai ini. Mereka berlima memberikan jalan kepada tiga perempuan itu untuk keluar dari lift, dan menutup kembali pintu lift. Membatalkan rencana untuk turun demi berbincang dengan Bu Dewi dan rombongan kecilnya. “Mau ke mana kalian?” todong Bu Dewi. “Ke bawah, Tante. Mau ngerokok–” Darius menjawab sebelum berhenti ketika melihat istrinya melotot ke arahnya. “Err… cari angin di luar,” ralatnya buru-buru. “Temani kami saja, ini Ibu mau tunjukkan koleksi spesial Ibu kepada Amira dan Prajna, supaya mereka tahu beberapa pusaka dari Sastrowilogo,” tutur Bu Dewi yang membuat para lelaki mati kutu di tempat mereka berdiri. Amira