Dipta lagi mode preman ini kayaknya, bawaannya ngajak ribut mulu. Tapi memang sih, kehidupannya dengan keluarganya itu sangat complicated. Makanya responnya jadi agak laen waktu ketemu keluarganya lagi untuk pertama kalinya setelah sekian lama menghilang di bawah radar.
Dipta tidak ingat secara pasti kapan terakhir kali dia melihat sosok kakaknya–Hakim Adrian Rustam. Mungkin ketika Dipta pertama kali bekerja sebagai pengawal di umur dua puluh tiga tahun. Ketika dia mengawal seorang putra politisi ke sebuah kelab malam yang merupakan salah satu kekuasaan ormas papanya. Pertama kali mereka bertemu saat itu, tak ada tukar sapa apalagi tukar senyum dan menanyakan keadaan masing-masing. Baik dirinya maupun Hakim berlagak seperti tak mengenal satu sama lain. Semua berlalu begitu saja seakan tak ada darah seorang Jeremy Rustam yang mengalir dalam tubuh mereka berdua. “Duduk,” perintah Bang Hakim sambil menunjuk satu kursi yang terletak di seberang posisi duduknya. “Apa kabar, Bang?” tanya Dipta basa-basi. Tentu saja pertanyaan ini hanyalah retorika. Dia tak terlalu peduli dengan keadaan Bang Hakim sekarang. “Still arrogant as usual, huh?” tambalnya sambil tersenyum mengejek. “Dan lo masih saja bodoh seperti biasa, Dipta.” Bang Hakim membalas ejekannya
“What do you want?” balas papanya dengan cepat. “Pastikan aku menikah dengan Elaina tanpa diganggu oleh Hendra Dharmawan.” Dipta menyebutkan permintaannya. Dia sudah siap mendengar klausul yang ayahnya ajukan untuk membalas permintaan Dipta yang cukup besar. “Bayarannya akan mahal, Dipta.” Jeremy Rustam membalasnya dengan datar tanpa perasaan. Sisi pebisnisnya muncul ke permukaan. “Katakan apa harga yang harus kubayar untuk ini,” balas Dipta dengan tenang. Dari sudut matanya, Dipta melihat jika Bang Hakim begitu menikmati drama yang bergulir di depannya. Lihat, betapa senangnya pria itu ketika mendapati Dipta akan merendah di hadapannya dan papanya. “Jiwamu dan tubuhmu. Saya mau kamu menuruti apa keinginanku dari sekarang.” Wah, ini sih namanya perampokan, penjarahan! Bukan, ini seperti ritual penyerahan jiwa kepada setan! Mana bisa dia menyerahkan semuanya secara sukarela kepada Jeremy Rustam! “Saya akan meminta maaf kepada Mama Seira,” Dipta menanggapi permintaan gil
ELATerkadang Ela berpikir, satu atau dua hari kebahagiaan yang dia rasakan di masa seperti ini akankah berubah menjadi suatu petaka di hari berikutnya? Tak ayal dia seperti merasa gelisah jika harinya dipenuhi tawa karena di detik berikutnya dia mengingat bagaimana nasibnya dengan Dipta di tengah kepelikan hidup mereka menghadapi keluarga masing-masing. Ela dengan papa dan kakaknya yang membuatnya mengurut dada. Lalu ditambah dengan Dipta dan hubungan dengan keluarganya yang begitu rumit dan kompleks. Dua hari yang lalu setelah makan siang bersama Rengganis dan dia diperkenalkan dengan adik iparnya yang bernama Ambar, Ela merasa hidupnya sedikit kembali seperti rutinitas normalnya. Brunch sambil berbincang dengan teman perempuan yang mengerti dirinya, lalu sorenya dia berkeliling Galeria Fine Art dipandu oleh Rengganis dan menikmati indahnya lukisan serta karya seni lainnya yang dipamerkan pada bulan ini. Lalu malamnya dia dijemput oleh Dipta dan mereka makan malam bersama di Seri
