Kalau udah ada yang pernah baca Obsesi Tunggal Sang Mafia, nah.. Jeremy Rustam ini kira-kira sama atau bahkan lebih berbahaya daripada Carlos Danudihardjo, papanya Darius Danudihardjo. Karena kekuasaan Carlos udah tumbang, Jeremy yang ambil alih dunia underground dan ya gitu deh... Jeremy Rustam kaya semacam Don Vito Corleone versi Jemma Universe, hehe
ELATerkadang Ela berpikir, satu atau dua hari kebahagiaan yang dia rasakan di masa seperti ini akankah berubah menjadi suatu petaka di hari berikutnya? Tak ayal dia seperti merasa gelisah jika harinya dipenuhi tawa karena di detik berikutnya dia mengingat bagaimana nasibnya dengan Dipta di tengah kepelikan hidup mereka menghadapi keluarga masing-masing. Ela dengan papa dan kakaknya yang membuatnya mengurut dada. Lalu ditambah dengan Dipta dan hubungan dengan keluarganya yang begitu rumit dan kompleks. Dua hari yang lalu setelah makan siang bersama Rengganis dan dia diperkenalkan dengan adik iparnya yang bernama Ambar, Ela merasa hidupnya sedikit kembali seperti rutinitas normalnya. Brunch sambil berbincang dengan teman perempuan yang mengerti dirinya, lalu sorenya dia berkeliling Galeria Fine Art dipandu oleh Rengganis dan menikmati indahnya lukisan serta karya seni lainnya yang dipamerkan pada bulan ini. Lalu malamnya dia dijemput oleh Dipta dan mereka makan malam bersama di Seri
“Janji, ya! Aku nggak mau dengar lagi permintaan maafmu untuk hal-hal yang bukan menjadi salahmu. Your apology must be sincere. Meaning… you cannot utter those words every time just to appease your counterpart.” Ela mendapatkan sentilan yang cukup tegas dari Dipta. Ini memang bukan pembicaraan mereka yang pertama. Tapi kali ini, Ela merasakan betapa seriusnya permintaan Dipta tentang kebiasaannya yang terlalu mudah mengumbar kata maaf. Kini dia hanya bisa menganggukkan kepalanya. Mengikuti keinginan pria yang kelak menjadi imamnya, pemimpinnya nanti. “Oke,” bisik Ela parau. Rasa haru kembali memenuhi ruang hatinya. “Kalau gitu, kasih tahu aku apa yang bisa kubantu, Mas. Aku terkadang ngerasa useless kalau sejauh ini hanya kamu yang pontang-panting mencari cara meluluhkan hati papa, bahkan sampai-sampai melibatkan kembali keluargamu.” Dipta melunak mendengar permintaan Ela yang terdengar begitu tulus. Dia bangkit dari kursi rotan dan mengajak Ela ikut berdiri. Tak dinyana, Dip
Dipta meraup wajah Ela dengan gemas. “Sayang, aku nggak bilang kalau kamu gila! Nggak ada yang berpikiran seperti itu. Tapi… kita baru saja mengalami keadaan yang cukup mengguncang batin. Terutama kamu, Ela!” pungkas Dipta dengan cepat. Lelaki yang akan menjadi calon suaminya ini dengan sigap memberikan pengertian yang menenangkan hatinya. Ela merasakan ketulusan di sana, sehingga otaknya yang seperti mendengar sirine tanda peringatan berangsur kembali tenang. “Perubahaan yang begitu drastis dan signifikan pasti membuat hati dan pikiranmu jadi bingung. A little help from a professional to navigate and redirect your life is not that bad,” ujar Dipta menambahkan. Tatapan Dipta lekat menangkap manik matanya, seakan tak ingin lepas sebelum Ela mengkonfirmasi ucapan Dipta barusan. “Biar nanti aku pikirkan lagi. Tapi aku sedikit tersinggung waktu kamu menyuruhku pergi ke psikolog. As if there’s something wrong with me!” tukas Ela, menanggapi penjelasan Dipta yang jika dipikir-pikir mem
“Yang itu, kamu nggak usah pusing, that’s on me. Mungkin lebih baik kamu cek dulu konsep apa yang kamu inginkan, vendor yang kira-kira bisa masuk dengan timeline, baru nanti kita cek budgetnya bersama.” Dipta kembali menenangkan Ela. Ela tak ingin menyinggung masalah keuangan Dipta, namun pekerjaan Dipta Ela asumsikan tak dapat menghasilkan uang sebanyak itu dalam sepanjang karirnya. Ela tak enak hati menepis ucapan Dipta, namun di satu sisi rasanya Ela harus bersikap realistis dan mulai membicarakan masalah keuangan dengan Dipta secara gamblang. “Tapi Mas, aku juga mau membantu, dan kurasa aku masih bisa, kok, berkontribusi.” “Iya sayang–aku tahu, tapi kali ini biar Masmu ini yang bertanggung jawab ya, jika memang apa yang kamu inginkan ternyata nggak masuk dalam budgetku, baru kita bicarakan lagi.” Dipta tetap bersikeras. “Tapi–” Ela mencoba mencari celah agar Dipta bisa menerimanya, tapi pria itu begitu tegak lurus dalam pendiriannya. “Lebih baik uangmu disimpan, who knows
