Dipta menyipitkan matanya ketika mendapati rambut Mas Sultan yang berantakan, serta bagaimana terburu-burunya pria itu dalam memakai kembali kaus katunnya sesaat sebelum membuka pintu untuk Dipta. Jangan bilang jika Dipta mengganggu kegiatan dewasa Mas Sultan–Dia menggelengkan kepalanya, tak ingin memikirkan itu lebih jauh lagi. “Lo lagi sibuk, Mas?” tanya Dipta basa-basi. “Sibuk, tapi kayaknya lo waktu di telepon urgent banget,” balas Mas Sultan sambil membuka pintunya lebar-lebar. Mengindikasikan kesediaannya agar Dipta bisa masuk ke dalam ruang privatnya. “Kalau lo ngerasa keberatan gue ke sini, gue bisa datang lagi lain waktu–” Dipta berhenti dan mendadak ragu dengan jawaban atasannya–atau lebih tepatnya, mantan atasannya tersebut. “Masuk aja, kayak sama siapa aja sih, sungkan begitu,” balas Mas Sultan seraya mendorong bahunya agar masuk sepenuhnya ke dalam apartemen besar yang terletak di tengah jantung kota Jakarta. Dipta baru saja berjalan sebentar menuju island dapur un
ELAKecupan lembut di dahinya membuat Ela terbangun singkat dari tidurnya. “Kok nggak tidur di kamar? Sakit nanti punggungnya.” Suara dalam yang Ela dan dia rindukan membuatnya terjaga dan sedikit disorientasi karena terbangun tiba-tiba. “Mas Dipta?” Ela memastikan sekali lagi. “Iya, aku baru saja pulang. Maaf ya membangunkanmu seperti ini. Tapi kita pindah dulu yuk ke kamar,” ujar Dipta menanggapi seraya merengkuh tubuh Ela dalam pelukannya dan membopongnya menaiki tangga menuju kamar Ela. “Kok baru pulang, Mas? Malem banget lho!” tanya Ela dengan suaranya yang serak. Harum tubuh Dipta membuat Ela refleks melekatkan kepalanya di dada Dipta sekaligus tanpa tahu malu menghidu aroma khas Dipta yang kini semakin familiar bagi indra penciumannya. “Iya, maaf ya ada hal penting yang harus kubereskan dulu tadi,” balas Dipta sambil terkekeh pelan. Sepertinya menyadari tingkah konyol setengah sadar Ela tadi. “Aku keterima kerja lho!” Maka, untuk menutupi rasa malunya, Ela membagikan
Curiosity kills the cat. Mungkin itu adalah peribahasa yang tepat untuk menyadarkan Ela akan situasi yang dialaminya sekarang di dalam powder room galeri saat jam makan siang. Ela tak bisa menahan rasa penasarannya sejak Dipta menjatuhkan ‘bom informasi’ pagi tadi. Setelah melewati pertimbangan konyol yang berputar-putar di dalam benaknya–akhirnya Ela memberanikan diri untuk membuka pesan yang berasal dari papa dan Mbak Deshinta. Langkah konyol selanjutnya setelah itu adalah mengurus, atau… kepo lebih tepatnya, mengenai berita tentang rencana pernikahannya dengan Dipta yang telah dibagikan oleh Hakim Rustam semalam. Dipta pun enggan dan mewanti-wanti Ela agar tak mempedulikan berita tentang mereka berdua yang tersebar di jagat maya pada saat ini. Pria itu memintanya untuk fokus dalam menjalankan hari pertamanya bekerja di Galeria Fine Art di bawah arahan Mbak Rengganis. She was indeed in her element. Di mata Ela, Mbak Rengganis terlihat begitu keren sejak tadi pagi. Dengan saba
Dengan gamang Ela duduk di Rendezvous Cafe sambil memandang ke luar lewat jendela besar yang membingkai hampir seluruh sudut kafe ini. Kafe cantik besutan Mbak Rengganis yang terletak di dalam kompleks galeri dengan gaya elegan minimalis dilingkupi dengan pencahayaan yang terang serta kaca-kaca dan tanaman estetik yang membuat para pengunjungnya cukup betah bertahan, melipir dari sengatan sinar matahari siang ini. Ela memasukkan kembali ponselnya ke dalam medium tote bag putih Alaia yang senada dengan high-waisted cigarette trousers dari Alexander Mcqueen serta off white sleeveless blouse dari merk lokal Bali based bernama Padukani. Semuanya serba putih. Hanya rambut hitamnya saja yang di blow sejak pagi tadi yang menjadi kontras dalam palet warna wardrobe-nya di hari pertamanya kerja. Ah, well… sepatunya juga memberikan sedikit rona warna, slingback kitten pump Gianvito Rossi berwarna nude agar memberikan kesan tubuhnya semakin jenjang. Setelah berhasil menenangkan diri hampir lim