“Janji, ya! Aku nggak mau dengar lagi permintaan maafmu untuk hal-hal yang bukan menjadi salahmu. Your apology must be sincere. Meaning… you cannot utter those words every time just to appease your counterpart.” Ela mendapatkan sentilan yang cukup tegas dari Dipta. Ini memang bukan pembicaraan mereka yang pertama. Tapi kali ini, Ela merasakan betapa seriusnya permintaan Dipta tentang kebiasaannya yang terlalu mudah mengumbar kata maaf. Kini dia hanya bisa menganggukkan kepalanya. Mengikuti keinginan pria yang kelak menjadi imamnya, pemimpinnya nanti. “Oke,” bisik Ela parau. Rasa haru kembali memenuhi ruang hatinya. “Kalau gitu, kasih tahu aku apa yang bisa kubantu, Mas. Aku terkadang ngerasa useless kalau sejauh ini hanya kamu yang pontang-panting mencari cara meluluhkan hati papa, bahkan sampai-sampai melibatkan kembali keluargamu.” Dipta melunak mendengar permintaan Ela yang terdengar begitu tulus. Dia bangkit dari kursi rotan dan mengajak Ela ikut berdiri. Tak dinyana, Dip
Dipta meraup wajah Ela dengan gemas. “Sayang, aku nggak bilang kalau kamu gila! Nggak ada yang berpikiran seperti itu. Tapi… kita baru saja mengalami keadaan yang cukup mengguncang batin. Terutama kamu, Ela!” pungkas Dipta dengan cepat. Lelaki yang akan menjadi calon suaminya ini dengan sigap memberikan pengertian yang menenangkan hatinya. Ela merasakan ketulusan di sana, sehingga otaknya yang seperti mendengar sirine tanda peringatan berangsur kembali tenang. “Perubahaan yang begitu drastis dan signifikan pasti membuat hati dan pikiranmu jadi bingung. A little help from a professional to navigate and redirect your life is not that bad,” ujar Dipta menambahkan. Tatapan Dipta lekat menangkap manik matanya, seakan tak ingin lepas sebelum Ela mengkonfirmasi ucapan Dipta barusan. “Biar nanti aku pikirkan lagi. Tapi aku sedikit tersinggung waktu kamu menyuruhku pergi ke psikolog. As if there’s something wrong with me!” tukas Ela, menanggapi penjelasan Dipta yang jika dipikir-pikir mem
“Yang itu, kamu nggak usah pusing, that’s on me. Mungkin lebih baik kamu cek dulu konsep apa yang kamu inginkan, vendor yang kira-kira bisa masuk dengan timeline, baru nanti kita cek budgetnya bersama.” Dipta kembali menenangkan Ela. Ela tak ingin menyinggung masalah keuangan Dipta, namun pekerjaan Dipta Ela asumsikan tak dapat menghasilkan uang sebanyak itu dalam sepanjang karirnya. Ela tak enak hati menepis ucapan Dipta, namun di satu sisi rasanya Ela harus bersikap realistis dan mulai membicarakan masalah keuangan dengan Dipta secara gamblang. “Tapi Mas, aku juga mau membantu, dan kurasa aku masih bisa, kok, berkontribusi.” “Iya sayang–aku tahu, tapi kali ini biar Masmu ini yang bertanggung jawab ya, jika memang apa yang kamu inginkan ternyata nggak masuk dalam budgetku, baru kita bicarakan lagi.” Dipta tetap bersikeras. “Tapi–” Ela mencoba mencari celah agar Dipta bisa menerimanya, tapi pria itu begitu tegak lurus dalam pendiriannya. “Lebih baik uangmu disimpan, who knows
DIPTA“Saya rasa lima persen adalah angka yang sudah sangat masuk akal, Bang Jeremy,” ujar Hendra Dharmawan sesaat setelah pria itu menyesap teh poci signature dari restoran The Ambience yang terletak di Senopati.Dipta mengeratkan rahangnya mendengar permintaan tak tahu malu Hendra Dharmawan.“Itu permintaan yang terlalu besar, Hendra.” Papanya membalas permintaan politisi itu sambil tertawa dingin.Dipta duduk di sisi kiri papanya, dan abangnya berada di sisi kanannya. Bang Hakim diam sambil menarik cerutunya dengan santai.Senyum abangnya naik sebelah setengah mengejek melihat tingkah laku pria paruh baya yang akan menjadi calon ayah mertua Dipta. Bang Hakim melirik singk