DIPTA“Saya rasa lima persen adalah angka yang sudah sangat masuk akal, Bang Jeremy,” ujar Hendra Dharmawan sesaat setelah pria itu menyesap teh poci signature dari restoran The Ambience yang terletak di Senopati.Dipta mengeratkan rahangnya mendengar permintaan tak tahu malu Hendra Dharmawan.“Itu permintaan yang terlalu besar, Hendra.” Papanya membalas permintaan politisi itu sambil tertawa dingin.Dipta duduk di sisi kiri papanya, dan abangnya berada di sisi kanannya. Bang Hakim diam sambil menarik cerutunya dengan santai.Senyum abangnya naik sebelah setengah mengejek melihat tingkah laku pria paruh baya yang akan menjadi calon ayah mertua Dipta. Bang Hakim melirik singk
“Saya merasa direndahkan di sini! Bang Jeremy, hati-hati berurusan dengan saya! Saya ini mantan anggota dewan!” Dengan jumawa Hendra Dharmawan menepis gertakan yang dilancarkan papa dan Bang Hakim. Kali ini Dipta tak kuasa menahan cengiran sinis yang sempat tercetak di bibirnya sebelum dia menarik kembali senyumnya dan memasang raut wajah datar. “Om, jangan mempermalukan diri sendiri seperti ini.” Bang Hakim hanya menimpali ujaran dramatis Hendra Dharmawan dengan tawa mengejek dan ucapan penuh sindiran. Melihat para pria dari keluarga Rustam secara terang-terangan tak menggubris permintaan tak masuk akalnya tentang permintaan saham, akhirnya Hendra Dharmawan mencari cara untuk mencairkan suasana dan menetralkan tensi yang semakin meningkat. “Oke… oke… kita bicara lagi dari awal–” sambung Hendra yang langsung ditepis oleh papa. “Tidak ada lima persen saham untukmu, Hendra.” Jeremy Rustam mengatakannya dengan tegas tanpa perasaan. Tatapannya terus mengarah kepada Hendra hingg
“Maaf aku nggak bisa temani kamu lagi hari ini, Princesss. Aku harus berangkat sekarang,” ujar Dipta seraya memakai sepatu pantofelnya yang sudah cukup lama tidak dipakai hampir tiga minggu belakangan semenjak malam terakhir bertugas menjaga Ela di malam pertunangan Ela dengan Dhanu kala itu.Dipta kembali mengenakan power suit-nya pagi ini.Bukan untuk kembali bekerja dengan Mas Sultan karena masa skorsingnya berakhir. Namun karena ini adalah hari pertama Dipta resmi menjadi kacung dari seorang Hakim Rustam.Ini adalah bayaran yang harus Dipta berikan setelah meminta tolong kepada papanya dan kakaknya untuk membereskan Hendra Dharmawan dan memastikan jika Dipta dan Ela akan menikah tanpa halangan dar
ELA“Ini putrinya Bu Resty Dharmawan?” Ela tersenyum dan mengangguk sopan saat bersalaman pertama kali dengan Ibu Dewi Sastrowilogo. “Iya, Bu. Saya Elaina. Putri kedua Pak Hendra dan Bu Resty, terima kasih sudah mengundang saya bertemu dengan Ibu Dewi dan Mbak Rengganis di sini,” balas Ela setelah mencium pipi kanan dan kiri sang sosialita anggun yang kini duduk di samping Mbak Rengganis. Ibu Dewi datang bersama Mbak Rengganis sepuluh menit setelah Ela sampai terlebih dahulu di restoran The Ambience, satu restoran yang dimiliki oleh keluarga Sastrowilogo. “Hmm…” Hanya itu tanggapan Bu Dewi saat dia sudah duduk di hadapan Ela. Ela meringis sungkan, namun dia tak menanggapi hal tersebut dan memasang senyum terbaiknya. ‘Ingat Ela, kamu di sini ingin menjelaskan yang terbaik agar bisa diterima bekerja di galeri seni milik konglomerat Sastrowilogo.’ Bolak-balik Ela merapal hal tersebut dalam hati agar dia bisa lebih rileks lagi saat berbincang kelak. “Ibu, kemarin aku sudah kirimkan