Menu mereka telah tiba, dan mereka berdua langsung menyantapnya sambil bertukar cerita. Terutama Ela yang dengan semangat membagikan ceritanya di hari pertama bekerja. “Gimana teman-teman barumu?” tanya Dipta di tengah-tengah percakapan mereka. Ela terdiam sejenak, sebelum mengedikkan bahu dan menjawab, “Ya gitu, deh, Mas. So far okay,” ujarnya penuh formalitas. Tapi sejak berinteraksi dengan Inggrid tadi, dia merasakan ada bibit-bibit drama yang akan menantinya. Meskipun demikian, Ela cukup bekerja dengan baik dan menjalin hubungan baik dengan rekan kerja lainnya yang sejauh ini Ela sukai. Dan perihal tadi… rasanya itu hal kecil yang tak perlu dibesar-besarkan lagi. Dan bicara soal fitnah yang menimpa dirinya di jagat sosial, Ela mencoba mengutarakan keresahannya kepada Dipta dengan lebih tertata lagi. Bukan untuk dikasihani–namun untuk melepaskan segala kecemasan yang menggelayut mengganggu pikirannya. Bukankah berbagi keluh kesah dengan pasangan bisa membuat segalanya menjadi l
DIPTA“Tim gue masih memantau sampai sekarang pergerakan target, dan sepertinya mereka tim yang cukup solid dan bukan satu kali ini saja menjalankan misi seperti waktu itu.” Dipta mendengarkan penjelasan Mas Sultan dengan tenang dan fokus seraya menatap rekaman cctv yang mengulik pergerakan seorang perempuan sebagai subjek utamanya. Grace Hariman. Umur 44 tahun. Single, pemilik toko elektronik di Mangga Dua Square. Namun itu hanyalah cover belaka. Di belakangnya, perempuan itu memiliki jaringan hitman tertutup yang aktif merekrut residivis untuk menjalankan aksi kriminal sesuai pesanan klien mereka. Mulai dari intimidasi, penguntitan, penculikan hingga yang terparah… perintah eksekusi. Mas Sultan bisa mendapatkan jejak perempuan misterius ini karena nomor tak dikenal masuk ke dalam daftar ponsel yang mereka intai dalam beberapa waktu belakangan ini. Yang membuat hal ini semakin menarik adalah… nomor Grace Hariman terdeteksi dari nomor ponsel Dhanu Trihadi. Ya, bukan orang yang p
Dipta bolak balik melirik ke arah Ela yang duduk bersebelahan darinya. Gadisnya itu dengan saksama memperhatikan gerak tubuh Grace Hariman yang berhasil terekam dalam cctv hingga akhirnya mereka berhasil menangkap wajahnya. Di monitor besar lainnya, terpampang wajah penuh Grace Hariman dengan lebih jelas dan wajah tersebut membuat Ela mengernyitkan keningnya sejenak. Sepertinya mencoba mengumpulkan kepingan ingatan yang tercecer dan terbenam di dalam bawah sadarnya. “Ring the bell, sweetheart?” tanya Mas Sultan di tengah keheningan ruang komando kantor The Noble Safeguards ini. Ela menggelengkan kepalanya ragu. “Sulit untukku mengingat orang-orang yang terlibat pada saat itu, Mas Sultan,” ungkap Ela dengan jujur. Dalam nada suaranya, terselip perasaan kecewa–yang meski halus nyaris tak terdeteksi, namun tetap dapat membuat hati Dipta ikut terasa berat dan sesak. Selayaknya Dipta bisa ikut merasakan beban yang Ela pikul sendirian. “Nggak apa-apa, Sayang. Kamu nggak usah khawatir.