“Saya merasa direndahkan di sini! Bang Jeremy, hati-hati berurusan dengan saya! Saya ini mantan anggota dewan!” Dengan jumawa Hendra Dharmawan menepis gertakan yang dilancarkan papa dan Bang Hakim. Kali ini Dipta tak kuasa menahan cengiran sinis yang sempat tercetak di bibirnya sebelum dia menarik kembali senyumnya dan memasang raut wajah datar. “Om, jangan mempermalukan diri sendiri seperti ini.” Bang Hakim hanya menimpali ujaran dramatis Hendra Dharmawan dengan tawa mengejek dan ucapan penuh sindiran. Melihat para pria dari keluarga Rustam secara terang-terangan tak menggubris permintaan tak masuk akalnya tentang permintaan saham, akhirnya Hendra Dharmawan mencari cara untuk mencairkan suasana dan menetralkan tensi yang semakin meningkat. “Oke… oke… kita bicara lagi dari awal–” sambung Hendra yang langsung ditepis oleh papa. “Tidak ada lima persen saham untukmu, Hendra.” Jeremy Rustam mengatakannya dengan tegas tanpa perasaan. Tatapannya terus mengarah kepada Hendra hingg
Kemarahan yang tak dapat Dipta tahan akhirnya meledak juga tatkala dirinya mendapati keadaan Ela di dalam ruang meeting bersama Hakim dan Dhanu. Hakim dengan santai memperhatikan Dhanu dan Ela yang bertengkar hebat ketika Dipta dan kedua rekannya menjejakkan kaki di dalam ruangan tersebut. Tanpa basa-basi, Dipta langsung menghambur menghampiri Ela. Prioritas utamanya, untuk memastikan istri tercintanya tak kurang satu apapun. Rambut Ela berantakan, lengannya yang halus berubah menjadi kemerahan. Sontak semuanya membuat Dipta gelap mata dan dia paham siapa yang menyebabkan keadaan Ela seperti sekarang. Dhanu, manusia brengsek yang terguling memegang selangkangannya sambil mencicit kesakitan seperti hama tikus. Tanpa pikir panjang, Dipta menarik kerah baju Dhanu dan mulai menghajarnya. Kegeramannya tak bisa ditahan-tahan lagi, dan Dhanu memang layak mendapatkan bogem mentah setelah semua hal gila yang dia lakukan kepada Ela. Even killing him in one go was still not enough for Dipta
Pagi hari dirinya dan Ela berpisah tujuan, sang istri ke galeri memulai kegiatannya dan Dipta berkumpul bersama Mas Sultan untuk pergi ke basecamp yang disewa Reza demi mengecek hasil buzzing mereka semalam. Turned out it went exceptionally well. Apalagi ketika muncul beberapa bukti tentang betapa bejatnya seorang Dhanu. Pria itu menggunakan kekuasaan ayahnya dengan serampangan, dan betapa mudah mengangkangi hukum. Terutama ketika narasi pria itu pernah mabuk sambil membawa mobil dan menabrak seseorang hingga meninggal dunia. Kasusnya sempat ramai beberapa tahun lalu, sebelum akhirnya hilang terkubur begitu saja tanpa bekas. Tentu karena kekuasaan seorang Rahmat Trihadi yang berhasil membungkam semuanya dan membersihkan informasi tersebut, ditambah lagi Dhanu diungsikan ke luar negeri dengan dalih bersekolah di luar. Ketika berita lama itu kembali muncul ke permukaan, perbincangan dunia maya lambat laun beralih pada kapabilitas Rahmat Trihadi dalam bursa pemilihan presiden. Tagar k