Banyak yang harus dia dan Ela lakukan setelah malam penuh lika-liku dalam mengungkap kebenaran salah satu pelaku penjebakan mereka berdua di kantor Mas Sultan waktu itu. Ela sudah mengungkapkan niatnya untuk membalas perbuatan para pelaku, dan ketika ditanya balasan seperti apa yang Ela inginkan, rupanya perempuan itu masih memperlihatkan kebaikan hatinya. Kekasihnya itu mengatakan kalau dia ingin Dhanu dijebloskan ke dalam penjara dan mempertanggungjawabkan perbuatannya. Tapi Mas Sultan yang berada di tengah-tengah diskusi mereka itu sontak menyampaikan ketidaksetujuannya. “Kok gitu doang, sih, beb?” tanya Mas Sultan dengan sok akrab yang membuat Dipta lantas memutar bola matanya. “Mas Sultan, please… mind your words!” tegurnya sedikit kesal. Iya, Dipta paham benar jika Mas Sultan hanya berkelakar saja demi menurunkan tensi dan membuat suasana menjadi lebih cair selepas memberitakan informasi mengenai keterlibatan Dhanu dalam penjebakan. Tapi tetap saja… ada rasa cemburu yang
Kemarahan yang tak dapat Dipta tahan akhirnya meledak juga tatkala dirinya mendapati keadaan Ela di dalam ruang meeting bersama Hakim dan Dhanu. Hakim dengan santai memperhatikan Dhanu dan Ela yang bertengkar hebat ketika Dipta dan kedua rekannya menjejakkan kaki di dalam ruangan tersebut. Tanpa basa-basi, Dipta langsung menghambur menghampiri Ela. Prioritas utamanya, untuk memastikan istri tercintanya tak kurang satu apapun. Rambut Ela berantakan, lengannya yang halus berubah menjadi kemerahan. Sontak semuanya membuat Dipta gelap mata dan dia paham siapa yang menyebabkan keadaan Ela seperti sekarang. Dhanu, manusia brengsek yang terguling memegang selangkangannya sambil mencicit kesakitan seperti hama tikus. Tanpa pikir panjang, Dipta menarik kerah baju Dhanu dan mulai menghajarnya. Kegeramannya tak bisa ditahan-tahan lagi, dan Dhanu memang layak mendapatkan bogem mentah setelah semua hal gila yang dia lakukan kepada Ela. Even killing him in one go was still not enough for Dipta
Pagi hari dirinya dan Ela berpisah tujuan, sang istri ke galeri memulai kegiatannya dan Dipta berkumpul bersama Mas Sultan untuk pergi ke basecamp yang disewa Reza demi mengecek hasil buzzing mereka semalam. Turned out it went exceptionally well. Apalagi ketika muncul beberapa bukti tentang betapa bejatnya seorang Dhanu. Pria itu menggunakan kekuasaan ayahnya dengan serampangan, dan betapa mudah mengangkangi hukum. Terutama ketika narasi pria itu pernah mabuk sambil membawa mobil dan menabrak seseorang hingga meninggal dunia. Kasusnya sempat ramai beberapa tahun lalu, sebelum akhirnya hilang terkubur begitu saja tanpa bekas. Tentu karena kekuasaan seorang Rahmat Trihadi yang berhasil membungkam semuanya dan membersihkan informasi tersebut, ditambah lagi Dhanu diungsikan ke luar negeri dengan dalih bersekolah di luar. Ketika berita lama itu kembali muncul ke permukaan, perbincangan dunia maya lambat laun beralih pada kapabilitas Rahmat Trihadi dalam bursa pemilihan presiden. Tagar k