Sejak kemarin malam, Dipta bersama Mas Sultan, Gala dan juga Reza–ketua tim elit Alfa yang dibentuk oleh Nero sibuk mengunjungi satu gedung perkantoran kecil dan tak mencolok yang rupanya dipakai sebagai salah satu basecamp kelompok buzzer yang berafiliasi dengan tim Alfa untuk operasi menjatuhkan reputasi Dhanu Trihadi. Suatu hal baru bagi Dipta berkecimpung di dunia abu-abu seperti ini. Namun, Dipta percaya kepada Mas Sultan dan Nero yang akan membantunya untuk melepaskan ikatan dirinya dengan Rustam serta memastikan keadilan untuk istrinya. Tentu saja buzzer yang dipakai oleh tim Reza adalah tim kualitas terbaik yang dibantu dengan teknologi mutakhir artificial intelligence dengan data set machine learning yang mumpuni. Jadi mereka tak perlu banyak orang dalam menggerakkan buzzer di dunia maya, karena akun-akun ternakan tersebut merupakan bot dengan kemampuan berbahasa yang lebih natural. Sehingga semua cuitan dan serangan online yang dilancarkan oleh tim buzzer ini berkualitas se
Ela ragu bagaimana dia harus bersikap di hadapan Hakim dan Dhanu sekarang untuk membalas ancaman dan juga ucapan mereka yang tak Ela mengerti satu pun. Yang bisa Ela tanggapi hanyalah tentang video privat dirinya dan Dipta yang sialnya… mungkin sudah jatuh ke tangan Hakim dan Dhanu. Badannya seketika menggigil. Ela merasa ditelanjangi dan dipermalukan oleh kedua pria kurang ajar ini. “Kalian cuma bisa mengancam perempuan untuk menyelesaikan masalah seperti ini? You? All of the people?” Ela mengejek dan memprovokasi mereka. Sikapnya yang seperti ini semata dilakukan untuk melindungi diri agar tak diinjak-injak lebih dalam lagi. “Siapa sih konsultan politik kalian? They can’t even navigate and cool down the negative news?” tambalnya dengan nada dingin. Kali ini Hakim yang terlihat jengkel, dan Dhanu geram karena diskak oleh Ela. “How was it, sleeping with Dipta? Better than Dhanu?” Tapi Hakim justru membalas ucapan Ela dengan remark yang merendahkan martabatnya sebagai perempuan.
Baru saja Ela keluar dari galeri, dia sudah dihadang oleh dua orang pria yang tidak Ela kenali. “Ibu Elaina? Pak Hakim sudah menyiapkan mobil,” ujar seorang pria yang kini beralih pindah ke sebelah Ela. Satu orang lagi bergerak di belakang Ela. “Saya bawa mobil sendiri.” Dia mencoba menghindar dan memperlebar jarak dari keduanya. Tapi sayang, mereka sudah mengepungnya dan memaksanya untuk ikut ke dalam mobil. “Pergi atau saya teriak–” ancam Ela dengan sungguh-sungguh. Kedua pria itu saling menatap, berkomunikasi tanpa kata hingga salah seorang pria menganggukkan kepalanya. “Saya ikut dalam mobil Anda. Rekan saya akan mengikuti dari belakang.”Itu bukanlah balasan yang Ela ingin dengar. Tetap saja berbahaya baginya. “Nggak bisa!” tolaknya dengan keras. “Jangan mempersulit, Bu. Kami tidak akan melukai Anda. Kami hanya butuh mengantar Anda sesuai tujuan. Lebih cepat lebih baik. Pak Hakim berkata jangan main-main,” ancamnya yang membuat Ela semakin frustasi dan ketakutan. Mereka
“Ela, semua bahan press udah naik tayang ya di beberapa media? Dari komunitas lelang, charity dan donor sendiri gimana? Apa feedback dari mereka? Dan untuk komunitas dari luar negeri sudah beres di handle? Perwakilan mereka sudah ada LO masing-masing, kan?” Mbak Rengganis memberikan daftar panjang checklist hal-hal yang harus Ela persiapkan menjelang pembukaan art exhibition yang sudah semakin dekat. “Aman, Mbak. Kita udah sebar juga ke komunitas, artists, dan art influencer di beberapa media sosial seperti Tiktok, i*******m, vlogger dan blogger. All good, dan hype di media juga cukup oke kalau saya pantau,” jawab Ela untuk satu pertanyaan Mbak Rengganis. Rengganis mengangguk mendengar penjelasannya. “Lalu untuk badan amal, charity sudah cukup banyak yang RSVP, dan beberapa donor pun sudah RSVP untuk acara pembukaan. Mereka sudah siap dengan bidding lot beberapa karya yang akan dilepas untuk lelang,” lanjutnya sambil mengecek buku agendanya. Mengecek secara detail pertanyaan dari