Sejak kemarin malam, Dipta bersama Mas Sultan, Gala dan juga Reza–ketua tim elit Alfa yang dibentuk oleh Nero sibuk mengunjungi satu gedung perkantoran kecil dan tak mencolok yang rupanya dipakai sebagai salah satu basecamp kelompok buzzer yang berafiliasi dengan tim Alfa untuk operasi menjatuhkan reputasi Dhanu Trihadi. Suatu hal baru bagi Dipta berkecimpung di dunia abu-abu seperti ini. Namun, Dipta percaya kepada Mas Sultan dan Nero yang akan membantunya untuk melepaskan ikatan dirinya dengan Rustam serta memastikan keadilan untuk istrinya. Tentu saja buzzer yang dipakai oleh tim Reza adalah tim kualitas terbaik yang dibantu dengan teknologi mutakhir artificial intelligence dengan data set machine learning yang mumpuni. Jadi mereka tak perlu banyak orang dalam menggerakkan buzzer di dunia maya, karena akun-akun ternakan tersebut merupakan bot dengan kemampuan berbahasa yang lebih natural. Sehingga semua cuitan dan serangan online yang dilancarkan oleh tim buzzer ini berkualitas se
Ela ragu bagaimana dia harus bersikap di hadapan Hakim dan Dhanu sekarang untuk membalas ancaman dan juga ucapan mereka yang tak Ela mengerti satu pun. Yang bisa Ela tanggapi hanyalah tentang video privat dirinya dan Dipta yang sialnya… mungkin sudah jatuh ke tangan Hakim dan Dhanu. Badannya seketika menggigil. Ela merasa ditelanjangi dan dipermalukan oleh kedua pria kurang ajar ini. “Kalian cuma bisa mengancam perempuan untuk menyelesaikan masalah seperti ini? You? All of the people?” Ela mengejek dan memprovokasi mereka. Sikapnya yang seperti ini semata dilakukan untuk melindungi diri agar tak diinjak-injak lebih dalam lagi. “Siapa sih konsultan politik kalian? They can’t even navigate and cool down the negative news?” tambalnya dengan nada dingin. Kali ini Hakim yang terlihat jengkel, dan Dhanu geram karena diskak oleh Ela. “How was it, sleeping with Dipta? Better than Dhanu?” Tapi Hakim justru membalas ucapan Ela dengan remark yang merendahkan martabatnya sebagai perempuan.
Baru saja Ela keluar dari galeri, dia sudah dihadang oleh dua orang pria yang tidak Ela kenali. “Ibu Elaina? Pak Hakim sudah menyiapkan mobil,” ujar seorang pria yang kini beralih pindah ke sebelah Ela. Satu orang lagi bergerak di belakang Ela. “Saya bawa mobil sendiri.” Dia mencoba menghindar dan memperlebar jarak dari keduanya. Tapi sayang, mereka sudah mengepungnya dan memaksanya untuk ikut ke dalam mobil. “Pergi atau saya teriak–” ancam Ela dengan sungguh-sungguh. Kedua pria itu saling menatap, berkomunikasi tanpa kata hingga salah seorang pria menganggukkan kepalanya. “Saya ikut dalam mobil Anda. Rekan saya akan mengikuti dari belakang.”Itu bukanlah balasan yang Ela ingin dengar. Tetap saja berbahaya baginya. “Nggak bisa!” tolaknya dengan keras. “Jangan mempersulit, Bu. Kami tidak akan melukai Anda. Kami hanya butuh mengantar Anda sesuai tujuan. Lebih cepat lebih baik. Pak Hakim berkata jangan main-main,” ancamnya yang membuat Ela semakin frustasi dan ketakutan. Mereka
“Ela, semua bahan press udah naik tayang ya di beberapa media? Dari komunitas lelang, charity dan donor sendiri gimana? Apa feedback dari mereka? Dan untuk komunitas dari luar negeri sudah beres di handle? Perwakilan mereka sudah ada LO masing-masing, kan?” Mbak Rengganis memberikan daftar panjang checklist hal-hal yang harus Ela persiapkan menjelang pembukaan art exhibition yang sudah semakin dekat. “Aman, Mbak. Kita udah sebar juga ke komunitas, artists, dan art influencer di beberapa media sosial seperti Tiktok, i*******m, vlogger dan blogger. All good, dan hype di media juga cukup oke kalau saya pantau,” jawab Ela untuk satu pertanyaan Mbak Rengganis. Rengganis mengangguk mendengar penjelasannya. “Lalu untuk badan amal, charity sudah cukup banyak yang RSVP, dan beberapa donor pun sudah RSVP untuk acara pembukaan. Mereka sudah siap dengan bidding lot beberapa karya yang akan dilepas untuk lelang,” lanjutnya sambil mengecek buku agendanya. Mengecek secara detail pertanyaan dari
ELA“Kamu mau sampai kapan tiduran terus, Sayang? Memang nggak pusing?” Suara bariton khas suaminya membuat Ela semakin nyaman bergelung di dalam selimutnya. “Hmm,” protesnya tanpa membuka matanya yang masih terasa berat. “Nanti kamu malam malah nggak bisa tidur, lho. Kacau semua jadwal tidurmu nanti. Terus nanti kamu malah nenggak espresso dan makin jadi itu GERD-nya! Ayo bangun dulu!” Kini Dipta tak hanya memintanya bangun. namun tangan lelaki itu sudah sibuk menjawil pipinya dan menggelitiki perutnya dengan leluasa. “Mas!” Suara protesnya semakin membesar.Susah payah Ela menepis tangan Dipta yang sudah mulai usil mengganggu kesenangan tidurnya pagi ini. Eh, ini masih pagi, bukan? Astaga, Ela masih begitu ngantuk! A little more sleep couldn’t hurt, ‘kan?Acara soiree semalam sukses membuatnya seperti zombie hidup hingga lepas tengah malam. Mereka berdua baru bisa kembali ke rumah hingga jam tiga dini hari. Bahkan Ela tak ingat apa yang dia lakukan setelah melepaskan sepatu yan
“Gue udah dapat lead tentang video itu. Setelah pengembangan investigasi dari informasi Grace Hariman, kita bisa tracing di mana mereka menyimpan file tersebut. Kemungkinan besar ada di kediaman Dhanu.” Nero bergumam. “Gue udah coba trace sisa-sisa file dari device Grace dan komplotannya. Sejauh ini memang tidak ada, tapi memang gue sejujurnya masih khawatir kalau gue melewatkan hal krusial,” ujar Mas Sultan menimpali. “Double confirm. Gue juga udah nyuruh anak buah gue–Reza, untuk mengecek kembali seluruh device Grace dan anak buahnya. Sudah bersih. Gue hampir yakin master file ada di tangan Dhanu.” Nero mengangguk setuju. Dipta menoleh ke arah Nero yang bersedekap. “Kita bagi tugas, gimana?” celetuk Nero tiba-tiba. Mas Sultan menaikkan sebelah alisnya. “Tell us, I am all ears.” “Tugas pertama adalah tarik master file dari Dhanu. By all means necessary. Bahkan sampai harus pakai jalan hacking, bribery, and well, you know–” Dipta mengangguk, mengerti ke mana arah pembicaraan Ner
“Lho? Sudah selesai rapatnya toh?” Dewi Sastrowilogo terperangah ketika melihat gerombolan pria yang berdiri di depan lift dengan beragam ekspresi yang tercipta di wajah mereka masing-masing. Raka yang kepalang kesal, Darius dan Nero yang getol ngecengin Raka, serta dirinya dan Mas Sultan yang kebingungan di tengah internal joke yang saling dilemparkan tiga serangkai ini. Mereka berlima memberikan jalan kepada tiga perempuan itu untuk keluar dari lift, dan menutup kembali pintu lift. Membatalkan rencana untuk turun demi berbincang dengan Bu Dewi dan rombongan kecilnya. “Mau ke mana kalian?” todong Bu Dewi. “Ke bawah, Tante. Mau ngerokok–” Darius menjawab sebelum berhenti ketika melihat istrinya melotot ke arahnya. “Err… cari angin di luar,” ralatnya buru-buru. “Temani kami saja, ini Ibu mau tunjukkan koleksi spesial Ibu kepada Amira dan Prajna, supaya mereka tahu beberapa pusaka dari Sastrowilogo,” tutur Bu Dewi yang membuat para lelaki mati kutu di tempat mereka berdiri. Amira