ELA“Kamu mau sampai kapan tiduran terus, Sayang? Memang nggak pusing?” Suara bariton khas suaminya membuat Ela semakin nyaman bergelung di dalam selimutnya. “Hmm,” protesnya tanpa membuka matanya yang masih terasa berat. “Nanti kamu malam malah nggak bisa tidur, lho. Kacau semua jadwal tidurmu nanti. Terus nanti kamu malah nenggak espresso dan makin jadi itu GERD-nya! Ayo bangun dulu!” Kini Dipta tak hanya memintanya bangun. namun tangan lelaki itu sudah sibuk menjawil pipinya dan menggelitiki perutnya dengan leluasa. “Mas!” Suara protesnya semakin membesar.Susah payah Ela menepis tangan Dipta yang sudah mulai usil mengganggu kesenangan tidurnya pagi ini. Eh, ini masih pagi, bukan? Astaga, Ela masih begitu ngantuk! A little more sleep couldn’t hurt, ‘kan?Acara soiree semalam sukses membuatnya seperti zombie hidup hingga lepas tengah malam. Mereka berdua baru bisa kembali ke rumah hingga jam tiga dini hari. Bahkan Ela tak ingat apa yang dia lakukan setelah melepaskan sepatu yan
“Gue udah dapat lead tentang video itu. Setelah pengembangan investigasi dari informasi Grace Hariman, kita bisa tracing di mana mereka menyimpan file tersebut. Kemungkinan besar ada di kediaman Dhanu.” Nero bergumam. “Gue udah coba trace sisa-sisa file dari device Grace dan komplotannya. Sejauh ini memang tidak ada, tapi memang gue sejujurnya masih khawatir kalau gue melewatkan hal krusial,” ujar Mas Sultan menimpali. “Double confirm. Gue juga udah nyuruh anak buah gue–Reza, untuk mengecek kembali seluruh device Grace dan anak buahnya. Sudah bersih. Gue hampir yakin master file ada di tangan Dhanu.” Nero mengangguk setuju. Dipta menoleh ke arah Nero yang bersedekap. “Kita bagi tugas, gimana?” celetuk Nero tiba-tiba. Mas Sultan menaikkan sebelah alisnya. “Tell us, I am all ears.” “Tugas pertama adalah tarik master file dari Dhanu. By all means necessary. Bahkan sampai harus pakai jalan hacking, bribery, and well, you know–” Dipta mengangguk, mengerti ke mana arah pembicaraan Ner
“Lho? Sudah selesai rapatnya toh?” Dewi Sastrowilogo terperangah ketika melihat gerombolan pria yang berdiri di depan lift dengan beragam ekspresi yang tercipta di wajah mereka masing-masing. Raka yang kepalang kesal, Darius dan Nero yang getol ngecengin Raka, serta dirinya dan Mas Sultan yang kebingungan di tengah internal joke yang saling dilemparkan tiga serangkai ini. Mereka berlima memberikan jalan kepada tiga perempuan itu untuk keluar dari lift, dan menutup kembali pintu lift. Membatalkan rencana untuk turun demi berbincang dengan Bu Dewi dan rombongan kecilnya. “Mau ke mana kalian?” todong Bu Dewi. “Ke bawah, Tante. Mau ngerokok–” Darius menjawab sebelum berhenti ketika melihat istrinya melotot ke arahnya. “Err… cari angin di luar,” ralatnya buru-buru. “Temani kami saja, ini Ibu mau tunjukkan koleksi spesial Ibu kepada Amira dan Prajna, supaya mereka tahu beberapa pusaka dari Sastrowilogo,” tutur Bu Dewi yang membuat para lelaki mati kutu di tempat mereka berdiri. Amira